PENGAWAL itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Beristirahatlah sambil menunggu. Mungkin. Kita memang harus menunggu sampai mendekati tengah malam.”
Dalam pada itu di serambi Sutawijaya duduk bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar. Di belakang Sutawijaya pengawas yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi di tangannya sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun lukanya masih terasa sakit, namun ia tidak akan dapat duduk berpangku tangan apabila keadaan menjadi semakin panas. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga memandang ke dalam kegelapan malam, seolah-olah ingin melihat langsung orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.
Swandaru yang gelisah itu pun kemudian berkata, “Aku tidak sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah cukup gelap. Kita pun sudah siap. Apalagi?”
“Sst,” desis Agung Sedayu, “mereka tidak akan menyerang begitu saja tanpa perhitungan.”
“Apalagi yang mereka perhitungkan?”
“Itulah yang kita tidak tahu.”
“Aku akan tidur saja.”
“Nah, itulah salah satu hal yang mereka tunggu.”
“Apa?”
“Orang-orang di barak ini menjadi jemu menunggu dan tidur pulas.”
“Ah,” Swandaru berdesah, “ada-ada saja kau ini. Sudah tentu aku mempunyai perhitungan sendiri.”
“Apa?”
“Kalau aku tidur, aku pasti sudah mempercayakan pengawasan kepada orang lain.”
“Siapa?”
“Kau. Belum saja aku selesai berbicara. Aku akan tidur. Kau yang harus mengawasi keadaan. Kalau musuh itu datang, kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai aku terkejut. Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa karena bingung.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang berpikir, bagaimana ia harus menjawab. Tetapi ternyata Swandaru sudah berkata, “Jangan mengada-ada. Kau tidak usah menjawab. Kau tinggal menjalankan perintah. Tidak ada alasan untuk mengelak.”
“Aku tidak akan mengelak,” berkata Agung Sedayu, “tetapi aku ingin bertanya, di mana kau akan tidur?”
“He?”
“Di mana kau akan tidur? Di sini? Bersandar dinding atau bersandar aku?”
“Tidak bersandar. Aku dapat tidur sambil duduk tanpa bersandar apa pun.”
“Cobalah,” berkata Agung Sedayu, “aku ingin melihat.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya pun segera terpejam.
Tetapi ia pun segera membelalakkan matanya ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.
“He, kemana kau?”
“Melihat musuh di luar pagar. Kalau ada aku akan membangunkan kau.”
“Ah kau,” Swandaru pun kemudian berdiri dan meloncat menyusul Agung Sedayu.
“Kenapa kau tidak jadi tidur?”
“Aku sudah puas tidur sejenak. Aku tidak kantuk lagi.”
Keduanya pun kemudian menghilangkan kejemuan mereka sambil berjalan hilir-mudik di halaman. Di beberapa tempat mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan. Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Kelompok-kelompok yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan kelompok yang lain sampai pengawal yang harus memimpinnya itu kembali.
“Cukup banyak,” desis Agung Sedayu, “selain orang-orang tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke dalam barak, ada kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk bertempur apabila orang-orang Kiai Damar itu benar-benar datang.”
“Ya. Dua puluh lima orang, ditambah dengan para pengawal itu sendiri dan kita berlima.”
“Kenapa lima?”
“Kita berdua, guru, Ki Sumangkar, dan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin pengawas itu?”
“Jangan dihitung. Kalau kau mau menghitung juga laki-laki berambut putih itu.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi tampaknya kekuatan itu cukup baik untuk menghadapi setiap kemungkinan. Namun tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah sebenarnya dari kekuatan Kiai Damar dan Kiai Te-lapak Jalak. Keterangan dari orang yang dapat ditangkapnya tidak akan dapat dipergunakan sebagai pegangan. Masih ada kemungkinan bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar orang-orang dibarak ini menjadi lengah.
Namun demikian, keterangan-keterangan yang dapat disadap dari orang-orang itu akan dapat dijadikan bahan pertimbangan.
Demikianlah malam pun menjadi semakin malam. Orang-orang yang menunggu dengan berdebar-debar itu semakin lama menjadi semakin jemu sehingga suasana di barak itu terasa menjadi semakin gelisah.
“Kegelisahan adalah lawan yang harus diatasi pula,” berkata seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri tidak jauh daripadanya bersama kelompok kecilnya, menyambung, “Kalau kita tidak dapat mengatasi kegelisahan semacam ini, maka kita akan kehilangan kewaspadaan. Kesabaran dan keseimbangan di dalam keadaan semacam ini dituntut oleh keadaan. Lawan kita agaknya sengaja menunggu sampai kita menjadi jemu dan kehilangan ketajaman pengamatan atas keadaan yang berkembang selanjutnya.”
Orang-orang di dalam kelompok-kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk menenangkan perasaannya masing-masing.
Sejenak kemudian seorang pengawal yang berdiri di sudut barak menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bintang gubug penceng di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus. Karena itu, maka ia pun berkata, “Hampir tengah malam. Adakah saat-saat semacam ini yang selalu dipilih oleh hantu-hantu itu untuk keluar dari sarang mereka?”
“Ya,” jawab salah seorang dari penghuni barak yang ada di dalam kelompok itu.
“Bagus. Kita akan menunggu sejenak.”
Belum lagi kata-kata itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba seisi barak itu dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda. Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang menggetarkan setiap dada penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin keras.
“Hantu itu datang lagi,” terdengar desis seseorang. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang mendengarnya. Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan kata-kata yang serupa,
Orang-orang yang ada di serambi pun segera berloncatan berdiri. Tetapi Kiai Gringsing segera mencegah mereka, “Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu perkembangan keadaan. Bukan inilah lawan yang sebenarnya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Kiai benar. Tetapi aku akan berada di antara para pengawal dan orang-orang dari barak ini yang sudah bersiaga di halaman.”
“Kita pergi bersama-sama.”
Demikianlah mereka pun segera menuruni tangga serambi barak itu. Sejenak mereka berdiri di dalam kegelapan untuk menuai keadaan yang bakal berkembang.
“Kuda itu datang dari arah belakang,” berkata Kiai Gringsing. Mereka masih ingin mempengaruhi perasaan kita dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu masih berusaha mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan untuk waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam barak itu. Dan sedikit banyak usaha mereka itu berguna pula. Masih saja ada di antara orang-orang penghuni barak itu yang meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik jantung itu.
Beberapa orang telah berusaha memerangi perasaan itu dengan nalar. Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya hantu-hantu itu adalah permainan yang menggelikan saja, seperti anak-anak bermain hantu-hantuan di malam hari. Siapa yang penakut, akan menjadi benar-benar ketakutan karenanya, meskipun mereka tahu benar, bahwa mereka sedang bermain-main.
Sejenak kemudian suara gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun kemudian berhenti beberapa puluh langkah dari barak.
“Mereka berhenti,” berkata Sutawijaya.
“Mereka agak menjadi bingung karena lampu-lampu itu telah berubah letaknya. Mereka tidak mempunyai ancar-ancar lagi.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Biasanya mereka mengelilingi barak ini,” desis Kiai Gringsing yang berdiri di tempat yang terlindung.
Sutawijaya tidak menyahut.
Namun ternyata bahwa dugaan mereka itu benar. Kuda-kuda itu mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi barak. Tetapi karena mereka kehilangan ancar-ancar, maka mereka telah mengambil jarak yang agak panjang.
“Mereka berusaha meredupkan gairah keberanian kita di sini,” berkata Kiai Gringsing, “kemudian pasukan mereka yang sebenarnya akan datang.”
“Ya.”
“Kita harus mulai bersiap-siap.”
Sutawijaya meng-angguk-anggukkan kepalanya. Diperintahkannya seorang pengawal untuk menyampaikan perintahnya.
Sejenak kemudian pengawal itu telah mengelilingi halaman meskipun ia berusaha selalu berada di dalam kegelapan dan perintah Sutawijaya pun telah tersebar, “Bersiap.”
“Kita hampir mulai,” berkata salah seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya, “bersiaplah. Lahir dan batin.”
“Suara gemerincing itu?” tiba-tiba salah seorang bertanya.
“Hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi hantu-hantu yang ini sama sekali tidak menakutkan lagi. Bukankah di serambi kita juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu.”
Dada orang itu berdesir. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri. “Tidak ada hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang buas itu. Aku harus melawan sebelum mereka membinasakan seluruh keluargaku.”
Dengan demikian hatinya yang sudah mulai tumelung, tiba-tiba telah tengadah kembali. Sambil menggeretakkan giginya ia telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Orang-orang yang ada di halaman barak itu telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka dapat mulai. Mereka tinggal menunggu perintah untuk bertempur.
Dalam pada itu, suara gemerincing itu pun bergerak perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa mereka lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah.
Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa sebenarnya hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya. Barak itu masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka mulai melihat cahaya yang sangat redup membayang di dalam dinding barak.
“Pasti akal Sutawijaya,” desis salah seorang dari hantu-hantu itu. “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita harus berputar tiga kali. Sesudah itu, maka pasukan yang bersembunyi di sekitar barak ini akan segera menyerbu. Putaran kita merupakan aba-aba bagi mereka.”
Suara gemerincing itu pun kemudian bergerak pula. Mereka telah mengelilingi hampir separo bagian dari perjalanan mereka.
Namun dalam pada itu, salah seorang pengawas yang ada di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk ke halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Aku tidak melepaskan panah sendaren karena aku mempunyai kesempatan untuk kembali. Mereka sudah bergerak mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengambil sikap. Sambil memandang ke dalam kegelapan ia berkata, “Kita akan menunggu mereka. Semua orang di halaman ini sudah bersiaga.”
Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Kembalilah ke dalam kelompokmu. Kau tidak usah mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga di mana mereka berada.”
Belum lagi percakapan itu selesai, ternyata pengawas yang lain pun telah melihat kedatangan orang-orang yang hendak menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat seperti pengawas yang terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak panah sendaren.
Suara sendaren itu pun berdesing menyobek sepinya malam. Namun demikian, suaranya bagaikan gelora yang dahsyat di setiap dada. Baik di dada orang-orang yang menunggu di barak, mau pun orang-orang yang sedang mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.
“Agaknya pengawas dari barak itu telah melihat gerakan kita,” desis Kiai Damar yang berdiri di samping Kiai Telapak Jalak. “Suara panah sendaren itu pasti suatu isyarat bagi mereka.”
Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergumam. “Kenapa orang-orangmu yang berkuda melingkari barak itu sebagai isyarat, berjalan terlampau lamban.”
“Tidak begitu kebiasaan mereka. Suara gemerincing itu memang seolah-olah tidak bergerak.”
Kiai Telapak Jalak menjadi tegang. Agaknya sudah tidak ada gunanya lagi menunggu isyarat suara gemerincing itu melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa pengawas-pengawas yang mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh lebih sempurna dari orang-orang di barak itu. Mereka sudah mempunyai banyak pengalaman sehingga mereka mengerti gunanya pengawasan.
Dalam pada itu, orang-orang yang berkuda dengan kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar suara panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka juga mengerti, bahwa di kelompoknya tidak seorang pun yang mempergunakan isyarat itu.
“Pasti suara isyarat orang-orang Sutawijaya,” desis salah seorang dari mereka.
“Kita percepat langkah kuda kita.”
“Kita hampir tersesat. Lampu-lampu di barak itu membingungkan.”
“Kita sekarang sudah mengetahuinya dengan pasti. Kita dapat berpacu agak cepat.”
“Baiklah. Kita akan berpacu.”
Mereka pun segera mencambuk kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu pun segera berloncatan di dalam gelap. Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar.
Namun sekali tidak mengerti, bahwa di hadapan barak agak menjorok masuk ke dalam padang perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah merentangkan tali-tali lulup, sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua ekor kuda telah terjerat. Kuda yang lain menjadi sangat terkejut karenanya, sehingga ketika dua ekor kuda yang terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang lain pun menjadi liar pula karenanya. Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda yang lain pun telah terjerat pula dan berjatuhan tindih-menindih.
Suara ribut dan ringkik kuda itu telah mengejutkan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak di kejauhan. Mereka segera menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berkata, “Kita menempuh cara kedua. Kita melontarkan panah api. Pasti terjadi sesuatu dengan hantu-hantuanmu itu.”
Kiai Damar tidak menyahut. Ia pun segera menyalakan api dan membakar dimik belirang. Setelah ujung sebuah panah api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya ke udara.
Sebuah nyala yang merah telah naik memanjat langit. Sinarnya memancar ke segenap arah, sehingga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun dapat melihatnya. Karena itu, maka mereka menyadari bahwa telah jatuh perintah bagi mereka untuk menyerang isi barak yang terpencil itu.
Seperti banjir bandang, orang-orang itu pun segera berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak mengerikan mereka mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar meneriakkan perintah, “Jangan ada yang tersisa!”
Dalam pada itu, di halaman barak, Sutawijaya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar, menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka pun segera menduga, bahwa itu pasti suatu perintah bagi orang-orang-Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Karena itu, maka Sutawijaya pun segera meneriakkan perintah kepada para pengawas yang memimpin kelompok-kelompok kecil untuk bersiap menghadapi lawan yang sebentar lagi pasti akan datang.
Para pengawal yang bertugas mengawasi keadaan pun telah bermunculan masuk kembali ke halaman. Mereka segera berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa mereka ke pagar halaman.
“Kita menyambut mereka. Kita tidak akan menunggu. Kita harus menyongsong mereka,” berkata para pengawal.
Kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian berloncatan dengan senjata terhunus. Sekali para pengawal memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala mereka akan terpisah. Bukan saja kepala mereka, tetapi juga anak-anak dan isteri mereka.
Ternyata orang-orang Kiai Damar itu tidak semuanya datang dari depan. Ada beberapa kelompok yang menyerang barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah meletakkan beberapa kelompok kecil untuk melawan kemungkinan itu.
Sejenak kemudian barak itu menjadi hiruk-pikuk. Suara derap kaki terdengar di segala penjuru. Di kejauhan orang-orang Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan.
Sutawijaya masih berdiri tegak di halaman. Ia harus menguasai seluruh medan. Karena itu, maka katanya kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Tinggallah di sini. Awasilah bagian belakang dari barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata terlampau banyak, maka kau berdua harus ikut campur pula. Aku bersama gurumu dan Ki Sumangkar akan menyongsong mereka.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apabila kau bertemu dengan Kiai Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau harus memberikan isyarat agar gurumu datang membantumu.”
“Apakah isyarat itu.”
“Suruh seseorang membunyikan kentongan dua ganda.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut menyongsong lawan yang datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun merupakan bahaya yang harus mendapat perhatian.
Sejenak kemudian Sutawijaya yang kali ini membawa tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke udara dari arah depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin mereka pun ada di sana pula.
Agung Sedayu dan Swandaru yang masih berdiri di halaman menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika mereka berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di serambi. Mereka adalah laki-laki yang telah mendekati separuh baya. Mereka harus menjaga perempuan dan anak-anak apabila ada di antara lawan yang berhasil menerobos pertahanan.
Ternyata bahwa mereka pun telah berbuat sebaik-baiknya.
Mereka tidak saja berdiri di muka pintu, tetapi dalam kelompok-kelompok kecil mereka berdiri di sudut-sudut barak. Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka benar-benar berdiri di muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari mereka berada di dalam barak. Tetapi yang ada di dalam barak itu pun telah mempersenjatai diri mereka bersama anak-anak tanggung.
“Pertahanan yang berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Marilah kita melihat di bagian belakang dari barak ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke bagian belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun beberapa orang musuh agaknya berusaha menembus pertahanan para pengawal yang memimpin beberapa orang dari barak itu. Tetapi pertahanan di bagian belakang itu tidak begitu kuat dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian depan dan samping sebelah-menyebelah.
Belum lagi keduanya sampai di halaman belakang, mereka terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berlari-larian langsung menuju ke barak dengan senjata terhunus. Menilik sikap dan tandangnya, mereka pasti bukan pengawal Sutawijaya dan bukan pula orang dari barak itu. Agaknya dua orang lawan telah berhasil menyusup mendekati barak.
Ketika Agung Sedayu hampir saja meloncat mengejar, Swandaru berkata, “Kita lihat, apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang tua itu.”
“Ah kau, apakah kita menunggu jatuhnya korban.”
“Tidak, Kita membayanginya.”
Keduanya pun kemudian berlari-lari mengikuti orang itu.
Agaknya orang itu langsung menuju ke serambi. Mereka membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh setiap orang di dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan keributan, agar perempuan dan anak-anak berteriak-teriak dengan kerasnya, dan mempengaruhi perlawanan suami-suami mereka.
Tetapi kedua orang itu terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun laki-laki yang sudah agak lanjut usia.
Karena itu, keduanya pun segera berhenti mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga itu. Empat orang laki-laki telah mendekati keduanya. Bahkan masih, ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh orang.
Kedua orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka sadar, bahwa tujuh orang itu bukanlah pengawal-pengawal yang sudah mapan mempergunakan senjata.
Agaknya orang-orang tua itu pun tidak banyak membuang waktu. Salah seorang dari mereka mengucapkan kata-kata sandi. Tetapi dua orang itu tidak dapat menjawab dengan tepat. Karena itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu menyerangnya.
Adalah di luar dugaan. Salah seorang laki-laki tua itu ternyata dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya. Sambil menyerang salah seorang lawan ia berkata, “Aku pernah menjadi pengawal padukuhanku. Aku pernah mendapat latihan olah kanuragan dari kakekku selagi aku berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru mempergunakannya.”
Tetapi bukan seorang itu saja yang membuat lawannya berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah menyerang lawan mereka yang lain sambil berkata, “Aku pernah mengikuti pendadaran menjadi seorang prajurit ketika aku muda meskipun dari orang-orang ini.”
Namun demikian, ternyata mereka tidak setangkas lawan-lawannya. Hampir saja senjata lawan-lawan mereka langsung menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka berjumlah tujuh orang seluruhnya, sehingga dengan demikian dua orang lawan itu pun agaknya harus berjuang mati-matian.
“Gila,” geram salah seorang dari kedua orang yang berhasil menyusup ke halaman itu, “orang-orang ini benar-benar sudah jemu hidup.”
“Lebih baik kamilah yang mati lebih dahulu daripada perempuan dan anak-anak.”
“Kalian akan mati dan perempuan dan anak-anak itu pun akan mati pula.”
“Jangan membual.”
Ternyata meskipun ketujuh orang itu sudah hampir sampai ke pertengahan abad, namun tenaga mereka masih hampir utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak menebang pohon-pohon raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun masih sanggup mengayunkan senjata mereka melawan dua orang.
Tetapi kawan-kawannya yang lain agaknya tidak sampai hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi mati-matian. Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka berada di sana empat orang. Yang dua berkata, “Aku akan membantu mereka. Kau awasi keadaan. Kalau kau melihat ada orang datang, berteriaklah memanggil kami.”
“Baiklah,” jawab yang lain.
Yang dua orang pun segera berlari-lari mendekati medan perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga orang anak-anak muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar pula meskipun ibuya melarangnya, “Jangan Ngger. Jangan.”
“Aku hanya akan melihat saja, Ibu.”
Tepat pada saat kedua orang yang berlari-lari dari sudut yang lain itu mendekat, salah seorang dari ketujuh orang yang berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya telah mengenai lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua orang lain segera menggantikannya.
Anak-anak tanggung itu pun akhirnya tidak hanya sekedar melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua orang lawan yang tidak menduga akan mendapat lawan sekian banyaknya.
Di serambi, kawan-kawannya yang sudah tertawan lebih dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah terikat.
Beberapa orang di antara mereka mulai mencoba untuk merencanakan suatu usaha, agar mereka dapat terlepas. Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang tua, namun ikatan tangan mereka yang dikaitkan dengan ikatan kawannya yang lain, sepasang demi sepasang, sangat mengganggunya, selain luka-luka yang memang masih terasa terlampau sakit.
Tetapi mereka pun sadar, apabila mereka tidak dapat lepas dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak mendapat kesempatan membebaskannya, maka akibatnya pasti akan sebaliknya. Kawan-kawannya pasti akan justru membunuhnya.
Sekilas mereka memandang senjata-senjata terhunus di tangan laki-laki yang sudah mendekati setengah abad. Salah seorang dari mereka berkata kepada diri sendiri, “Kalau saja aku mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orang-orang tua itu tidak akan banyak berarti bagiku.”
Belum lagi orang-orang itu menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melepaskan diri, ternyata mereka mendengar orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak, “Bunuh saja. Bunuh saja keduanya.”
Tetapi orang-orang itu tidak dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di sudut barak itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa salah seorang dari kedua orang yang menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi menahan serangan-serangan sekian banyak ujung senjata. Bahkan ketika sepotong besi yang panjang menyentuh matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia memejamkan matanya. Namun yang sekejap itu berakibat kekal padanya, karena sehelai pedang telah terhunjam di dadanya. Kemudian disusul oleh tikaman-tikaman yang hampir bersamaan waktunya. Dengan demikian maka orang itu pun segera roboh di tanah untuk tidak akan pernah bangun kembali.
Kini yang melakukan perlawanan atas mereka tinggal seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa orang, tetapi luka-luka yang tidak berarti sama sekali.
Ia sadar, bahwa ia seorang diri tidak akan dapat melawan sekian banyak orang, meskipun mereka bukan pengawal tanah Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk segera menyingkir dan kembali ke induk pasukannya saja.
Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun segera meloncat ke luar dari lingkaran perkelahian dan langsung berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang masih mengejarnya.
Tetapi malang baginya. Di dalam kegelapan kakinya ternyata telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun terpelanting dan jatuh tertelungkup.
Ternyata ujung cambuk Swandaru telah menjeratnya, sehingga ia tidak berhasil melarikan dirinya. Sepasang tangan yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.
“Ikat saja orang ini,” berkata Swandaru kepada orang-orang yang mengejarnya.
“Bunuh saja.”
“Jangan. Ia sudah menyerah. Ikat saja kuat-kuat. Orang ini masih berbahaya. Meskipun demikian, jangan kalian bunuh.”
Orang-orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Salah seorang segera maju sambil berkata, “Ikat saja ia erat-erat. Kemudian kita ikat orang itu dengan tiang.”
Tanpa diduga-duga ia menyambar ikat kepala orang yang tangannya masih terpilin itu. Kemudian dengan ikat kepala itu, ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya itu erat-erat.
Katanya, “Marilah orang ini kita bawa ke serambi.”
Ternyata kemenangan itu telah mengungkat keberanian orang tua-tua itu lebih bergelora lagi. Mereka seakan-akan sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap kemungkinan. Setelah mengikat orang itu, mereka pun kemudian turun ke halaman dan berjalan hilir-mudik dengan senjata di tangan.
Dalam pada itu. Swandaru dan Agung Sedayu masih saja berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar ke belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera melihat, apa yang terjadi di gerumbul-gerumbul di belakang barak itu.
“Agaknya kekuatan lawan pun terpusat di arah depan,” desis Swandaru. “Ternyata tidak ada seorang pun yang berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang dipimpin oleh dua orang pengawal.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi lamat-lamat ia memang mendengar suara perkelahian.
“Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat,” desis Agung Sedayu.
Wajah Swandaru menegang. Katanya, “Kalau begitu, mereka pasti terdesak.”
“Marilah kita lihat.”
Keduanya pun kemudian berloncatan berlari masuk ke dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru masih sempat bergumam, “Orang-orang tua di halaman itu masih dapat dipercaya.”
Di arah depan barak, pasukan lawan memang cukup kuat. Ketika saatnya telah dataug, serta isyarat telah mereka lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak dapat berputar secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang memecahkan bendungan, langsung mencoba menyerbu ke halaman barak.
Tetapi tanpa mereka sadari, ternyata sebagian dari mereka telah terpelanting karena kaki-kaki mereka telah terjerat oleh tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu dari batang perdu yang satu kebatang yang lain. Tali-tali lulup yang putus telah mengguncang pohon-pohon perdu di gerumbul dan membuat kejutan-kejutan yang langsung menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak itu.
Dengan demikian, maka usaha Swandaru ada juga hasilnya. Serangan itu terpaksa terhambat. Laju banjir itu pun tidak seperti yang mereka rencanakan, untuk memberikan kesan yang mengerikan pada serangan yang pertama. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang kakinya terkilir dan dahinya membentur batu.
Terdengar mereka yang terjerat oleh tali-tali lulup itu mengumpat tidak habis-habisnya. Apalagi mereka yang oleh kejutan itu, senjatanya telah terlepas. Di dalam kegelapan orang itu harus merunduk-runduk mencari senjatanya yang terjatuh.
“He, apa kerjamu?” bentak kawannya.
“Senjataku terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prajurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo dari nyawanya.”
“Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Persetan,” kawannya menggeram. Tetapi ketika kawannya itu meloncat meninggalkan orang yang sedang mencari senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun jatuh menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan ter-pelanting jatuh ke dalam gerumbul perdu.
“Setan alas!” ia mengumpat.
Dalam pada itu kawannya yang terdahulu kehilangan senjatanya, sudah dapat menemukannya. Didekatinya kawannya yang terjatuh kemudian sambil berkata, “Apa yang kau cari?”
“Gila, senjataku pun terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prjaurit yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo nyawanya.”
Kawannya menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun segera menjawab, “Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang hilang.”
“Macammu,” desis kawannya yang sudah menemukan senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawan-kawannya meskipun ia harus berhati-hati karena ia tidak mau terjerat lagi oleh tali-tali lulup.
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang melihat laju orang-orangnya tertahan-tahan mengumpat pula di dalam hati. Laju pasukan pada benturan yang pertama itu cukup berpengaruh. Apalagi lawannya adalah orang-orang yang tidak berpengalaman dalam peperangan. Hanya beberapa orang sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan senjata sebaik-baiknya.
Demikianlah maka akhirnya dua pasukan itu pun bertemu. Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan oleh orang-orang Kiai Damar, karena pasukan yang mempertahankan barak itu sudah agak maju menyongsong mereka.
Memang ada satu dua orang yang lolos, dan mencoba langsung menyerbu ke barak untuk mempengaruhi hati orang-orang barak yang sedang berkelahi itu. Tetapi orang-orang tua yang pernah memenangkan perkelahian, menjadi semakin terbesar hati, sehingga mereka pun berjuang semakin gigih. Setiap orang yang mencoba memasuki barak itu pasti berhasil mereka lumpuhkan beramai-ramai. Itulah yang tidak pernah diduga oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah maka perkelahian itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang bertempur menjadi semakin bernafsu. Demikian juga penghuni barak yang selama itu hanyalah sekedar mengayunkan kapak-kapak mereka menebang pepohonan, tetapi kini mereka mengayunkan senjata mereka sekuat tenaga untuk melawan orang-orang yang akan menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka rintis.
Dengan demikian, meskipun mereka bukan orang-orang yang cakap mempermainkan senjata tetapi kekuatan ayunan senjatanya dapat dibanggakan, sehingga lawan-lawan mereka pun menjadi ngeri juga karenanya.
Di samping orang-orang yang bertenaga raksasa itu, para pengawal dan pengawas yang ada di antara mereka pun bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang yang dapat memegang senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal Sutawijaya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang mempunyai kemampuan bertempur melampaui seorang prajurit biasa.
Sutawijaya sendiri bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar masih berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo lingkaran. Sedang mereka pun mengetahuinya, bahwa di belakang barak pun ada juga orang-orang Kiai Damar yang mencoba menem-bus pertahanan. Tetapi mereka percaya bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu orang-orang yang bertahan di belakang dengan kekuatan yang kecil.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru telah terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan memang tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para penghuni barak yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang pengawal. Namun kehadiran Agung Sedayu dan Swandaru ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali.
Meskipun keduanya tidak bernafsu untuk membunuh, tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya. Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak berdaya sama sekali. Namun demikian apabila ada yang terbunuh juga di antara mereka, sama sekali bukanlah yang dikehendaki.
Sejenak kemudian di bagian belakang barak itu telah bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Meledak-ledak seperti menghentak-hentak jantung. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali terdengar seseorang mengaduh tertahan.
Seorang laki-laki yang berkumis lebat tetapi berkepala botak, menggeram, “Nah, sekarang barulah aku mendapat kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu melawan sepasang pedangku.”
Dengan garangnya orang berkumis itu pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu.
Selangkah Agung Sedayu meloncat surut. Ia melihat orang berkumis lebat di dalam keremangan malam. Semula ia termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu berkilat-kilat. Tetapi ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai ikat kepala. Botak kepalanyalah yang memantulkan cahaya bintang gemintang di langit yang jernih.
“Sekarang kau akan mati,” desis orang botak itu.
Agung Sedayu meloncat surut sekali lagi. Ternyata bahwa sepasang pedang orang itu memang garang. Yang satu mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.
“Jangan lari,” orang itu berteriak, “inikah yang dikatakan orang bercambuk itu? Sama sekali tidak seperti yang pernah aku dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu, “beginilah caraku berkelahi.”
“Licik. Kalau begitu …”
Tetapi orang itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba selaput telinganya serasa pecah. Cambuk Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja dari kepalanya.
“Gila,” orang berkepala botak dan berkumis lebat itu mengumpat. Namun sekali lagi ia harus menundukkan kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di atas kepalanya.
Selanjutnya Agung Sedayu tidak memberinya kesempatan. Ujung cambuknya menyusup di antara sepasang pedang lawannya, seperti seekor lalat. Sekali-sekali hinggap di tubuhnya, kemudian terbang lagi dengan cepatnya.
“Kubunuh, kau,” orang itu berteriak sekali lagi. Pedangnya berputar semakin cepat dan garang. Namun ujung cambuk Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya, meskipun belum menumbuhkan luka-luka yang parah.
Namun demikian, sentuhan-sentuhan ujung cambuk itu membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara. Setiap kali ia berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan dahsyatnya, meskipun serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh lawannya.
Dalam pada itu, justru ujung cambuk Agung Sedayu-lah yang semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan terkelupas. Darah mulai menitik dari luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu.
Di bagian lain, Swandaru harus berkelahi melawan dua orang sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti dirinya sendiri, sedang yang lain bertubuh tinggi dan besar, bersenjata tombak pendek, bergerigi seperti duri pandan.
“Juntai cambukmu akan rantas tersentuh senjataku,” orang yang tinggi itu bergumam.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan ia berkata kepada lawannya yang gemuk, “Kenapa kau tidak memakai baju? Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku. Kalau kau masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu sekedar untuk mengurangi jalur-jalur merah biru di punggungmu.”
“Persetan!” ia membentak. Suaranya melengking seperti suara perempuan.
“He, suaramu aneh,” desis Swandaru.
“Gila. Kau masih sempat berbicara tentang suara,” orang yang tinggi besar itulah yang menjawab.
Swandaru tiba-tiba justru tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Cambuknya semakin lama menjadi semakin cepat, sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung karenanya.
Dalam pada itu, para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun masih berkelahi mati-matian. Jumlah lawan memang agak lebih banyak di bagian belakang ini. Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup tangkas. Apalagi karena Agung Sedayu kemudian tidak mengikatkan diri pada lawannya yang seorang itu. Orang yang berkumis lebat dan berkepala botak. Setiap kali Agung Sedayu masih juga sempat menyerang siapa pun yang mendekatinya. Dan serangan Agung Sedayu itu ternyata benar-benar mengejutkan.
Demikian pula orang berkepala botak itu. Semakin lama ia pun semakin menyadari keadaannya. Sebenarnya, bahwa orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang yang luar biasa, sambil berloncatan kian kemari, membantu orang-orang lain di dalam perkelahian itu, ia masih sempat melukainya. Semakin lama semakin banyak. Jalur-jalur merah biru menjadi silang-menyilang dipunggung dan lengannya.
“Anak ini memang anak setan,” desisnya, “aku harus membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati, maka, aku akan dapat segera membunuh orang-orang lain di dalam perkelahian ini.”
Demikianlah, maka orang itu pun memberi isyarat kepada tiga orang yang lain untuk bersama-sama melawan Agung Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak itu, apabila Agung Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan berjalan lancar.
Tetapi perhitungan itu pun tidak terlampau mudah dilakukan. Dengan demikian, maka orang-orang lain di dalam perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena lawannya berkurang. Orang-orang dari barak yang semula menjadi cemas dan kadang-kadang bingung, kini mereka merasa lapang, karena lawan-lawan mereka telah terhisap oleh Agung Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena perkelahian itu, sehingga mereka pun segera berhasil mendesak lawan mereka.
Sejenak kemudian perkelahian itu menjadi semakin berat sebelah. Agung Sedayu dan Swandaru menganggap bahwa tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain, sehingga akhirnya mereka pun mengerahkan segenap kemampuan mereka. Cambuk kedua anak-anak muda itu segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya yang berkarah besi baja, rasa-rasanya menjadi semacam ujung pedang. Setiap sentuhan, tidak lagi sekedar meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu mampu merobek kulit dan membuat luka memanjang yang mengalirkan darah yang segar.
“Anak setan!” geram orang berkepala botak itu. Tetapi ia pun segera menyeringai ketika ujung cambuk Agung Sedayu justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.
Pasukan yang menyerang barak itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama dengan para pengawal dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu berusaha sekuat-kuatnya untuk segera menyelesaikan perkelahian itu.
Meskipun jumlah para penyerang itu agak lebih banyak, namun sebagian terbesar dari mereka berkerumun di sekitar Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka sama sekali tidak berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk kedua anak-anak muda itu kadang-kadang telah membuat mereka kebingungan dan saling membentur di antara mereka sendiri.
Namun demikian korban-korban di kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga pada lingkaran perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak didorong oleh nafsu untuk membunuh, namun mereka tidak dapat menilik dengan saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing, sehingga ada juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di atas tanah, namun tidak akan dapat bangkit kembali.
Di bagian depan dari barak itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di bagian belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih banyak dari mereka yang mempertahankan barak itu. Tetapi nilai mereka seorang demi seorang agak jauh berbeda. Di dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang yang menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun pemimpin-pemimpin kelompok mereka, sempat memberikan aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak dapat berbuat apa pun juga, selain kebingungan.
Dengan demikian, maka pasukan penyerang itu pun segera dapat mendesak orang-orang yang mencoba mempertahankan baraknya. Meskipun para pengawal sudah berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi tenaga mereka pun sangat terbatas.
Sutawijaya yang melihat hal itu, menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat tinggal diam menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia berkata kepada Kiai Gringsing dan Sumangkar, “Aku akan mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin buruk.”
“Marilah, kita akan mulai bersama-sama,” desis Kiai Gringsing.
“Kiai harus mengamati, apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka adalah orang-orang yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus.”
“Aku akan mencari, Ngger. Tetapi sambil mencari, aku dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi perlawanan musuh.”
Sutawijaya tidak menyahut. Dengan tombak yang merunduk ia maju mendekati arena yang menjadi semakin sibuk.
Sejenak kemudian Sutawijaya telah terjun di dalam pertempuran. Pertempuran yang seru, namun dipenuhi oleh keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk segera membedakan, manakah kawan dan manakah lawan. Namun apabila keduanya sudah bertemu, maka mereka pun akan berkelahi mati-matian.
Agaknya Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak mengetahui akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun berusaha, agar tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan. Supaya anak buahnya tidak lagi harus membuang banyak waktu sebelum menghunjamkan pedangnya karena kebimbangan.
Orang-orang yang tinggal di dalam barak, dan yang ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan yang sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keragu-raguan sajalah, mereka masih sempat hidup terus.
Dengan demikian, maka Kiai Damar pun segera memerintahkan beberapa orangnya yang memang sudah ditentukannya, untuk segera menyalakan obor. Selain itu, panah-panah api pun diterbangkannya ke udara, sehingga medan itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit.
Sejenak kemudian medan yang ribut itu menjadi semakin terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan obor-obor mereka di tanah dan menyelipkannya di cabang-cabang batang perdu.
Ternyata bahwa obor-obor itu sangat berguna bagi mereka. Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan, mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan mereka, bahkan mereka dapat mengenal pula, yang manakah pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata, dan yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah mereka sergap dan mereka jadikan korban.
Tetapi sejenak kemudian dada mereka menjadi berdebar-debar, ketika justru cahaya obor itu telah memberikan banyak petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di medan pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah timbul kebingungan. Seorang anak muda dengan tombak di tangan, telah meloncat dengan lincahnya menyelusupi medan sambil memutar tombaknya itu.
“Anak setan!” salah seorang lawannya menggeram. Hampir saja hidungnya tersentuh ujung tombak itu. Namun ia tidak sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah yang telah tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah kehadiran Sutawijaya di medan peperangan, itu memberikan banyak pengaruh bagi orang-orangnya. Para pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja mempertahankan dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus juga melindungi anak buahnya itu, menjadi sedikit lapang. Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah perhatian di antara mereka.
Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun tidak tinggal diam di tempatnya. Mereka pun melihat bayangan yang bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
“Itulah Sutawijaya,” desis Kiai Telapak Jalak.
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, “Bagaimana maksudmu dengan anak itu?”
“Kita binasakan.”
“Baik, lalu?”
“Kau menghadangnya di ujung sebelah, aku di ujung yang lain. Jangan ragu-ragu, kita akan membunuhnya.”
Kiai Damar mengangguk-angguk, tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Sikapnya menunjukkan keragu-raguan yang mengganggu hatinya.
“Kenapa kau masih diam saja?”
“Tetapi, bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang.”
“Semua orang sudah tahu. Jangan ragu-ragu. Tidak ada hukuman yang dapat diperhitungkan jika kita membunuh lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, “Jika Pemanahan marah karena ia kehilangan anaknya, itu adalah salahnya sendiri.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Berhati-hatilah terhadap orang bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata jenis lentur pula, bahkan rantai.”
Kiai Telapak Jalak menggeram, “Seperti anak-anak yang pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya berkepanjangan.”
“Aku hanya memperingatkanmu. Aku sudah mengalaminya.”
“Terima kasih. Sekarang, kau pergi ke ujung sebelah. Aku di ujung yang lain. Sutawijaya berada di antara kedua ujung itu sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung.”
“Kita akan menghentikannya.”
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun segera berpisah. Mereka pergi ke kedua ujung yang berlawanan. Namun mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang langkahnya, mereka pun mencoba untuk menggetarkan dada pasukan lawannya.
Namun Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak lengah. Mereka pun segera melihat keadaan medan yang seakan-akan terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh Sutawijaya, namun sejenak kemudian seperti didorong oleh gelombang pasang, pasukan yang mempertahankan barak itu terdesak.
“Nah, itulah dia,” desis Kiai Gringsing ketika ia melihat Kiai Damar, “agaknya orang itu mencarimu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tetapi ia hanya seorang diri. Seharusnya ia berada bersama orang yang disebut bernama Kiai Telapak Jalak.”
“Kita belum mengenal orang yang bernama Kiai Telapak Jalak dengan baik. Mungkin ia berada di sekitarnya.”
“Mungkin di tempat lain,” sahut Kiai Gringsing. “Jagalah Kiai Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan mencari orang yang bernama Kiai Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung yang lain. Atau bahkan mungkin ia sedang berusaha mengalahkan Raden Sutawijaya.”
“Baiklah. Aku akan menemui Kiai Damar. Meskipun barangkali tidak berkenan di hatinya, apa boleh buat,” berkata Sumangkar.
“Ya. Kali ini kita tidak boleh gagal lagi. Persoalan tanah ini harus segera menjadi jernih. Apalagi persoalannya kemudian beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu bukan soal kita lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang sedang berusaha membuka hutan ini dari gangguan hantu-hantu kerdil ini.”
“Ya. Dan aku akan segera dapat membantu Agung Sedayu dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau aku juga tidak segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah akan menjadi semakin cemas.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Lihat, Kiai Damar tidak pandang lawan. Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu telah diserangnya. Cepat, lindungilah mereka.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar yang seolah-olah sedang mengamuk.
Meskipun Kiai Damar sadar, bahwa di antara mereka yang tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang harus mendapat perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Bahkan dengan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kau lagi?”
“Ya. Aku lagi,” jawab Sumangkar. “Selama kau masih datang kembali, aku pun akan datang lagi menjemputmu.”
“Persetan. Sekarang aku tidak akan membiarkan kau hidup. Sekarang kau akan mati.”
Sumangkar tidak merasa perlu untuk menjawab. Ia langsung mengambil alih Kiai Damar dari lawan-lawannya yang kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun segera terlibat dalam perkelahian yang seru.
Di tempat lain, Sutawijaya masih sibuk menghalau lawan-lawannya yang masih selalu mendesak terus. Para pengawal menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur bersama mereka menjadi bingung. Ternyata penghuni barak yang tidak pernah mengalami peperangan dan hanya mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu menyesuaikan diri dengan peperangan yang sengit. Perang yang seakan-akan tidak teratur lagi. Perang brubuh.
Apalagi apabila sekali-sekali mereka mendengar seorang di antara mereka berteriak kesakitan, karena tubuh mereka tersentuh senjata, sehingga kadang-kadang para pengawal tidak lagi sempat bertempur dengan mantap.
Kehadiran Sutawijaya di medan ternyata telah memberikan nafas baru kepada mereka, Sutawijaya yang bagaikan burung sikatan itu, terbang dari satu lingkaran peperangan ke lingkaran yang lain, sehingga hati para pengawal menjadi agak lapang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengerahkan kemampuan mereka terhadap lawan-lawannya sendiri, karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh kehadiran Sutawijaya.
Tetapi tiba-tiba langkah Sutawijaya terhenti. Seseorang telah berada di hadapannya sambil bertolak pinggang. Dengan sorot mata yang tajam, orang itu berkata, “Raden, hentikan cara itu. Korban akan terlampau banyak karena pokalmu.”
Sutawijaya tertegun sejenak. Diamatinya orang yang berdiri bertolak pinggang di hadapannya itu. Dan sebelum ia bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya, “Akulah yang disebut Kiai Telapak Jalak.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak itu. Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.
“Sayang, bahwa kita bertemu dalam keadaan seperti ini,” berkata Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, sayang sekali. Tetapi apakah sebenarnya yang kalian kehendaki, sehingga kalian terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kasar ini?”
“Pertanyaanmu terlampau sederhana. Sebagai seorang yang bercita-cita membuka sebuah hutan sebesar hutan Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab pertayaanmu sendiri.”
“O, begitu? Sayang, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Mungkin otakku memang tumpul atau barangkali aku tidak cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan bertanya sekali lagi kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang diriku.”
“Ini adalah suatu ciri bagi Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Telapak Jalak. Lalu, “Kau adalah gambaran dari anak-anak muda yang keras kepala.”
“Ya. Itu benar. Lalu?”
“Dan aku masih harus menjawab pertanyaanmu?”
“Ya, aku masih mengharap jawaban itu.”
“Baiklah.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak, lalu, “Kami tidak menghendaki kalian membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa?”
“Ada bermacam-macam alasan. Di antaranya, aku tidak senang melihat kau dan ayahmu Pemanahan berkuasa di sini.”
“Itukah alasanmu yang paling penting.”
“Sekali lagi kau menunjukkan kebodohanmu sebagai seorang putera Pemanahan dan apalagi putera angkat Sultan Pajang.”
“O, mungkin nanti kau akan menjumpainya kebodohan berikutnya. Tetapi apa jawabmu?”
“Aku kira aku lebih baik tidak menjawab. Sekarang, jangan menyesal bahwa kau akan mati di tanganku. Sudah lama aku berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru sekarang aku mendapat kesempatan.”
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Sutawijaya, “sebenarnya usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak akan merugikan siapa pun juga. Tanah ini akan menjadi tanah garapan yang subur. Yang akan bermanfaat bagi daerah di sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi semakin banyak dan ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya aku melakukannya?”
“Tidak selamanya menguntungkan,” jawab Kiai Telapak Jalak. “Tetapi biarlah aku tidak perlu menggurui kau, karena itu bersedialah untuk menutup segala rencanamu dengan mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melihat Putera Sultan Pajang yang terkenal sakti tanpa tanding itu mati di pinggir Alas Mentaok, seperti matinya para pendatang yang sekedar ingin memiliki secuwil tanah garapan.”
“Jangan mengigau. Tetapi kalau kau tidak mau mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai Damar, dan orang-orang yang berdiri di belakangnya pasti mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat sesuatu. Bukan sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang berlebih-lebihan. Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat tanah ini terbuka dan berkembang di samping daerah-daerah yang telah terbuka lebih dahulu di sekitarnya.”
“Cukup!” potong Kiai Telapak Jalak. “Itu dugaan yang sangat kerdil dari seorang Putera Sultan Pajang.”
“Salahmu sendiri, karena kau tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.”
“Persetan. Jangan membuang waktu. Semua orang sudah berkeringat dan bahkan menitikkan darah. Sekarang kau harus mati.”
Sutawijaya melihat mata Kiai Telapak Jalak yang berkilat-kilat kena cahaya obor yang kemerah-merahan. Karena itu, ia pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Kiai Telapak Jalak adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu, sepercik pertanyaan telah menyentuh hatinya, “Apakah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?”
Tetapi sebagai seorang prajurit Sutawijaya tidak akan lari dari gelanggang. Karena itu, apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya.
“Kau masih ada kesempatan sejenak untuk menyebut nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati terkapar di tanah,” berkata Kiai Telapak Jalak. “Aku tidak memerlukan waktu lebih dari tiga tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu datang kemari, barulah aku mendapat lawan. Tetapi kematianmu pasti akan membangunkannya.”
“Jangan omong kosong. Kalau kau mampu melakukan, lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak berani menampakkan dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Telapak Jalak tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Sutawijaya dengan mata yang menyala-nyala. Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai Damar di daerah ini.
Sutawijaya pun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan. Tombaknya segera merunduk. Dengan kokohnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya.
Sementara itu, di sekitarnya, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah berjuang mati-matian untuk tetap dapat bertahan.
Sejenak Kiai Telapak Jalak memandang arena yang remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah Sutawijaya yang menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk menerkam lawannya.
“Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak, “kalau aku tidak berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan nafas, maka aku akan berlutut dan menyembah di bawah kakimu. Aku akan menyerahkan leherku untuk dipancung atau digantung sama sekali.”
Sutawijaya tidak menyahut. Betapa pun tabah hatinya, namun terasa dadanya tergetar juga mendengar ancaman itu. Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar menakut-nakutinya. Tetapi ia pasti merasa mampu untuk melakukannya.
“Tetapi aku bukan cacing,” geram Sutawijaya di dalam hatinya, sehingga dalam pada itu ia pun yakin bahwa ia akan dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat bertahan lebih dari tiga tarikan nafas.
“Nah, Raden,” berkata Kiai Telapak Jalak, “aku akan segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku melontarkan seranganku yang pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak akan dapat menghindarkan diri, sehingga aku tidak akan memerlukan waktu lebih panjang lagi.”
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tombaknya kini telah bergetar di tangannya, siap menerima serangan Kiai Telapak Jalak.
“Ha, kau sudah gemetar,” desis Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya masih tetap berdiam diri.
“Seandainya tidak ada sinar obor yang kemerah-merahan, maka wajahnya akan tampak lebih putih dari kapas.”
Tiba-tiba Sutawijaya menggeram, “Cepat. Lakukan kalau kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara saja? Atau kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan pengaruh ketidak-sabaranku?
“Ah, kau pandai juga menebak. Sebagian benar. Tetapi jangan menyangka, bahwa aku tidak akan dapat melakukan apa yang sudah aku katakan.”
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia tidak lengah. Dan ia berusaha untuk tetap menjaga perasaannya, agar tidak menjadi kehilangan keseimbangan.
Tetapi agaknya sudah sampai saatnya Kiai Telapak Jalak melakukan rencananya. Karena itu, maka suasana menjadi kian menegang.
Namun dalam pada itu, sepasang mata selalu mengikuti pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang memiliki sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin mendekat, sehingga akhirnya ia berdiri di balik gerumbul beberapa langkah saja di belakang Sutawijaya. Orang itu adalah Kiai Gringsing.
Dalam penilaian Kiai Gringsing, Kiai Telapak Jalak memang seorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Bahkan Kiai Gringsing menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak memang tidak sekedar membual. Mungkin ia benar-benar dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak akan dapat membiarkan hal itu terjadi. Kalau serangan pertama berarti maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat kesempatan lagi untuk menyelamatkannya.
Karena itu, Kiai Gringsing harus bertindak sesuatu sebelum serangan yang pertama itu.
Maka ketika ia melihat Kiai Telapak Jalak benar-benar telah mempersiapkan serangannya dengan masak, tiba-tiba saja terdengar Kiai Gringsing berkata, “He, Kiai, apakah kau akan melawan Raden Sutawijaya?”
Kiai Telapak Jalak terperanjat. Sejenak ia mencari, namun segera diketemukannya Kiai Gringsing yang melangkah dari balik gerumbul mendekati Sutawijaya.
“Minggir kau,” bentak Kiai Telapak Jalak, “aku tidak sedang bermain-main.”
“Aku tahu. Tetapi aku minta waktu sedikit. Aku akan berbicara dengan Raden Sutawijaya.”
“Apa yang akan kau katakan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tanpa melepaskan kewaspadaan ia berkata, “Raden, pasukan yang mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang menunggu pertolongan Raden. Karena itu, aku ingin mempersilahkan Raden menolong mereka, agar mereka agak mendapat kesempatan untuk bernafas.”
“Siapa kau?” bentak Kiai Telapak Jalak. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Katanya, “Silahkan. Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah terluka. Raden tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Aku sudah tidak mampu lagi menolong keadaan. Yang dapat menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali Raden sendiri.”
“Gila kau,” bentak Kiai Telapak Jalak, sedang Sutawijaya agak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia sadar, apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa yang sering dipergunakan oleh orang tua itu. Agaknya Kiai Gringsing mengharap ia meninggalkan lawannya yang berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.
“Cepatlah, Raden. Keadaan sudah sangat mendesak,” sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil memandang Kiai Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata, “Biarlah aku mengurusi yang seorang ini. Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan kepada Raden.”
Sutawijaya menarik nafas. Dengan gaya Kiai Gringsing ia menjawab, “Baiklah, Kiai. Sayang, aku harus meninggalkan lawanku yang seorang ini.”
“Persetan, jangan lari.”
“Aku mempunyai tugas yang lebih penting. Biarlah pemomongku ini sajalah yang melayanimu.”
“Tunggu,” ternyata Kiai Telapak Jalak tidak ingin melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan telah berada di dalam telapak tangannya.
Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Kiai Telapak Jalak. Seakan-akan ia tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia masih sempat melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia menduga pula, bahwa Kiai Telapak Jalak tidak akan begitu saja menerima keadaan itu.
Ternyata dugaan itu pun segera terjadi. Selagi Sutawijaya melangkah pergi, Kiai Telapak Jalak sekali lagi menghentikannya, “Berhenti. Aku akan menyerangmu. Melawan atau tidak melawan.”
Meskipun dada Sutawijaya berdesir, tetapi ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal diam, sehingga ia telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing itu.
Kemarahan yang menghentak dada Kiai Telapak Jalak tidak dapat ditahan lagi. Meskipun Sutawijaya membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera menyerangnya sambil berteriak nyaring, “Salahmu sendiri kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan tanganku.”
Kiai Telapak Jalak sama sekali tidak menunggu jawaban, sedangkan Sutawijaya pun sama sekali tidak berpaling, meskipun terasa juga punggungnya meremang.
Sekejap kemudian. Kiai Telapak Jalak telah meloncat memukul punggung Sutawijaya dengan sisi telapak tangannya. Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap Sutawijaya itu telah berniat untuk membunuhnya dengan pukulannya yang pertama itu.
Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ia tidak menyangka sama sekali bahwa serangannya itu akan membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya sama sekali, sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak-lah yang terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh di tanah.
Sutawijaya yang mendengar benturan itu berpaling sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat berdiri dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia sama sekali menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya menjadi sesak.
“Berhati-hatilah sedikit, Kiai Telapak Jalak,” Sutawijaya masih sempat berkata. “Jangan tergelincir lagi untuk kedua kalinya.”
“Persetan,” geram Kiai Telapak Jalak, “jangan licik. Hadapi aku.”
Sutawijaya tidak menjawab. Ia langsung meninggalkan tempat itu. Ia sadar, bahwa pertempuran yang berkobar semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan pihaknya. Karena itu, setelah mempercayakan perlawanan atas Kiai Telapak Jalak kepada Kiai Gringsing, maka Sutawijaya mulai dengan penjelajahannya kembali. Ia bertempur dari ujung sampai ke ujung yang lain.
Dalam pada itu, Kiai Telapak Jalak hampir tidak dapat menahan kemarahan yang meledak di dadanya. Namun demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang sebenarnya, meskipun bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia pun kini harus mengakui, bahwa selama ini bukanlah Kiai Damar yang salah menilai kemampuan lawannya. Tetapi bahwa di dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya, kini telah dilihatnya sendiri sebagai suatu kenyataan.
Tetapi Kiai Telapak Jalak pun sadar bahwa ia masih belum mempergunakan seluruh kemampuannya. Ia masih belum mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya. Kekuatan yang dilepaskan itu, menurut penilaiannya, sudah cukup kuat untuk mematahkan tulang belakang Sutawijaya betapa pun anak muda itu telah menempa dirinya.
Karena itu, dengan wajah yang merah padam ia berdiri tegak menghadap Kiai Gringsing sambil berkata, “Siapakah sebenarnya kau?”
Kiai Gringsing maju pula selangkah. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Namaku Truna Podang.”
“Persetan. Iblis seperti kau pasti mempunyai seribu nama. Kau sangka aku percaya?”
“Tidak. Aku memang sudah menduga bahwa kau tidak akan percaya bahwa namaku Truna Podang, seperti aku juga tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis burung yang hampir sama. Podang dan Jalak. Keduanya sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap matahari terbit, mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?”
Kiai Telapak Jalak menggeretakkan giginya
“Tetapi jenis podang memiliki bulu yang warnanya lebih cantik dari seekor burung jalak.”
“Cukup, Cukup. Agaknya di dalam barak ini terdapat juga orang gila seperti kau.”
“Mungkin. Tetapi aku sebenarnya adalah pemomong Raden Sutawijaya.”
“Tentu kau yang menyebut dirimu Dandang Wesi.”
“Kenapa aku?”
“Kau dan Dandang Wesi sama-sama mengaku menjadi pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal itu suatu kebetulan.”
“O, kau keliru. Aku mengenal Kiai Dandang Wesi. Ia adalah pemomong Sutawijaya di masa kecilnya. Tetapi ia sudah meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya.”
“Jangan kau bohongi aku seperti kau membohongi anak-anak.”
“Terserahlah kepadamu. Mungkin aku memang memperlakukan kau seperti kanak-kanak.”
“Diam, diam kau,” Kiai Telapak Jalak membentak-bentak. Tetapi suaranya seakan-akan tenggelam dalam hiruk-pikuk peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini terdengar teriakan kemarahan, namun juga jerit kesakitan dan keluhan yang tertahan-tahan.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnya aku ingin berbicara sebagai orang tua kepada orang tua. Apakah kau bersedia?”
Kiai Telapak Jalak menjadi termangu-mangu sejenak. Ia merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi perasaannya. Sehingga di luar kesabarannya sendiri ia menganggukkan kepalanya, “Berbicaralah.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang hiruk-pikuk peperangan. Ia mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai banyak pengaruh di medan, sehingga semakin lama ia berbicara dengan Kiai Telapak Jalak, maka kesempatan Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian pertempurannya dengan orang ini tidak akan terlampau banyak berpengaruh. Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti yang pernah terjadi.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing, “sedikit atau banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok. Kalian tidak senang melihat daerah baru yang akan segera berkembang ini. Kenapa? Apakah kau hanya sekedar iri atau kau memang mempunyai suatu rencana lain tentang daerah ini? Kenapa kau tidak berterus terang membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan? Kalau rencanamu itu baik, maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau mengambil jalan yang panjang seandainya tujuanmu tidak terlampau jauh.”
Kiai Telapak Jalak memandang Kiai Gringsing dengan sorot mata yang seakan-akan menyala. Dengan suara yang parau ia menjawab, “Truna Podang. Siapakah kau sebenarnya dan apakah keuntunganmu mencampuri urusanku? Apakah Pemanahan merasa dirinya tidak mampu lagi mengatasi persoalan ini, sehingga ia memerlukan orang-orang seperti kau?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di sini sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bersama-sama, maka ia tidak akan membiarkan anak laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu datang kemari. Ia pasti akan pergi sendiri dan tidak hanya membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar sepapan. Dan kalian akan ditumpasnya tanpa ampun.”
“Persetan!”
“Bukankah kau sengaja menghancurkan usahanya dengan cara yang lain dari cara seorang laki-laki jantan? Kau telah membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti orang-orang yang sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka meninggalkan tempat ini dan mengurungkan niatnya, setelah kau ambil keuntungannya. Setelah beberapa dari mereka berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas Mentaok. Kelak, apabila kau berhasil mengusir dengan caramu, maka akan datang orang-orang lain yang mengaku telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat sama sekali.”
“Cukup!” teriak Kiai Telapak Jalak. “Kau orang-orang kerdil yang tidak dapat menjangkau cara berpikir seseorang yang bercita-cita. Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan. Dan kau hanya akan sampai pada suatu kesimpulan iri hati dan ketamakan melulu.”
“Apakah kau dapat mengatakan yang lain?”
Kiai Telapak Jalak menelan ludahnya. Ada semacam tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih bernilai dari yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Telapak Jalak yang tidak dapat menahan gelora di dadanya itu berkata, “Orang-orang kerdil macam kalian memang tidak dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih baik dari seekor kerbau yang kuat, tetapi terlampau dungu untuk bersikap.” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam pertempuran yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai Damar bahwa pada suatu saat Kiai Damar akan bertemu dengan Raden Sutawijaya dan membunuhnya. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui orang-orang kebanyakan di dalam peperangan ini berjumlah tidak hanya seorang saja. Seorang yang sedang dihadapinya. Sedang yang lain, meskipun mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu, tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan pasukannya. Orang-orang bercambuk yang pernah didengarnya, tentu tidak akan dapat melawan lima atau enam orang-orang pilihannya sekaligus seperti Sutawijaya sendiri. Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya tidak berkelahi di satu tempat, tetapi ia bagaikan terbang dari ujung sampai ke ujung, sedang anak-anak muda yang bercambuk itu berada di belakang barak.
“Sebentar lagi,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “orang-orang yang sedang berkelahi ini akan berteriak ketakutan diterkam oleh kengerian yang amat sangat. Mereka akan melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat anak, isteri, dan orang tua mereka yang tinggal di dalam barak itu. Orang-orangku yang memasuki barak lewat belakang itu, akan membuat barak seisinya menjadi neraka yang paling jahanam.”
Tanpa disadarinya Kiai Telapak Jalak memandang ke arah barak yang diliputi oleh kegelapan. Tetapi ia berkata pula di dalam hati, “Sebentar lagi barak itu akan menyala, dan semuanya akan segera selesai. Semua orang akan menyesal. Sutawijaya pun akan menyesal melihat mayat yang bergelimpangan. Mayat perempuan dan anak-anak. kemudian disusul mayat laki-laki yang berkelahi ini dan para pengawal. Yang terakhir Sutawijaya akan menyesali kematiannya sendiri.”
Karena Kiai Telapak Jalak tidak segera meneruskan kata-katanya, maka Kiai Gringsing pun menyahut, “He, kenapa kau merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku sedungu kerbau. Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku kau anggap orang yang dungu?”
“Kau hanya berpikir pendek. Iri, tamak, bengis, dan sebagainya. Tetapi apakah kau mengerti, bahwa yang dilakukan oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan Pajang?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Memang ia sudah menduga, bahwa orang-orang itu akan mencoba menarik keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak setelah Pemanahan meninggalkan Pajang karena janji Sultan Pajang itu tidak segera dipenuhi. Tetapi sampai berapa jauh mereka mempergunakan dalih itu masih ingin diketahui oleh Kiai Gringsing.
Karena itu maka Kiai Gringsing pun bertanya, “Apakah kau yakin pada apa yang kau katakan? Bukankah Raden Sutawijaya putera angkat Sultan Pajang?”
“Ya. Itulah kekerdilan jiwa Pemanahan. Kalau ia tidak usah menuntut tanah ini, maka persoalannya akan tetap jernih. Sebagai putera Sultan Pajang, maka Sutawijaya akan mendapat tidak hanya sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Jauh lebih luas dari Tanah yang kalian sebut Mataram Baru ini.
“Apakah kau lupa, bahwa di Pajang ada Pangeran Benawa?”
“Pangeran Benawa akan mewarisi tahta Pajang. Sutawijaya setidak-tidaknya akan menjadi seorang Adipati. Adipati yang besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang tertutup seperti sekarang ini.”
“Ah, kau memang aneh. Kau agaknya banyak mengetahui tentang hubungan itu. Hubungan antara Pemanahan dan Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas pertimbanganmu sendiri. Apakah hubunganmu dengan persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan Sultan Pajang dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan persoalanku. Kalau Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya, biarlah ia mengusirnya. Kalau kemudian ternyata Sultan Pajang, entah karena segan atau karena Sutawijaya itu anak angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan ingat Telapak Jalak, bahwa hal itu sudah dilakukan, itu pun urusannya mereka pula.”
“Itu tidak adil. Sultan Pajang tidak melalaikan apa yang lurus bagi pemerintahannya. Ia membenarkan sikap memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku, Pemanahan justru harus dihukum. Tidak justru mendapat pengesahan atas pemberontakan yang dilakukan.”
“Kiai Telapak Jalak. Kenapa kau mempergunakan istilah-istilah yang mendebarkan jantung. Apakah dapat dibenarkan bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak. Dan bahkan Sultan Pajang sendiri telah membersihkan pemberontak itu? Kau terlampau mengada-ada.”
“Truna Podang. Apakah yang kau ketahui tentang persoalan ini? Kau mungkin pernah berguru pada seorang guru sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur yang tandus, sehingga tidak sepantasnya kau berbicara tentang Sultan Pajang.”
“O, begitu?” sahut Kiai Gringsing. “Karena itu sebaiknya kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun sebaiknya tidak membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah semuanya kepada kebijaksanaan Sultan Pajang. Seandainya Sultan Pajang membenarkan pemberontakan itu sekalipun, apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan caramu?”
Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang tersangkut di semak-semak.
“Persetan!” katanya. “Aku adalah salah satu dari sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya keadilan di Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas Mentaok. Cara-cara yang ditempuh oleh Pemanahan adalah cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan.”
“Kalau kemudian Sultan Pajang membenarkannya, bukankah itu berarti bahwa kau juga telah memberontak kepada rajamu.”
“Demi kebenaran.”
“Itu juga yang pernah diucapkan oleh Pemanahan ketika ia memutuskan untuk membuka hutan ini. Demi kebenaran dan keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera diserahkan. Nah, kau melihat persamaannya?”
Darah Kiai Telapak Jalak serasa telah mendidih. Ternyata orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu bukan orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok ini. Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda tanya di dalam hati Kiai Telapak Jalak, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini. Namun agaknya orang itu sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang dirinya.
“Apa peduliku,” geram Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “kalau aku membinasakannya maka tidak akan ada persoalan apa pun lagi.”
Karena itu, maka dengan suara bergetar ia berkata, “Kita tidak usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah bertemu di medan?”
“Tetapi belum terlambat, Kiai Telapak Jalak. Kalau kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku kira, persoalan ini pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden Sutawijaya tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu apabila kau dan orang-orangmu benar-benar dengan ikhlas menghentikan semua kegiatan yang tidak berarti ini. Kau harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala macam kegiatanmu, membuat hantu-hantuan dan menakut-nakuti orang-orang yang sedang bekerja.”
Tetapi Kiai Telapak Jalak menggeram, “Gila. Kau sangka dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat mengambil sikap seakan-akan kaulah yang menentukan segala sesuatunya?”
“Bukan aku, tetapi kau.”
“Tidak. Aku sudah berkeputusan untuk membinasakan semua orang yang ada di sini, agar berita tentang badarnya beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak tersebar di mana-mana. Dan bahkan akan tersebar berita, bahwa di sini telah berjangkit wabah yang maha dahsyat, karena orang-orang di sini tidak lagi menghormati penghuni Alas Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi ia benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Karena di dalam perkembangan persoalan yang didengarnya dari berbagai pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu dengan beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing, “kau terlampau sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa di belakangmu berdiri dukungan yang kuat, entah dari orang-orang di istana atau orang-orang yang erat hubungannya dengan orang-orang istana.”
“Bohong!”
“Kau selalu menyebut hubungan antara tanah ini dengan Sultan Pajang, karena persoalan itulah yang selalu kau dengar dari orang-orang yang berdiri di belakangmu.”
“Berangan-anganlah dan mengigaulah sekehendak hatimu. Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk selama-lamanya.”
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia kini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perkelahian yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keyakinan yang teguh akan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, maka Kiai Telapak Jalak yang kecewa karena lepasnya Sutawijaya itu pun telah menumpahkan kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi gemeretak, ia pun mendekat selangkah demi selangkah. Kemudian, dengan garangnya ia menyerang sambil berkata, “Aku percaya bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada serangan pertama seperti kalau yang berdiri di sini Raden Sutawijaya. Tetapi cepat atau lambat, kau pun akan mati pula di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini. Merekalah yang kelak akan benar-benar menjadi hantu yang berkeliaran siang dan malam di Alas Mentaok ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi serangan itu. Dengan sigapnya ia menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia telah menyerangnya pula.
Namun Kiai Telapak Jalak pun cukup tangkas untuk menghindar sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak mengenai sasarannya.
Demikianlah maka keduanya segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya mereka saling menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayun-ayun seperti sayap-sayap burung yang sambar-menyambar.
Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi jalannya pertempuran. Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak berteriak ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka di tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian maka perlawanan orang-orang dari barak ini dan para pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan.
Tetapi hal itu tidak juga segera terjadi. Tidak ada jerit di kejauhan, dan tidak ada sesosok mayat pun yang terlempar ke tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di kejauhan adalah ledakan cambuk yang sahut-menyahut.
Ternyata suara cambuk itu telah menggelisahkannya. Ia pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang bercambuk yang pernah dihadapinya.
“Agaknya ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hati.
Dengan demikian, maka ia berniat untuk segera meninggalkan mayat lawannya, apabila ia segera dapat membunuhnya. Kemudian membunuh setiap orang yang ada di dalam pertempuran itu.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berusaha menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala kemampuan untuk mengalahkan Kiai Gringsing.
Namun ternyata ia menghadapi lawan yang jauh lebih berat dari yang diduganya semula. Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat menyamai Kiai Damar. Tetapi orang tua ini ternyata memiliki banyak kelebihan yang menggetarkan jantungnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak ingin memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik bajunya, ia mencabut sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna kehitam-hitaman.
Dada Kiai Gringsing berdesir melihat senjata itu. Senjata yang memang telah diduga ada pada orang yang bernama Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun. Senjata itu pasti menyimpan racun yang sangat tajam.
Didasari dengan kecepatan tangan Kiai Telapak Jalak, maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari di sepanjang medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya maka sebelum fajar, semua orang pasti akan sudah mati.
“Kalian memang suka bermain-main dengan racun,” desis Kiai Gringsing kemudian.
“He, kau mengenal juga bahwa senjataku beracun.”
Kiai Gringsing tidak dapat lengah barang sekejap pun. Kalau senjata itu tidak berada di tangan Kiai Telapak Jalak, maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini senjata itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga bahayanya akan menjadi berlipat ganda.
Karena itu, sebelum bahaya yang sebenarnya menerkamnya, maka Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk mendapatkan kesempatan, mengambil sebutir obat dari bumbung di kantong ikat pinggangnya. Sebelum serangan berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya.
Kiai Telapak Jalak justru tertegun sejenak. Ia melihat Kiai Gringsing mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Yang mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang belum dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera mempersiapkan dirinya menghadapi jenis senjata itu.
Namun ternyata Kiai Gringsing sekedar mengambil sebutir reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu. “Apa yang kau telan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia telah mencoba membentengi dirinya dengan berjenis-jenis obat. Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata Kiai Telapak Jalak pasti termasuk racun yang terbaik.
Namun demikian, terkilas juga di angan-angan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun yang paling tajam sekali pun. Tetapi menurut perhitungannya, yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak itulah yang pasti paling berbahaya.
“He, apa yang kau telan? Apakah kau mau membunuh diri?” Kiai Telapak Jalak mendesak. “Kalau kau ingin membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku akan menolongmu.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Terasa tubuhnya menjadi panas. Adalah kebetulan sekali bahwa Kiai Telapak Jalak tidak segera menyerangnya.
Tetapi ternyata Kiai Telapak Jalak tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian menyadari, bahwa Kiai Gringsing pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi ketajaman racun senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih berkata, “Kau akan menyesal. Kau sangka ada obat yang dapat menawarkan jenis racunku? Seandainya reramuanmu mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu. Mungkin kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan mutlak.”
Kiai Gringsing sengaja tidak menjawab kata-kata Kiai Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak Jalak pasti akan segera mengetahui bahwa suaranya bergetar.
Namun Kiai Gringsing tidak dapat menunda perkelahian lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun segera menyerangnya pula.
Untuk mengatasi kesulitan di saat-saat obat yang ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar menghindar dan meloncat surut. Tubuhnya rasa-rasanya masih belum cukup kuat untuk bertempur langsung melawan serangan-serangan Kiai Telapak Jalak.
Sejenak Kiai Telapak Jalak menjadi heran. Tetapi kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan tekanan yang lebih besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa Kiai Gringsing yang menyebut dirinya Truna Podang itu sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak disangka-sangkanya untuk menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai bertempur, Truna Podang mampu melawannya dengan gigihnya, namun tiba-tiba kini ia bertempur dengan cara yang lain.
“Apakah orang ini termasuk orang yang licik?” bertanya Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Setelah ia melihat senjataku ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?”
Tetapi keragu-raguan Kiai Telapak Jalak yang menahannya untuk tidak segera menyerang itu memberi peluang kepada Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya.
Perlahan-lahan terasa obat yang ditelannya telah menjalari seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya basah karena keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai menyelusuri kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu ia akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing kini tidak lagi berloncatan surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi lawannya yang menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman.
Namun Kiai Gringsing tidak ingin melawan keris itu dengan tangannya, sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang berjuntai panjang.
Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ketika tampak olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri sendiri, “Inilah agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah orang pilihan. Kalau orang-orang bercambuk yang masih muda itu mampu menggetarkan orang-orang Kiai Damar, maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih banyak lagi.” Dan sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini pastilah lawannya sedang mencernakan obatnya di dalam tubuhnya.
Dengan demikian, maka Kiai Telapak Jalak pun tidak akan lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk melawan cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak pendek sependek kerisnya. Mungkin untuk melawan orang lain yang bersenjata apa pun juga, ia tidak memerlukan senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk ini, Kiai Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk merangkapi keris pusakanya.
Ketika cambuk Kiai Gringsing mulai meledak, maka Kiai Telapak Jalak pun melepas rantai yang membelit lambungnya. Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri, ia pun telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu.
Pertempuran itu pun kemudian menjadi semakin dahsyat. Kedua jenis senjata serupa itu berdesingan di antara dentang senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar dan desak-mendesak. Setiap kali kedua jenis senjata itu saling membelit, namun kemudian dengan kekuatan raksasa yang tarik-menarik, belitan itu pun segera terlepas dan perkelahian pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi.
Demikian pula pertempuran yang berlangsung di seluruh arena. Sutawijaya yang bagaikan elang berterbangan itu membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak segera dapat menyelesaikan lawan-lawannya dan membiar-kan burung elang ini berterbangan menyambar-nyambar?”
Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak ternyata tidak muncul juga di arena yang panjang itu. Hanya orang-orang yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua orang kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya. Namun mereka pun segera melihat juga, bahwa keduanya sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi lawan-lawannya. Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur betapa pun ia berusaha menahan arus serangan Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak pun segera merasa, bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak merasakan bahwa Truna Podang benar-benar telah menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang.
Cambuk yang berputar-putar seperti baling-baling. Lecutan yang tiba-tiba dan ayunan mendatar yang menyambar lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir beberapa kali tentang lawannya.
Truna Podang pasti bukan seorang yang sekedar pernah mendapat tempaan oleh seorang guru padesan yang tinggal di padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan yang kasar, dan membentuknya sendiri setelah menyadap beberapa tata gerak alam yang dikenalnya sehari-hari. Tetapi orang yang menamakan diri Truna Podang itu pasti seorang yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan pengolahan yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak Jalak merasa telah berhadapan dengan Ki Gede Pemanahan sendiri.
Dengan demikian maka perlahan-lahan telah tumbuh kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia benar-benar telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jarring-jaring yang memang sudah dipersiapkan.
“Persetan,” Kiai Telapak Jalak menggeram.
Namun bagaimana pun juga ia tetap tidak dapat mendesak lawannya. Rantainya yang berdesing-desing dan kerisnya yang buram namun memancarkan pantulan cahaya maut, sama sekali tidak berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa pun Kiai Telapak Jalak mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan setapak demi setapak ia harus melangkah surut.
Apalagi setelah beberapa lama orang-orang yang ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera menunjukkan hasilnya. Dengan demikian usahanya untuk menghancurkan ketahanan dan ketabahan hati orang-orang dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat berlangsung. Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai Telapak Jalak menjadi semakin cemas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak adalah orang yang matang di dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih tetap bertempur sekuat tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari padanya, bukanlah kelebihan yang menentukan. Kalau Truna Podang berbuat sedikit kesalahan, maka ia masih mempunyai harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau langsung menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah maka ia pun masih juga bertempur sekuat tenaga.
Di medan yang lain, di belakang barak, Agung Sedayu, Swandaru, serta kawan-kawannya benar-benar telah berhasil menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Beberapa orang terbaring di tanah dengan luka-luka di tubuhnya, sedang beberapa orang yang lain, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kematian, karena kelengahan mereka atau karena kemarahan orang dari barak itu atau para pengawal. Tetapi kematian memang tidak dapat dihindarkan dari peperangan, karena kematian adalah bunga dari peperangan.
Apalagi karena di antara orang-orang penghuni barak itu pun ada juga yang menjadi korban. Kematian kawan-kawan mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang, sehingga apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya kematian masih akan bertambah-tambah.
“Mereka tidak dapat menahan perasaan,” desis Swandaru.
“Itulah yang harus kita jaga. Kalau keseimbangan perasaan itu tidak dapat dijaga, akibatnya akan meniadi semakin parah.”
“Bukan salah mereka. Mereka melihat kawan-kawan mereka terluka, apalagi ada pula yang terbunuh.”
“Memang, bukan salah mereka. Pergolakan perasaan yang terjadi di medan adalah wajar. Tetapi alangkah baiknya kalau kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian, tugas-tugas kita dapat kita selesaikan.”
“Memang bagus sekali. Tetapi di seluruh Pajang dan Mataram, agaknya hanya ada seorang saja yang mampu berbuat seperti kau, Kakang.”
“Guru mengajarku.”
“O,” Swandaru mengangguk-angguk, “dua. Yang seorang adalah guru sendiri.”
“Raden Sutawijaya juga tidak membunuh lawan-lawannya yang sudah menyerah. Apalagi yang sudah tidak berdaya.”
“Tiga. Tiga dengan Raden Sutawijaya.”
“Sudah tentu Raden Sutawijaya tidak berbuat demikian tanpa tuntunan.”
“Ki Gede Pemanahan. Bukankah kau akan mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti berbuat demikian. Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu? Apakah kau masih akan menambah lagi.”
“Ya.”
“Siapa?”
“Swandaru Geni. Bukankah begitu?”
“Macam kau,” desis Swandaru, namun kemudian ia menjawab, “Ya, Swandaru memang seorang pengampun.”
Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum.
“Baiklah. Marilah kita berbuat sesuatu. Lawan-lawan kita sudah tidak berdaya. Yang lain melarikan diri.”
“Apakah kau yakin bahwa mereka memang melarikan diri?”
“Aku yakin.”
Swandaru mengangguk-angguk, lalu katanya, “Biarlah mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat medan di depan barak. Apakah mereka masih memerlukan tenaga?”
Agung Sedayu merenung sejenak. Pertempuran di belakang barak itu sudah dapat dikatakan selesai. Tidak ada lagi perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi mereka tidak dapat lagi menghindar karena luka-luka mereka.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata kepada seorang pengawal, “Terserah kepada Ki Sanak. Biarlah yang luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan pergi ke medan di depan barak.”
“Baiklah. Aku akan menyelenggarakan penyelesaian sebaik-baiknya,” jawab pengawal itu.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian pergi kebagian depan barak yang masih dihangatkan oleh perkelahian yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak memberi banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mereka memerlukan obor-obor itu,” bisik Swandaru.
“Kiai Damar yakin akan memenangkan perkelahian ini, sehingga untuk mempercepat penyelesaian, mereka perlu dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan yang mana lawan-lawan yang harus dihancurkannya.”
“Tetapi agaknya mereka tidak akan segera berhasil.”
Agung Sedayu tidak menyahut. Dengan hati-hati mereka mendekati medan. Namun dengan demikian segera dapat mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Pertempuran yang sengit itu hampir dapat dikatakan seimbang. Namun Sutawijaya yang menjelajahi medan memang membuat lawan mereka menjadi bingung. Tombaknya yang berputar-putar bagaikan baling-baling membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak berloncatan menjauh, semen-tara di beberapa tempat pengawal-pengawal Sutawijaya dapat mem-pergunakan setiap kesempatan itu sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang yang tinggal di barak itu, yang semula mulai menjadi kecut, perlahan-lahan telah tergugah lagi keberanian mereka. Meskipun mereka tidak setangkas lawan, tetapi petunjuk-petunjuk yang mereka dapat untuk bertempur berpasangan, ternyata sangat berguna bagi mereka, meskipun petunjuk-petunjuk itu terlampau singkat.
“Apakah kita akan ikut?” bertanya Swandaru.
“Kita belum melihat, di mana Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” sahut Agung Sedayu.
“Itu urusan guru dan Ki Sumangkar.”
“Ya. Tetapi kita harus yakin, bahwa keduanya sudah menemukan lawan masing-masing.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat sengitnya pertempuran.
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mereka melihat, Bagaimana Kiai Damar berjuang mati-matian untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya bagaikan angin taufan.
“Dukun sakti yang bergelimang racun itu tidak akan dapat bertahan terlampau lama,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Ki Sumangkar akan segera menyelesaikan.”
“Sekarang Kita lihat, guru pasti sedang bertempur melawan Kiai Telapak Jalak.”
Dan keduanya pun bergeser selangkah demi selangkah. Akhirnya mereka pun menemukan arena perkelahian yang dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Kiai Gringsing berhasil mendesaknya, namun belum merupakan suatu keyakinan bahwa ia akan berhasil mengalahkan lawannya.
“Kita tidak akan dapat mencampurinya,” desis Agung Sedayu.
“Lalu?” bertanya Swandaru.
“Kita terjun ke medan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang yang melintas di medan dengan tombak yang berputar-putar.
“Itulah Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu.
“Kita mengikutinya.”
“Tidak perlu. Kita membuat arena sendiri.”
Swandaru menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian mendekati medan yang masih riuh.
“Kami akan ikut serta di medan ini,” berkata Agung Sedayu kepada Raden Sutawijaya.
Sutawijaya mundur selangkah. Jawabnya, “Apakah tugasmu sudah selesai?”
“Ya. Kami sudah selesai.”
“Baiklah. Kita tidak boleh gagal kali ini. Kita harus menyelesaikannya dengan tuntas. Kesempatan seperti kali ini belum tentu akan terulang kembali.”
“Kami akan berbuat sebaik-baiknya.”
“Kita membagi medan. Kalian di sini. Aku di ujung yang lain.
“Ya. Kami akan bertempur di sini.”
Sutawijaya pun kemudian meloncat kembali menerjunkan diri ke medan. Tombaknya berputar semakin cepat. Perlahan ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung Sedayu dan Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di medan yang riuh itu.
Sejenak keduanya saling berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru berdesis, “Kita akan mulai?”
“Ya. Marilah.”
Swandaru mengangguk-angguk. Dan mereka berdua pun kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk mereka.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Swandaru pun telah berada di tengah-tengah dentang senjata. Sejenak mereka mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang pertama-tama meledakkan cambuknya memekakkan telinga.
Suara cambuk itu ternyata telah mendebarkan setiap jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari Kiai Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini di bagian lain dari medan itu telah digetarkan oleh suara cambuk yang lain pula.
Kehadiran Swandaru dan Agung Sedayu ternyata benar-benar telah merubah keseimbangan medan. Meskipun tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang ramai, namun yang dua orang itu mempunyai arti yang luas. Agung Sedayu dan Swandaru yang telah melakukan latihan-latihan khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh yang besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak sekedar mengikat dua orang lawan, tetapi masing-masing telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Seperti Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun tidak begitu luas di sepanjang separo lingkaran medan. Sedang Sutawijaya bergerak di bagian yang lain.
Demikianlah, maka satu demi satu lawan-lawan kedua anak-anak muda itu dilumpuhkan. Ujung cambuk mereka yang meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan goresan-goresan yang merah biru di tubuh lawan.
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi Kiai Telapak Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu melakukan tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang ada di dalam barak itu bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang disangkanya.
Kini ia harus mengalami sendiri, betapa beratnya bertempur melawan mereka. Selain orang-orang yang aneh, yang tidak sewajarnya berada di antara orang-orang yang sedang membuka hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan gemerincingnya kaki-kaki kuda semberani, dengan tengkorak yang bercahaya karena dilekati kunang-kunang setelah dioles dengan getah yang lekat.
Orang-orang yang tinggal di barak itu ternyata justru telah berani mengangkat senjata untuk melawan mereka di medan pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya tidak begitu banyak.
“Kalau saja keadaan di barak ini wajar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “mereka pasti sudah hancur. Mereka pasti sudah binasa sampai keakar-akarnya. Perempuan dan anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan binasa pula di sini.”
Tetapi kenyataan yang dihadapi benar-benar di luar perhitungan mereka. Dua orang di antara mereka berhasil menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja menahan keduanya, tetapi bahkan mendesaknya.
Demikianlah maka lambat laun akhir dari pertempuran itu menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara mereka, namun mereka tidak berhasil mendesak lawannya.
Mereka tidak lagi dapat menakut-nakuti lawannya. Karena dengan cara itu justru telah membuat Swandaru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada seorang yang menyerangnya sambil berteriak, maka dengan tangkasnya Swandaru bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk membuat lawannya itu terdiam. Bahkan menitikkan darah.
Kiai Damar pun semakin lama menjadi semakin parah. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengalahkan Sumangkar yang selalu mendesaknya.
Yang paling menyakitkan hati Kiai Damar ialah usaha Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya memeras tenaga sehingga ia akan menjadi lelah dan tidak mampu melawan lagi. Meskipun kadang-kadang Sumangkar mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan membinasakannya, namun Sumangkar agaknya masih juga merasa segan.
Sebenarnyalah Sumangkar mengetahui kepentingan Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah seorang dari pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka Sutawijaya akan mendapat kesempatan untuk menyadap keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar adalah salah seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan Sumangkar, lebih mudah menangkap Kiai Damar dari pada Kiai Telapak Jalak, karena menurut penilaian Sumangkar, Kiai Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih besar dari Kiai Damar.
Demikianlah, Sumangkar berusaha untuk membuat Kiai Damar tidak berdaya dan kehilangan kemampuan perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar terus-menurus, tanpa memberinya kesempatan bernafas, Sumangkar mengharap orang itu kehabisan tenaga.
Tetapi agaknya Kiai Damar menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan dirinya. Ia tidak bernafsu lagi membunuh lawannya dengan senjata-senjata beracun, karena ia yakin bahwa di antara orang-orang aneh yang tinggal di barak itu pasti ada yang memiliki kemampuan yang besar untuk melawan racun, sehingga racun tidak akan lagi mempunyai banyak arti. Sebagai seorang yang mengerti tentang racun, Kiai Damar pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya dengan obat-obat untuk menawarkan diri, setidak-tidaknya untuk mengurangi kekuatan racun yang menyerang urat darahnya.
Dalam menghadapi Sumangkar, Kiai Damar ingin mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering dipergunakan, maka ia tidak segan mengorbankan anak buahnya untuk kepentingannya.
Ketika ia mengalami kesulitan yang memuncak, maka terdengarlah suara isyarat dari mulutnya. Mula-mula Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia segera menyadari, bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk merubah keseimbangan perkelahian itu.
Ternyata setelah isyarat itu bergema di medan pertempuran yang bergeser semakin jauh dari barak itu, empat orang pengawal pilihan Kiai Damar telah berloncatan mendekatinya. Seperti yang dipesankan oleh Kiai Damar, apabila diperlukan, mereka harus datang dan membantunya menghadapi musuh-musuhnya.
Meskipun dengan demikian, orang-orangnya yang lain mengalami banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar selalu memberikan alasan yang tampaknya masuk akal.
Dalam keadaan yang demikian, maka alasan yang paling baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar adalah, bahwa lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan. Dengan demikian maka ia akan segera dapat membantu kesulitan-kesulitan yang lain di dalam pasukannya.
Demikianlah maka sesaat kemudian Sumangkar harus menghadapi lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat orang kepercayaannya.
Meskipun Ki Sumangkar mempunyai kelebihan dari Kiai Damar, tetapi untuk melawan lima orang sekaligus, terasa juga betapa beratnya.
Kiai Damar yang merupakan pusat dari perlawanan, menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang yang lain menyerangnya dari segenap arah.
Dengan memeras kemampuannya, Sumangkar masih tetap dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya serangan-serangan lawannya, namun Sumangkar masih selalu mendapat kesempatan untuk menghindar. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu menyerang.
Namun lambat laun, karena Sumangkar telah mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi semakin susut.
Dengan demikian, Sumangkar terpaksa menempuh usaha yang lain. Ia tidak dapat memaksa dirinya untuk berkelahi tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya terbunuh juga, maka itu di luar kemampuannya, meskipun ia masih tetap berusaha menangkapnya hidup-hidup. Tetapi sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak ingin dirinya sendirilah yang justru menjadi korban.
Karena itu, kemudian Sumangkar bukan saja memeras segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi sangat berhati-hati agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya, terutama Kiai Damar.
“Kalau aku masih tetap bertempur dengan cara ini, maka pada akhirnya, akulah yang akan menjadi mayat di medan ini,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian, maka tandang Sumangkar pun segera berubah. Senjatanya semakin cepat berputar. Kini pengerahan tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan Kiai Damar, dan sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya, namun kini justru ia memusatkan serangannya kepada Kiai Damar.
Kiai Damar dan kawan-kawannya pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Kalau mereka segera berhasil membinasakan Sumangkar, maka mereka akan segera dapat membantu kawan-kawannya di dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Karena itulah maka pertempuran itu menjadi semakin ribut dan sengit. Senjata masing-masing berputaran dan menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin dalam terbenam dalam perkelahian yang seru.
Betapa pun juga Kiai Damar berusaha, tetapi bersama kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang diri, sehingga justru senjatanyalah yang telah menguasai arena perkelahian itu.
Namun Sumangkar terlonjak dan terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung senjata telah menyengat lengannya. Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan terasa titik darah yang hangat memerah di telapak tangannya itu.
Dengan geramnya Sumangkar menggeretakkan giginya Ternyata ialah yang telah terluka lebih dahulu. Ujung tombak salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan melukainya.
“Persetan,” ia pun kemudian menggeram.
Luka itulah yang telah membakar jantungnya. Ditatapnya lawannya berganti-ganti. Sorot matanya yang memancarkan kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang bergetar ditiup angin malam.
“Aku akan membunuh kalian,” desisnya.
Lawan-lawannya bergetar mendengar suara Sumangkar yang berat itu. Namun darah yang menitik dan luka Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati. Ternyata Sumangkar dapat juga dilukai dan menitikkan darah. Dengan demikian, maka mereka harus berusaha terus-menerus untuk menambah luka di tubuh orang itu.
Tetapi Sumangkar menyadari keadaannya. Karena itu, ia pun kemudian bertempur seperti angin pusaran. Berputaran menggulung lawannya dalam suatu putaran yang membingungkan. Senjatanya terjulur semakin dalam dan berputar di atas kepalanya. Tetapi ujung-ujung trisulanya menyambar menebarkan udara maut.
Sejenak kemudian di dalam lingkaran perkelahian itu terdengar keluhan tertahan. Ternyata bahwa ujung senjata Sumangkar telah berhasil menyambar punggung seorang lawannya yang sedang berusaha menjauhinya. Tetapi terlambat. Punggung itu bagaikan sobek melintang, mengucurkan darah.
Namun bersamaan dengan itu, lawannya yang lain telah berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini mengenai pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores kecil.
Kemarahan Sumangkar pun menjadi semakin memuncak. Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin cepat seperti badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri, karena orang itulah orang yang paling kuat dan paling banyak menghisap tenaganya namun memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melukainya sedikit demi sedikit.
“Persetan,” Sumangkar menggeram, “aku akan membunuhmu. Bukan salahku.”
Dan tekanan yang dahsyat pun kemudian melanda Kiai Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan tenaganya untuk menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda dirinya. Bahkan kawan-kawannya pun telah membantunya melawan amukan Sumangkar. Namun usaha mereka itu rasa-rasanya sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu pun sudah menjadi semakin jelas membayang. Seolah-olah setiap orang sudah dapat meramalkannya, apa yang akan terjadi.
Agaknya luka-luka di tubuh Sumangkar telah membuatnya marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia sudah kehilangan segala macam pertimbangan untuk menangkap lawannya hidup-hidup.
Ketika perasaan yang pedih menyengat tubuhnya karena luka-lukanya, maka dengan segenap kemampuan yang ada ia menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia merubah arah putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata yang berantai itu mematuk ke dada Kiai Damar.
Serangan itu benar-benar mengejutkan. Tetapi Kiai Damar masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan sigapnya ia meloncat surut. Sambil berputar kiai Damar memiringkan tubuhnya, sehingga senjata lawan itu lewat di sisi tubuhnya.
Tetapi Sumangkar tidak melepaskannya. Sekali diputarnya senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah serangan-serangan yang datang dari kawan-kawan Kiai Damar, kemudian sebuah serangan sendal pancing sekali lagi mengejar Kiai Damar.
Kiai Damar yang sedang mencoba memperbaiki keadaannya sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut. Namun kali ini Sumangkar tidak mau melepaskannya lagi. Titik darah dari luka di tubuhnya telah membuatnya sampai ke puncak kemarahan.
Tiba-tiba saja Sumangkar itu merendah pada lututnya sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya rendah setinggi lambung.
Kali ini Kiai Damar tidak sempat mengelak lagi. Dengan segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata Sumangkar itu dengan senjatanya. Namun Sumangkar benar-benar menguasai jenis senjatanya yang baru itu, sehingga dengan menghentakkan rantai ditangannya, Kiai Damar tidak berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu senjatanya terayun, ujung senjata Sumangkar mematuk dengan cepatnya.
Tidak ada kesempatan buat menghindar dan menangkis. Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di langit. Begitu cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih mencoba memiringkan tubuhnya, namun senjata itu berhasil mengenai dadanya.
Terdengar, pekik yang terputus. Kiai Damar terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar menarik senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian jatuh tertelungkup.
Kiai Damar tidak sempat bangkit kembali. Ia hanya dapat bergerak setapak maju dan memutar tubuhnya menelentang. Namun kemudian tangannya terkulai di sisi tubuhnya.
Orang yang selama ini membuat seisi barak itu ketakutan, dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh rahasia dan teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan Sumangkar yang terluka dan menghadapi beberapa orang lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya dengan luka yang menganga di dadanya.
Kematian Kiai Damar telah menggemparkan anak buahnya. Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan Sumangkar tiba-tiba berloncatan menjauh. Bagi mereka, Kiai Damar adalah seorang yang pilih tanding. Namun orang itu kini tergolek tidak bernyawa.
Sejenak Sumangkar berdiri mematung memandangi mayat Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali tentang pentingnya orang yang bernama Kiai Damar itu apabila ia dapat menangkapnya hidup-hidup. Tetapi kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai Damar telah terbunuh oleh kemarahannya.
“Seandainya orang itu masih hidup,” desis Sumangkar di dalam hatinya. Kini seolah-olah ia melihat di dalam dada Kiai Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam keterangan tentang rahasia yang selama ini menyelubungi Alas Mentaok. Namun bersama dengan kematiannya, maka rahasia itu masih belum dapat terungkap seluruhnya.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing mampu menahan perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh kemarahan, sehingga ia berhasil menangkap lawannya hidup-hidup,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba terbersit suatu ingatan, seandainya Kiai Telapak Jalak masih bertempur melawan Kiai Gringsing, maka ia akan dapat membantunya, menangkap orang itu hidup-hidup.
Oleh pikiran itu, Ki Sumangkar pun segera meninggalkan tempatnya. Ternyata lawan-lawannya tidak seorang pun yang berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke mana pun yang dikehendaki.
Sambil berjalan Sumangkar menilai luka-luka di tubuhnya. Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya. Namun demikian, ia pun terpaksa berhenti sejenak, menaburkan serbuk obat yang dapat memampatkan darah.
Ketika baru saja ia melangkah, maka ia pun tertegun pula. Dilihatnya seseorang bertempur dengan dahsyatnya. Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.
“Hem,” Sumangkar menarik nafas, “Raden Sutawijaya.”
Maka ditinggalkannya Sutawijaya yang sedang bertempur itu. Ia bergeser semakin jauh mencari Kiai Telapak Jalak yang pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing.
Namun sekali lagi ia tertegun. Suara cambuk meledak-ledak memekakkan telinga. Sekilas Sumangkar melihat Agung Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa tertahankan lagi.
“Sebenarnya pertempuran ini sudah akan berakhir,” gumamnya. “Di semua bagian dari medan, mereka terdesak terus. Kunci dari persoalan ini terletak pada Kiai Telapak Jalak. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Sumangkar pun kemudian mempercepat langkahnya. Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus tertangkap hidup-hidup untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang perbuatan mereka selama ini. Untuk mendapatkan keterangan siapakah yang ada di antara mereka dan yang penting, siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak sendiri atau masih ada orang lain lagi di sampingnya.
Sejenak kemudian Ki Sumangkar itu pun telah menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian antara Kiai Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar lecutan cambuk yang meledak-ledak, melampaui getar ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
“Agaknya perkelahian itu sangat sengit,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata seperti yang diduganya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka dilihatnya perkelahian yang semakin dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, mau pun Kiai Gringsing telah berada di dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai Telapak Jalak pun termasuk seorang yang pilih tanding.
Meskipun dengan pasti Kiai Gringsing dapat mendesak lawannya, namun masih diperlukan waktu yang lama untuk dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi Sumangkar pun melihat, bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak tergenggam senjata yang beracun, sedang di tangan yang lain seutas rantai yang diputarnya seperti baling-baling.
“Hem,” desis Sumangkar, “racun itu memang berbahaya.”
Karena itu maka Sumangkar pun menjadi berhati-hati. Ia sadar, bahwa racun itu dapat mengantar seseorang ke lubang kubur.
Tetapi ia pernah mendapat sejenis obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing untuk mengurangi ketajaman racun yang mengenainya.
Untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, maka Sumangkar pun kemudian mengambil obat itu dan ditelannya pula. Dengan demikian, maka kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat dikurangi sekecil-kecilnya.
Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun terasa menjadi panas. Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian untuk beberapa saat, ia akan menjadi orang yang agak kebal terhadap racun, selama daya kekuatan obat itu masih bekerja di tubuhnya.
Setelah tubuhnya tidak lagi merasa gemetar, maka Ki Sumangkar pun melangkah semakin cepat dari arena perkelahian yang sangat dahsyat itu.
Kehadirannya telah mengejutkan Kiai Telapak Jalak. Ia masih belum mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan tatapan matanya, orang ini pasti bukan penghuni kebanyakan dari barak itu. Orang ini pasti salah seorang dari penghuni-penghuni aneh dari barak yang akan dihancurkannya.
“Betapa tangkasnya orang yang agaknya bernama Kiai Telapak Jalak,” terdengar suara Sumangkar.
“Ya. Seorang yang pilih tanding,” sahut Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat karena keduanya benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuan mereka.
“Bagaimana dengan kau?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku sudah selesai. Tetapi sayang sekali, aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup.”
“Jadi?”
Sumangkar tidak segera menjawab. Ia melihat serangan Telapak Jalak yang tiba-tiba saja hampir mengenai tangan Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada waktunya menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak Jalak tidak menyentuhnya sama sekali.
“Aku terpaksa membunuhnya. Kiai Damar bertempur bersama-sama dengan empat orang pengawalnya, sehingga aku terluka,” berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian itu. “Luka itulah yang membuat aku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi di antara lima orang lawan.”
“Jadi Kiai Damar terbunuh?” Kiai Gringsing menegaskan.
“Ya.”
“Bohong!” tiba-tiba Kiai Telapak Jalak memotong. “Kalian berbohong. Kalian sengaja membuat ceritera itu untuk mempengaruhi gairah perlawananku. Kalian telah mempergunakan cara yang paling licik di dalam pertempuran ini.”
“Apakah gunanya aku berbohong,” desis Sumangkar, “bukan saja Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang lain pun telah menjadi pecah berserakan. Mereka tidak akan mampu melawan Raden Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang bersenjata cambuk itu pula. Apalagi sepeninggal Kiai Damar.”
“Bohong, aku tidak percaya.”
“Baiklah. Terserah kepadamu, apakah kau akan mempercayainya atau tidak. Tetapi kedatanganku kemari adalah karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung lain dari pertempuran ini. Aku mengharap bahwa di sini aku akan dapat bekerja bersama lawanmu itu untuk menangkapmu hidup-hidup.”
“Gila. Kau menghina aku.”
“Aku berniat demikian. Terserah, apakah Ki Truna Podang setuju.”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Damar memang sudah terbunuh. Karena itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk menangkap Kiai Telapak Jalak hidup-hidup.
Sejenak Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi serangan Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat. Seakan-akan Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan dapat dengan mudah dikalahkan.
Namun kehadiran Sumangkar itu benar-benar telah merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu berusaha bersama Truna Podang untuk menangkapnya hidup-hidup, apakah ia akan dapat melepaskan diri, apalagi mengalahkan keduanya?
Kiai Telapak Jalak tidak dapat mengingkari, bahwa untuk melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami kesulitan, apalagi melawan dua orang yang agaknya mempunyai ilmu yang setingkat, atau setidak-tidaknya tidak banyak berselisih.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak segera silau terhadap angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan, apakah benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau melepaskan diri dari keduanya.
Demikianlah maka Kiai Telapak Jalak masih juga bertempur. Tetapi ketika Sumangkar benar-benar telah mulai, meskipun baru beberapa saat, telah terasa padanya, bahwa kekuatan kedua orang itu merupakan kekuatan yang tidak akan dapat terlawan.
Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “O, inikah cara kalian bertempur? Kalau kalian tidak mampu bertempur sendiri, maka kalian mulai bertempur berpasangan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab, “Agaknya memang demikian cara kita bertempur di peperangan. Memang agak lain dengan apabila kita sudah berjanji untuk melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak menghiraukan berapa orang yang bertempur dalam perang brubuh itu. Mungkin berpasangan, mungkin justru sekelompok lawan sekelompok yang jumlahnya tidak perlu diatur sama.”
“Tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak berarti. Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi senapati.”
“Tidak ada bedanya di peperangan. Aku juga bukan pemimpin pasukan, dan juga bukan senapati.”
“Pengecut. Tetapi kau pasti orang penting di sini.”
“Kiai Damar berkelahi bersama empat orang kawannya,” sahut Sumangkar, “sehingga aku harus bertempur melawan lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar.”
“Omong kosong!”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku tidak melihat keberatan apa pun untuk berperang dalam pasangan,” berkata Sumangkar pula.
“Tetapi aku dapat menantang kalian untuk berperang tanding seorang lawan seorang.”
“Terlambat. Kalau kau ajukan tantangan itu sejak kau datang, maka salah seorang dari kami pasti akan melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur berpasangan. Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat menyelesaikan pertempuran ini kalau aku hanya sekedar ingin membunuhmu. Tetapi sekarang aku ingin menangkapmu. Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan jauh lebih sukar.”
“Persetan!” Kiai Telapak Jalak menggeram. Ia merasa benar-benar terhina. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang harimau lapar bersama Kiai Damar. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam barak ini ada orang-orang yang memiliki kemampuan begitu tinggi.
“Aku terlampau meremehkan laporan Kiai Damar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Aku sangka Kiai Damar sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku benar-benar terperangkap.”
Meskipun demikian, Kiai Telapak Jalak masih berusaha terus. Ia kini tidak lagi berjuang untuk mengalahkan lawannya, tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai Damar. Ia harus mempertanggung jawabkannya dan menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan itu.
“Tidak, itu tidak mungkin,” berkata Kiai Telapak Jalak, “salah seorang dari kami harus tetap hidup. Kalau aku mati biarlah aku mati, tetapi adikku itu harus tetap hidup untuk menyambung nama keluarga kami. Sokurlah bahwa pada suatu saat ia berhasil dengan usahanya, dan membalaskan dendam sakit hatiku. Tetapi mulutku tidak boleh menyebut namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia harus tetap berada di istana Pajang dan berbuat sesuai dengan keadaan yang akan berkembang kemudian.”
Karena itulah maka tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah. Bagaimana pun juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan orang itu sama sekali sudah tidak mengenal takut lagi.
Memang tidak mudah menangkap orang seperti Kiai Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas dasar suatu keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak Jalak sangat sulit untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya dapat dihancurkan, tetapi ia pasti akan mati bersama keyakinannya.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “aku terpaksa melukainya. Mungkin membuatnya pingsan. Kalau tidak, mustahil aku berhasil menangkapnya. Apalagi keris beracun itu masih tetap di tangannya meskipun sudah menelan penawarnya.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun mempertajam serangannya. Ia tidak menghindarkan kemungkinan melukai lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan cambuknya menjadi kian dahsyat pula.
Sumangkar agaknya mengerti pula keputusan sikap yang diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu mengimbanginya. Trisula keduanya pun berputaran semakin cepat menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan dahsyatnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat. Serangan-serangan itu benar-benar telah membingungkannya. Ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang datangnya seperti banjir yang melandanya dari segenap arah, meskipun ia sudah berloncatan bagaikan berdiri di atas seonggok bara.
Maka, ketika serangan kedua orang-orang tua yang memiliki ilmu yang melampaui manusia kebanyakan itu datang semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak tidak dapat meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan manusia yang terbatas pula. Ternyata bahwa batas itu pada suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya betapa pun ia berusaha.
Demikianlah, maka ketika Kiai Telapak Jalak menghindari patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu lagi berbuat apa pun juga ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenainya.
Yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah desis yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak Jalak mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun, demikian ia menjejakkan kakinya di atas tanah, serangan Sumangkar telah mengejarnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak Jalak mengumpat-umpat. Sebuah goresan yang merah biru telah melingkar di lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.
“Menyerahlah, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada jalan lagi bagimu untuk meninggalkan arena ini.”
Kiai Telapak Jalak tidak menyahut. Tetapi ia justru menjadi semakin garang. Sekali-sekali ia masih mencoba menyerang juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak tidak berhasil. Kedua lawannya mempergunakan pula senjata sejenis dengan senjatanya sendiri. Senjata lentur.
“Menyerahlah,” sekali lagi terdengar suara Kiai Gringsing.
“Persetan!” geram Kiai Telapak Jalak.
“Jadi kau benar-benar tidak mau menyerah?”
“Aku menyerah setelah, aku terbujur menjadi mayat.”
“Kau memang jantan, Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku akan berusaha agar tidak terjadi demikian.”
Wajah Kiai Telapak Jalak menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang sudah mulai redup.
“Lihat, pasukanmu telah jauh didorong oleh para pengawal, orang-orang dari barak ini yang selama beberapa waktu menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang Kiai Damar. Mereka hidup dalam ketakutan dan himpitan perasaan. Tetapi sekarang perasaan yang tidak tertahankan lagi itu telah meledak. Apalagi di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang bersenjata cambuk.”
“Persetan, persetan! Aku bukan tikus yang takut melihat kucing. Batas ketakutan adalah mati. Dan aku tidak takut mati.”
“Tidak,” sahut Kiai Gringsing, “masih ada yang lebih kau takuti daripada mati.”
“Tidak ada.”
“Ada. Kau tidak berani menyerah.”
“Gila. Aku belum gila seperti yang kau sangka. Aku masih tetap menyadari keadaanku. Dan aku akan memilih mati sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada kalian berdua.”
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Memang tidak ada harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak menyerah. Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah sebelum ia menjadi mayat. Satu-satunya jalan adalah membuatnya pingsan. Sudah tentu terpaksa sekali melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat mengobatinya apabila luka itu tidak terlampau parah.
Dengan demikian, maka tidak ada gunanya lagi menakut-nakuti, mengancam dan membujuknya. Yang dilakukan kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap Kiai Telapak Jalak. Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya sikap Kiai Gringsing itu, sehingga ia pun menyerangnya semakin dahsyat pula.
Kiai Telapak Jalak pun menjadi semakin bingung. Seakan-akan sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak. Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu selalu mengejarnya.
Tetapi ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik dadanya pecah karena senjata daripada ia harus menyerah kepada kedua lawannya itu. Karena itulah maka ia masih tetap bertempur dengan gigihnya.
Tetapi tenaganya yang semakin surut itu membuat geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing dan Sumangkar justru menjadi semakin cepat.
Sebuah ledakan cambuk Kiai Gringsing telah mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung trisula yang tajam telah menusuk pundaknya.
(bersambung ke Episode 061)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar