SESEORANG bergumam di dalam hatinya “Setan” ternyata anak Pemanahan itu lebih biadab dari orang-orang Kiai Damar. Mereka lebih kejam dari Kiai Damar sendiri.
Terasa seakan-akan detak jantung di dalam dada mereka menjadi semakin keras, seperti bunyi bedug yang dipukul sekuat tenaga.
Dalam pada itu, Sutawijaya yang duduk di belakang serambi masih saja berdiam diri. Namun kemudian ia pun berkata kepada seorang pengawalnya, “Bawa orang ini menyingkir. Jangan kau kembalikan kepada kawannya.”
“Jadi, ke mana orang ini kami bawa?” bertanya pengawalnya.
Sutawijaya merenung sejenak. Lalu “Bungkus orang itu dengan kainnya, dan angkatlah ke dalam barak. Baringkan ia di sudut yang agak terpisah.”
“Aku dapat berjalan sendiri tuan,” berkata orang berdahi lebar itu.
“Tentu. Kau tentu dapat berjalan sendiri. Tetapi aku menghendaki, kau diangkat di atas pundak salah seorang pengawalku.”
Sura Mudal itu tidak dapat membantah lagi. Ia kini tahu juga maksud Raden Sutawijaya, yang ingin menakut-nakuti kawannya agar mereka menyangka, bahwa ia sendiri sudah tidak berdaya, atau bahkan sudah mati.
Sura Mudal yang masih cukup kuat itu pun kemudian dibungkus dengan kain panjangnya. Meskipun cukup berat, namun ia pun kemudian diangkat di atas pundak salah seorang pengawal Sutawijaya.
“Kakekku tidak pernah mendukungku begini,” desis pengawal yang membawanya.
Sura Mudal sendiri hampir saja tersenyum. Tetapi kemudian ia menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit tersentuh tangan pengawal yang mengangkatnya itu. Apalagi ia menjadi terlampau sesak untuk bernafas karena kain panjangnya menutup seluruh tubuh dan kepalanya.
Ternyata Sura Mudal yang dibungkus dengan kain panjangnya sendiri itu membuat kawannya hampir pingsan karenanya. Mereka melihat orang berdahi lebar itu dengan lemahnya tersangkut di pundak seorang pengawal yang membawanya langsung masuk ke dalam barak. Di bawah tangga pengawal itu berdesis kepada kawannya yang menjaga tawanan yang lain, “Jangan ada yang dapat melihat orang ini.”
Kawannya menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Beberapa orang dari orang-orang yang terluka itu seolah-olah merasa tubuhnya menjadi semakin sakit dan pedih karena luka-lukanya. Mereka merasa bahwa nasib mereka menjadi terlampau buruk. Mereka ternyata jatuh di tangan orang yang paling kejam yang pernah mereka temui, meski pun selama ini mereka hidup di dalam lingkungan yang seakan-akan liar.
“Orang-orang yang merasa dirinya beradab itu pun mampu melakukan kebuasan yang paling liar,” desis mereka.
Dalam pada itu, Sutawijaya masih duduk di belakang gardu. Beberapa saat ia merenung pula. Namun kemudian ia berkata, “Di daerah Selatan perlu juga untuk mendapat perlindungan. Tetapi kita tidak mendapat kesempatan untuk pergi saat ini. Daerah ini perlu mendapat perlindungan khusus untuk sementara.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sutawijaya berkata selanjutnya, “Kalau di daerah ini ada Kiai Damar, di daerah Selatan ada seorang dukun yang bernama Kiai Tapak Jalak.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ia sudah pernah mendengar nama Kiai Telapak Jalak. Ia pernah mendengar beberapa orang peronda yang datang ke rumah Kiai Damar menyebut nama itu Kiai Telapak Jalak, seorang dukun pula seperti Kiai Damar di daerah Selatan. Namun dengan demikian Kiai Gringsing pun dapat menduga bahwa tugas Kiai Telapak Jalak, tidak lebih dan tidak kurang adalah sama dengan tugas Kiai Damar di daerah ini. Dengan demikian, maka pasti ada orang yang lebih tinggi lagi dari keduanya. Mungkin orang yang berjambang lebat seperti dikatakan oleh orang berdahi lebar yang bernama Sura Mudal itu.
Karena Kiai Gringsing tidak menyahut, maka Sutawijaya pun berkata pula, “Agaknya baik Kiai Damar maupun Kiai Telapak Jalak telah berusaha untuk membuat dirinya disaput oleh rahasia. Kelebihan-kelebihan yang tidak masuk akal. Dengan demikian ia akan dapat mempengaruhi sikap bawahannya terhadapnya. Ternyata bukan orang-orang di dalam barak ini sajalah yang telah ditakut-takutinya. Tetapi orang-orangnya sendiri pun telah dikelabuinya. Bagaimana mungkin Sura Mudal berpendapat dan mempercayainya bahwa Kiai Damar pernah berganti. Entah secara wadag entah secara halus. Kalau Sura Mudal mengatakan bahwa Kiai Damar pernah mati dan hidup lagi, maka sudah pasti hal itu di maksudkan untuk memperkuat anggapan anak buahnya, bahwa Kiai Damar benar-benar seorang yang luar biasa. Yang mengerti apa yang tidak dimengerti oleh orang lain, yang mengenal apa yang tidak dikenal oleh orang lain.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ternyata usahanya itu sedikit banyak dapat berhasil. Ia berhasil menguasai orang-orangnya dan menggerakkannya di daerah hutan yang sedang dibuka ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling, memandang wajah Ki Sumangkar, dilihatnya kerut-merut yang dalam tergores di keningnya. Tetapi Sutawijaya tidak menegurnya. Ia mengerti, apa yang dipikirkan oleh orang tua itu. Orang tua itu adalah seorang penghuni Kepatihan Jipang. Bahkan seorang saudara seperguruan dengan Patih Mantahun, Patih yang sangat taat dan setia kepada Adipati Jipang, Arya Penangsang. Arya Penangsang yang telah dibunuhnya, dibunuh oleh Sutawijaya dengan ujung tombak. Karena pembunuhan itulah maka Pemanahan mendapat Tanah Matatam. Tanah yang kini sedang dibuka.
Tetapi Sutawijaya percaya, bagaimana pun juga perasaan pedih dan sakit tersangkut di hati orang tua itu, namun kini Sumangkar bukan orang yang berdiri berseberangan dengan usahanya membuka tanah ini, sebagai hadiah karena kematian Arya Penangsang.
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang tersimpan di dalam setiap dada, namun ia percaya, bahwa tanggapannya itu tidak begitu jauh dari kebenaran.
Untuk sejenak, kembali mereka terlempar dalam kebekuan. Masing-masing menerawangi angan-angan sendiri dalam warna yang berbeda-beda.
Sutawijaya pulalah yang pertama-tama berbicara di antara mereka. “Baiklah. Untuk selanjutnya kita tidak dapat duduk berdiam diri saja. Kita harus bersiap menghadapi kemungkinan lain yang dapat terjadi.”
Seperti orang-orang yang terbangun dari tidurnya, maka yang lain pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ketika Sutawijaya berdiri, maka Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Sumangkar pun berdiri pula.
“Bagaimana dengan orang-orang di barak ini?” bertanya Sutawijaya kemudian kepada pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Apa maksud Tuan?”
“Setelah mereka menyadari, bahwa selama ini mereka telah diperdayakan oleh hantu-hantuan itu?”
“Mereka marah, Tuan. Hampir saja orang-orang yang terluka itu mereka cincang.”
“Bagus,” desis Sutawijaya. Dan pemimpin pengawas itu menjadi heran karenanya. Namun Sutawijaya segera melanjutkannya, “Kita harus memanfaatkan mereka. Aku tidak yakin bahwa sebenarnya mereka penakut. Mungkin mereka merasa tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap hantu-hantu. Tetapi terhadap orang-orang yang menjadikan dirinya hantu, mereka tidak akan takut.”
“Ya, Tuan,” pemimpin pengawas itu menganggu-anggukkan kepalanya, “aku kira begitu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Truna Podang ia berkata, “Marilah, kita mencoba menjajagi perasaan mereka. Bagaimana pendapatmu kalau kita membuat sepasukan prajurit yang dapat mengawal diri mereka sendiri. Maksudku, kita jadikan setiap orang di sini prajurit yang akan menjaga barak ini seisinya.”
“Bagus, Tuan. Aku akan membantu.”
“Yang penting, mereka harus bangun. Mereka harus sadar, bahwa selama ini mereka telah terbius oleh mimpi buruk yang memalukan,” berkata Sutawijaya kemudian. “Kita harus berterus terang bahwa menurut perhitungan kita, barak ini akan dilanda oleh arus kemarahan Kiai Damar yang pasti akan membawa kawannya yang lain. Mungkin Kiai Telapak Jalak, bahkan mungkin orang yang setingkat lebih tinggi daripadanya. Bukan sekedar lebih tinggi kedudukan di dalam tata urutan mereka, tetapi juga lebih tinggi ilmunya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kau sependapat?”
“Tentu,” jawab Truna Podang, “aku kira tidak ada jalan yang lebih baik.”
“Marilah,” ajak Sutawijaya, “kita harus segera mulai. Siapa tahu, mereka akan datang hari ini, siang atau malam.”
Mereka pun kemudian bergerak dan berjalan ke serambi depan barak itu. Ketika orang-orang yang terluka melihat Sutawijaya, maka rasa-rasanya darah mereka sudah membeku. Apalagi ketika Sutawijaya berdiri di tangga di sisi mereka.
Sejenak Sutawijaya berdiri mematung. Dipandanginya orang-orang yang terbaring itu. Satu demi satu. Setiap sentuhan tatapan matanya, serasa menikam langsung ke pusat jantung.
“Siapa berikutnya?” bertanya Sutawijaya. Tubuh-tubuh yang tidak berdaya itu kini menggigil karenanya. Serasa tajamnya ujung duri cangkring telah menyentuh kulit.
“Adalah suatu kebodohan,” berkata Sutawijaya “bahwa akhirnya orang berdahi lebar itu berbicara juga tentang dirinya, tentang Kiai Damar, tentang orang yang tinggi kekar dan berkumis, dan tentang bermacam-macam lagi. Ternyata ia bukan seorang laki-laki jantan. Sebelum tubuhnya arang kranjang, ia sudah berceritera tanpa diminta,“ Sutawijaya berhenti sejenak. “Tetapi sudah terlambat,” ia meneruskan, “ia tidak sempat menyelesaikan ceriteranya ketika tiba-tiba ia pingsan. Mungkin ia sudah mati sekarang.”
Sekali lagi Sutawijaya berhenti. Dipandanginya orang-orang itu kembali dari orang yang pertama. Satu demi satu. “Apakah kalian juga akan berbuat serupa? Sebaiknya kalian memilih sebelum semuanya terlanjur terjadi atas diri kalian. Berbicara sebelum tubuh kalian hancur, atau diam sampai mati sebagai seorang laki-laki. Adalah tidak pantas sekali bahwa setelah kulitnya tersayat-sayat, barulah ia mencoba berbicara.
Kata-kata Sutawijaya benar-benar telah mengerutkan kulit mereka. Dengan demikian maka setiap orang berusaha menghindari sentuhan mata Sutawijaya yang bagaikan bara itu.
“Ayo, siapa lagi?” bertanya Sutawijaya.
Serambi itu justru menjadi sepi. Sepi sekali.
“Baiklah. Aku lelah sekali saat ini. Nanti, apabila aku sudah jemu berbicara, aku akan mengambil salah seorang dari kalian. Dan orang itulah yang harus berbicara, atau berteriak-teriak kesakitan.”
Sutawijaya tidak menghiraukan orang-orang yang menggigil itu lagi. Ia pun kemudian berjalan ke tengah-tengah serambi. Kemudian ia pun duduk pula bersama dengan Kiai Gringsing, murid-muridnya, dan Sumangkar serta pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Bagaimana kita akan mulai?” bertanya Sutawijaya. “Apakah orang-orang itu kita kumpulkan, kemudian salah seorang dari kita sesorah di hadapan mereka?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira tidak ada jalan lain”
Sutawijaya termenung sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata, “Aku akan meminjam seorang dari tawanan itu.”
“Untuk apa?” bertanya Kiai Gringsing.
Sutawijaya tidak segera menyahut. Namun wajahnya menjadi terang. Secercah senyum yang kecil membayang di bibirnya.
Tiba-tiba putera Pemanahan itu memanggil salah seorang pengawalnya. Katanya, “Ambil salah seorang dari orang-orang yang terluka itu. Yang paling baik dari mereka.” Lalu pada Kiai Gringsing ia bertanya, “Yang manakah yang tidak terlampau parah lukanya, Kiai?”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia tidak dapat segera menangkap maksud Sutawijaya. Namun kini Kiai Gringsing menyadari, bahwa Sutawijaya tidak akan berbuat seperti apa yang dikatakannya. Ia hanya sekedar menakut-nakuti seperti hantu-hantu yang menakut-nakuti orang-orang dibarak ini. Karena itu, maka tanpa mencemaskan nasibnya, ia menunjuk salah seorang dari mereka.
“Ambillah orang yang pendek, agak gemuk itu,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Namun baru saja para pengawal mendekatinya, orang itu sudah meronta-ronta. Sekuat tenaga ia berteriak-teriak “Jangan aku, jangan aku. Ambil yang lain.”
Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Ditariknya orang itu dari antara kawannya dan dibawanya menghadap Sutawijaya.
“Bawa orang itu ke halaman perintah Sutawijaya. Meskipun orang itu meronta-ronta, tetapi ia tidak berdaya untuk menghindar. Oleh dua orang pengawal ia dibawa ke halaman.
Sutawijaya pun kemudian turun ke halaman diikuti oleh beberapa orang dan beberapa pengawal.
“He, orang-orang di dalam Barak,” berkata Sutawijaya lantang “apakah kalian tidak ingin melihat hantu ini?”
Orang-orang di dalam barak menjadi heran.
“Hantu adalah mahluk halus yang tidak kasat mata dan tidak tersentuh tangan. Tetapi hantu yang sudah kamanungsan seperti ini, tidak ubahnya seperti kita. Tubuhnya dapat diraba, dan dari nadinya dapat menitik darah yang merah seperti darah kita. Kalau kalian ihgin membuktikan, kalian akan mendapat kesempatan.”
“O, tidak, tidak,” orang pendek itu berteriak-teriak
Beberapa orang di barak itu saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Selama ini ternyata kalian telah menjadi bahan permainan mereka. Kalian diperbodoh dan ternyata kalian benar-benar menjadi ketakutan. Dan orang yang memperbodoh kalian dan menakut-nakuti kalian adalah orang ini.”
Orang-orang dibarak itu menjadi semakin berdebar-debar.
“Kemarilah. Lihatlah orang ini.”
Beberapa orang yang menyimpan dendam di dalam hati mereka, mulai bertanya-tanya apakah yang dapat mereka lakukan.
“Sekarang orang ini sudah berada di tangan kita. Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu, setelah kalian menjadi bahan tertawaan mereka.”
Kebencian dan dendam yang semula mulai mengendap, tiba-tiba telah terungkat kembali, sehingga beberapa orang mulai bergerak turun ke halaman. Yang semula duduk di sekitar halaman pun seorang demi seorang telah berdiri pula.
“Mendekatlah. Mendekatlah. Lihatlah tampangnya baik-baik.”
“Jangan, jangan,” orang itu berteriak-teriak pula.
Tetapi Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia kini berdiri di tengah-tengah halaman di hadapan orang yang berteriak-teriak itu. Bahkan dengan mengangkat wajahnya Sutawijaya melambaikan tangannya kepada orang-orang yang masih ragu-ragu di dalam barak. “Kemarilah. Jangan ragu-ragu.”
Orang-orang itu pun kemudian turun pula ke halaman. Mereka mengerumuni Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik.
“Nah, apakah semuanya sudah berdiri di sini?” bertanya Sutawijaya kemudian.
Tetapi tidak ada yang menjawab.
“Baiklah. Meski pun seandainya belum seluruhnya maka sebagian terbesar telah ada di sini. Nah, sekarang apakah yang sebaiknya kita perbuat? Apakah kalian dengan senang hati menerima perlakuan hantu-hantu gila ini atas kalian selama ini?”
Tidak ada jawaban. Wajah-wajah itu masih tampak ragu-ragu. Beberapa orang di antara mereka hanyalah saling berpandangan tanpa berbuat sesuatu.
Dan Sutawijaya meneruskan, “Apakah kalian tidak ingin berbuat sesuatu setelah kalian dipermainkan oleh mereka? Atau kalian merasa bahwa memang sepantasnya kalian diperlakukan demikian?”
“Tidak!” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak.
“Bagus,” sahut Sutawijaya “sudah tentu tidak. Bagaimana yang lain?”
“Tidak. Kami tidak rela dihinakan.”
Sutawijaya tertawa. Katanya, “Kejantanan kalian sudah mulai terangkat. Ayo, apakah sebaiknya yang kita lakukan?”
“Hukum orang itu,” desis salah seorang dari mereka, meskipun masih ragu-ragu.
“Ya, hukum orang itu,” yang lain menyahut.
“Hukum picis,” tiba-tiba salah seorang yang lain berteriak.
“Ya, hukum picis.”
“Hukum picis.”
Kemudian hampir setiap mulut berteriak menuntut orang itu dihukum picis.
Orang yang terluka, yang masih dipegangi oleh dua orang pengawal itu mulai meronta-ronta. Wajahnya sudah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan sudah tinggal menyangkut di ujung hidungnya.
“Jangan, jangan” teriaknya. Tetapi tubuhnya sudah mulai menggigil. Ia tidak dapat berdiri sendiri, sehingga ia harus dijaga agar tidak roboh di tanah.
“Apakah kalian merasa bahwa selama ini kalian menjadi permainan orang-orang yang menyebut dirinya hantu?”
“Ya, mereka telah mempermainkan kami.”
“Bagus. Kalian akan dapat melepaskan dendam kalian. Kalian adalah laki-laki yang tidak mau dihinakan.”
“Ya, serahkan kepada kami.”
“Tentu. Kami akan membantu kalian,” Sutawijaya mengangguk-angguk. “Kami berkepentingan pula atas hantu-hantu itu. Kami berbangga hati karena kami melihat, bahwa sebenarnya kalian bukan penakut seperti yang kami sangka semula. Dan kini kalian telah menunjukkan bahwa kalian pun memiliki harga diri yang tinggi.”
Orang-orang yang berdiri mengelilingi Sutawijaya dan orang yang terluka itu terdiam sejenak. Mereka mendengarkan kata-kata Sutawijaya dengan saksama.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Pemimpin pengawas yang terluka, yang berdiri di tangga bersandar tiang menjadi berdebar-debar pula karenanya.
Sementara itu Sutawijaya berkata pula, “Pada saatnya kalian akan dapat mengadili orang-orang yang telah menghinakan kalian. Seperti orang ini, ia harus mendapat hukuman sepantasnya.”
“Ya, ia harus dihukum,” orang-orang itu bersahut-sahutan.
“Tetapi,” Sutawijaya kemudian berkata, “tidak adillah kiranya kalau hanya orang ini seorang diri. Masih ada yang lain yang juga berbuat serupa seperti orang ini. Orang-orang yang berada di serambi itu.”
“Mereka juga. Mereka juga,” orang-orang itu berteriak-teriak.
“Ya, mereka juga.”
“Ambil mereka. Kita ikat di halaman ini.”
“Ya, ambil mereka.”
“Tunggu,” suara Sutawijaya mengatasi, sehingga orang-orang itu terdiam karenanya.
“Kita akan menghukum mereka yang bersalah, tetapi kita harus adil. Karena itu, bukan saja orang ini dan orang-orang yang berada di serambi itu. Tetapi semua yang terlibat di dalam kesalahan.”
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah-wajah yang merah oleh kemarahan yang sudah mulai terungkat itu pun menjadi terheran-heran.
“Dengar,” berkata Sutawijaya, “selain orang-orang yang telah berhasil kita tawan ini, ternyata masih banyak lagi orang-orang yang terlibat di dalam kesalahan itu. Kita harus berusaha menghukum semuanya. Karena itu, kita harus menangkap mereka. Orang-orang yang ada di barak ini pun akan kita hukum. Kalau perlu hukum picis. Semuanya. Tetapi tentu tidak sekarang. Kami masih ingin mendapatkan yang lain. Orang-orang ini dapat kita pergunakan sebagai umpan untuk memancing mereka.”
Orang-orang di sekitar Sutawijaya itu pun menjadi semakin diam.
“Aku bangga bahwa kalian mempunyai harga diri dan keberanian, sehingga kalian ingin menghukum mereka. Tetapi keberanian itu pasti bukan sekedar terbatas untuk menjatuhkan hukuman, sudah tentu bukan sekedar terhadap orang-orang yang sudah berada di tangan kita. Tetapi kalian pasti akan berusaha menangkap orang-orang yang bersalah itu lebih banyak lagi.”
Orang-orang itu menjadi termangu-mangu. Beberapa di antara mereka saling berpandangan. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Marilah kita tunjukkan bahwa kita memang mempunyai harga diri.”
Orang-orang yang mendengar kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan membeku di tempatnya. Kini samar-samar mereka telah dapat menangkap maksud Putera Ki Gede Pemanahan itu, sehingga beberapa orang telah menundukkan kepala. Sementara Sutawijaya masih berkata lantang, “Apa yang telah terjadi sekarang ini, ternyata belum merupakan akhir dari persoalan kita. Kita baru dapat menemukan bulu-bulunya saja, tetapi kita belum berhasil menangkap otak dari persoalan seluruhnya. Kita belum menemukan siapakah sebenarnya yang telah menghinakan kita. Juga kita belum mengerti, apakah maksud mereka sebenarnya? Aku mencoba untuk mendapat keterangan dari seorang di antara mereka. Tetapi aku tidak mendapatkan apa-apa daripadanya. Ia tidak banyak mengetahui tentang dirinya sendiri. Meski pun ia dilecuti dengan ranting-ranting cangkring sampai mati sekali pun keterangan yang kita perlukan tidak akan dapat diberikannya, karena ia memang tidak mengerti. Yang dikatakan hanyalah Kiai Damar, orang-orangnya dan orang berkumis yang sering mengunjungi dukun itu. Selebihnya ia tidak dapat berkata apa-apa. Meski pun aku akan memeras keterangan satu demi satu dari orang-orang itu, tetapi kesimpulan yang dapat kita ambil sekarang adalah, di balik belukar di dalam hutan itu masih bersembunyi beberapa orang yang tidak kita kenal. Ingat, beberapa orang. Bukan beberapa sosok hantu. Mereka pasti masih akan datang lagi ke barak ini. Entah mereka masih ingin disebut hantu dan mengenakan pakaian hantu-hantu itu, atau mereka datang dengan wajar sebagai manusia seperti kita. Tetapi kita sudah tahu, bahwa mereka adalah manusia-manusia. Mereka akan datang untuk menuntut dendam yang membakar hati mereka, karena mereka telah kehilangan beberapa orang kawan. Atau mereka ingin membunuh kawan mereka yang ada di sini dan tidak dapat diharapkan lagi di dalam perjuangan mereka. Bagi mereka, kawan-kawan yang memang sudah tidak dapat dipergunakan lagi itu, memang lebih baik dibinasakan sama sekali daripada membuka rahasia yang betapa pun kecilnya.”
Ketika Sutawijaya berhenti sejenak, maka orang-orang yang berdiri mengitarinya telah menundukkan kepala sambil berkata kepada diri sendiri, “Jadi, apakah yang selama ini telah aku lakukan di sini?”
Sementara itu Sutawijaya berkata, “Jika kalian sependapat, kalian harus sadar, bahwa kalian benar-benar telah dipermainkan tidak oleh hantu-hantu tetapi oleh sesama kita. Orang-orang ini ternyata masih belum puas. Mereka masih akan datang. Mungkin kali ini mereka akan berterus-terang kepada kita, bahwa mereka ingin menghancurkan kita secara manusia. Tidak lagi melalui samaran yang hampir berhasil itu.”
Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-anggukkan kepala. Dan Sutawijaya tiba-tiba bertanya, “Kalau benar mereka datang dengan pakaian wajar seperti kita, bukan dengan samaran mereka, apakah yang akan kita kerjakan? Apa kita akan masuk dengan tergesa-gesa ke dalam barak dan selimut hingga menutup kepala?”
Tidak ada seorang pun yang menjawab.
“Jadi bagaimana? Apakah yang akan kita lakukan Diam saja seperti sekarang?”
Masih belum ada jawaban.
“Jadi kita sudah melupakan harga diri kita karena kita segan berbuat sesuatu yang lebih besar daripada mencincang orang-orang yang tidak berarti dan lebih-lebih lagi sudah tidak berdaya? Nah, jawablah. Kalau kalian tetap berdiam diri seperti sekarang, aku pun tidak akan berkeberatan. Tetapi aku akan segera minta diri. Kedua orang tua dan anak-anaknya ini akan ikut bersama aku. Kamilah yang akan mencari sarang mereka di tengah-tengah hutan. Tetapi kalau kami berselisih jalan, dan mereka datang ke barak ini, sama sekali bukan salah kami.”
Sejenak kegelisahan membayang di wajah orang-orang itu. Mereka menjadi tegang ketika Sutawijaya bertanya lagi, “Jawablah. Apakah kalian akan berbuat sesuatu atau sekedar berdiam diri begini?”
Dalam keragu-raguan terdengar seseorang berkata, “Kami akan berbuat sesuatu.”
Suara yang agaknya ragu-ragu itu ternyata telah menggerakkan setiap hati. Belum lagi Sutawijaya bertanya, beberapa orang telah berteriak, “Kami tidak akan berdiam diri. Kami akan berbuat sesuatu untuk mempertahankan diri. Kami akan berkelahi.”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dibiarkannya suara-suara itu menggelepar sampai tuntas.
Ketika tidak ada lagi yang berteriak-teriak, maka Sutawijaya-lah yang berkata, “Bagus, terima kasih, itulah namanya laki-laki jantan. Kalian harus membela diri, membela hak kalian. Kalian harus mempertahankan milik kalian, termasuk jiwa kalian,” Sutawijaya berhenti sejenak. “Jika demikian, kalian sama sekali tidak memerlukan orang sakit-sakitan ini. Biarlah mereka terbaring di serambi sampai saatnya kita mengambil keputusan tentang mereka. Sekarang kita menunggu. Menunggu orang-orang yang tidak puas dengan peristiwa yang baru saja terjadi ini. Mereka pasti akan datang dengan jumlah yang lebih besar. Apalagi apabila mereka tahu, bahwa aku berada di tempat ini. Aku adalah sasaran yang menyenangkan sekali bagi mereka. Tetapi apabila mereka datang, dan berhasil menguasai daerah ini pasti bukan sekedar aku sajalah yang akan mereka cincang.”
Semua orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya, serta Sumangkar pun mengangguk-angguk pula. Mereka memuji di dalam hati kecakapan Sutawijaya mempengaruhi orang-orang di dalam barak itu sehingga mereka menyadari kedudukan mereka.
“Jika demikian,” berkata Sutawijaya, “persiapkan diri kalian sejak sekarang. Kalian harus memiliki senjata apabila kalian benar-benar ingin berjuang untuk daerah yang telah kalian buka. Kalian harus bersedia dan bersiap menghadapi apa pun juga, termasuk pertempuran. Kalian harus bersiap untuk berkelahi, sehingga karena itu, siapkanlah senjata apa pun juga.”
Orang-orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak segera meyakini kata-kata itu sebagai suatu sikap yang harus dilakukan dalam suasana yang gawat itu.
Karena itu, maka Sutawijaya pun mengulanginya, “Apakah yang kalian tunggu? Apakah baru kemudian apabila mereka telah datang menyerang kalian baru berusaha mendapatkan senjata? Sekarang, carilah senjata apa saja. Pedang, parang, kapak, tombak dan apa saja. Cobalah kalian mengenal senjata kalian dengan baik, sehingga apabila diperlukan kalian tidak akan canggung lagi mempergunakannya. Sebab kalian akan berhadapan dengan manusia seperti kita yang juga memegang senjata. Mereka pun berusaha untuk mempergunakan seniata mereka pula terhadap kita. Apakah kalian mengerti? Jika kalian mengerti, mulailah sekarang, kemudian kembalilah ke halaman ini.”
Sejenak mereka masih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ketika salah seorang dari mereka bergerak, maka orang-orang itu pun segera berlari-larian mencari senjata apa saja yang dapat mereka ketemukan. Seperti yang dikatakan oleh Sutawijaya, mereka memegang parang, pedang, kapak, tombak dan apa saja.
Sejenak kemudian mereka telah berada di halaman itu kembali dengan senjata masing-masing. Mereka yang tidak mendapatkan senjata apa saja, telah membawa sepotong kayu atau pemukul kentongan atau selumbat kelapa.
Sutawijaya tersenyum melihat orang-orang yang berlari-larian. Sambil mendekati Kiai Gringsing ia berkata, “Aku mengharap kita berhasil. Kalau benar akan datang serangan yang lebih besar, mereka akan sangat berpengaruh, setidak-tidaknya mereka akan menyusutkan keberanian lawan betapa pun tabahnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katannya, “Tetapi kita tidak dapat mengumpulkan mereka.”
“Tentu tidak. Aku membawa beberapa orang pengawal, selain aku sendiri. Disini ada Truna Podang bersama anak-anaknya, dan ada pula Paman Sumangkar. Apakah kita sama sekali tidak berbuat sesuatu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
“Kita pencar orang-orang kita. Masing-masing disertai orang-orang dari barak ini. Bagaimana pun juga mereka pasti akan berpengaruh.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kita akan memberikan beberapa petunjuk, agar mereka dapat menghadapi lawan dengan teratur. Justru tidak mengganggu para pengawal dan kita masing-masing.”
Sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu orang-orang dari barak itu sudah mengelilingi Sutawijaya kembali. Dengan menengadahkan kepalanya Sutawijaya berkata, “Nah, kalian ternyata merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani. Mungkin ada di antara kalian yang sama sekali belum pernah mengalami pertempuran. Karena itu, biarlah orang-orangku memberikan beberapa petunjuk kepada kalian. Mereka akan memberikan beberapa macam cara melakukan pertempuran di dalam kelompok-kelompok. Masing-masing tidak dapat berjuang sendiri-sendiri tanpa menghiraukan kawannya. Hanya orang-orang yang khusus sajalah yang dapat melepaskan diri dari ikatan kesatuannya. Misalnya para senapati di peperangan yang besar, yang karena tugasnya ia harus berada di sembarang tempat yang memerlukannya. Atau orang-orang yang khusus ditunjuk di dalam benturan kelompok-kelompok kecil.
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, mulailah,” berkata Sutawijaya yang kemudian memanggil pemimpin pengawalnya. “Serahkanlah mereka kepada anak buahmu agar mereka mendapatkan gambaran, apa yang harus mereka kerjakan apabila benar-benar akan terjadi pertempuran. Sebab menurut perhitungan kita, mereka masih akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar lagi.”
Demikianlah maka para pengawal itu telah melakukan tugas masing-masing. Orang-orang di dalam barak itu dibagi dalam kelompok-kelmpok kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Mereka mendapat beberapa petunjuk dan tuntunan, apa yang harus mereka lakukan apabila mereka terlibat dalam pertempuran yang seru.
“Yang penting,” berkata salah seorang dari para pengawal itu, “kalian tidak boleh kehilangan akal dan menjadi kebingungan. Jika terjadi demikian, maka kalian sudah menjadi separo kalah. Kalian harus tetap sadar, dan mempergunakan nalar untuk mempertahankan diri.”
Orang-orang itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Dengan penuh minat mereka mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para pengawal. Bagaimana mereka menghadapi lawan. Bagaimana mereka harus bekerja bersama, menyelamatkan kawan mereka yang agaknya lemah dan terdesak. Berusaha menyediakan satu dua orang yang terlepas dari ikatan perkelahian lawan, apalagi apabila jumlahnya lebih banyak. Orang-orang itulah yang harus bertindak apabila ada di antara mereka yang benar-benar memerlukan pertolongan.
Sementara para pengawal itu memberikan beberapa pengertian tentang pertempuran di dalam kelompok-kelompok kecil, maka Sutawijaya-lah yang menunggui orang-orang yang terluka bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru melihat-lihat bagaimana orang-orang yang selama ini selalu dicengkam oleh ketakutan itu mencoba membentuk diri mereka menjadi pengawal-pengawal buat diri mereka sendiri.
Tetapi melihat niat yang mantap terpancar di wajah mereka, maka para pengawal itu pun menjadi semakin mantap pula. Mereka akan dapat banyak membantu apabila jumlah lawan nanti jika mereka benar-benar datang, banyak pula.
“Kalau hari ini mereka tidak menyerang, maka orang-orang itu akan mendapat kesempatan menerima beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata,” berkata Sutawijaya kemudian. “Hal itu agaknya perlu juga bagi mereka. Mereka sama sekali belum pernah mempergunakan senjata-senjata itu untuk bertempur. Bertempur yang sebenarnya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Sutawijaya ia juga memperhitungkan bahwa orang-orang yang tersembunyi di balik pepohonan itu pasti akan melakukan sesuatu. Mungkin untuk sekedar membalas dendam sakit hati, tetapi juga mungkin sekali untuk membatasi berita kegagalan mereka di daerah ini. Kehadiran Sutawijaya yang pasti mereka ketahui, karena orang-orang mereka seakan tersebar di setiap punggung pepohonan, akan menarik perhatian mereka. Apalagi mereka mengetahui, bahwa pengawal Sutawijaya kali ini tidak begitu banyak.
“Angger,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnya kami di sini tidak merasa cemas akan diri kami. Tetapi apabila mereka benar-benar berusaha untuk berbuat sesuatu terhadap angger Sutawijaya dengan jumlah kekuatan yang tidak seimbang, maka apakah angger tidak sebaiknya mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan semua keadaan di daerah ini kepada Ayahanda Ki Gede Pe manahan?”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi perasaannya yang tajam menangkap keragu-raguan yang tersirat di dalam kata-kata dan tatapan mata Kiai Gringsing. Karena itu ia menjawab, “Kiai, naluri keprajuritanku mengatakan kepadaku, bahwa daerah ini agaknya sudah terkepung rapat-rapat. Seolah-olah aku melihat orang itu bersembunyi di balik pepohonan, menunggu satu dua orang pengawal lewat.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia pun melihat di dalam firasatnya, bahwa memang tempat itu selalu diawasi oleh beberapa orang. Tetapi sudah tentu, bahwa kepungan itu bukan tidak mungkin untuk diterobos.
Namun demikian orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang sulit bagi para pengawal itu untuk berusaha menerobos kepungan. Kecuali kalau ia sendiri dan Sumangkar-lah yang berangkat. Tetapi berat juga rasanya meninggalkan daerah yang seakan-akan telah menjadi terpencil ini. Yang akan datang pasti bukan hanya Kiai Damar seorang diri di antara anak buahnya. Setelah ia dikalahkan oleh Sumangkar, maka orang itu pasti membuat penilaian lain.
Karena itu, baik Kiai Gringsing, maupun Sutawijaya akhirnya meletakkan kepercayaan mereka kepada apa yang ada di tempat itu. Beberapa pengawal pilihan, dua orang murid Kiai Gringsing, di samping Kiai Gringsing sendiri dan Sumangkar. Kedua orang tua itu adalah orang yang memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dan kemudian Sutawijaya sendiri.
“Mudah-mudahan orang di dalam barak itu justru tidak mengganggu,” katanya di dalam hati.
Namun demikian Sutawijaya masih tetap mempunyai keyakinan, bahwa ia akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang bakal timbul di daerah itu.
Dalam pada itu, beberapa orang yang telah mendapat petunjuk dari para pengawal itu pun mendapat sedikit gambaran, apakah yang sebaiknya mereka lakukan apabila mereka harus berkelahi di dalam kelompok-kelompok. Mereka tidak dapat berkelahi menurut selera masing-masing. Mereka harus mengingat kesatuan masing-masing, sehingga mereka akan merasa diri mereka satu.
“Ingat,” berkata salah seorang pengawal, “setiap orang di dalam kelompok masing-masing tidak ubahnya anggauta badan sendiri. Meskipun kalian mempergunakan tangan di dalam perkelahian, tetapi punggung kalian harus dijaga jangan sampai terluka.”
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Ketika para pengawal menganggap penjelasan mereka sudah cukup, maka orang-orang itu pun kemudian beristirahat di sekitar barak. Mereka masih juga memperbincangkan apa yang mereka dengar dari para pengawal. Bahkan ada satu dua orang di antara mereka yang mencoba-coba senjatanya. Mereka yang hanya membawa sepotong kayu, berusaha untuk mendapatkan senjata yang lebih baik.
Tetapi selagi mereka sibuk dengan persoalan masing-masing, halaman barak itu telah digetarkan oleh derap kaki-kaki kuda. Sutawijaya dan orang-orang yang ada di serambi pun segera meloncat berdiri dengan senjata siap di tangan.
Namun yang datang hanyalah tiga orang. Tiga orang yang tidak dikenal. Mereka memasuki halaman barak itu dengan mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Diiringi oleh Kiai Gringsing dan Sumangkar mereka turun dan menyongsong orang-orang berkuda itu.
“Siapakah kalian?” bertanya Sutawijaya. Orang-orang itu memandang Sutawijaya dengan tajamnya.
Jawab salah seorang dari mereka, “Kami adalah utusan Prabu Mataram Kajiman.”
“Jangan keras kepala,” Swandaru-lah yang menyahut. Tetapi Agung Sedayu menggamitnya, sehingga Swandaru terdiam.
“Turunlah dari kudamu,” berkata Sutawijaya.
“Aku adalah utusan Maharaja yang Besar. Aku berhak berbicara di atas punggung kuda.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berpaling dan berkata kepada Kiai Gringsing, “Mereka tidak perlu dilayani. Aku tidak akan berbicara dengan orang-orang yang tidak mengenal sopan.”
“Jangan sombong. Kau harus menghormati Raja Besar dari Mataram Lama.”
“Aku Putera Sultan Hadiwijaya yang kekuasaannya meliputi Alas Mentaok. Turun dari kudamu. Atau, pergi dari halaman ini.”
Sejenak ketiga orang itu saling berpandangan. Bagaimanapun juga mereka menjaga harga diri mereka, namun wibawa Sutawijaya telah memaksanya mempertimbangkan sikapnya.
“Baiklah,” berkata salah seorang dari mereka, “aku akan turun, tetapi sama sekali bukan karena kekuasaanmu. Aku melimpahkan kemurahan hati Raja Agung di Mataram.”
Sutawijaya mengatupkan giginya rapat-rapat. Darah mudanya mulai menjadi panas. Namun ia masih berusaha menahan hati. Di dalam persoalan yang masih diliputi teka-teki ini ia harus berhati-hati. Apalagi menyangkut seluruh isi barak ini.
Karena itu, Sutawijaya tidak menjawab. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian setelah ketiganya berdiri ditanah. Sutawijaya berkata “Cepat katakan, apakah keperluanmu.”
“Aku adalah utusan dari Raja Besar di Mataram” berkata salah seorang dari mereka.
Ternyata Swandarulah yang sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia berkata, “Masih juga kau menyebut Kerajaan Mataram Kajiman di dalam keadaan ini? Kerajaan Kiai Damar barangkali?”
Sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya dan berbisik, “Biarlah ia menyelesaikan kata-katanya.”
Swandaru menelan ludahnya. Dengan susah payah ia mencoba mengendapkan perasaannya.
Namun dengan demikian, Sutawijaya yang jantungnya sudah mulai menggelegak itu pun justru telah mereda. Bahkan ia berpaling memandang Swandaru yang wajahnya menjadi merah padam.
“Aku tidak dapat mendengarnya,” desis Swandaru, “telingaku serasa terbakar.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun tampak sekilas senyum dibibirnya, meski pun hampir saja ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya pula.
“Nah,” berkata Sutawjaya yang justru menjadi agak tenang, “cepat, katakan maksudmu.”
“Aku mendapat perintah dari Maharaja di Mataram.”
Hampir saja Swandaru melangkah maju sambil berteriak. Tetapi Agung Sedayu sudah mendahului menahannya sambil berdesis, “Sst.”
Nafas Swandaru menjadi terengah-engah dan keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Kenapa kau yang menjadi begitu gelisah?” bisik Agung Sedayu.
Swandaru mengerutkan keningnya.
Dalam pada itu salah seorang dari ketiga utusan itu berkata, “Yang pertama kami menyampaikan limpahan kebaikan budi Sri Baginda, bahwa kami diperkenankan menemui kalian di sini.”
Sutawijaya yang menahan hati menggeram. Sementara dada Swandaru hampir meledak. Sedangkan Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata itu. Ketika Kiai Gringsing berpaling, ia mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Swahdaru yang merah padam menahan hati.
Selangkah Kiai Gringsing mendekati Swandaru, dan kemudian berbisik, “Bukan kaulah yang harus menanggapinya.”
“Aku tidak tahan, Guru. Apakah mereka tidak mengakui semua yang sudah terjadi semalam, beberapa hari yang lalu dan semuanya yang pernah terjadi?”
“Tenanglah,” desis gurunya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
Ketiga orang berkuda itu perhatiannya justru tertuju Kepada Swandaru. Sambil memandanginya dengan tajam, salah seorang dari mereka berkata, “Kalian harus mendengarkan titah Maharaja Mataram sebaik-baiknya. Kalau kalian berbicara di antara kalian, maka kalian akan mendapat hukuman yang seberat-beratnya.”
Swandaru benar-benar tidak dapat menahan hati. Bukan saja Swandaru, tetapi kata-katanya yang terakhir itu sudah mengguncang perasaan Agung Sedayu pula. Tetapi sebelum keduanya berkata sesuatu, ternyata Sutawijaya pun sudah sampai pada batas kesabarannya, sehingga tiba-tiba saja ia membentak, “Berbicaralah wajar. Jangan mengigau seperti orang gila. Kami bukan tikus-tikus yang dapat kau takut-takuti dengan tingkah laku orang tidak waras itu. Ingat, kau berhadapan dengan Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera Sultan Pajang. Kalau kau tidak segera menyampaikan maksud kedatanganmu, aku akan memerintahkan kepada pengawalku untuk menangkap kalian. Kalian sama sekali tidak bernilai sebagai utusan yang bebas untuk datang dan pergi. Tetapi kalian adalah brandal-brandal licik yang tidak berguna sama sekali bagiku. Kini bicaralah, selagi aku masih mempunyai belas kasihan.”
Sutawijaya memandang ketiga orang itu dengan sorot mata yang seakan-akan membara. “Aku tahu kau pasti diajar untuk menumbuhkan wibawa pada sikap dan kata-katamu. Tetapi karena kalian orang-orang kerdil, maka kalian tidak akan dapat melakukannya, selain mirip dengan cucurut yang mohon belas kasihan karena kebodohanmu itu. Kau mengerti?”
Tiba-tiba saja ketiga orang itu menjadi pucat. Usahanya untuk membangunkan wibawa di dalam diri mereka, ternyata dapat disebut dengan tepat oleh Sutawijaya, sehingga dengan demikian, hati mereka justru susut dengan tiba-tiba. Namun demikian, meski pun dengan kaki gemetar, salah seorang dari mereka masih mencoba berkata, “Baiklah. Aku akan menyampaikan titah itu.”
“Tutup mulutmu!” bentak Sutawijaya. “Kalau kau masih berbuat gila, aku sobek mulutmu. Aku tidak takut apa pun juga. Aku sudah bertekad menumpas kalian. Seandainya aku membunuh kalian bertiga, aku tidak akan menyesal dan gentar karena pembalasan kawanmu. Jangan mengharap kau dapat kami perlakukan sebagai duta yang terhormat dan berharga untuk dilindungi.”
Wajah mereka rnenjadi semakin pucat. Dan seorang yang lain berkata, “Baik, baik. Aku akan berkata seperti pesan yang harus aku sampaikan kepadamu, eh kepada Tuan, eh, kepadamu.”
“Cepat.”
“Kami, kami mendapat tugas untuk mohon, eh, minta agar kawan kami diserahkan kepada kami sekarang.”
“Apa? Kami harus menyerahkan orang-orang itu kepadamu sekarang juga?”
Pertanyaan Sutawijaya itu ternyata telah menggetarkan hati ketiga orang berkuda itu. Betapa mereka berusaha membesarkan diri mereka sendiri, namun kebesaran Sutawijaya agaknya memang menyilaukan mereka.
“Coba ulangi,” berkata Sutawijaya seperti kepada anak-anak yang gelisah karena berbuat suatu kesalahan.
“Ulangi!” Sutawijaya membentak.
“Ya, ya. Kami mendapat tugas untuk membawa kawan-kawan kami yang ada di barak ini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bertanya, “Dan kau sudah siap untuk melakukannya?”
Orang-orang itu menjadi ragu-ragu.
“Apakah kalian sudah siap membawa kawan mereka yang terluka itu?”
“Coba katakan, bagaimana kalian akan membawa mereka. Mereka terluka parah. Mereka tidak dapat berjalan sendiri. Sedangkan kalian hanya bertiga.”
Pertanyaan itu sederhana sekali. Sama sekali tidak menyangkut persoalan-persoalan yang mendalam tentang penyerahan orang-orang itu. Pertanyaan itu hanya sekedar tentang cara membawa mereka. Namun ketiga orang itu benar-benar menjadi bingung.
“Kenapa kalian bingung?” bertanya Sutawijaya pula. “Bukankah dari sarangmu kau sudah berniat untuk mengambil mereka, dan dengan demikian semuanya sudah kalian atur sebaik-baiknya? Bahkan kalian sempat mencoba menakut-nakuti kami di sini dengan cara orang kerdil itu?”
Ketiga orang itu tidak segera menjawab.
“Ayo katakan. Kalau kalian dapat membawa mereka dengan cara yang wajar bagi seorang kawan aku akan memberikan mereka kepadamu sekarang.”
Orang-orang itu masih kebingungan. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Kalau memang diperkenankan, kami akan kembali kepada kawan kami untuk mengambil mereka kemari.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa pendek, “Ternyata hantu-hantu Alas Mentaok pandai juga mencari akal. Tetapi sayang, aku tidak setuju.”
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak, tetapi mereka tidak segera berkata sesuatu.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya, “katakan kepada pemimpinmu bahwa aku, Sutawijaya, yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, berkeberatan menyerahkan orang-orang yang sudah jatuh ke tangan kami kepada kalian.”
Wajah ketiga orang itu menegang sejenak. Dan mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Sekarang pulanglah. Kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari dan yang mengajarimu bagaimana menjadi seorang besar. Tetapi jiwa yang kerdil akan tetap memancar pada sikap yang kerdil pula.”
Ketiga orang itu saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak segera beranjak dari tempatnya.
“Cepat perpi, selagi kalian masih sempat? Atau kalian ingin melihat kawanmu yang hampir mati di serambi itu? Tetapi jika kalian mendekati mereka, maka kalian tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini.”
Ketiga orang itu masih berdiri termangu-mangu.
“Apakah masih ada yang akan kalian katakan?” bertanya Sutawijaya. “Katakanlah. Mungkin kau mendapat pesan dari pimpinanmu untuk menakut-nakuti kami? Untuk mengatakan bahwa tempat ini sudah terkepung rapat-rapat tanpa dapat ditembus oleh ujung duri sekali pun? Bahwa mereka akan datang menumpas kami dengan cara yang paling mengerikan sesuai dengan gelar yang mereka sebut, Maharaja Kajiman? Ayo, apalagi. Pilihlah kata-kata yang paling dahsyat dari perbendaharaan bahasamu.”
Dada ketiga orang itu berdesir tajam sekali. Ternyata Sutawijaya itu dapat menebak tepat, seakan-akan ia melihat apa yang tersimpan di dalam hati mereka. Namun justru mereka menjadi semakin diam. Bahkan hampir berbareng ketiganya menundukkan kepala.
“Nah, kalau memang sudah tidak ada lagi yang akan kalian katakan, tinggalkan tempat ini. Aku menjadi beriba hati melihat wajah-wajah kalian yang memelas. Aku tidak akan membunuh kalian bertiga. Tetapi katakan, katakan kepada pimpinanmu bahwa aku akan membunuh siapa saja yang datang kemudian dengan cara seperti yang kalian pergunakan. Menyombongkan diri dan mencoba berbohong meski pun kalian tahu, bahwa semuanya tidak akan berarti apa-apa. Dan itu adalah suatu kebohongan yang besar bagi diri kalian sendiri, seolah-olah kalian akan dapat menghapus kenyataan yang sudah terjadi. Apakah kalian mengerti?”
Ketiga orang itu tiba-tiba saja menganggukkan kepala mereka.
“Sekarang pergilah, pergilah.”
“Baik, baik Tuan.”
Dengan tergesa-gesa mereka meloncat ke punggung kuda mereka. Tetapi mereka pun segera berloncatan turun kembali dengan tergesa-gesa. Bahkan salah seorang dari mereka hampir saja jatuh terjerembab, ketika mereka mendengar Swandaru membentak, “Jangan naik ke atas kudamu. Turun! Bawa kudamu ke luar halaman lebih dahulu.”
“Ah,” Kiai Gringsing berdesis. Tetapi hampir semua orang yang menyaksikan tingkah laku ketiga orang berkuda itu tersenyum.
Setelah berada di luar halaman, barulah ketiganya meloncat ke punggung kuda mereka. Sekali lagi mereka berpaling, dan mereka melihat wajah-wajah yang sedang memandangi mereka. Wajah-wajah yang seakan-akan memancarkan suatu wibawa yang agung. Terlebih-lebih lagi anak muda yang bernama Raden Sutawijaya, putera Ki Gede Pemanahan yang juga menjadi putera angkat Sultan Pajang.
Sejenak kemudian, ketiga orang itu pun meninggalkan barak itu. Semakin lama kuda mereka berpacu semakin cepat menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan dan hilang di kejauhan, ditelan oleh pepohonan hutan yang semakin dalam menjadi semakin lebat. Tetapi ketiga orang itu telah mengenal jalan sebaik-baiknya.
Setelah menyusup di rimbunnya dedaunan hutan yang cukup lebat, maka mereka pun sampai ke sebuah longkangan kecil. Sebuah lapangan rumput sempit yang seakan-akan sengaja dibuat di tengah-tengah hutan itu, karena pepohonan tidak dapat tumbuh di atas tanah yang berbatu-batu padas.
Ketiga orang itu berhenti sejenak. Mereka memandang berkeliling. Kemudian salah seorang dari mereka terdengar melontarkan bunyi yang sudah banyak dikenal. Suara burung kedasih.
Agaknya suaranya itu telah memanggil beberapa orang keluar dari lebatnya hutan disekeliling lapangan sempit itu. Seorang di antara mereka adalah Kiai Damar.
“Apa kata mereka?” bertanya Kiai Damar.
Ketiga orang itu termangu-mangu, sejenak.
“He, apakah kata mereka? Apakah kau dapat bertemu langsung dengan Sutawijaya?”
Ketiga orang itu pun kemudian turun dari punggung kuda mereka. Salah seorang dari mereka menjawab, “Ya, kami sudah bertemu dengan Sutawijaya sendiri.”
“Kau lakukan seperti pesanku sebelumnya?”
“Ya.”
“Kau tidak turun dari kudamu?”
“Ya. Aku tidak turun dari punggung kuda.”
“Bagus. Apa katanya.”
Orang itu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Tidak apa-apa. Ia tidak mempersoalkannya.”
“Anak setan! Apakah ia tidak bertanya kenapa kau tidak turun dari punggung kuda dan dengan demikian memberi kesempatan kepadamu untuk menjawab seperti yang aku katakan?”
“Ya, ya, mereka memang bertanya, kenapa aku tidak turun dari kuda. Mereka menganggap bahwa berbicara dengan tetap duduk di atas punggung kuda adalah tidak sopan sama sekali. Apalagi di halaman barak itu.”
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Sambil membentak ia bertanya, “Jadi bagaimana sebenarnya?”
“Raden Sutawijaya memang mengatakan demikian. Dan aku disuruhnya turun. Tetapi aku tidak mau.”
“Dan kau katakan juga alasan itu?”
“Ya. Aku berkata bahwa aku adalah utusan dari Kerajaan Mataram Kajiman.”
“Lalu?”
“Lalu,” orang itu menjadi ragu-ragu.
“Lalu, apa katanya? Apakah ia mengangguk-anggukkan kepalanya, apakah ia bertanya lagi, dan apakah ia menjadi ketakutan dan kemudian mendengarkan semua permintaanmu?”
Orang itu menggeleng. Jawabnya “Tidak. Ia tidak berbuat demikian.”
“Lalu, apa katanya?”
“Aku dipaksanya juga turun. Ia mengetahui segalanya. Ia mengetahui, bahwa sikapku sama sekali tidak wajar.”
“Dan kau mau juga turun?”
Orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak dipandanginya kedua kawannya. Tetapi keduanya menundukkan kepala mereka.
“He, apakah kalian turun juga?”
Perlahan-lahan orang itu menganggukkan kepalanya. Suaranya menjadi lambat sekali, “Ya, aku terpaksa turun.”
“Gila kau!” Kiai Damar tiba-tiba meloncat maju dan mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncang-guncangnya ia berkata, “Kau ternyata tidak mampu melakukan tugas yang aku bebankan kepadamu. Ternyata kau tidak lebih dari tikus celurut yang licik. Kenapa kau tidak dapat mengatasi wibawanya dengan kepribadianmu yang kuat? Aku kira hatimu benar-benar berlapis baja. Ternyata kau sama sekali tidak mampu melakukan tugas ini.”
“Tetapi, tetapi,” orang itu tergagap, “ternyata Sutawijaya mempunyai perbawa yang lain. Aku tidak dapat menatap matanya dan aku tidak berhasil menolak perintahnya.”
“Kau yang pengecut!” bentak Kiai Damar lebih keras lagi sambil mengguncang-guncangnya lebih keras pula. Lalu tiba-tiba orang itu menggeram, “Kau memang pantas dibunuh. Kau tidak berguna sama sekali di sini.”
Orang itu menjadi pucat. Lalu, ”Ampun. Tetapi aku jangan dibunuh. Lebih baik bagiku untuk ikut serta di dalam peperangan melawan Sutawijaya sekali pun daripada harus bersikap seperti yang Kiai pesankan. Dan barangkali seandainya aku harus mati, aku memilih mati di peperangan.”
Kiai Damar menggeretakkan giginya. Sambil mendorong orang itu, ia melepaskan bajunya. Namun dengan demikian orang itu seakan-akan telah terlempar jatuh hampir di kaki kudanya.
Sambil menghentakkan tangannya Kiai Damar pun kemudian berkata, “Memang tidak ada jalan lain, aku harus merebut mereka dengan kekerasan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Bukankah kau juga akan mengatakan bahwa kau gagal membawa orang-orang itu kemari.”
“Ya, tetapi…………”
“Diam. Aku tidak bertanya kepadamu. Aku sudah tahu. Kau menjadi ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkata apa-apa karena kau menjadi gemetar.” Kiai Damar diam sejenak, lalu, “tidak ada jalan lain. Selagi daerah itu masih terpisah, dan selagi pengawal yang datang belum begitu banyak. Kita akan mengerahkan segenap kekuatan. Kita merebut orang-orang itu, atau kita akan menghancurkan semuanya, agar kegagalan-kegagalan di daerah ini tidak diketahui oleh daerah-daerah lain. Seandainya orang-orang di daerah pembukaan hutan yang lain mendengar, bahwa daerah ini hancur lebur karena kesiku oleh hantu-hantu dari Kerajaan Mataram, maka kedudukan kita akan menjadi semakin kuat di daerah itu.”
Orang-orang yang ada di tempat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kemudian mendengar Kiai Damar berkata, “Sudah tentu, kita memerlukan bantuan beberapa orang kuat lagi.”
Orang-orang Kiai Damar itu masih mengangguk-anggukkan kepala mereka, Mereka pun agaknya sadar, tanpa bantuan orang-orang kuat seperti Kiai Damar, maka tidak akan ada gunanya, meski pun jumlah mereka akan ditambah.
“Kita akan segera menghubungi Kiai Telapak Jalak,” berkata Kiai Damar seterusnya, “kemudian kita hancurkan saja barak itu. Kalau kita tidak berhasil membawa orang-orang kita yang tertawan, dan tidak pula berhasil menghancurkan barak, maka semua yang memungkinkan membuka rahasia kita harus kita musnahkan.”
“Jumlah mereka tidak begitu banyak,” berkata salah seorang dari mereka. “Pengawal Sutawijaya tidak banyak. Kekuatan mereka sangat terbatas.”
“Ya. Kita harus segera berbuat sesuatu sebelum ada pengawal yang lain menambah jumlah itu,” sahut Kiai Damar. ”Sekarang kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak boleh gagal lagi.”
Anak buahnya tidak menjawab lagi. Mereka pun segera pergi menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Namun masih juga terdengar Kiai Damar berkata “Awasi daerah itu baik-baik, jangan ada seorang pun yang lolos dan sempat menghubungi orang di luar daerah itu.”
Demikianlah, maka daerah terpencil itu memang benar-benar sudah terkepung, seperti tanggapan naluriah dan sesuai dengan firasat orang-orang yang ada di dalam kepungan itu. Di antaranya adalah Sutawijaya, Sumangkar, Kiai Gringssing, dan murid-muridnya.
“Angger Sutawijaya,” berkata Kiai Gringsing kemudian setelah mereka saling berdiam diri sejenak, “sebaiknya orang-orang yang berada di barak sebelah, disatukan di dalam barak ini saja. Adalah sangat berbahaya, apabila mereka terpencar di dua tempat yang yang agak berjauhan. Mungkin orang-orang yang tidak kita ketahui itu akan berbuat licik, dengan mempergunakan perempuan dan anak-anak kita sendiri sebagai perisai.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Pendapat itu memang harus diperhatikan. Sudah tentu orang-orang di daerah terpencil ini harus berusaha melindungi perempuan dan anak sebaik-baiknya.
Karena itu, maka Sutawijaya pun kemudian memerintahkan beberapa orang pengawalnya, beserta beberapa orang laki-laki dari barak itu, disertai kedua murid Kiai Gringsing, untuk membawa mereka menjadi satu di dalam barak ini.
“Kita akan menjadi saling berdesak-desakkan, “berkata Kiai Gringsing, ”tetapi itu adalah cara yang paling baik untuk menjaga keselamatan mereka. Laki-laki yang telah menyatakan dirinya ikut serta menjadi pengawal, akan berada di luar barak dan memberikan tempatnya kepada perempuan dan anak-anak”
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah membawa perempuan dan anak-anak yang gelisah ke dalam barak itu. Betapa kecemasan membayang di wajah mereka. Anak-anak saling berpegangan ujung baju ibunya yang pucat karena ketakutan pula. Beberapa lama mereka selalu hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Tetapi mereka belum pernah mengalami masa-masa seperti itu. Mereka belum pernah mengungsi dari barak mereka, dan tinggal di barak yang lain, meninggalkan dapur dan alat-alatnya yang setiap hari menjadi tanggung jawab mereka.
Tetapi agaknya kini keadaan sudah menjadi semakin memuncak, sehingga mereka harus mengungsi dari tempat mereka.
“Alat-alat dapur yang penting harus dibawa,” berkata seorang pengawal, “kita tidak harus berhenti makan. Justru di dalam keadaan ini kita harus makan sebanyak-banyaknya. Apakah sisa bahan mentah sudah menipis?”
“Tidak,” jawab seorang laki-laki tua, “bahan mentah masih cukup banyak.”
Orang-orang itu pun kemudian hilir-mudik mengarabil alat-alat dapur dan bahan-bahan mentah yang diperlukan. Seperti kata-kata pengawal itu, bahwa mereka tidak harus berhenti makan.
Demikianlah, maka mereka kini tinggal bersama-sama di dalam satu barak. Dengan demikian, mereka tidak perlu membagi tenaga untuk melindungi dua tempat yang terpisah. Kini mereka dapat memusatkan pertahanan mereka di sekitar satu barak itu saja.
Ternyata bahwa sampai matahari tenggelam tidak terjadi apa pun pada barak itu. Namun mereka harus berhati-hati bahwa di malam hari semuanya dapat terjadi. Karena itu, maka setiap orang harus tetap bersiaga.
Dalam waktu yang sangat sempit itu, para pengawal masih mencoba memberikan beberapa petunjuk untuk mempergunakan senjata masing-masing, bagi mereka yang sama sekali belum pernah mengalami perkelahian sama sekati. Sebagian dari mereka, meski pun dimasa kanak-anak, pada umumnya sudah pernah mengalaminya. Namun apa yang akan mereka hadapi kini adalah jauh berbeda daripada berkelahi di antara kawan sendiri.
Sebagian dari mereka, mencoba mengayunkan pedangnya menebas kayu yang ditanam kuat-kuat ditanah. Mereka belajar menangkis serangan dan mencoba menghindar. Semuanya adalah serba sedikit dan sekedarnya. Namun yang penting bagi mereka, bagaimana mereka menempatkan diri di dalam perkelahian bersama.
Ketika malam yang semakin kelam kemudian turun menyelubungi daerah yang terpencil itu, maka para pengawal pun mulai bertebaran di sekitar barak bersama-sama beberapa orang laki-laki dan terutama mereka yang masih cukup muda. Sutawijaya sendiri duduk di atas tangga serambi bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar, sementara Agung Sedayu dan Swandaru berjalan hilir-mudik di sekitar barak itu.
“Kita harus menyiapkan perangkap” desis Swandaru.
“Apa maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira mereka tidak sekedar datang berjalan kaki. Satu dua di antara mereka pasti ada yang berkuda.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian dahinya berkerut-merut.
“Bagaimana kau akan menjebak mereka?” bertanya Agung Sedayu.
“Dengan tali. Aku akan mengikat tali pada pepohonan setinggi lutut. Kura-kuda itu akan melanggar tali-tali itu dan aku kira, mereka akan jatuh terguling.”
“Ya. Penunggangnya akan terlempar jatuh. Tetapi mereka akan segera bangun dan langsung menyerang barak ini meski pun tidak di atas punggung kuda.”
“Bukankah dengan demikian, kita dapat mengurangi kemampuan pasukan mereka?”
“Pengaruhnya kecil sekali.”
Swandaru merenung sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam “Ya kecil sekali. Tetapi kejutan itu akan mengganggu gerakan mereka. Setidak-tidaknya menghambat kecepatan maju pasukan lawan.”
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Memang ada pengaruhnya. Apakah kau akan mencobanya? Kita harus membuat tali lulup yang panjang. Kemudian kita mengikatnya dari pohon ke pohon, setinggi lutut.”
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian “Besok pagi-pagi aku akan mencari lulup sebanyak-banyaknya. Aku akan membuat tampar dan aku akan membuat perangkap-perangkap itu. Aku juga akan membuat lubang-lubang yang dalam, yang akan kita tutup dengan dedaunan. Kuda-kuda mereka pasti akan terperosok ke dalamnya. Bahkan seandainya mereka tidak berkuda pun, mereka akan terjerumus dan memerlukan waktu untuk memanjat ke atas.”
“Bagaimana kalau kita sendiri yang terjerumus ke dalamnya?”
“Kita akan memberikan tanda. Tanda itu akan kita beritahukan kepada semua orang di barak ini agar bukan merekalah yang justru terperosok masuk.”
“Tetapi bagaimana kalau mereka datang malam ini?
Swandaru menarik nafas. Jawabnya “Kita tidak sempat.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Mereka masih berjalan hilir-mudik dari satu sudut ke sudut yang lain, sambil mengawasi orang-orang yang bertebaran di sekitar barak. Bahkan masih juga ada yang mencoba-coba bermain dengan senjata. Ada yang berlatih mempergunakan parang, tombak, sebuah kapak, dan bahkan ada yang membiasakan diri mempergunakan sepotong kayu panjang sebesar lengan tangannya, yang ujungnya diruncingkan, sebagai pengganti tombak. Ada juga yang mempergunakan panah dan busur yang biasa mereka pergunakan untuk berburu.
“Tetapi kalau lawanmu sudah berada di depan hidungmu, kau tidak akan dapat mempergunakan lagi,” berkata Agung Sedayu kepada orang itu. Lalu, “Jadi kau harus mempergunakan senjata rangkap selain busur dan anak panah.”
“Apa?” ia bertanya.
“Apa saja.”
Orang itu termenung sejenak, lalu, “Aku mempunyai tongkat sepotong besi.”
“Nah, pergunakan tongkatmu itu,” sahut Agung Sedayu. “Cobalah, bagaimana sebaiknya kau mempergunakan tongkat itu sebagai senjata. Para pengawal itu akan dengan senang hati mengajarmu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi tampaknya wajahnya tidak yakin bahwa tongkatnya itu dapat dipergunakannya sebagai senjata. Bahkan ia bertanya, “Tetapi tongkat itu tidak tajam ujungnya. Apakah aku dapat mempergunakan?”
“Ujung cambukku juga tidak tajam seperti pedang.”
“Ya. Ya. Aku akan mencoba mengenal cara untuk mempergunakannya.”
Orang itu pun kemudian berlari-lari masuk ke dalam barak. Bahkan kadang-kadang ia harus melangkahi seseorang yang sedang berbaring dengan gelisah.
“Ada apa?” bertanya seorang tua.
“Tongkatku,” jawabnya singkat.
Maka sejenak kemudian ia sudah diajari oleh seorang pengawal, bagaimana sebaiknya mempergunakan sebatang tongkat sebagai senjata, meskipun malam sudah menjadi semakin malam.
“Sudahlah,” berkata para pangawal yang masih juga memberikan beberapa petunjuk. Lalu, “Sekarang sebaiknya kalian tidur. Di mana pun juga, karena tempat kalian dipergunakan oleh perempuan dan anak-anak. Kalian dapat tidur di emper-emper samping barak dengan sehelai ketepe, anyaman belarak. Atau di atas rumput kering, atau di mana saja. Biarlah kami para pengawal yang mengawasi keadaan. Kalian tidak perlu lagi takut kepada hantu, karena hantu-hantu itu kini telah kemanungsan dan tidak lagi dapat kembali menjadi hantu.”
Orang-orang dari barak itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang sudah merasa lelah dan kantuk, sehingga di mana pun mereka merebahkan diri, mereka akan segera tertidur dengan tenang. Mereka tahu, bahwa para pengawal akan tetap berjaga-jaga, dan hantu-hantu pun sudah tidak akan mengusik lagi.
Para pengawallah yang kemudian membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil yang bergantian mengawasi barak itu dari segala penjuru bersama Agung Sedayu dan Swandaru.
Tetapi sampai cahaya fajar memerah di langit, sama sekali tidak ada seorang pun yang datang mendekati barak itu. Orang-orang yang tertidur dapat mendengkur sampai pagi tanpa ada yang mengusiknya.
Dalam pada itu, Kiai Damar memang belum siap untuk menyerang malam itu. Ia sedang menghubungi beberapa pihak untuk mendapat kekuatan yang meyakinkan. Kiai Telapak Jalak pun telah dihubunginya pula. Beberapa orang bersama Kiai Telapak Jalak sendiri telah datang untuk mengetahui, siapa sajakah yang ada di barak itu, sehingga Kiai Damar tidak dapat menyelesaikannya sendiri.
“Gembala yang keranjingan setan itu,” geram Kiai Damar setelah ia berceritera panjang lebar kepada Kiai Telapak Jalak.
Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia tidak begitu yakin pada ceritera Kiai Damar. Bagaimana mungkin gembala dan anak-anaknya itu mampu mengalahkan Kiai Damar bersama orang-orangnya yang jumlahnya lebih banyak.
“Apakah kau tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat kau kurang cermat menilai keadaan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
“Tidak. Aku kira aku sudah mencoba menimbangnya berulang kali. Aku tidak dapat mengalahkan salah seorang dari orang-orang yang ada di barak itu. Orang-orangku pun dapat dikalahkan oleh gembala dan dua anak-anaknya. Ketika satu demi satu orang-orangku jatuh, maka tidak ada jalan lain bagiku daripada menyingkir sebelum mereka sempat beramai-ramai menangkap aku.”
“Apakah kau tidak melihat tanda-tanda yang aneh pada mereka? Atau barangkali ciri-ciri yang khusus?”
Kiai Damar menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi seandainya dapat juga disebut ciri, gembala itu mempergunakan cambuk sebagai senjatanya. Demikian juga kedua anak-anaknya. Tetapi yang seorang lagi mempergunakan jenis senjata yang lain. Benar-benar senjata. Sepasang trisula kecil dengan seutas rantai.”
Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku belum pernah mengalami perkelahian dengan orang-orang yang memiliki jenis senjata itu. Tetapi, mungkin mereka mempergunakan segala jenis senjata yang dapat mereka ketemukan, kecuali seorang dari padanya, yang mempergunakan sepasang trisula itu.”
“Dan satu hal yang menarik. Mereka mencoba menyebut-nyebut nama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”
“Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi. Setelah dengan singkat Kiai Damar menceriterakan Kiai Dandang Wesi, maka Kiai Telapak Jalak pun berkata, “Mereka ingin membalas cara-cara yang kita pergunakan. Mereka akan melawan hantu dengan hantu.”
“Aku sudah menduga.”
“Aku sependapat, bahwa daerah ini harus dibereskan dahulu. Di daerahku, aku masih tetap menguasai keadaan. Orang-orang yang membuka hutan di daerah itu, masih selalu ketakutan mendengar gemerincing kaki-kaki kuda di malam hari. Orang-orangku yang ada di antara mereka pun masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Demikian juga orang-orang Kiai Branjangan di ujung Selatan. Ia masih juga berhasil menguasai daerahnya baik-baik. Bahkan hampir setiap hari berdatangan ke tempatnya yang terpencil itu, orang-orang yang mohon berkah dan perlindungan. Dengan mulutnya ia berhasil semakin memperkecil arti usaha pembukaan hutan itu.”
Kiai Damar mendengarkannya dengan saksama. Dan tiba-tiba ia berkata, ”Apakah kita perlu mengundang Kiai Branjangan?”
Kiai Telapak Jalak menggelengkan kepala. Katanya, ”Kau tidak percaya kepada dirimu sendiri. Hanya Ki Gede Pemanahan sajalah yang dapat mengalahkan kita di daerah ini. Biarlah kita mencoba menghadapi mereka. Biarlah aku melawan orang yang bersenjata trisula itu. Kau kuasai orang bercambuk, yang kau sebut sebagai gembala itu.”
“Kita masih harus memperhitungkan anak-anaknya.”
“Kita pilih, dua orang kita yang terbaik.”
“Raden Sutawijaya?”
“Kita sediakan dua orang pilihan yang lain.”
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jumlah pengawal Raden Sutawijaya itu pun tidak begitu banyak,” Kiai Telapak Jalak berhenti sejenak. ”Bagaimana dengan orang-orang di barak itu sendiri?”
“Mereka dapat diabaikan. Mereka masih selalu dibayangi oleh ketakutan. Seandainya mereka berusaha berbuat sesuatu, kekuatan mereka tidak akan banyak berarti.”
Kiai Telapak Jalak mengangguk-anggukkan pula. Ia sudah mempunyai gambaran, berapa besarnya kekuatan yang akan dihadapinya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi di dalam olah kanuragan, maka Kiai Telapak Jalak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri. Ia menganggap bahwa selama ini Kiai Damar telah salah hitung. Kiai Damar terlampau menganggap ringan atas orang-orang aneh di antara mereka yang tinggal di dalam barak.
“Besok pengawas-pengawas kita akan mendekati barak itu,” berkata Kiai Telapak Jalak. ”Aku ingin mengerti keadaan di sekitarnya. Sesudah itu baru kita akan menyerang dan melenyapkan segala bekas-bekas yang ada di daerah ini. Kita harus menghilangkan semua kesan, bahwa di sini pernah ada barak, para penghuninya, gardu-gardu pengawas, dan bahkan bahwa di daerah ini pernah dikunjungi oleh Sutawijaya.”
“Tetapi, bagaimanakah sikap Pajang atas kejadian itu?”
“Kita akan menyebarkan pendapat, bahwa mereka telah dikutuk oleh hantu-hantu Alas Mentaok. Hanya orang-orang di daerah ini sajalah yang sedikit banyak telah mengetahui rahasia hantu-hantu itu. Karena itu, apabila mereka dilenyapkan, maka lenyap pulalah semua anggapan, bahwa sebenarnya bukan hantu-hantulah yang telah mengganggu mereka selama ini.”
Kiai Damar sependapat dengan Kiai Telapak Jalak. Mereka menunda serangan mereka untuk membuat perhitungan-perhitungan yang lebih baik.
Kiai Telapak Jalak masih akan mengirimkan orang-orangnya untuk mengetahui keadaan di sekitar barak itu, sehingga dengan demikian ia akan dapat memperhitungkan keadaan dengan tepat, setidak-tidaknya lebih baik dari yang pernah dilakukan oleh Kiai Damar.
Karena itulah, maka di malam pertama itu, tidak ada suatu tindakan apa pun yang dilakukan oleh Kiai Damar dengan pasukannya. Demikian pulalah agaknya dihari berikutnya, selain beberapa orang pengawas yang mencoba mendekati barak.
Ketika malam telah lampau tanpa terjadi sesuatu, maka orang-orang di dalam barak itu mulai meragukan perhitungan Sutawijaya. Mereka menganggap bahwa kemenangan gembala itu pasti akan membuat lawan menjadi semakin ketakutan, bukan sebaliknya.
Tetapi baik Sutawijaya mau pun Kiai Gringsing dan kedua muridnya masih tetap di dalam pendirian mereka. Bahkan mereka menganjurkan agar orang-orang di barak itu mempergunakan waktu yang pendek itu untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kesulitan yang dapat saja datang setiap saat.
Mula-mula mereka agak segan juga. Lebih baik bagi mereka untuk beristirahat, berbaring-baring di atas anyaman belarak jambe, atau duduk-duduk di serambi. Tetapi karena desakan para pengawal, maka mereka pun berdiri juga di halaman sambil membawa senjata masing-masing.
Sejenak kemudian mereka pun berlatih kembali mengayunkan dan mempergunakan senjata mereka. Mereka menebas batang-batang kayu dengan pedang, menusuk-nusuk kayu yang lunak dengan ujung tombak. Mencoba menangkis serangan dan mencoba pula menghindar.
Tetapi ketika keringat mereka mulai mengalir, kembali mereka dijalari oleh keseganan. Tetapi mereka terpaksa memaksa diri masing-masing untuk tetap memegang senjata di halaman.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru tidak ikut serta menunggui latihan-latihan itu. Mereka pergi ke dalam gerumbul-gerumbul di sekitar barak. Dengan lulup kayu, mereka mencoba merentang dari pohon yang satu ke pohon yang lain.
“Apabila mereka berlari dengan tergesa-gesa, mereka tidak akan melihatnya di malam hari, Kakang,” berkata Swandaru.
“Apakah menurut perhitunganmu, mereka akan menyerang di malam hari?”
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sekedar kebiasaan. Mereka biasa bergerak di malam hari selagi mereka bermain hantu-hantuan. Pasti tidak akan terpikir oleh mereka untuk berbuat sesuatu di siang hari.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Alasan yang sederhana sekali. Sama sekali bukan didasari oleh perhitungan medan yang bakal terjadi apabila mereka menyerang, tetapi sekedar didasari alasan yang sangat sederhana. Namun demikian, dugaan itu masuk akal juga.
“Apakah kau mempunyai dugaan lain?“
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, ”Aku juga berpendapat demikian. Mereka akan datang di malam hari. Tetapi bukan sekedar karena kebiasaan. Tetapi mereka pasti menganggap bahwa di malam hari orang-orang di barak kita selalu dibayangi oleh ketakutan. Meskipun seandainya mereka sadar, bahwa orang-orang di barak kita tidak lagi takut terhadap hantu-hantu jadi-jadian itu, tetapi kesan yang mereka dapat adalah, malam hari yang gelap adalah saat-saat yang menakutkan sekali. Di dalam gelapnya malam, apa pun dapat terjadi.”
Swandaru-lah yang kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, ”Pertimbangan yang terlampau sulit. Kenapa kau tidak mencari alasan yang mudah dan dapat masuk akal? Barangkali kau sekedar tidak mau kalah dengan pikiranku.”
“Macammu,” desis Agung Sedayu.
“Kalau tidak, kenapa kau tidak mengiakan saja pendapatku?”
“Baiklah, aku sependapat dengan kau. Aku mengiakan pendapatmu.”
“Sudah tentu aku tidak puas dengan cara itu.”
“Jangan ribut,” sahut Agung Sedayu kemudian, ”sekarang, manakah yang akan dipasang rintangan-rintangan tersembunyi ini?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk, ”Ya, ya. Kita sedang memasang rintangan-rintangan.”
Setelah mereka menimbang-nimbang sejenak, maka mereka pun menemukan beberapa arah yang menurut pertimbangan mereka, akan dilalui orang-orang yang akan mendekati barak itu. Kalau sebelum mereka sampai ke tempat itu, maka orang-orang dari barak itu sudah menunjukkan perlawanan, maka orang-orang yang datang itu pasti akan segera berlari menyerang. Rintangan-rintangan ini akan dapat menahan laju serangan itu dan memberi kesempatan orang-orang yang sedang bertahan menjadi mapan, menghadapi lawan-lawan mereka yang berdatangan, tetapi tidak seperti banjir yang melanda tanggul di tikungan yang dalam.”
Demikianlah Agung Sedayu dan Swandaru telah merentangkan beberapa utas tali lulup setinggi betis, dengan harapan agar lawan mereka mulai terganggu sebelum pertempuran yang sebenarnya mulai.
Tanpa mereka sadari, maka kedua orang itu pun menjadi semakin jauh.
“Haus sekali,” desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang sekelilingnya, barulah ia sadar, bahwa ia telah berada di tempat yang memang cukup jauh.
“Aku haus sekali,” sekali lagi Swandaru berdesis.
“Marilah kita kembali. Kalau kita mempunyai waktu, kita akan pergi memasang tali-tali semacam ini di arah yang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. ”Tentu kita akan pergi keempat arah dan memasang perangkap di semua tempat itu.”
“Aku akan beristirahat dahulu sejenak,” berkata Swandaru kemudian. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah sebatang pohon yang rimbun meskipun tidak begitu tinggi, yang tumbuh di antara batang-batang perdu.
Agung Sedayu pun ikut pula duduk di sampingnya. Tetapi ia tidak bersandar pohon itu.
Tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka mendengar kuda meringkik. Dengan serta-merta mereka, menjatuhkan diri dan berguling menyusup ke dalam batang-batang perdu.
“Kuda. Aku mendengar ringkik kuda, benar?”
“Ya, aku juga mendengar.”
Keduanya pun kemudian bersembunyi semakin rapat. Sambil saling berpandangan mereka mendengar suara derap kuda semakin lama semakin dekat.
Keduanya hampir tidak bernafas lagi ketika kuda-kuda itu berhenti beberapa langkah saja di hadapan mereka bersembunyi.
“Jangan terlampau dekat,” berkata salah seorang dari orang-orang berkuda itu.
“Masih terlampau jauh.”
“Tidak. Kita sudah dekat dengan barak itu. Kita tinggalkan kuda-kuda kita di sini. Kita akan melihat, apa yang dikerjakan oleh orang-orang di dalarn barak itu.”
Dada Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Kalau orang-orang itu berjalan terus, apakah mereka tetap di atas punggung kudanya, atau mereka mendekat dengan berjalan kaki, maka mereka pasti akan melihat rahasia yang baru saja dipasang. Tali-tali lulup yang terentang di antara pepohonan.
“Apakah kita akan mendekati barak itu sekarang?”
“Ya,” jawab kawannya.
“Baiklah. Kita akan berjalan kaki supaya kedatangan kita tidak mereka ketahui.”
Swandaru menggamit Agung Sedayu yang mulai dibasahi oleh keringat dinginnya, ia menjadi bimbang. Apakah orang-orang itu akan dibiarkannya saja, atau sebaiknya orang-orang itu ditangkapnya? Keduanya tidak memberikan keuntungan bagi barak itu. Kalau orang yang datang itu dibiarkannya. Mereka akan mengetahui rahasia tentang tali-tali dan barangkali juga mereka akan melihat dari kejauhan, orang-orang yang sedang berlatih di halaman barak itu. Tetapi kalau mereka akan ditangkapnya, maka ketidak-hadiran mereka kembali ke dalam lingkungan mereka, akan dapat menumbuhkan kecurigaan dan persoalan bagi mereka, sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan bahkan akan lebih memperkuat pasukan yang akan datang ke barak ini, karena baik Agung Sedayu mau pun Swandaru yakin, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang dikirim oleh Kiai Damar untuk melihat keadaan.
Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu melihat orang-orang itu sudah siap untuk turun dan kuda-kuda mereka.
“Empat orang,” katannya di dalam hati.
Tiba-tiba saja tanpa disengaja, tangannya menyentuh sebutir batu sebesar telur. Batu itu ternyata telah menumbuhkan suatu pemecahan yang barangkali dapat dilakukannya. Sambil menunjukkan batu itu kepada Swandaru, Agung Sedayu memberikan isyarat, bahwa ia akan melempar kuda yang berhenti beberapa langkah dari mereka itu.
Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia mengerti, bahwa Agung Sedayu akan mengejutkan kuda-kuda itu, sehingga kuda-kuda itu pasti akan berlari-larian dan sukar dikendalikan.
Demikianlah, maka Agung Sedayu bergeser setapak maju. Kedua tangannya menggenggam masing-masing sebutir batu. Ketika kuda-kuda itu berdiri beberapa langkah daripadanya, dan ketika penunggangnya siap meloncat turun, maka Agung Sedayu pun segera melepaskan kedua butir batu itu, kearah dua ekor kuda yang berdiri di paling depan.
Ternyata usaha Agung Sedayu itu berhasil seperti yang diharapkan. Kedua ekor kuda itu terkejut bukan buatan. Keduanya hampir berbareng melonjak berdiri sambil meringkik keras-keras. Kemudian meloncat dan berlari tidak tentu arah.
Kedua ekor kuda yang lain pun ikut terkejut pula. Tetapi tidak seperti kedua ekor kuda yang pertama, sehingga keduanya masih dapat dikuasai, meskipun keduanya juga berlari secepat-cepatnya. Namun dengan susah payah kedua penunggangnya berhasil menarik kekangnya untuk menentukan arah, agar mereka tidak terperosok justru masuk ke dalam barak. Dengan demikian maka kedua kuda yang terakhir itu berpacu kembali ke arah darimana mereka datang.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya melihat hasil usahanya, sedang Swandaru tidak dapat menahan tertawanya. Tetapi suara tertawanya itu terputus, ketika Agung Sedayu berkata, ”He, kemana yang dua tadi berlari?”
“Entahlah,” Swandaru menggelengkan kepalanya, ”mungkin ke arah barak.“
“Marilah kita lihat. Kalau mereka tidak berhasil mengendalikan kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu pasti akan tersangkut tali yang sudah kita rentang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia pun meloncat berdiri seperti anak-anak yang mendapat mainan. Katanya, ”Ayo kita kejar.”
“Kau akan mengejar kuda-kuda yang sedang liar?”
“Maksudku, kita lihat, barangkali kedua ekor kuda beserta penunggangnya itu sedang berbaring di gerumbul-gerumbul liar itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian berlari-larian sambil mencoba mengamati jejak kuda-kuda yang sedang kehilangan kekangan itu.
Ternyata mereka berhasil menemukan jejak itu. Rerumputan yang patah terinjak-injak, bekasnya di tanah yang gembur dan ranting perdu yang patah.
Sejenak kemudian Agung Sedayu berdesis dan menggamit Swandaru, ”Aku mendengar suara.”
Swandaru pun berhenti. Ia memang mendengar suara beberapa langkah di hadapannya. Ringkik kuda, gemerasak dedaunan dan desah seseorang.
“Pasti salah seorang dari keduanya. Jebakanku mengena,” berkata Agung Sedayu. Lalu, ”Uruslah. Bawalah ke barak. Mungkin aku masih harus mencari yang satu lagi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, ”Tidak ada jejak ke arah lain. Keduanya ke arah ini.”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Ia melihat jejak yang tidak sejalan. Karena itu ia menjawab, ”Lihat, mereka beriringan sampai ke tempat ini. Tetapi kuda-kuda itu bagaikan binal, sehingga penunggangnya tidak dapat menguasainya. Jejak ini pasti salah satu di antaranya. Berputar-putar menerjang gerumbul-gerumbul ini, kemudian berbelok ke kiri.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia mengangguk-angguk.
“Cepat, sebelum ia sempat lari,” berkata Agung Sedayu yang tidak menunggu jawabnya, segera berlari mengikuti jejak kuda yang seekor lagi.
Swandaru yang dengan tergesa-gesa mendekati suara ribut itu pun segera menyakini, bahwa suara itu adalah suara kuda yang sedang berusaha melepaskan diri dari belitan tali-tali lulupnya. Sedang penunggangnya pun agaknya terpelanting dan terjatuh pula di dekatnya. Ternyata Swandaru telah mendengar orang itu mengumpat-umpat tidak keruan.
Swandaru yang sudah menjadi semakin dekat, menjadi lebih berhati-hati. Ia kini bersembunyi di balik dedaunan. Namun ketika ia sudah melihat penunggang kuda itu seorang diri sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya, maka ia pun merayap semakin dekat lagi.
Sejenak kemudian, maka penunggang kuda itu berusaha menenangkan kudanya yang masih berusaha untuk bangkit. Ditepuk-tepuknya lehernya dan dipanggilnya namanya dengan suara lembut
Perlahan-lahan kudanya menjadi semakin jinak. Apalagi ketika kemudian kuda itu berhasil bangun dan berdiri di atas keempat kakinya.
Sambil memegang kendali, penunggangnya masih saja mengusap leher kudanya yang sudah mulai dapat dijinakkan. Meskipun kadang-kadang kuda itu masih menengadahkan kepalanya sambil meringkik tetapi kuda itu sudah tidak berusaha untuk lari lagi.
Setelah kudanya menjadi tenang, maka penunggangnya melanjutkan umpatannya. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah.
Namun sejenak kemudian ia pun terkejut ketika tiba-tiba saja seorang anak muda yang gemuk telah berdiri di hadapannya. Sambil tertawa Swandaru memandanginya dengan tatapan mata yang aneh.
“Kasihan,” desis Swandaru, ”apakah kau terjatuh?”
“Siapa kau?” bertanya orang itu.
“Kau ingin tahu tentang aku?”
Sekali lagi orang itu mengumpat. Dan ia bertanya lagi, “Apa maumu datang kemari?”
“Aku melihat kudamu menjadi gila. Aku mencoba melihat apakah yang terjadi kemudian. Agaknya kau terjatuh.”
“Gila.”
“Ya. Kudamu yang gila.”
“Kau yang gila.”
“Kenapa aku?”
Pertanyaan itu telah membuat penunggang kuda itu menjadi bingung. Karena itu sejenak ia tidak menjawab. Dan karena ia terdiam, maka Swandaru pun berkata pula, ”Hati-hatilah untuk lain kali. Hutan ini meskipun tidak begitu lebat di bagian ini, tetapi banyak rintangan yang dapat menjerat kaki kudamu.”
Orang itu masih berdiam diri. Agaknya ia belum menyadari bahwa kaki kudanya telah terjerat oleh tali lulup yang memang dipasang seseorang.
“Persetan,” orang itu menggeram. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya sekali lagi, ”Siapa kau?”
Tiba-tiba saja Swandaru ingin mengganggunya. Maka jawabnya, ”Apakah kau belum pernah melihat aku?”
“Belum,” orang itu menggeleng.
“Semua orang Mataram mengenal aku. Apalagi orang orang yang sudah berada di pusat tanah ini.”
“Siapa kau?”orang itu tidak sabar.
“Jangan membentak-bentak. Aku sedang akan menyebutkan siapa aku ini.“
“Cepat, sebut namamu.”
“Aku adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Sejenak orang itu terdiam. Wajahnya menjadi tegang dan matanya memancarkan sorot yang aneh.
Swandaru tertawa di dalam hatinya. Ia menyangka bahwa orang itu terkeiut, bahwa tiba-tiba tanpa disangka-sangkanya ia berhadapan dengan Sutawijaya.
Tetapi dugaan Swandaru ternyata salah. Sambil menuding wajahnya, orang itu berkata, ”Jangan mencoba berbohong. Aku sudah mengenal orang yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya tidak gemuk seperti macammu. Meskipun tidak kurus, tetapi tubuhnya langsing seperti kebanyakan orang-orang Istana.”
“Jadi kau tidak percaya?”
“Kau benar-benar gila. Aku tidak percaya.”
“Baiklah. Terserahlah kepadamu. Mungkin kau pernah melihat aku beberapa bulan yang lampau. Aku memang belum segemuk ini. Baru tiga hari aku menjadi gemuk seperti ini.”
Orang itu kini merasa, bahwa anak muda yang gemuk itu sengaja mempermainkannya. Karena itu, maka kemarahannya pun telah memuncak sampai diujung ubun-ubun. Katanya, ”Aku tidak peduli siapakah kau ini. Tetapi kau sudah membuat aku marah. Karena itu, bukan salahku, kalau aku membunuhmu.”
“Jangan berkata dengan istilah yang mendirikan bulu-bulu kudukku. Jangan sebut kematian. Lebih baik kau berbicara tentang dirimu sendiri.”
“Persetan,” giginya menjadi gemeretak, ”kau memang harus dicincang di sini.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menambatkan kudanya yang sudah jinak kembali pada sebatang pohon perdu.
Dengan demikian Swandaru pun kemudian mempersiapkan dirinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa setelah menambatkan kudanya, orang itu pasti akan segera menyerangnya.
Dugaan Swandaru itu sama sekali tidak salah. Dengan wajah yang merah padam, orang itu melangkah setapak demi setapak mendekatinya.
”Apakah kau orang dari barak itu?” orang itu menggeram.
“Ya,” jawab Swandaru.
“Adalah kebetulan sekali. Agaknya kau terlibat juga dalam kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang barak itu atas anak buah Kiai Damar.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya, “Apakah kau bukan anak buah Kiai Damar?”
Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku datang atas permintaan Kiai Damar. Barangkali tidak ada salahnya kalau kau tahu serba sedikit tentang aku, sebelum kau mati.”
“Ya. Aku ingin mendengar.”
“Sudah kau dengar. Aku bukan anak buah Kiai Damar.”
Swandaru mengerutkan keningnya, ”Jadi hanya itu? Hanya sekedar mengetahui bahwa kau bukan anak buah Kiai Damar.”
“Itu sudah cukup. Sekarang kau akan mati.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sekarang aku tahu. Justru karena kau bukan anak buah dari Kiai Damar. Kau pun pasti belum mengenal aku.”
“Jangan sebut dirimu Sutawijaya lagi. Aku muak mendengarnya. Aku sudah pernah mengenal Sutawijaya. Aku pernah melihatnya.”
“Tidak. Aku tidak akan menyebut lagi bahwa aku Sutawijaya. Tetapi setiap anak buah Kiai Damar pasti mengenal aku, karena aku pernah berkelahi melawan mereka dan Kiai Damar.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Ya. Kiai Damar memang pernah mengatakan kegagalannya. Agaknya kau salah seorang dari mereka. Siapa kau?”
“Itu sudah cukup. Kau sudah terlampau banyak mengetahui tentang diriku. Bahwa aku pernah bertempur dengan Kiai Damar, itu adalah pengetahuan yang cukup berharga bagimu sebelum kau mati di sini.”
“Setan alas,” kemarahan orang itu pun segera memuncak. Ia mengerti, bahwa anak yang gemuk itu memang sengaja mempermainkannya. Karena itu, tanpa berkata sepatah kata pun lagi, ia langsung menyerang Swandaru dengan garangnya.
Swandaru yang selalu berhati-hati, sama sekali tidak terkejut menerima serangan itu. Karena itu ia pun segera menghindarkan dirinya. Tangan orang itu terayun tidak lebih dari sejengkal dari pipinya.
Namun yang mengejutkan Swandaru adalah desing tangan itu. Dengan demikian ia dapat menjajagi betapa besar kekuatan lawannya, sehingga dengan demikian ia pun harus menjadi semakin berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian maka mereka pun terlibat dalam perkelahian yang sengit. Orang itu berusaha untuk mengalahkan Swandaru secepat-cepatnya, karena ia sadar, bahwa ia sudah berada di dekat barak yang ingin diamatinya. Ringkik kudanya mungkin dapat didengar dari barak, dan itu berarti memanggil satu dua orang dari mereka. Kalau yang datang Sutawijaya sendiri, maka ia tidak akan dapat pergi lagi dari tempat itu dan kembali kepada induk gerombolannya.
Tetapi tanpa diduganya, ia mendapat lawan yang terlampau kuat baginya. Swandaru yang telah dapat menilai kekuatan lawannya, tidak mau mengambil akibat buruk daripadanya, sehingga ia pun telah bertempur bersungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, segera anak muda yang gemuk itu berhasil menguasai lawannya, meskipun ia masih memerlukan waktu untuk mengalahkannya.
Seperti pesan Agung Sedayu, Swandaru ingin menangkap orang itu hidup-hidup. Dengan demikian, orang itu akan merupakan sumber keterangan tentang orang-orang yang tidak dikenal yang telah mengepung barak ini. Apalagi Swandaru mendengar dari orang itu, bahwa ia sama sekali bukan anak buah Kiai Damar. Dengan demikian Swandaru menduga, bahwa Kiai Damar telah memanggil kelompok-kelompok lain untuk menyerang barak itu kembali.
Tetapi menangkap orang itu hidup-hidup bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi setelah orang itu sadar, bahwa lawannya bukanlah anak muda yang dengan mudah dapat dikalahkan, maka ia pun segera menarik senjata dari sarungnya. Sehelai pedang yang panjang.
Swandaru masih melawannya dengan tangannya untuk beberapa saat. Namun akhirnya, ia menyadari, bahwa dengan demikian, ia menghadapi kemungkinan yang kurang baik baginya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk dengan juntai yang panjang.
Tiba-tiba lawannya mengerutkan keningnya. Kini ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Kiai Damar.
“Ya, yang seorang adalah anak yang gemuk ini. Aku baru ingat ceritera itu sekarang,” katanya di dalam hati. Namun dengan demikian orang itu menjadi semakin berhati-hati. Ternyata lawannya adalah seorang yang tangguh.
Namun sejenak kemudian, orang itu merasa, bahwa ia harus melihat kenyataan. Betapa pun nafsunya membakar dadanya untuk membunuh lawannya, tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa lawannya mempunyai kelebihan daripadanya.
Karena itu, maka orang itu terpaksa berpikir, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang. Tetapi sudah tentu, bahwa ia tidak akan bersedia menyerahkan dirinya. Sebab ia sadar, akibat apa yang dapat timbul apabila ia jatuh ke tangan para pengawal Tanah Mataram ini.
Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang memegang arah jalanannya perkelahian itu. Meskipun orang berkuda itu merencanakan segala macam usaha, namun Swandaru berhasil memaksakan kehendaknya sedikit demi sedikit.
Akhirnya orang itu sampai pada suatu kesimpulan bahwa, ia harus melarikan diri. Ia tidak menyangka, bahwa orang bercambuk yang dikatakan oleh Kiai Damar itu benar-benar orang yang luar biasa. Semula ia menduga, bahwa anak buah Kiai Damar-lah yang sama sekali tidak mampu mempertahankan diri. Tetapi setelah ia mengalami perkelahian, barulah ia sadar, bahwa lawannya memang seorang anak muda yang tangguh.
Karena itu, orang itu berusaha untuk mendapat kesempatan. Setiap kali ia mencoba bergeser mendekati kudanya. Tetapi ia merasa, bahwa ia tidak akan mendapat kesempatan itu. Selagi ia melepas tali tambatan kudanya, anak muda yang gemuk itu pasti sudah berhasil menangkapnya.
“Aku harus lari. Lari saja tanpa membawa kuda itu kembali,” katanya di dalam hati.
Tetapi malang baginya. Ketika ia meloncat surut, kemudian berusaha melarikan diri, ternyata ujung cambuk Swandaru telah membelit kakinya, sehingga ia pun tertelungkup.
Dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Tetapi demikian ia tegak, tangan Swandaru telah menerkam pergelangan tangannya dan memilinnya kebelakang, sehingga tangan itu tidak lagi dapat mempertahankan genggaman senjatanya
Sejenak ia menyeringai menahan sakit. Namun kemudian ia masih juga berusaha melepaskan dirinya. Tetapi semakin kuat ia berusaha menarik tangannya, semakin kuat pula tekanan tangan Swandaru pada pergelangannya dan sekaligus pada punggungnya, sehingga tangannya seakan-akan patah karenanya.
“Jangan, jangan,” ia berdesis.
”Tanganmu akan patah. Dan kau akan kehilangan kegaranganmu.”
“Jangan.”
“Aku tidak peduli. Aku akan membawa potongan tanganmu kembali ke barak dan menyerahkannya kepada Sutawijaya sebagai bukti, bahwa aku telah menemukan seseorang yang sedang mengintai barak ini.”
“Jangan. Jangan dipatahkan tanganku.”
“Aku tidak memerlukan tanganmu lagi.”
“Tetapi, tetapi… aku masih memerlukannya.”
“Oh, maksudmu, aku pun memerlukan sebelah tanganmu, atau sebaiknya kedua-duanya.”
“Jangan, jangan.”
Swandaru semakin menekankan tangan yang terpilin itu pada punggung orang itu sambil mendorongnya maju.
”Tanganmu akan patah.”
“Jangan.”
Tanpa disadari oleh orang itu, Swandaru selalu mendorongnya semakin dekat dengan barak. Setapak demi setapak mereka maju terus.
“Tanganmu itu sangat berharga bagiku,” desis Swandaru.
“Jangan, jangan.”
Swandaru mendorongnya terus. Sehingga akhirnya mereka menjadi semakin dekat. Ketika mereka keluar dari segerumbul perdu, mereka sampai pada sebuah lapangan rumput yang meskipun masih juga ditumbuhi oleh batang perdu yang bergerumbul di sana-sini, namun mereka dapat memandang ke jarak yang agak jauh. Dengan demikian maka orang yang tangannya terpilin itu pun segera menyadari keadaannya. Di kejauhan dilihatnya beberapa orang berjalan hilir-mudik di halaman sebuah barak yang besar. Meskipun jarak itu masih belum dekat benar, dan bahkan masih juga dibayangi oleh beberapa gerumbul, tetapi orang itu tahu benar, bahwa ia telah dipaksa untuk pergi ke barak itu.
Tiba-tiba saja orang menghentakkan tangannya. Tetapi pegangan tangan Swandaru bagaikan besi yang menjepit pergelangannya, sehingga dengan demikian tangannya itu justru menjadi semakin sakit karenanya.
“Jangan mencoba melepaskan diri,” geram swandaru.
“Jangan bawa aku ke sana.”
“Kenapa?”
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.”
“Baiklah, kalau begitu kembalilah kepada orang yang menyuruhmu kemari.”
Orang itu menjadi heran mendengar jawaban Swandaru.
”Ya, kembalilah. Pergilah cepat. Tetapi, masih ada tetapinya,” Swandaru berhenti sejenak, ”kedua tanganmu harus kau tinggal.”
“Gila,” geram orang itu.
“Apa, apa kau bilang?“ Swandaru menekan tangan itu semakin keras.
“Tidak, tidak.”
“Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus mengikuti aku pergi ke barak itu. Kau harus menghadap Sutawijaya dan menjawab semua pertanyaannya, sebelum tubuhmu hancur menjadi kepingan tulang-tulang. Kau mengerti.”
Terasa tubuh orang itu meremang. Dan Swandaru berkata terus, ”Karena itu, jawab sajalah semua pertanyaannya sebelum ia menjadi marah. Kau mengerti? Orang yang menjawab semua pertanyaannya dengan baik, tidak akan mengalami apa pun juga.”
Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Kini tangannya telah berada di dalam genggaman jari-jari Swandaru.
“Kenapa aku tidak melawannya sampai mati,” ia menggeram.
Swandaru yang mendengar justru menyahut, ”Kau tidak akan mati.”
Orang itu menggeram, tetapi ia tidak dapat banyak berbuat. Tangannya seolah-olah sudah tidak dapat dikuasainya sendiri. Yang terasa hanyalah sengatan-sengatan rasa sakit yang semakin tajam.
Dengan demikian, ia tidak dapat menolak ketika Swandaru mendorongnya masuk ke halaman barak. Beberapa orang yang ada di halaman itu tertegun dan memandanginya dengan sorot mata yang aneh.
Tetapi Swandaru terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu sudah duduk di serambi barak itu bersama Sutawijaya. Karena itu, maka ia pun segera bertanya, ”Kenapa kau sudah duduk di situ, Kakang?”
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi ia justru bertanya, ”Itukah orang yang berkuda bersama empat orang kawannya?”
“Ya. Aku ketemukan ia sedang bergumul dengan kudanya.”
“Di mana kuda itu?”
Barulah Swandaru teringat, bahwa kuda orang itu masih terikat di semak-semak.
“He, kuda itu bermanfaat juga bagi kita di sini,” desisnya. ”Baiklah aku akan mengambilnya setelah orang ini aku serahkan. Tetapi bagaimana dengan kau?”
Agung sedayu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk seseorang yang sedang diobati oleh Kiai Gringsing karena luka-luka di kepalanya.
“Kau apakan orang itu?” bertanya Swandaru.
“Aku telah mendukungnya.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Ia jatuh dari kudanya yang gila. Agaknya kepalanya membentur sesuatu. Aku menemukannya dalam keadaan pingsan.”
Swandaru mengumpat perlahan-lahan. Katanya, ”Kau menemukannya pingsan sehingga kau tidak perlu berkelahi.”
“Apakah kau berkelahi?”
“Bertanyalah kepada orang ini,” jawab Swandaru sambil mendorong tangan orang itu.
Orang itu menyeringai kesakitan karena tangannya yang terpilin. Tetapi ia tidak menyahut.
“Kenapa kau diam saja,” bentak Swandaru, ”ayo katakan.”
“Apakah yang harus aku katakan?”
“Jawab dari pertanyaan itu.”
“Apakah yang ditanyakan.”
Swandaru menjadi jengkel. Tangannya memilin tangan orang itu semakin keras, hingga orang itu menjadi semakin kesakitan. Akhirnya ia terpaksa berkata, ”Ya, ya. Kita sudah berkelahi sebentar.”
“Sebut, siapa yang kalah dan siapa yang menang,” desak Swandaru.
“Anak bengal,” desis Agung Sedayu sambil tersenyum. Bahkan Sutawijaya dan Sumangkar pun tersenyum pula. Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mengerutkan keningnya. Di mana-mana Swandaru berbuat menurut kesenangannya sendiri dalam keadaan apa pun juga.
Tetapi Swandaru masih juga memaksanya menjawab, “Ayo jawab. Siapa yang menang dan siapa yang kalah.”
“Ya, ya,” orang itu menyeringai, ”kau yang menang. Kaulah yang menang.”
“Sebut yang kalah.”
“Aku. Akulah yang kalah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, ”Bagus. Kau jujur. Kau dapat berkata sebenarnya. Karena itu, nanti untuk seterusnya kau harus juga menjawab semua pertanyaan dengan sebenarnya. Kalau kau tidak mau menjawab, bukan sekedar tanganmulah yang akan dipilin, tetapi kumismu, eh, lehermu.”
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika tangan Swandaru mengendor, ia dapat melihat satu-satu orang yang duduk di serambi.
Tetapi sekali lagi ia terkejut ketika Swandaru bertanya, ”Nah, kalau kau benar-benar pernah, melihat Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring pasar, yang manakah orangnya.”
“Ah kau,” Agung Sedayu-lah yang menyahut. Ia tidak tahan lagi melihat gurau Swandaru. Sambil mengerutkan dahinya ia berkata, ”Pakaian kita masing-masing telah menunjukkan. Meskipun seandainya ia belum pernah melihat sekali pun.”
“Menurut pengakuannya ia pernah melihat Raden Sutawijaya. Ia tidak percaya ketika aku menyebut namaku Raden Sutawijaya. Katanya Raden Sutawijaya tidak segemuk aku.”
Raden Sutawijaya tidak dapat menahan senyumnya. Karena itu ia pun kemudian berkata, ”Biarlah ia menunjuk, siapakah di antara kami yang bernama Sutawijaya. Ia pasti akan melihat bentuk lahiriah kita. Pakaian kita misalnya.”
Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Ia memang pernah melihat Raden Sutawijaya Tetapi hanya sekilas di pusat tanah Mataram, ketika ia sengaja menyusup ke sana. Tetapi kini ia melihat dua orang anak muda yang duduk di serambi itu, sehingga ia menjadi ragu-ragu, meskipun menilik pakaiannya ia akan segera dapat menunjuk siapakah yang sebenarnya Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Sutawijaya sendiri berkata demikian, ia menjadi bimbang.
“Cepat, sebut yang mana. Salah satu dari kedua anak-anak muda yang duduk itu atau aku. Tetapi jelas, bukan salah satu dari dua orang tua-tua itu,” desak Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dibiarkannya saja Swandaru mengisi waktunya dengan kelakarnya. Orang tua itu pun kembali meneliti luka-luka di kepala orang yang terbanting dari kuda yang liar itu.
Akhirnya, untung-untungan orang itu menunjuk Sutawijaya yang sebenarnya sambil berkata, ”Itulah Raden Sutawijaya.”
“Bagus,” desis Swandaru, ”kebetulan kau menunjuk orang yang benar. Orang yang akan segera memeriksamu dengan seribu macam pertanyaan. Nah, jawablah pertanyaannya, supaya tubuhmu tidak tersayat. Lihat, di sini ada beberapa orang tawanan seperti kau, yang mengalami pemeriksaan sebelumnya.”
Terasa tubuh orang itu meremang. Tanpa sesadarnya ia memandang ke arah Swandaru menudingkan jarinya. Dilihatnya beberapa orang yang duduk dengan lesu dan wajah yang pucat.
“Tentu akan segera datang giliranmu,” berkata Swandaru.
Orang itu tidak menjawab. Ketika Swandaru mendorongnya semakin maju, ia pun maju tertatih-tatih.
“Orang ini memerlukan pengawasan khusus,” berkata Swandaru kemudian, ”ia akan dapat melepaskan diri dan lari kepada kawan-kawannya, apabila kita lengah.”
“Kita terpaksa mengikatnya,” berkata Sutawijaya.
“Tidak mau,” orang itu berteriak, ”aku bukan seekor kuda liar.”
“Jangan hiraukan,” berkata Sutawijaya, ”orang itu memang harus diikat pada tiang.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, ”Aku kira itu adalah cara yang terbaik agar orang ini tidak lari.”
Bagaimana pun juga orang itu meronta-ronta, namun Swandaru mendorongnya ke sebuah tiang bambu petung yang besar. Karena orang itu masih berteriak-teriak saja, maka Sutawijaya pun berkata, ”Kalau orang itu tidak mau diikat, baiklah. Tetapi sebagai jaminan bahwa ia tidak akan lari, patahkanlah kedua kakinya.”
“Tidak mau, tidak mau. Kalian adalah manusia yang paling kejam yang pernah aku temui.”
“Mungkin,” sahut Sutawijaya, ”karena itu jangan mencoba untuk membantah kemauan kami.”
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia hanya dapat mengumpat-umpat di dalam hati ketika seorang pengawal benar-benar telah mengikatnya pada sebuah tiang.
Dalam pada itu, setelah Swandaru duduk di serambi, maka ia pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Bukankah dengan cara ini tidak ada bedanya, bahwa Kiai Damar dan orang-orangnya akan menaruh kecurigaan, seperti kalau kita menangkap saja mereka berempat?”
“Tetapi lain,” berkata Agung Sedayu, ”dalam hal ini, kawan-kawannya benar-benar telah melihat bahwa kuda itu menjadi liar dan melonjak-lonjak. Mereka masih mempunyai beberapa dugaan. Penunggangnya itu dibawa lari ke tempat yang tidak diketahui, atau kemungkinan yang sebenarnya dapat terjadi seperti yang seorang itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya Dan Agung Sedayu berkata selanjutnya, ”Meskipun demikian, pasti juga ada dugaan bahwa orang-orangnya itu telah jatuh ke tangan kita di sini.”
“Orang itu bukan orang Kiai Damar.”
“Orang siapa?”
“Kiai Damar telah minta kepada orang lain untuk membantunya. Orang itu adalah salah seorang dari orang-orang yang didatangkannya itu. Mungkin satu atau dua orang dari empat orang berkuda itu adalah orang-orang Kiai Damar, tetapi yang lain bukan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Aku memerlukan keterangannya,” katanya.
Sejenak kemudian Sutawijaya pun sudah berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang sudah diikat pada tiang itu. Sambil mengacukan ujung tombak pada hidung orang itu ia bertanya, ”Jadi kau bukan orang Kiai Damar?”
Orang itu tidak segera menjawab. Dipandanginya Sutawijaya dengan tajamnya.
“O, kau baru memandang aku? Kau ingin mengenal aku lebih baik lagi? Baiklah. Aku memang bernama Sutawijaya. Akulah yang sudah membunuh orang-orang yang melawan kehendak Ayahanda Pemanahan yang ingin membuka hutan ini menjadi sebuah negeri yang besar. Mungkin memang akulah orang yang paling kejam di dunia ini.”
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, ”Sekarang jawablah, siapakah kau ini? Kalau kau bukan anak buah Kiai Damar, siapakah yang membawamu kemari?”
Orang itu masih berdiam diri. Dipandanginya Sutawijaya dengan tatapan mata yang aneh.
“Kau memandang aku seperti memandang hantu,” berkata Sutawijaya. ”Matamulah yang paling memuakkan bagiku. Karena itu, mata itukah yang akan aku ambil dari dalam rongganya di batok kepalamu.”
Tiba-tiba saja Sutawijaya sudah mendekat dan meraba dahinya sambil mengangkat ujung tombaknya, ”Jangan menyesal, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan melihat wajahmu lagi. Kau tidak akan melihat hijaunya dedaunan dan semaraknya bunga kantil pada ujung batang dan ranting-rantingnya. Kau tidak akan dapat pula melihat cahaya fajar yang kemerah-merahan, membayang di ujung langit di antara gemerlapnya bintang. Kau tidak akan melihat cahaya matahari pagi yang riang meloncat di dedaunan yang hijau. Sekarang, tengadahkan wajahmu, aku akan mengambil kedua biji matamu.”
Ketika Sutawijaya menekan dahinya, tiba-tiba saja orang itu berteriak, ”Jangan, jangan.”
“Apa peduliku?”
“Jangan. Aku tidak mau menjadi buta.”
“Aku tidak peduli.”
“Jangan, jangan.”
Tiba-tiba saja Sutawijaya mencengkam baju orang itu. Sambil mengguncangnya ia bertanya mengejut, ”Siapa yang membawamu kemari? Siapa yang memperbantukan kau pada Kiai Damar.”
“Ki Lurah,” jawabnya menyentak pula.
Sambil menarik leher baju orang itu Sutawijaya membentak lagi, ”Sebut namanya. Atau matamu akan meloncat ke luar.”
“Kiai Telapak Jalak.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya baju orang itu. Terdengar ia menggeram, ”Ternyata keduanya adalah orang-orang yang menerima jalur perintah yang serupa. Sama sekali bukan kekuatan, yang terpisah seperti yang kita duga semula. Yang seolah-olah keduanya belum saling mengenal. Sekarang semuanya menjadi semakin jelas bagi kita.”
Orang-orang yang mendengar keterangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Para pengawal yang mengikuti Sutawijaya pun menjadi jelas pula. Semula mereka menganggap bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan. Bahkan mereka menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar belum saling mengenal. Hanya kebetulan saja keduanya mampu berhubungan dengan hantu-hantu Alas Mentaok.
Sambil memandang orang yang terikat itu, Sutawijaya berkata, ”Jadi sekarang Kiai Telapak Jalak juga ada di sini?”
Orang itu mengangguk meskipun tidak menjawab sama sekali.
“Terima kasih. Aku mengerti, bahwa mereka akan menghancurkan barak ini dengan kekuatan yang mereka gabungkan itu. Itulah sebabnya kami harus bersiaga sepenuhnya,” berkata Sutawijaya.
Kemudian kepada pengawalnya ia berkata, ”Kumpulkan orang-orang semuanya. Mereka harus menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka harus mendapat penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya. Mereka harus mendapat penjelasan pula tentang medan yang bakal mereka hadapi, karena aku yakin bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak hanya akan sekedar bermain-main.”
Lalu, sambil mengacukan tombaknya di muka hidung orang yang terikat itu Sutawijaya bertanya, ”Apakah ada orang-orang tua atau orang-orang yang terpilih.”
Orang yang terikat itu menggelengkan kepalauya.
“Baiklah,” berkata Sutawijaya, ”untuk sementara aku percaya. Dan untuk sementara kau dapat beristirahat bersandar tiang itu.”
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan orang yang masih terikat itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk di serambi bersama dengan Sumangkar dan Kiai Gringsing beserta kedua muridnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang dari barak itu pun sudah berkumpul pula. Para pengawal telah mencoba menjelaskan apa yang akan terjadi.
“Kami sama sekali tidak berniat untuk menakut-nakuti kalian karena kalian memang bukan penakut. Tetapi kalian memang lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya supaya kalian tidak terkejut karenanya, dan justru menjadi kehilangan akal. Sejak sekarang kalian sudah harus mempersiapkan hati kalian masing-masing untuk menghadapi keadaan yang bakal datang,” berkata salah seorang pengawal kepada orang dari barak itu. ”Semuanya yang bakal terjadi memang tergantung sekali kepada kalian. Kalau kalian gigih mempertahankan diri, kalian akan selamat. Tetapi kalau kalian menyerahkan diri kalian kepada keadaan, kepada kehendak dan keputusan lawan, maka nasib kalian pun akan berada di tangan mereka. Kau dapat melihat beberapa contoh di sini. Orang yang menyerahkan dirinya karena sebab apa pun, akan mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Karena itu, kalian tidak boleh mengalami hal itu. Kalian harus berjuang sebaik-baiknya.”
Orang-orang yang mendengarkan uraian pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seakan-akan mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dicengkam oleh ketakutan tanpa arti. Dan ketakutan mereka itulah yang telah membuat mereka hidup dalam keadaan yang sangat tertekan.
Kini seakan-akan mereka menghadap kepada suatu keadaan, yang baru, yang diletakkan di hadapan mereka. Mereka mempunyai kesempatan untuk menentukan keadaan itu.
Di serambi, Sutawijaya pun telah berbicara panjang lebar dengan Kiai Gringsing dan Sumangkar, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Kiai Telapak Jalak menurut pendengaran Sutawijaya dari para pengawalnya adalah seorang yang memang pilih tanding. Itulah sebabnya maka mereka harus benar-benar berhati-hati.
“Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan,” berkata Kiai Gringsing, ”juga atas kemungkinan penggunaan racun.”
“Ya.”
“Untunglah di sini aku menemukan sejenis tumbuhkan yang dapat menawarkan racun. Berhari-hari aku menyelidikinya, akhirnya aku berkesimpulan bahwa pohon itu memang mempunyai kekuatan penawar.”
“Pohon apakah itu?”
“Daunnya kecil bersirip ganda”
“Darimana Kiai tahu?”
“Semula aku hanya menduga-duga. Pohon sejenis perdu itu terdapat banyak sekali di halaman dukun yang terbunuh itu, seakan-akan sengaja telah ditanam. Dan agaknya memang demikian. Aku tidak pasti apakah kasiatnya. Tetapi karena dukun itu mempunyai kemampuan menawarkan racun, aku sudah berpikir ke arah itu. Apalagi, ketika di dapur rumahnya yang kecil aku menemukan daun-daun pohon perdu itu yang sudah kering. Yang sudah dipanasi. Aku yakin bahwa dedaunan itu mengandung kasiat. Ternyata penyelidikanku berhasil. Dedaunan itu mempunyai kekuatan menawarkan racun. Yang aku belum tahu, sampai berapa lama kekuatan itu tetap ada di dalam tubuh seseorang.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak heran, kalau dalam setiap kesempatan seorang dukun seperti Kiai Gringsing itu melakukan percobaan-percobaan.
Tetapi Sutawijaya berkata, ”Hal itu pasti akan menguntungkan sekali. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mempergunakan racun. Racun adalah bahan yang sukar dibuat, sehingga hanya orang-orang penting sajalah yang akan mempergunakannya.”
“Ya. Mudah-mudahan. Tetapi kita harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Persediaan yang ada padaku sudah sangat menipis. Aku sudah cemas apabila pada suatu saat kita akan kehabisan penawarnya. Namun tiba-tiba aku telah menemukannya.”
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di barak itu sudah menyiapkan diri dalam segala kemungkinan. Ia yakin bahwa serangan yang bakal datang pasti sudah diperhitungkan benar-benar oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Tetapi bahwa ada dua orang dari antara, mereka yang hari ini tidak kembali, memang mungkin akan menumbuhkah persoalan-persoalan baru di dalam lingkungan mereka.
Tetapi agaknya Agung Sedayu sudah mempergunakan cara yang paling baik untuk dilakukan. Ia ingin membuat kesan, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak ditangkap oleh Sutawijaya dan pengawalnya. Yang terjadi seolah-olah hanyalah sekedar kecelakaan.
Sejenak kemudian maka persiapan para pengawal dan orang-orang di barak itu pun telah ditingkatkan pula. Swandaru masih sempat melepaskan tali kuda dari orang yang telah ditangkapnya. Tetapi kuda itu tidak dibawanya kembali ke barak, seperti yang direncanakan. Kiai Gringsing menasehatkan agar kuda itu dilepaskan saja. Kalau kawan-kawan orang yang tertangkap itu menemukannya, maka mereka pasti tidak akan segera menduga, bahwa kedua kawannya telah tertangkap. Mereka akan menyangka, bahwa keduanya mengalami kecelakaan selama kuda-kuda itu menjadi liar. Kiai Gringsing mengharap, bahwa mereka memperhitungkan, seandainya kawan-kawannya tertangkap, pasti beserta kudanya sekaligus.
Ternyata perhitungan Kiai Gringsing itu berhasil. Setelah dua orang, dari keempat orang yang menyelidiki barak itu berhasil kembali ke sarang mereka, maka mereka segera membuat rencana baru. Empat orang lain, bersama dua orang yang sempat kembali itu telah dikirim untuk melihat keadaan dan mencari kedua kawannya yang hilang.
Tetapi mereka hanya menemukan kuda-kuda yang lepas. Keduanya berusaha untuk kembali ke sarang mereka. Dan kedua ekor kuda itu telah di ketemukan oleh keenam orang yang mencarinya.
“Di mana penunggangnya?” salah seorang berdesis.
“Kuda-kuda ini benar-benar menjadi liar,” sahut yang lain, yang melihat luka di paha kudanya. Agaknya kuda itu telah berlari tanpa menghiraukan apa pun juga, sehingga kakinya telah tergores sebatang ranting yang patah.
“Bagaimanakah nasib penunggangnya?” orang-orang itu masih saja bertanya-tanya.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi berusaha mendekati barak dari arah yang dilalui semula. Mereka mencari jalan lain untuk mencoba mendekat. Dengan demikian, mereka tidak menemukan tali-tali lulup yang telah direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu di arah depan barak.
Keenam orang itu telah melingkar, agak jauh. Setelah, menambatkan kuda-kuda mereka, maka mereka pun merayap mendekat. Mereka ternyata datang dari arah belakang, sehingga dengan demikian, tidak banyaklah yang dapat mereka lihat.
“Tidak ada pekerjaan yang khusus,” desis salah seorang dari mereka. Dari kejauhan mereka memang melihat seseorang yang berdiri di sudut barak. Kemudian berjalan hilir-mudik sejenak, lalu duduk di bebatur batu.
”Mungkin orang itu memang sedang menjaga barak itu,” berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak mereka bersembunyi di balik semak-semak sambil memperhatikan barak itu baik-baik. Mereka mencoba untuk melihat kalau ada persiapan-persiapan khusus yang perlu mereka beritahukan kepada lurahnya.
”Bukankah tidak ada hal-hal yang menarik perhatian,” berkata salah seorang dari mereka.
“Tidak,” yang lain menyahut, ”Adalah kebiasaan yang wajar bahwa satu dua orang berjaga-jaga di sekitar tempat yang dihuni oleh orang-orang penting. Kali ini Sutawijaya, meskipun aku kira hanya untuk waktu yang singkat. Tetapi sayang, bahwa ia tidak akan pernah kembali ke pusat pemerintahan Tanah Mataram.”
“Apakah dengan demikian kita tidak akan dimusnakan oleh Sultan Pajang?”
Orang yang berbicara tentang Sutawijaya itu tersenyum, ”Memang orang-orang Kiai Telapak Jalak tidak banyak yang mengetahui persoalan ini. Orang-orang Kiai Damar pun sangat terbatas sekali. Tetapi kami sudah mendapat penjelasan, bahwa Sultan Pajang menjadi sangat marah karena Mataram justru telah dibuka menjadi sebuah negeri.”
“Siapa yang mengatakannya?” bertanya kawannya, ”aku kira itu mustahil sekali.”
“Tetapi aku percaya. Kepergian Pemanahan tanpa pamit membuat Sultan Pajang marah. Dengan terpaksa sekali ia menyerahkan Alas Mentaok yang begitu saja dibuka oleh Pemanahan sebelum secara resmi Sultan memberikan. Jadi kemarahan Sultan Pajang kepada Sutawijaya, putera angkatnya yang sejak kecil dipelihara dengan baik, adalah wajar sekali.”
“Omong kosong,” tiba-tiba orang lain lagi memotong, ”seakan-akan kau seorang tumenggung yang mengerti benar akan persoalan itu. Kau pasti mendengar ceritera itu dari orang ke lima, ke tujuh atau bahkan ke seratus kali dari sumbernya. Kita memang tidak tahu apa-apa. Kita amati saja barak itu. Kita laporkan apa yang kita lihat. Apakah Sultan Pajang akan murka atau tidak, itu bukan persoalan, kita di sini.”
Kawan-kawannya tersenyum. Wajah orang yang berceritera tentang Sultan Pajang itu menjadi kemerah-merahan. Tetapi sejenak kemudian ia pun tersenyum pula. Katanya, ”Mungkin aku mendengar dari orang yang langsung berkepentingan.”
“Uh, kau pasti mendengar ketika aku berceritera semalam,” bantah kawannya yang memotong pembicaraannya. Lalu, ”Aku pun hanya mendengar dari orang lain yang sedang mengisi waktunya dengan berbicara.”
“He, apakah aku mendengar dari kau.”
“Tentu. Kau mendengar dari aku, dan sekarang kau menceriterakannya kembali kepadaku. Sekarang kita tidak usah menghiraukannya lagi. Kita akan menghancurkan barak ini. Hancur lebur menjadi abu yang paling lembut.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang itulah tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dihancurkan oleh Sultan Pajang, atau justru akan mendapat hadiah Tanah Mataram, mereka tidak peduli.
“Apakah kita tidak perlu melihat bagian depan dari barak ini?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, ”Kita sudah melihat sebagian. Kalau kuda-kuda liar tadi berlari-larian sampai ke dekat barak ini, maka orang-orang di barak itu justru akan mengintai apakah ada orang-orang lain yang datang. Kalau kita gagal lagi, tidak akan ada keterangan yang akan sampai kepada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tentang daerah ini.”
Yang lain tidak menyahut. Mereka memandang pemimpin kelompok yang harus membuat keputusan terakhir.
“Kita sudah cukup,” berkata pemimpin kelompok itu, ”kita yang hanya merupakan kelompok kecil ini memang sebaiknya tidak melakukan hal-hal yang sangat berbahaya. Misalnya melihat barak dari bagian depan.”
“Jadi?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Kita kembali dan melaporkan apa yang telah kita lihat.”
“Nanti malam kita akan menghancurkan semuanya itu. Kenapa Kiai Damar harus minta bantuan kami kalau yang dihadapi hanya orang-orang malas di dalam barak itu.”
“Jangan berkata begitu,” salah seorang menjawab, ”di antara mereka ada orang yang tidak terkalahkan.”
“Suatu mimpi yang menarik,” desis orang yang lain sambil tertawa.
“Coba sajalah nanti malam. Lehermu akan terjerat oleh ujung cambuk.”
“Memang mimpi yang buruk. Orang-orang tidak terkalahkan yang bersenjata cambuk.”
Yang lain tidak menjawab lagi meskipun hatinya menjadi panas. Tetapi ia yakin bahwa apabila orang-orang Kiai Telapak Jalak itu sudah mengalaminya sendiri, maka mereka pasti akan berkata lain.
Tetapi salah seorang dari orang-orang Kiai Telapak Jalak itu masih berkata, ”Nanti malam aku akan menangkap orang-orang bercambuk itu. Aku ingin menunjukkan kepada kalian bahwa mereka tidak lebih dari penghuni-penghuni barak yang lain.”
Kawannya berbicara masih tetap berdiam diri saja, meskipun hatinya mengumpat-umpat.
Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang yang mengintai barak itu kemudian menarik diri masuk ke dalam gerumbul yang lebih lebat lagi. Sejenak kemudian mereka pun telah menghilang dan kembali kepada kuda-kuda mereka.
“Kita harus segera memberikan laporan,” berkata pemimpin kelompok itu, ”semua jalan sudah rata. Kita akan segera dapat menyelesaikan tugas ini. Kita harus kembali segera ke daerah garapan kami yang sampai saat ini masih dapat kami pelihara dengan baik. Tetapi kalau orang-orang di dalam barak ini tidak dihancurkan, maka mereka pasti akan menyebarkan berita yang sangat merugikan bagi kita.”
Mereka pun kemudian berloncatan keatas punggung kuda masing-masing. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera berderap dan menghilang di dalam rimbunnya semak-semak.
Yang sama sekali tidak mereka ketahui, bahwa sepasang mata selalu mengikuti mereka sejak mereka datang, bersembunyi di dalam semak-semak di belakang barak dan kemudian kembali ke kuda-kuda mereka.
Setelah orang-orang itu hilang di balik semak-semak, maka orang yang mengikuti mereka itu pun berdiri tegak sambil menggeliat. Agaknya punggungnya terasa pegal-pegal setelah sekian lama terbungkuk-bungkuk sambil menahan nafas.
“Nanti malam agaknya mereka akan kembali,” desis orang itu yang tidak lain adalah Kiai Gringsing. Kecurigaannya bahwa akan ada orang baru lagi yang menyelidiki barak itu serta mencari kawan-kawannya ternyata benar. Ia berhasil melihat sekelompok kecil orang-orang yang ingin melihat-lihat barak dan kesiagaannya itu.
“Untunglah bahwa latihan-latihan sudah selesai. Kalau masih, mereka pasti mempunyai perhitungan lain. Mereka pasti akan memperkuat pasukan mereka dan mereka akan lebih berhati-hati. Kini yang mereka perhitungkan adalah Sutawijaya dan pengawalnya,” katanya di dalam hati. ”Tetapi sudah tentu Kiai Telapak Jalak sendiri akan mengambil kesimpulan lain. Agaknya Kiai Telapak Jalak termasuk orang yang agak lebih tinggi tingkat ilmunya dari Kiai Damar. Dan rencana mereka benar-benar bukan rencana yang tanggung-tanggung. Memusnahkan seluruh isi barak ini sampai lumat.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seisi barak itu harus benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak tahu pasti, berapakah jumlah orang-orang yang nanti malam akan menyerang barak ini. Ia juga tidak mengetahui, ada berapa orang yang perlu diperhitungkan untuk mendapat perlawanan khusus.
“Untunglah Adi Sumangkar datang menjemput Swandaru dalam keadaan yang sulit dan berbahaya ini. Kalau tidak, mungkin kami akan mengalami banyak kesulitan,” desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian segera kembali ke barak. Ia segera memberitahukan apa yang dilihatnya kepada Sutawijaya.
“Jadi nanti malam mereka akan datang?”
“Menurut orang-orang itu.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya. Semua kekuatan harus dikerahkan karena mereka tidak mendapat gambaran yang pasti dari kekuatan lawan. Yang dapat menjadi bahan pertimbangan adalah, bahwa dua kekuatan yang ada di ujung-ujung hutan ini telah dipersatukan untuk membinasakan isi barak ini.
Setiap orang di dalam barak itu menyadari, Sutawijaya memang tidak merahasiakan lagi apa yang akan terjadi. Bahkan sekali lagi ia minta para pengawalnya menjelaskan semuanya itu.
“Mereka akan membinasakan barak ini menjadi debu. Semua orang akan dibunuh tanpa ampun. Mereka ingin melenyapkan segala macam ceritera tentang daerah ini. Kegagalan mereka menakut-nakuti kalian sebagai hantu Alas Mentaok. Mereka menjaga agar kegagalan itu tidak akan menjalar ke daerah-daerah lain. Dengan demikian mereka harus menghapuskan sumber yang dapat menyebarkan ceritera itu. Yaitu kita semua. Kita semua akan mereka bunuh. Bahkan bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan dan anak-anak.”
Berita itu memang menumbuhkan ketakutan yang tiada taranya. Perempuan-perempuan mulai menggigil memeluk anak-anak mereka yang dengan heran melihat ibunya menitikkan air matanya.
“Kenapa kita dahulu tersesat ke neraka ini,” keluh seorang perempuan sambil menciumi anaknya.
Akibat yang timbul dari ketakutan itu ternyata luar biasa. Laki-laki yang semula gemetar mendengar ancaman itu, tiba-tiba menggeletakkan giginya melihat isterinya menangisi anaknya yang masih bayi.
“Anak itu tidak tahu apa-apa,” laki-laki itu menggeram di dalam hatinya.
Demikianlah tekad yang bulat telah menggelepar, di dalam dadanya, ”Biarlah aku mati. Tetapi perempuan dan anak-anak harus diselamatkan.”
“Nah,” berkata para pengawal kemudian, ”sekali lagi tergantung kepada kita di sini. Apakah kita akan menyerahkan leher kita, leher isteri tercinta dan anak-anak tersayang kepada serigala-serigala yang buas itu, atau kita masih berusaha untuk mempertahankan diri dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.”
Demikianlah, ancaman itu justru telah menumbuhkan, kebulatan tekad bagi setiap lakì-laki di barak itu untuk mempertahankan dirinya. Mereka telah menemukan kesadaran, berbuat sesuatu atau tidak, mereka akan dibinasakan. Diam pun mereka akan dibinasakan juga. Dari pada mati berpeluk tangan, lebih baik mati bertolak pinggang.
Dengan demikian, maka setiap orang kemudian menyatakan dirinya untuk ikut di dalam perlawanan. Bahkan orang tua-tua pun telah menyatakan kesediaannya. Seorang yang berambut seputih kapas mengacukan tangannya sambil berkata, ”Aku pun pernah menjadi pengawal padesanku. Aku pernah berlatih mempergunakan senjata. Berilah aku senjata. Aku akan berkelahi.“
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi menurut pembagian tugas yang telah mereka perbincangkan, orang-orang tua akan menjaga pintu-pintu barak. Mereka baru akan berkelahi di dalam perlawanan yang terakhir, apabila ada satu dua orang lawan yang berhasil menembus pertahanan dan sengaja akan melakukan perbuatan terkutuk dan tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan dan anak-anak. Bahkan salah seorang pengawal berkata kepada perempuan yang mendukung anak-anak mereka, ”Bukan saja laki-laki, tetapi setiap ibu yang mendukung anaknya pun pasti akan mempertahankan anak-anaknya dengan cara apa pun.”
Demikianlah seisi barak itu pun benar-benar telah dibakar oleh kesiagaan tertinggi dengan tekad yang membara di dalam hati. Mereka sadar, bahwa laki-laki adalah tempat bergantung bagi seluruh keluarga, juga di dalam keadaan yang paling gawat, sehingga sepantasnyalah laki-laki mempertaruhkan nyawa mereka untuk anak dan isteri.
“Kita menunggu sampai hari menjadi gelap,” berkata Sutawijaya. ”Kita tidak tahu, apakah di sekeliling kita tidak ada satu dua orang yang sedang mengintai kita.”
Ketika senja sudah turun, ternyata bahwa Sutawijaya pun telah mengirimkan beberapa orang ke sekeliling barak itu untuk melihat saat-saat lawan mereka mendekati barak. Mereka harus segera mengirimkan tanda dengan panah sendaren apabila keadaan sudah meningkat menjadi semakin gawat.
“Aku ikut dengan kalian,” berkata Swandaru.
“Kau tetap di sini,” berkata Sutawijaya, ”kita akan memperhitungkan setiap persoalan yang timbul.”
Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya Agung Sedayu dengan tatapan mata yang gelisah.
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya, ”Kenapa tidak kau katakan saja supaya para pengawas itu tidak terperosok ke dalam pasanganmu?”
“Apa yang sudah kau lakukan?” bertanya gurunya.
“Kami memasang perangkap. Kami telah merentangkan tali-tali lulup di semak-semak sebelah.”
“Kenapa kau pasang tali-tali itu?”
“Kami ingin menahan laju orang-orang yang menyerang barak ini.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti Sutawijaya dan Sumangkar, ia pun tersenyum. ”Agaknya perangkapmu itu pula yang telah menjerat kaki-kaki kuda yang menjadi liar itu.”
“Ya. Tetapi aku cemas, bahwa justru pengawas kita sendiri yang terjerat kakinya. Karena itu, aku akan ikut serta dan menunjukkan jerat-jerat yang telah kami pasang.”
Tetapi Sutawijaya menggeleng, ”Tidak. Asal saja mereka sudah mengetahuinya, mereka akan berhati-hati. Mereka akan selalu mengingat-ingat di mana mereka menemukan jerat.”
Swandaru mengangguk. Tetapi ia masih tetap mencemaskan para pengawas. Kalau mereka tergesa-gesa mundur apabila lawan sudah mendekat, maka mereka tidak akan lagi dapat mengingat tali-tali yang terentang itu.
Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain. Sutawijaya telah memutuskan mengirim tiga orang pengawas yang terpisah. Mereka hanya sekedar memberikan tanda-tanda. Tetapi mereka sendiri harus segera bergabung dengan induk pasukan.
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera berpencar setelah Swandaru menunjukkan kepada mereka, di mana ia merentangkan tali-tali lulup. Bahkan ada di antaranya yang diikat berganda.
Sepeninggal orang-orang itu, gelap malam telah menyelubungi barak yang terpencil itu, Sutawijaya pun kemudian memerintahkan setiap kelompok yang sudah disusun mulai menyiapkan dirinya. Mereka harus siap di segala saat. Karena itu, maka senjata-senjata mereka tidak boleh terpisah lagi dari tangan masing-masing.
Selain tiga orang yang memencar, Sutawijaya juga meletakkan beberapa orang pengawas dekat di luar halaman barak itu. Seandainya para pengawas yang berpencar itu tidak berhasil melihat gerakan lawan, dan tiba-tiba saja mereka telah berada di dekat halaman, maka masih ada juga yang sempat memberikan tanda bagi orang-orang yang sudah siap menunggu itu.
Demikianlah, sekejap demi sekejap, malam merayap semakin dalam. Gelap yang menjadi semakin pekat telah membatasi jarak pandangan orang-orang yang ada di serambi barak.
Apalagi malam itu, di serambi sama sekali tidak dipasang lampu minyak seperti biasa. Tetapi kali ini lampu minyak yang biasanya tergantung di serambi telah digantungkan pada sebatang pohon di sudut halaman dan yang lain di mulut regol butulan yang tertutup rapat. Bahkan lampu di dalam barak pun seakan-akan tidak sempat menembus lubang-lubang dinding karena memang sengaja diredupkan, dan bahkan ditutup dengan helai-helai daun pisang.
Tetapi dalam pada itu, di serambi dan di segala sudut barak, setiap laki-laki telah siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi.
“Kalau kalian bingung menghadapi seseorang, apakah ia lawan atau bukan, sebutlah kata-kata sandi yang sudah kita tentukan. Kalau orang itu tidak menjawab, maka ia pasti lawan yang harus kita hadapi,” berkata para pengawal.
Semua orang di dalam barak itu sudah mengenal kata-kata sandi yang harus mereka ucapkan. Mereka tidak boleh melupakannya agar tidak menimbulkan salah paham di antara kawan sendiri
Di langit perlahan-lahan bintang gemintang bergeser ke Barat. Angin malam yang sejuk berhembus di sela-sela dedaunan mengusap wajah-wajah yang tegang di sekitar barak itu. Derik bilalang di daun ilalang terdengar sahut-menyahut tidak putus-putusnya.
“Kalian dapat menunggu sambil beristirahat,” berkata salah seorang pengawal yang memimpin sekelompak kecil laki-laki penghuni barak itu, ”duduklah. Berbuatlah seenaknya seperti tidak akan terjadi apa-apa, meskipun dalam kesiap-siagaan. Kita akan mendapat tanda apabila bahaya itu sebenarnya akan datang.”
Seorang laki-laki muda tiba-tiba menjawab, ”Mereka akan datang dekat tengah malam.”
“Darimana kau tahu?” bertanya pengawal itu.
“Demikianlah kebiasaan mereka. Selagi mereka masih bermain hantu-hantuan, mereka datang dekat tengah malam. Aku kira kali ini pun mereka akan datang dekat tengah malam.”
“Memang masuk akal. Mereka tidak akan dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang sudah berlangsung lama. Di daerah Selatan, hantu-hantu itu juga keluar dekat tengah malam. Kami pun pernah terjebak dalam kepercayaan atas hantu-hantu itu, meskipun kami ragu-ragu. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa yang terjadi di daerah Selatan tidak banyak bedanya dengan daerah ini. Agaknya kedatangan laki-laki yang bersenjata cambuk bersama dua orang anaknya itu sangat menentukan bagi daerah ini dan bahkan ujung-ujung yang lain dari daerah yang sedang dibuka ini.”
“Ya, orang-orang itulah yang dengan caranya yang kadang-kadang aneh dan tidak kami mengerti, akhirnya mengungkapkan semuanya yang selama ini masih gelap bagi kami di sini. Hantu-hantu, jerangkong, kuda semberani, dan segala macam lagi. Tetapi kini kami sudah berdiri berhadapan dalam keadaan yang pasti. Apa pun yang akan terjadi.”
(bersambung ke Episode 060)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar