S1-E65 Ketegangan Pajang dan Mataram Menjelang Perkawinan Untara

KEDUA anak-anak muda itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi keduanya hanya menundukkan kepalanya saja, meskipun keduanya dapat mengerti, bahwa yang dikatakan oleh gurunya itu memang bukan sekedar persoalan yang tidak bersungguh-sungguh yang dapat sekedar didengarkannya sambil berbaring. Namun demikian keduanya tidak dapat segera menanggapinya.
Tetapi Kiai Gringsing pun memang tidak memerlukan jawaban. Ia hanya sekedar memberi bahan pertimbangan bagi anak-anak itu agar dikemukakannya kepada orang tuanya.
Tetapi Swandaru ternyata bertanya, “Apakah ayah dan ibu harus pergi menempuh jarak sejauh itu, Guru?”
“Ya. Terutama ayahmu. Tetapi karena perjalanan yang sulit, maka agaknya ibumu tidak usah ikut pun tidak akan menimbulkan persoalan apa pun. Selain Nyai Gede Argapati juga sudah tidak ada lagi, Ki Gede pun akan menyadari, betapa sulitnya perjalanan seorang perempuan melintasi Alas Mentaok, yang meskipun sebagian sudah dibuka. Menyeberangi Kali Opak dan menghadapi kerusuhan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Karena setiap saat dapat tumbuh kelompok-kelompok penyamun yang mengganggu jalan di daerah yang berhutan-hutan. Apalagi daerah yang semakin ramai, tetapi belum dilengkapi dengan jalur-jalur jalan yang memadai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa hal itu memang harus dilakukan dan ayahnya pun harus tidak berkeberatan. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, apakah dalam keadaan yang semakin gawat, ayahnya dapat meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi Untara, seorang senapati yang bertanggung jawab di daerah Selatan ini sempat juga memikirkan kebutuhan manusiawi. Sebagai seorang laki-laki, ia akan sampai juga pada suatu saat, bahwa ia harus hidup bersama dengan seorang isteri,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi ia tidak perlu meninggalkan tugasnya.”
Tetapi Swandaru tidak mengatakan persoalan itu. Waktunya masih cukup panjang. Setelah bulan depan. Setelah Untara benar-benar kawin, sehingga ayahnya akan sempat menghadiri perkawinan itu.
Demikianlah, ternyata bahwa Untara tidak sekeras yang dibayangkan oleh Agung Sedayu sebelumnya. Ternyata ia menerima adiknya dengan baik, setiap Agung Sedayu berkunjung kepadanya bahkan sekali-sekali bersama-sama dengan Swandaru.
“He, kau masih saja bulat,” berkata Untara ketika Swandaru datang untuk pertama kalinya ke Jati Anom.
Swandaru tertawa.
“Tetapi kau jadi bertambah pendek,” Untara meneruskan.
“Mungkin,” jawab Swandaru, “aku memang bertambah pendek. Tetapi Kakang Untara bertambah tampan. Aku belum pernah melihat Kakang Untara berpakaian serasi sekarang.
“Ah.”
“Semakin dekat dengan hari-hari yang mendebarkan itu, Kakang Untara harus lebih banyak mesu diri. Berpuasa dan banyak memberi kepada orang lain, agar kelak Kakang Untara mendapat seorang anak yang seperti dicita-citakan.”
Untara tertawa. Selama di Sangkal Putung ia mengenal Swandaru sebagai seorang anak muda yang terbuka hatinya, suka bergurau, tetapi hatinya sekeras batu.
Namun ternyata, hubungan yang akrab antara Untara dan adiknya, apalagi dengan Swandaru, menimbulkan ketidak-puasan bagi sebagian perwiranya. Kebencian mereka kepada Agung Sedayu masih saja melekat di hati mereka. Terutama perwira yang pernah dikalahkan di dalam perkelahian di tengah sawah oleh Agung Sedayu.
Tetapi Untara adalah seorang senapati yang sangat berpengaruh bagi mereka, sehingga tidak seorang pun yang dengan terang-terangan berani menentangnya.
Saat perkawinan Untara itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Sebagai seorang senapati, maka para perwira tinggi di Pajang, mau tidak mau harus memperhatikan hari yang penting bagi jalur kehidupan Untara itu. Karena itu, maka Jati Anom pun untuk beberapa saat menjadi pusat perhatian bagi pemimpin pemerintahan di Pajang.
Yang akan dirayakan adalah seorang senapati besar, sedang yang memangku perhelatan yang akan berlangsung adalah Widura, pengganti ayah ibunya, juga seorang bekas prajurit Pajang yang namanya dikenal sejak perlawanan yang sangat berat menghadapi tekanan Tohpati di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang di Jati Anom sibuk menghadapi hari yang besar bagi Untara, yang menjadi semakin dekat, Agung Sedayu dan Swandaru yang sedang berada di luar padukuhannya terkejut, ketika dijumpainya seorang yang berdiri di tengah jalan menghentikan langkahnya. Menilik pakaiannya, ia bukan orang Sangkal Putung, bukan pula dari padukuhan di sekitamya. Pakaiannya yang kotor dan kumal menunjukkan, bahwa ia telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Namun dua pasang mata yang tajam itu, melihat di balik bajunya, sebilah keris yang dianggar di lambungnya.
“Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni,” bertanya orang itu.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menyahut. Namun akhirnya hampir berbareng mereka berkata lantang, “Wanakerti.”
Orang itu membuka tudung kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalian masih mengenal aku.”
Sambil menepuk pundaknya Agung Sedayu menyahut, “Wajahmu hampir tidak aku kenal karena debu yang melekat. Tetapi aku tidak lupa warna suaramu.”
Wanakerti tertawa.
“Marilah, datanglah ke rumahku. Bukankah kau memang mencari kami berdua?”
Wanakerti menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku memang mencari kalian berdua. Tetapi aku tidak akan singgah ke Kademangan Sangkal Putung.”
“Kenapa?”
Wanakerti tidak segera menjawab. Keragu-raguan membayang pada sorot matanya. Namun kemudian ia berkata, “Apakah aku masih berhadapan dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang dahulu.”
Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Yang menyahut adalah Agung Sedayu, “Kaulah yang terasa asing bagiku. Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya demikian?”
Wanakerti tersenyum. Jawabnya kemudian, “Jika demikian, kalian masih tetap Agung Sedayu dan Swandaru yang aku kenal dan yang dikenal baik oleh Raden Sutawijaya.”
“Kau mengemban tugas dari Raden Sutawijaya?” Agung Sedayu langsung menyentuh persoalan yang dibawa oleh Wanakerti.
Wanakerti menganggukkan kepalanya.
“Apakah kau akan mengatakan kepadaku?”
“Ya. Hanya Agung Sedayu-lah yang dapat menjawabnya dengan tepat jika dikehendakinya.”
“Kau aneh,” desis Agung Sedayu.
“Maksudku, aku hanya ingin berhati-hati.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti, kenapa Wanakerti menjadi sangat berhati-hati terhadapnya setelah ia berada di Sangkal Putung.
“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, kemudian, “aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu kalau aku mengerti.”
“Kau tentu mengerti,” Wanakerti tersenyum.
Agung Sedayu mencoba tersenyum pula betapa pun hambarnya.
“Agung Sedayu,” berkata Wanakerti, “aku hanya ingin mendapat kepastian, apakah Untara benar-benar akan kawin?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau tentu sudah mendengarnya.”
“Ya. Aku memang mendengar ceritera, bahwa Untara akan segera kawin. Karena itu aku akan meyakinkannya.”
“Kau terlampau teliti. Maksudku Raden Sutawijaya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kau tentu sudah mendapat bahan yang lengkap dari hari perkawinan itu.”
“Aku memang harus mendapat bahan yang lengkap. Jika aku kembali ke Mataram, aku harus memberikan perincian yang sekecil-kecilnya dari perkawinan itu. Dan aku mengharapkan dapat memenuhi tugas itu. Karena itu, aku menemuimu.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Bagiku kau adalah seorang yang paling dekat dengan Untara, dan kau adalah orang yang sudah aku kenal dan mengenal aku dan Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang sebenarnya ingin kau ketahui? Hari perkawinannya atau siapakah isterinya?”
“Kedua-duanya, dan kenapa Untara kawin dengan puteri Rangga Parasta?”
“O, jadi kau sudah tahu, dengan siapa Kakang Untara akan kawin?” Aku juga sudah mendengar, bahwa isteri Kakang Untara bernama Tundunsari, puteri Rangga Parasta. Tetapi aku tidak tahu apakah sebabnya? Menurut paman Widura, isteri Kakang Untara sebaiknya adalah seorang gadis yang mengerti tentang Kakang Untara, sabar, dan luruh. Menurut pendapatku, Tundunsari memenuhi syarat itu, sehingga agaknya Paman Widura-lah yang telah menghubungkannya.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Memang mungkin suatu kebetulan. Tetapi Rangga Parasta adalah salah seorang yang tidak pernah sesuai jalan pikirannya dengan Ki Gede Pemanahan, hampir di segala hal.”
“Ah,” desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng. “Tanggapan itu agaknya sudah terlampau jauh,” sahut Agung Sedayu
“Barangkali Kakang Untara tidak pernah memikirkannya,” sambung Swandaru.
“Memang mungkin sekali. Untara mungkin tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi siapakah yang menempatkan Untara pada tempat yang akan menjadi pusat persoalan itulah yang ingin aku ketahui.”
Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Itu pun tidak ada hubungannya apa-apa. Tentu Paman Widura yang menjadi penghubung. Mungkin Paman Widura sama sekali tidak menghiraukan persoalan-persoalan semacam itu.”
Wanakerti tersenyum. Katanya, “Widura adalah bekas seorang pemimpin prajurit Pajang.”
“Jadi kau menyangka, bahwa bukan saja kebetulan kalau Paman Widura memilih Tundunsari bagi isteri Kakang Untara?”
“Mungkin bukan Widura sendiri. Aku sangka pasti ada perantara yang lain yang telah mempertemukan Widura dengan Rangga Parasta.”
“Aku tahu. Paman Widura mengenal Rangga Parasta dengan baik. Mungkin dalam suatu kunjungan atau dalam suatu pembicaraan masalah itu tersentuh, sehingga terbukalah jalan bagi persoalan itu untuk seterusnya.”
Wanakerti mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi kemungkinan yang aku katakan, bukan mustahil. Seseorang yang ingin menyeret langsung Untara ke dalam persoalan yang gawat ini dengan mempergunakan hubungan yang paling erat di dalam hidup seseorang. Kau tentu sudah tahu, bahwa banyak prajurit yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Mereka merindukan Pajang yang besar. Tetapi mereka kehilangan harapan karena sifat Sultan Pajang yang dengan perlahan-lahan telah berubah dari perjuangan yang gigih untuk mencapai cita-citanya kepada kemukten yang berlebih-lebihan sekarang ini. Namun mereka tidak ingin melihat orang lainlah yang akan dapat meneruskan perjuangan Pajang untuk mencapai kebesarannya, meskipun pusat pemerintahan itu kelak akan berganti nama.”
“Ki Wanakerti,” bertanya Agung Sedayu, “apakah kira-kira demikian juga yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya, jika aku langsung menjumpainya?”
Tiba-tiba saja wajah Wanakerti menegang. Namun sejenak kemudian ia tertawa, “Memang mungkin tidak tepat seperti yang aku katakan. Agaknya kau memang seorang anak muda yang tangkas. Kau agaknya menangkap sikapku sendiri terselip di antara kata-kataku. Namun demikian, sikap Raden Sutawijaya tidak akan jauh berbeda.”
“Kau sudah mengambil kesimpulan, Ki Wanakerti,” berkata Swandaru. “Agaknya Raden Sutawijaya belum mengambil kesimpulan sejauh itu.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku keliru. Ternyata aku berbicara dengan murid-murid Truna Podang. Tetapi pada dasarnya, tugas itu memang harus aku jalankan.”
“Aku percaya, bahwa Raden Sutawijaya ingin mendapat bahan pertimbangan tentang perkawinan Kakang Untara dengan Tundunsari. Tetapi belum mengambil sikap seperti yang kau katakan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ia berhadapan dengan anak-anak muda yang berpikir dengan tangkas, seperti ketangkasan mereka dalam olah kanuragan. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan surut beberapa langkah. Aku akan membatasi pertanyaanku dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama. Apakah perkawinan Untara dengan puteri Rangga Parasta itu hanya suatu kebetulan atau ada seseorang yang sengaja menjerat Untara ke dalam suatu sikap yang keras terhadap Mataram?”
“Ki Wanakerti,” berkata Agung Sedayu, “aku yakin, bahwa Kakang Untara bukan anak-anak lagi. Ia adalah seorang senapati yang sudah dewasa. Senapati yang mempunyai sikap yang masak. Jika ia sudah menempatkan dirinya di bawah perintah Sultan Pajang, ia akan menjalankannya, menjadi atau tidak menjadi menantu Rangga Parasta. Tetapi kalau Kakang Untara bersikap lunak terhadap Mataram, ia akan tetap bersikap demikian. Jika kemudian ada perkembangan sikapnya, itu sama sekali bukan karena ia memperisteri puteri Rangga Parasta, tetapi itu adalah perkembangan nalarnya sendiri.”
Ki Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku mengerti. Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita. Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pentingnya. Kau lihat, apa yang terjadi dengan Sultan Pajang sekarang ini?”
“Kau berkata lagi tentang sikapmu sendiri.”
“O, maaf. Tetapi baiklah. Mudah-mudahan tanggapanmu terhadap Untara tepat. Kau adalah adiknya dan kau pasti mengenal sifat-sifatnya.”
“Aku yakin. Demikian juga sikap Paman Widura.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Jadi tepatnya kapan Untara akan kawin?”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Mereka tampak ragu-ragu untuk menjawab.
“Aku tidak akan berbuat apa-apa,” berkata Wanakerti. “Juga Raden Sutawijaya tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin tahu. Maaf, apakah perkawinan inilah yang sebenarnya meningkatkan kesibukan pasukan Pajang di Jati Anom?”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku mengerti. Baiklah. Perkawinan akan berlangsung sepuluh hari lagi. Tentu kehadiran para prajurit di Jati Anom adalah karena perkawinan Kakang Untara. Bukan karena perkawinan itu sekedar sebagai alasan yang tersamar untuk meningkatkan kegiatan para prajurit Pajang yang sedang menghadapi Mataram, atau katakanlah, bahwa selagi Untara kawin, pasukan yang sudah dipersiapkan akan maju mendekat ke Mataram, bahkan lebih jelek lagi dari itu, menyerang Mataram.”
Wajah Wanakerti menegang sejenak. Namun sekali lagi ia tersenyum dan berkata, “Terima kasih. Beruntunglah, bahwa aku berbicara dengan anak-anak muda yang dewasa. Aku kira bahan-bahan yang harus aku kumpulkan untuk sementara sudah cukup.”
“Apakah Ki Wanakerti benar-benar tidak akan singgah ke rumahku?” bertanya Swandaru.
“Terima kasih. Lain kali aku akan singgah. Sekarang aku harus secepatnya kembali. Raden Sutawijaya menunggu keteranganku.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Swandaru masih juga berkata, “Ki Wanakerti. Guru, eh maksudku Ki Truna Podang akan senang sekali menerimamu, jika kau mau singgah.”
“Maaf, sampaikan kepada Kiai Gringsing, bukankah gurumu bernama Kiai Gringsing?” sahut Wanakerti. “Bahkan kali ini aku tidak akan dapat singgah.”
“Sayang sekali. Jika Ki Wanakerti dapat bertemu, maka setidak-tidaknya guru akan teringat kepada hutan yang lebat itu dan mungkin kau akan mendengar pertanyaannya, bagaimana sikapmu dan sikap Raden Sutawijaya terhadap Pangeran Benawa.”
“Ah,” sekali lagi wajah Wanakerti menegang. Tetapi ia pun tersenyum pula sambil berkata, “Pangeran Benawa adalah seorang yang baik menurut Raden Sutawijaya. Terlalu baik.” Namun kemudian Wanakerti berkata, “Sudahlah. Lain kali kita berbicara banyak tentang Pajang, tentang Sultan Adiwijaya, tentang Pangeran Benawa.”
“Dan tentang Raden Sutawijaya sendiri,” potong Agung Sedayu.
“Ya, tentang Raden Sutawijaya sendiri,” Wanakerti mengangguk-angguk. “Sekarang aku minta diri. Aku menunggu kalian sejak pagi di bawah pohon randu itu. Aku yakin, bahwa suatu saat kalian akan keluar dari padukuhan.”
“Kebetulan sekali. Bagaimana kalau aku tidak keluar juga?”
“Terpaksa sekali aku berjalan melalui regol kademangan. Tetapi aku memang tidak ingin singgah. Maaf. Sekarang aku minta diri.”
“Apakah kau tidak membawa tunggangan?”
Wanakerti tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
Agung Sedayu dan Swandaru tersenyum. Bahkan Swandaru berkata, “Aku tahu, kau sembunyikan kudamu, atau seseorang menunggumu di tempat lain sambil menunggui kudamu. Apakah kau sekarang menjadi petugas sandi dari Mataram?”
“Ah,” Wanakerti berdesis. Tetapi ia tidak menjawab selain senyumnya yang masih saja tampak di bibir.
“Hati-hatilah. Jangan kau sesorah di simpang empat, ‘inilah petugas sandi dari Mataram,’ supaya orang-orang itu tahu bahwa kau seorang petugas sandi.”
“Ah,” Agung Sedayu-lah yang kemudian menggamit Swandaru.
“Terima kasih,” berkata Wanakerti sambil masih saja tersenyum. “Aku minta diri.”
Demikianlah, maka Wanakerti pun segera meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru yang masih termangu-mangu untuk sesaat. Namun ketika Wanakerti menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah kita kembali. Kita beritahukan kedatangannya kepada guru.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih memandang Wanakerti yang berjalan semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Desisnya, “Di mana kudanya ditinggalkan?”
“Tentu agak jauh. Tetapi biarlah. Kita sekarang menemui guru.”
Keduanya pun kemudian segera kembali ke Kademangan. Yang pertama-tama mereka beritahu tentang kehadiran Wanakerti adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing kemudian berkata, “Ternyata ketegangan yang ada antara Mataram dan Pajang semakin lama semakin meningkat, meskipun masih belum sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi agaknya Mataram pun selalu bercuriga seperti juga para prajurit di Pajang.”
“Setiap orang membuat terjemahan sendiri mengenai keadaan yang berkembang,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumangkar pun berkata, “Mungkin sekedar suatu sikap berhati-hati.”
“Ya,” berkata Swandaru, “tetapi agak berlebih-lebihan.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang membayangkan hubungan batin yang semakin renggang telah terjadi antara Sultan Pajang dengan putera angkatnya, Raden Sutawijaya. Keduanya tidak dapat menemukan jalan yang menghindarkan mereka dari ketegangan itu.
“Tetapi Mataram tidak akan berbuat sesuatu lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing. “Kecuali Mataram memang belum siap, aku kira para pemimpin di Mataram masih menaruh hormat kepada Sultan Pajang, meskipun ternyata mereka tidak lagi dapat bekerja bersama.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun berpendapat, bahwa Sutawijaya tidak akan mengambil sikap yang keras terhadap Pajang jika tidak terpaksa.
Namun mereka pun sadar, bahwa yang menentukan bukan saja Sutawijaya. Orang-orang yang langsung berada di lingkungan keprajuritan dapat memancing suasana, sehingga pada suatu saat, tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain kekerasan.
Demikian juga agaknya para prajurit Pajang. Mereka tidak ingin menunggu Mataram menjadi kuat. Bahkan beberapa orang di antara mereka berpendapat, Mataram harus dihancurkan segera sebelum berkembang.
Tetapi pemimpin tertinggi dari kedua daerah yang semakin lama menjadi semakin jauh itu masih selalu mencoba mengekang diri, agar mereka tidak terperosok ke dalam pertentangan yang semakin dalam.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar tidak menganggap perlu menyampaikan hal itu kepada Untara. Dengan demikian akan dapat menimbulkan ketegangan perasaan justru menjelang hari perkawinannya. Karena mereka berpendapat, Mataram tidak akan berbuat kasar.
Namun demikian, memang mungkin sekali ada orang yang berusaha memancing di air keruh, atau sengaja menimbulkan kesan tentang hubungan yang semakin jelek antara Pajang dan Mataram. Orang-orang yang licik seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, dapat saja berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kesan seakan-akan pihak-pihak yang sedang dibakar oleh ketegangan itulah yang telah berbuat. Bahkan mungkin orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang kecewa atas kegagalan mereka, sengaja membuat keributan di sekitar Jati Anom dan menyebut dirinya orang-orang dari Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mengambil keuntungan dari pertentangan yang akan terjadi.
“Apakah kita dapat berbuat sesuatu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Mungkin kita dapat berbuat sesuatu,” jawab gurunya. “Dalam saat-saat perkawinan itu, kita pasti akan hadir. Nah kita dapat berhati-hati menanggapi setiap persoalan. Di tempat itu tentu akan penuh dengan perwira dari Pajang kawan-kawan Untara. Jika penjagaan tidak cukup baik, memang mungkin sekali timbul persoalan yang tidak kita kehendaki dari orang-orang yang sengaja akan mengambil keuntungan dari suasana yang memburuk itu.”
“Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati. Kita adalah orang-orang yang berdiri di luar pertentangan itu sendiri, “berkata Sumangkar, “sehingga kita dapat memandang persoalannya dari jarak yang cukup.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, dan mereka pun telah menyediakan diri mereka untuk melihat setiap kemungkinan yang tidak diharapkan selama perkawinan Senapati Pajang yang berkuasa di daerah Selatan ini berlangsung, apalagi di dalam kemelutnya ketegangan yang semakin memuncak.
Demikianlah, semakin dekat dengan hari-hari perkawinan, Widura yang akan menjadi orang tua Untara, menjadi semakin sibuk. Rumahnya menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang mulai menyiapkan segala sesuatu. Dari rumah itulah, Untara akan berangkat ke rumah mempelai perempuan beberapa hari sebelum hari perkawinan. Dan pada hari yang kelima, di rumah Widura itulah akan diselenggarakan upacara menerima sepasang pengantin itu oleh orang tua penganten laki-laki yang akan dilakukan oleh Widura.
Hari-hari yang menegangkan adalah justru pada hari kelima. Pada hari upacara sepasaran dan menjemput pengantin itulah, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi, karena justru rumah Untara di Jati Anom, sedang mempelai perempuan, putera Rangga Parasta, berada jauh di belakang garis tegang antara Pajang dan Mataram, karena Rangga Parasta tinggal di Pengging.
Tetapi Rangga Parasta sendiri jarang sekali berada di rumahnya. Ia hampir selalu berada di Pajang karena setiap saat ia diperlukan oleh pimpinan tertinggi pemerintahan di Pajang.
Demikianlah, maka menjelang keberangkatan Untara ke Pengging beberapa hari menjelang hari perkawinan itu, Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Sebagai seorang saudara muda, ia ikut sibuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Bahkan Swandaru pun ternyata bersedia tinggal bersamanya di rumah Widura untuk mengawaninya.
“Kenapa kau tidak tinggal di rumahmu sendiri?” bertanya Swandaru. “Bukankah rumahmu cukup besar. Bahkan seandainya Untara merayakan perkawinannya di rumahnya itu pun agaknya pantas juga, karena rumah itu cukup baik.”
“Rumah itu kini dipergunakan untuk kepentingan prajurit Pajang. Apalagi Paman Widura yang mewakili ayah dan ibu minta Untara tinggal di sini. Agaknya Paman Widura ingin sekali-sekali menyelenggarakan perhelatan, karena anak-anaknya sendiri masih terlalu muda untuk kawin.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Untara seorang senapati besar dari Pajang itu, pasti akan merelakan rumahnya untuk kepentingan para prajurit, meskipun ia sendiri membutuhkannya.
“Jadi, bagaimana dengan kau kelak?” tiba-tiba saja Swandaru bertanya.
“Bagaimana dengan aku?”
“Ya, jika kau kawin kelak, dan rumah itu masih saja ditempati para prajurit.”
“Mereka tidak akan tinggal di rumah itu untuk selamanya. Aku juga tidak tahu, di mana Kakang Untara akan tinggal setelah ia kawin. Apakah ia akan tinggal bersama-sama dengan para perwira itu, atau ia akan tinggal bersama Paman Widura.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, rumah Widura menjadi semakin sibuk. Untara sudah meninggalkan rumahnya sendiri yang dihuni oleh para perwira dan tinggal bersama Widura. Tugasnya sehari-hari telah diserahkannya kepada perwira yang tertua kedudukan dan umurnya. Tetapi hal-hal yang penting masih tetap ditanganinya sendiri.
“Kau sudah harus mulai mengurangi makan dan minum,” gurau Swandaru yang juga tinggal bersama Agung Sedayu di rumah Widura menjelang hari perkawinan itu.
Untara tertawa, jawabnya, “Aku harus makan dan minum lebih banyak lagi, supaya aku kelihatan agak gemuk. Kalau kau kelak kawin, maka setahun sebelumnya kau harus sudah mengurangi makan dan minum supaya kau sedikit ramping karenanya.”
Keduanya tertawa. Agung Sedayu yang ada di antara mereka pun tertawa pula. Namun di dalam hati Agung Sedayu melihat perubahan, meskipun perlahan-lahan, pada diri kakaknya. Sebelum kakaknya berbicara tentang kawin, wajahnya selalu bersungguh-sungguh dan hampir tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi kini ia sudah dapat bergurau.
Tiba-tiba terngiang kata-kata Wanakerti di telinganya, “Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa pengaruhnya,” dan sebelumnya, “Tetapi kalian tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Belum lagi Untara kawin, pengaruh itu sudah nampak padanya. Apalagi kelak, jika setiap hari Untara akan bergaul dengan isterinya. Jika isterinya mempunyai sikap tertentu, sikap itu pasti akan berpengaruh betapapun kecilnya.
“Tergantung kepada sifat seorang perempuan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Ia dapat berpengaruh baik dan dapat berpengaruh kurang baik, bahkan dapat menjadi buruk.”
Dan tiba-tiba saja terbersit suatu pertanyaan di dalam dirinya, “Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Agung Sedayu mencoba untuk menilai gadis Sangkal Putung itu. Namun sebelum ia menemukan sesuatu padanya, terdengar Untara berkata, “Aku berterima kasih jika kalian mau tinggal di sini selama aku berada di Pengging. Menjelang hari kelima setelah hari perkawinan, Paman Widura pasti sibuk sekali. Apakah kalian bersedia?”
“Tentu,” sahut Swandaru, “aku senang tinggal di sini, asal dapur Paman Widura masih terus berasap. Tetapi jika api sudah padam, aku akan segera kembali ke Sangkal Putung.”
Sekali lagi mereka tertawa. Dan Swandaru pun kemudian berkata, “Guru akan datang juga bersama Ki Sumangkar pada hari kelima itu. Mereka akan datang bersama ayah, ibu, dan Sekar Mirah. Mereka akan ikut merayakan upacara ngunduh penganten pada hari kelima itu.”
“Tentu. Paman Widura dengan resmi sudah mengundang mereka. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka tidak akan datang tepat pada hari sepasaran itu. Kami mengharap mereka datang sehari atau dua hari sebelumnya.”
“Ayah terlampau sibuk. Tetapi mungkin guru dan Ki Sumangkar.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas tampak sesuatu membayang di wajahnya, namun ia pun kemudian tersenyum, “Beberapa orang prajurit akan ikut membantu Paman Widura pula. Jika tidak, Paman Widura pasti akan terlalu lelah.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun dapat menangkap ungkapan yang terloncat dari keterangan itu. Bahkan rumah ini memang memerlukan pengamanan yang sebaik-baiknya menjelang hari-hari yang akan menjadi sangat ramai itu. Para prajurit yang akan berada di halaman rumah ini tentu bukan sekedar membantu memasang tarub dan membuat pagar-pagar batas di halaman.
Agaknya Untara pun mengetahui, bahwa Agung Sedayu dan Swandaru yang memiliki ketajaman daya tangkap itu dapat mengerti maksud kata-katanya, sehingga karena itu, maka Untara pun tersenyum sambil berkata, “Bukankah Paman Widura memang perlu dibantu?”
“Ya, ya,” sahut Agung Sedayu, “Paman Widura memang perlu dibantu oleh para prajurit, meskipun anak-anak muda Jati Anom cukup banyak yang pandai memasang tarub.”
Untara tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tertawa pula.
“Itulah sulitnya,” berkata Untara kemudian. “Sebenarnya aku lebih senang hidup dalam suasana yang wajar. Jika kalian kawin, tidak banyak orang akan mempersoalkan. Dan sudah barang tentu tidak banyak orang yang berniat untuk berbuat sesuatu. Tetapi itulah kesulitanku. Aku harus memperhatikan banyak segi yang mungkin dapat terjadi.”
“Itu pun wajar,” sahut Swandaru, “setiap persoalan mempunyai neracanya masing-masing. Ada yang baik ada yang buruk. Ada yang menguntungkan ada yang justru merepotkan. Demikian juga yang akan terjadi dengan Kakang Untara. Jika aku kawin, tidak akan ada sekelompok perwira yang akan mengiringi aku, tidak ada sepasukan kehormatan yang akan berjalan di depanku dan tidak akan ada salam selamat dari Sultan Pajang. Tetapi aku juga tidak perlu mengawasi setiap sudut rumahku, karena tidak akan ada kemungkinan gangguan apa pun juga, selain dari laki-laki yang kebetulan jatuh cinta kepada bakal isteriku.”
Untara tertawa semakin keras, sehingga beberapa orang yang sedang sibuk di halaman berpaling kepadanya. Untara nampaknya memang gembira sekali menjelang hari perkawinannya itu.
“Selama ini Kakang Untara selalu bergulat dengan tugas-tugas keprajuritannya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hati. “Sekarang ia dapat melupakan tugas-tugas itu sejenak, sehingga ia sempat bergurau dan tertawa dengan bebas tanpa diganggu oleh perkembangan keamanan dan ketegangan yang semakin meningkat di perbatasan Alas Mentaok.”
Namun dalam pada itu, selagi mereka bergurau dan tertawa berkepanjangan di pendapa, seseorang naik dengan tergesa-gesa. Meskipun ia tidak berpakaian seorang prajurit, tetapi menilik sikapnya, orang itu pasti seorang petugas sandi yang diperbantukan kepada Widura di dalam perhelatan itu.
“Ki Untara,” ia berkata dengan suara yang dalam, “ada sekelompok orang memasuki padukuhan Jati Anom.”
“Siapa menurut dugaanmu?”
“Kami belum mendapat kepastian, tetapi kami kira mereka datang dari Mataram.”
“Mataram,” Untara mengerutkan keningnya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut pula karenanya.
“Apakah kau sudah melaporkan kepada pimpinan yang aku serahi tugas pengamanan daerah ini?
“Tidak. Mereka bukan sepasukan prajurit bersenjata.”
“Jadi?”
“Sepasukan prajurit sudah siap di sekitar jalan masuk ke padukuhan ini. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka adalah sekelompok orang yang membawa lima atau enam buah jodang yang dihiasi dengan janur-janur kuning. Mereka menuju ke rumah ini.”
“Jodang? Dari mana kau bilang? Dari Mataram?” Untara menjadi tegang sejenak.
“Mungkin. Tetapi kami belum mendapat kepastian.”
“Apakah para penjaga regol tidak menghentikan mereka dan bertanya tentang mereka?”
“Ya, sedang dilakukan.”
Untara menjadi berdebar-debar. Karena itu, maka ia pun segera berkata, “Kemasi pendapa ini. Bentangkan tikar yang baik. Jika benar mereka datang dari Mataram, mereka adalah tamu-tamu terhormat.” Untara berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Aku akan membenahi pakaian, dan panggillah Paman Widura.”
Agung Sedayu pun kemudian bergeser. Ketika Swandaru akan ikut pula, Untara mencegahnya, “Kau di sini. Sebelum Paman Widura datang, temuilah jika mereka naik ke pendapa. Kau mewakili aku sampai aku selesai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Karena itu, ketika Agung Sedayu pergi mencari Widura dan Untara masuk ke ruang dalam, Swandaru masih tetap berada di pendapa. Bahkan ia turut membantu membentangkan tikar yang lebih baik dari yang mereka pakai sehari-hari.
Sejenak kemudian, orang-orang yang tinggal di sebelah-menyebelah yang dilalui oleh iring-iringan itu pun saling berdesakan di pinggir jalan yang menghubungkan jalan-jalan padukuhan di Kademangan Jati Anom. Orang-orang dari Banyu Asri pun dengan terheran-heran melihat sekelompok orang-orang dalam pakaian kebesaran dan kelengkapan yang sangat baik membawa beberapa buah jodang yang dihias sebaik-baiknya pula dengan janur kuning dan kain berwarna.
“Tentu hadiah dari Sultan Pajang untuk Untara,” desis seseorang. “Anak Ki Sadewa itu ternyata bernasib baik. Ia mempunyai kedudukan yang terpandang dan mendapat perhatian khusus dari Sultan.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi pakaian kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang membawa jodang itu sangat mempesona. Seakan-akan orang-orang itu sedang mengikuti upacara terbesar di Istana Pajang.
Meskipun demikian, pakaian kebesaran yang mengagumkan itu ternyata telah kotor oleh debu. Tampaknya mereka sudah menempuh jalan yang panjang sebelum mereka memasuki Kademangan Jati Anom. Ternyata pula, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat beberapa pengawal bersenjata, untuk menjaga agar barang-barang itu tidak dirampas oleh orang-orang jahat di sepanjang jalan.
Dengan dikawal oleh para prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan Jati Anom, maka iring-iringan itu pun menuju ke rumah Widura yang sedang sibuk.
Widura yang diberi tahu oleh Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Tetapi justru karena itu, ia tidak segera mengerti siapakah yang sebenarnya telah datang itu.
“Dari mana?” bertanya Widura sekali lagi. “Apakah aku tidak salah dengar?”
“Dari Mataram, menurut keterangan orang yang menyampaikan berita itu kepada Kakang Untara.”
“Mataram, maksudmu dari Raden Sutawijaya?”
“Masih belum jelas, Paman.”
Widura mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian segera pergi ke pendapa.
Widura menjadi semakin berdebar-debar, ketika dua orang prajurit datang menemuinya. Hampir berbisik salah seorang berkata, “Mereka benar-benar datang dari Mataram.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapakah yang telah menyampaikan berita perkawinan Untara kepada Raden Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Di mana mereka sekarang?” bertanya Widura pula.
“Sebentar lagi mereka akan memasuki halaman ini. Kini mereka sudah menyelusuri jalan padukuhan ini. Agaknya mereka sudah melampaui simpang empat dan gardu penjagaan itu.”
Widura mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Apakah sebenarnya yang telah menggerakkan orang-orang Mataram mengirimkan sekelompok orang-orangnya dengan membawa beberapa buah jodang? Apakah di dalam jodang itu berisi barang-barang untuk kelengkapan pengantin atau barang-barang lain?
Selagi Widura masih termangu-mangu, maka tampaklah iring-iringan itu mendekati regol rumahnya, sehingga karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia pun segera menyongsongnya diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Widura terperanjat, ketika ia memandang wajah orang yang berjalan di paling depan sambil tersenyum kepadanya. Orang itu dikenalnya benar-benar. Ia adalah kawan di dalam perjuangan menegakkan Pajang selagi Demak mulai runtuh.
“Ki Lurah Branjangan?” tanpa sesadarnya ia berdesis.
Orang yang dipanggilnya Ki Lurah Branjangan itu tertawa. Katanya, “Kau masih ingat kepadaku Kakang Widura. Memang, para prajurit waktu itu memanggil aku Branjangan.”
“Tentu, aku tidak akan lupa kepadamu.”
Orang itu masih tertawa. Katanya, “Aku masih tetap tidak dapat berkembang. Pendek, kecil, dan seperti ini.”
“Tetapi kau benar-benar seekor burung branjangan. Lincah dan lebih dari itu tidak terkendali.”
Ki Lurah Branjangan dan mereka yang mendengarnya tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
“Marilah, marilah,” baru Widura sadar, bahwa ia harus mempersilahkan tamunya.
Tamunya tertawa pula. Katanya, “Aku kira kau akan menerima aku di halaman.”
“Marilah, silahkan.” Lalu dipersilahkannya pula para pengiringnya, “Marilah Ki Sanak, silahkanlah naik ke pendapa.”
Ki Lurah Branjangan bersama kawan-kawannya pun segera naik ke pendapa. Beberapa orang prajurit Pajang yang mengawal mereka dari ujung kademangan segera memencar dan duduk di halaman, di bawah rimbunnya pepohonan.
Mereka yang naik ke pendapa itu pun segera dipersilahkan duduk setelah mereka meletakkan jodang-jodang yang mereka bawa dihiasi dengan kain beraneka warna dan ditutup pula dengan kain lurik berwarna cerah.
Setelah mereka duduk melingkar di atas tikar yang putih, yang baru saja dibentangkan di pendapa itu, maka Widura segera bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka.
“Perjalanan yang melelahkan,” jawab Ki Lurah Branjangan, “tetapi kami semuanya selamat.”
“Kedatangan kalian sangat mengejutkan. Apalagi aku mendengar keterangan, bahwa kalian datang dari Mataram, bukan dari Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Ya, aku memang datang dari Mataram.”
“Aku menjadi lebih terkejut lagi, bahwa yang memimpin iring-iringan dari Mataram itu adalah kau, Ki Lurah Branjangan.”
“O, kenapa kau terkejut?”
Widura tidak segera menyahut. Sejenak ia mencoba merenungi tamunya dan mengenang beberapa waktu yang lampau selagi mereka bersama-sama berada dalam satu medan menghadapi keretakan yang terjadi setelah Demak pecah.
Tetapi Widura tidak ingin mempersoalkannya selagi tamunya baru saja duduk. Ia tidak ingin merusak seluruh suasana dari pertemuan itu, meskipun ia termasuk salah seorang perwira Pajang yang tidak mengambil sikap yang tajam terhadap persoalan Mataram.
Karena itu, maka Widura itu pun berkata, “Ah, baiklah kita tidak berbicara tentang kau. Tetapi aku ingin berbicara tentang jodang-jodang itu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa, seperti biasanya ia adalah seorang yang suka tertawa, “Aku mendapat perintah dari Raden Sutawijaya untuk membawa jodang-jodang itu kemari. He, di mana Ki Untara?”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka kemanakannya itu berkata, “Kakang Untara baru masuk ke dalam biliknya. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Ke bilik pengantin?” Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus, “Siapakah anak muda ini?”
“Kemanakanku, adik Untara. Dan yang seorang adalah sahabatnya, putera Ki Demang di Sangkal Putung.”
Ki Lurah Branjangan memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Ada kesan yang khusus terbayang di wajahnya. Sejenak kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baru sekarang aku berkesempatan bertemu muka dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru.”
Widura mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia Bertanya, “Apakah kau pernah mengenal namanya?”
“Hampir semua orang Mataram mengenal namanya. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.”
“Ah,” Agung Sedayu segera menyahut, “adalah kebetulan kami lewat bagian hutan yang sedang dibuka itu. Dan adalah kebetulan, bahwa Raden Sutawijaya hadir pada daerah penebangan yang sulit. Sebelum itu, aku sudah mengenal Raden Sutawijaya justru di sini. Di garis perang antara Sangkal Putung dan Jati Anom pada saat Tohpati masih berada di sekitar daerah ini.”
Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi kita belum pernah bertemu. Ketika Ki Widura mendapat tugas di daerah Selatan, aku justru pergi ke Timur. Tetapi daerah Timur tidak seberat yang dihadapi oleh pasukan di daerah Selatan ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ki Lurah itu berkata pula, “Karena itu aku baru mendengar namamu, ketika aku sudah berada di Mataram. Setiap mulut menyebut namamu. Apalagi Wanakerti.”
“Terima kasih. Tetapi barangkali pujian itu agak berlebih-lebihan. Aku tidak berbuat apa-apa di Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Kau memang rendah hati. Kawanmu yang gemuk itu pun menjadi buah bibir. Setiap orang menjadi heran, meskipun tubuhnya gemuk, namun lincahnya melampaui kijang di medan pertempuran.”
“Kami tidak bertempur,” potong Swandaru. “Memang kami pernah bermain hantu-hantuan. Tetapi itu bukan pertempuran.”
Sekali lagi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku sempat memperkenalkan diriku. Orang-orang menyebutku Branjangan. Tetapi namaku bukan itu. Salah pamanmu Widura. Ialah yang pertama-tama menyebutku Branjangan. Kalau kau ingin mengetahui, namaku yang sebenarnya adalah Mudal. Eh, nama yang sebenarnya lebih jelek dari nama yang diberikan oleh pamanmu. Karena itu, aku lebih senang dipanggil Ki Lurah Branjangan daripada Ki Lurah Mudal.”
Agung Sedayu dan Swandaru tertawa pula. Ternyata orang yang bertubuh pendek dan kecil ini senang juga berkelakar.
Namun tiba-tiba Branjangan bertanya, “He, di mana Ki Untara? Bukankah pengantin perempuannya belum ada di sini.”
“Tentu belum. Perkawinan belum berlangsung.”
“Syukurlah. Jadi aku masih belum terlambat,” sahut Branjangan. “Tetapi, kenapa ia lama sekali belum juga keluar dari biliknya?”
Dan tiba-tiba saja terdengar suara Untara, “Selamat datang Ki Lurah Branjangan.”
Ki Lurah Branjangan berpaling. Dilihatnya Untara sudah berdiri di muka pintu, “Ha, inilah pengantinnya. Alangkah tampannya Ki Untara sekarang, menjelang hari perkawinannya.”
Untara tersenyum. Jawabnya, “Aku berpakaian rapi bukan karena aku akan kawin lusa. Tetapi aku harus menghormati tamu-tamuku dengan pakaian kebesaran yang mengagumkan.”
“Ah,” Ki Lurah Branjangan tertawa pula. Sambil mengangguk dalam-dalam, ia kemudian berkata, “Aku sekedar mengemban tugas dari Raden Sutawijaya di Mataram.”
Untara mengangguk-angguk. Kemudian ia pun duduk di hadapan Ki Lurah Branjangan, di samping pamannya, Widura.
“Aku tidak mengira, bahwa akan ada utusan dari Mataram menjelang perkawinanku. Dan aku tidak mengira, bahwa Ki Lurah Branjangan akan datang pula hari ini.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa baik Untara mau pun Widura menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja ia menjadi seorang utusan dari Mataram. Tetapi ia tidak akan mempersoalkannya lebih dahulu seperti yang dikehendaki Widura. Lebih baik mempersoalkan jodang-jodang itu dahulu daripada dirinya sendiri.
Karena itu, setelah mereka berbicara sejenak, tentang perjalanan Ki Lurah Branjangan dari Mataram, maka ia pun berkata, “Ki Untara. Kali ini aku adalah utusan Raden Sutawijaya yang direstui oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, untuk menyampaikan beberapa buah kenang-kenangan, atau katakanlah sumbangan, bagi hari perkawinanmu. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa keduanya tidak dapat hadir, baik di hari perkawinanmu di Pengging beberapa hari mendatang, maupun dalam upacara sepekan di rumah ini.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku menjadi sangat berbesar hati. Hampir di luar kemungkinan yang aku perhitungkan, bahwa Raden Sutawijaya dan ayahandanya Ki Gede Pemanahan masih juga ingat kepadaku. Apalagi aku sengaja tidak memohon kehadiran mereka berdua, karena di dalam suasana prihatin ini, kami tidak akan menyelenggarakan upacara selengkapnya. Semuanya asal dapat terlaksana dengan syah sesuai dengan keharusan dan kepercayaan kita.”
“Ya,” Branjangan mengangguk-angguk, “ternyata kau bijaksana.” Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Juga aku mendapat pesan dari Ki Gede Pemanahan, agar menyampaikan salam dan ucapan selamat kepada bakal ayah mertuamu, Rangga Parasta. Juga kepadanya, Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa Ki Gede tidak dapat menghadiri perkawinan puterinya.”
Dada Untara berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, kedua orang itu mempunyai sikap yang hampir berlawanan. Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan mengambil sikap yang tajam terhadap Sultan Pajang dengan meninggalkan istana dan kembali ke Sela, bahkan kemudian langsung membuka Alas Mentaok sebelum mendapat persetujuan resmi dari Sultan Adiwijaya.
Tetapi Untara mencoba untuk menyembunyikan perasaannya agar tidak menampakkan kesan di wajahnya. Bahkan kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, ya. Aku akan menyampaikannya. Ki Rangga Parasta pasti akan senang sekali mendapat pesan dari Ki Gede, meskipun Ki Gede Pemanahan tidak dapat hadir.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menangkap kesan di wajah Untara, tetapi yang tampak kemudian adalah sebuah senyum yang cerah.
“Demikianlah,” berkata Branjangan pula, “aku datang untuk menyerahkan isi dari jodang-jodang ini. Barangkali dapat kau pergunakan pada hari perkawinanmu. Jangan dinilai ujud barang-barangnya yang barangkali tidak berharga, tetapi keinginan Raden Sutawijaya untuk memberikan tanda kekeluargaan bagimu.”
“Aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Harap kau sampaikan kepada Raden Sutawijaya, bahwa aku menerima dengan sepenuh hati.” Lalu katanya kepada pamannya, “Paman, aku persilahkan Paman menerimanya.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ki Lurah Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku terima dan akan aku bawa masuk ke dalam. Apakah jodang-jodangnya nanti akan kalian bawa kembali setelah isinya aku terima?”
Ki Lurah Branjangan tertawa sambil menjawab, “Tidak. Tidak. Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke Mataram. Kami menyerahkan semuanya beserta tempatnya.”
Widura pun tersenyum pula, katanya, “Terima kasih. Terlebih-lebih lagi terima kasih.”
Kemudian bersama Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang pembantu, yang sebenarnya adalah prajurit-prajurit Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam. Swandaru yang mengusung sebuah jodang bersama Agung Sedayu, setelah meletakkannya di ruang dalam, menyingkap tutup jodang itu sedikit. Katanya, “Bukan main, kau lihat setumpuk kain panjang dalam satu jodang?”
“Sst,” Agung Sedayu berdesis, “jangan.”
“Aku hanya ingin melihat. Mungkin di jodang yang lain kau akan menemukan segulung kain sutera. Yang lain lagi beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan timang. Yang lain lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam sekali.”
“Sudahlah. Tentu banyak sekali. Yang memberikan sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai saat ini ia masih Putera Sultan Pajang.”
“Anak angkat.”
“Ya, tetapi kedudukan itu masih tetap.”
Keduanya pun kemudian kembali ke pendapa dan duduk di antara tamu-tamunya. Beberapa orang pelayan telah menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas dan beberapa macam makanan.
Sejenak mereka masih sempat berbicara tentang hari-hari perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan dalam urut-urutan upacara sampai upacara terakhir di rumah Widura.
Namun kemudian, terasa bahwa pembicaraan Ki Lurah Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak dipandanginya Agung Sedayu, kemudian Swandaru yang duduk di antara mereka.
Mereka yang menemui Ki Lurah Branjangan melihat perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda, tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam persoalan segera bertanya, “Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Aku kira selain isi jodang yang telah kami terima dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga itu, kau tentu menerima beberapa pesan pula untuk kami.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekali lagi ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru.
“Katakanlah. Mereka adalah anak-anak baik. Mereka tidak akan mengganggu. Jika yang kau katakan itu suatu rahasia yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali kalau kau memang minta agar mereka meninggalkan pertemuan ini.”
Ki Lurah Branjangan ragu-ragu sejenak. Namun kemudian, “Biarlah mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden Sutawijaya, dan mereka agaknya belum lama meninggalkan Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.”
“Ya, mereka baru datang dari Mentaok. Menurut keterangannya, ia ikut membuka hutan, meskipun hanya beberapa lama.”
“Ya. Raden Sutawijaya juga mengatakan demikian.”
“Kalau kau tidak berkeberatan, aku tidak akan menyuruh mereka pergi.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biar sajalah mereka mendengar. Aku pun yakin, bahwa mereka bukan orang lain bagi kita.”
“Bagi kita?” bertanya Widura.
“Ya. Bagi orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram.”
Untara dan Widura saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata apa pun juga. Yang berkata selanjutnya adalah Branjangan, “Baiklah aku sedikit berbicara tentang diriku sendiri lebih dahulu.” Ia berhenti sejenak, lalu berpaling kepada kawan-kawannya, “Mereka pun tidak perlu dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang aku berada di Mataram. Aku mengikuti Raden Sutawijaya sejak ia mulai menetap di daerah baru itu.”
“Kenapa kau pergi ke Mataram?” tiba-tiba Untara bertanya.
“Tidak apa-apa. Sama saja bagiku. Mataram adalah kelanjutan dari Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah putera angkat Sultan Pajang.”
“Kalau sama saja, kenapa kau tinggalkan Pajang dan pergi ke Mataram, suatu daerah baru? Kalau sama saja kenapa kau menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?”
Ki Lurah Branjangan tertawa. Jawabnya, “Bukan pilihan yang mutlak.”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa pada wajah itu pun tersirat kesan yang aneh.
Dan sejenak kemudian, Untara pun bertanya, “Apakah yang kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?”
“Maksudku, bahwa pilihanku bukan karena sesuatu. Bukan karena yang baru lebih baik dari yang lama. Tetapi aku hanya ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak berhenti, seperti yang terjadi di Pajang sekarang.”
Untara memandang wajah Ki Lurah Branjangan sejenak, lalu, “Apakah menurut penilaianmu, Pajang tidak akan berkembang?”
“Aku tidak melihat sesuatu yang bergerak di Pajang. Semuanya berjalan seperti yang telah berjalan. Seakan-akan Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya mengalir dengan tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam.” Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Tetapi Mataram yang baru adalah sebatang sungai di musim pancaroba. Kadang-kadang airnya hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak yang demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa depan dari Mataram bagiku akan lebih baik dari Pajang. Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi semakin tua dan semakin jauh tenggelam ke dalam kamukten.”
“Mungkin kau benar. Tetapi kau lupa, bahwa di Pajang ada juga seorang anak muda yang akan mampu menggerakkan Pajang nanti pada saatnya.”
“Pangeran Benawa maksudmu?”
“Ya.”
Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran Benawa yang baik hati. Seorang yang ramah dan tidak pernah mendendam seseorang, betapa pun besar kesalahan orang itu atasnya. Yang tidak sampai hati menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, dan yang tidak berani memandang seekor kucing menerkam seekor tikus. Ia mengampuni semua orang yang mengaku bersalah, dan yang tidak mengaku sekalipun. Bahkan ia tidak akan mempertahankan miliknya, jika ia melihat seorang pencuri mengambilnya.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kebenaran dari tanggapan Branjangan atas Pangeran Benawa. Tetapi itu bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak berdirinya, maka Untara tidak akan dapat membiarkan Pajang jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru karena kebaikan hati yang melimpah ruah.
Tetapi sebelum Untara menjawab, Ki Lurah Branjangan telah mendahuluinya, “Tetapi bukan maksudku untuk mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau Mataram. Sudah aku katakan, keduanya sama, karena arah perkembangannya seharusnya akan menemukan titik sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih dahsyat. Hanya itu. Dan memang bukan maksudku untuk mempersoalkan, kenapa aku berada di sana, dan kalian di sini.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ada pesan yang lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum pernah, dan itu hanyalah suatu kebetulan, berada di bawah pimpinanmu sebagai seorang senapati, tetapi aku sudah mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang mumpuni.”
Untara dan Widura tidak menyahut. Tetapi mereka menjadi berdebar-debar.
“Jangan takut, bahwa aku akan membujukmu setelah aku menyerahkan sumbangan itu,” Ki Lurah Branjangan masih sempat tertawa
Dan Untara pun menjawab, “Hanya anak-anak yang diam menangis jika diberi sebongkah gula.”
Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata, “Hampir aku lupa, bahwa aku berbicara dengan Ki Untara.”
“Katakan pesan yang penting itu,“ Untara menjadi tidak sabar.
“He, aku sekarang adalah seorang tamu menjelang perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang prajurit di medan.”
Untara menggigit bibirnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Baiklah,” berkata Ki Lurah Branjangan, “bagaimanapun juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk berbicara. Aku tidak biasa mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun besarnya dengan tegang.”
“Baik, baik. Katakanlah, ini bukan perintah.”
Branjangan tertawa. Jawabnya, “Baiklah,” ia berhenti pula sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Tetapi keduanya tidak berbuat apa pun juga.
“Ki Untara,” suara Ki Lurah Branjangan merendah, “bagaimanapun juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Untara pendek.
“Dan kau adalah seorang senapati tertinggi di daerah Selatan ini, daerah yang langsung berhadapan dengan garis ketegangan itu.”
“Ya.”
“Itulah sebabnya, aku harus menemuimu atas perintah Raden Sutawijaya, selain menyerahkan sumbangan. Kita masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus hari perkawinanmu ini tidak dimanfaatkan orang yang ingin mengail di air yang keruh. Bukankah di hari-hari perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan penuh dengan prajurit, terutama perwira-perwira tinggi? Aku tahu, kau pasti sudah menyiapkan penjagaan. Tetapi sekedar untuk melindungi keselamatan para perwira itu. Namun di samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap kesan buruk yang timbul selama kesibukanmu itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia masih belum jelas atas maksud Ki Lurah Branjangan, meskipun ia mengerti arah pembicaraanya itu.
Tetapi Untara tidak bertanya. Ia menunggu saja Branjangan melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian Branjangan pun berkata, “Tugasku adalah menyampaikan permintaan kepadamu, agar kami, dari Mataram diperkenankan ikut serta mengawasi keamanan selama berlangsung perkawinanmu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar permintaan itu, sehingga ia bertanya, “Ki Lurah, bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di daerah ini. Aku sudah mempercayakan semuanya kepada anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit untuk menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri, bahkan prajurit Pajang masih sanggup menjaga keamanan di seluruh Pajang.”
“Aku mengerti, aku mengerti. Tetapi maksudku, bukannya karena kami menganggap Pajang tidak mempunyai kekuatan. Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ki Untara. Di Mataram telah terjadi peristiwa yang pahit. Beberapa orang telah membuat para pekerja menjadi ketakutan dengan hantu-hantuannya. Kemudian tersebar desas-desus, bahwa hantu-hantu itu sebenarnya adalah usaha dari orang-orang Pajang yang tidak ingin melihat Mataram berkembang. Dan tentu saja kami tidak mempercayainya. Jika Pajang tidak ingin melihat Mataram berkembang, maka para pemimpin di Pajang tidak perlu membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang dengan pasukan segelar sepapan. Maka Mataram akan hapus dalam waktu satu hari saja.”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap diam saja. Dan Ki Lurah Branjangan pun meneruskan, “Yang kami cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan sengaja membakar ketegangan yang memang telah ada. Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai orang-orang Mataram.”
“Kami tidak berkeberatan. Kami akan menumpas mereka karena kami mempunyai pasukan yang cukup.”
“Kami percaya. Tetapi soalnya bukan sekedar menumpas. Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa Mataram tidak akan berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami, bukannya ikut membantu menumpas kejahatan serupa itu. Tetapi untuk mengenal, apakah mereka benar-benar orang Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan segan-segan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat mengatakan kepada mereka, bahwa Mataram tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga dengan demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan, siapakah sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal kami.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya Widura sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah Branjangan itu memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri mencemaskan jika ada segolongan orang yang memancing kekeruhan. Jika mereka menamakan diri orang-orang Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh sejumlah perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan korban, maka pembalasan pasti akan di tujukan kepada Mataram.
Sambil mengangguk- berkata, “Apakah kau mencemaskan hal itu dapat terjadi?”
“Kita wajib berjaga-jaga. Ada banyak pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Antara lain orang-orang yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak senang melihat Raden Sutawijaya berhasil membuat Alas Mentaok menjadi suatu negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula oleh Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Tetapi kami tidak yakin, bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang menggerakkan usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di belakang mereka, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu tidak terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia memandang Widura, seolah-olah minta pertimbangan daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun. Namun demikian, agaknya Widura juga tidak menolak pesan dari Raden Sutawijaya itu.
“Kau dapat mempertimbangkan, Ki Untara,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku tidak tergesa-gesa. Jika kau setuju, maka akulah yang mendapat tugas untuk itu, beserta orang-orang yang sekarang bersamaku membawa barang-barang dari Raden Sutawijaya. Selain kami, menurut pesan Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu, karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan beberapa orang perwira Pajang. Sementara penghubung antara kami di sini dan pimpinan kami di Mataram adalah Wanakerti dan dua orang kawannya.”
Untara mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru, tampaklah kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah Branjangan. Apakah pesan itu benar-benar datang dari Raden Sutawijaya, apakah sekedar atas kehendaknya sendiri, karena Ki Lurah Branjangan itu pernah mendengar namanya dan tiba-tiba saja ditemukannya mereka di sini.
“Baiklah Ki Lurah. Kami minta kalian tinggal di sini. Kami akan mempertimbangkan. Karena aku tidak sendiri, maka aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakannya.”
“Silahkan. Kami akan menunggu keputusan. Apa pun yang akan kalian putuskan, kami akan tunduk.”
“Ya, kamilah yang memegang tanggung jawab keamanan, bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu Asri, tetapi juga di daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang mengikat bagi kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini masih belum mendapat bentuk yang pasti.”
Ki Lurah Branjangan mengangkat wajahnya dan bergeser setapak. Tetapi kemudian menarik nafas sambil berkata, “Ya. Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk yang jelas.”
Widura hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Di dalam keadaan yang demikian sifat-sifat keprajuritan Untara-lah yang melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung berhadapan dengan batas yang samar dari daerah baru, yang memang belum mempunyai bentuk, Untara harus mempunyai sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di dalam hubungan yang resmi. “Mataram adalah daerah tanggung jawabnya, meskipun di Mataram ada Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi panglima pasukan Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak lagi berada pada kedudukannya itu.”
Ki Lurah Branjangan yang mengenal Untara tidak juga mengingkarinya. Sebab dari segi tata pemerintahan, Mataram memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan senapati di daerah Selatan ini pun masih juga mencakup daerah yang kemudian disebut Mataram, di Alas Mentaok. Ki Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap perdebatan mengenai kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong Untara bersikap lebih keras. Menurut pengamatan orang-orang Mataram, sebenarnya Untara bukannya orang yang dengan kekuasaannya berusaha menindas perkembangan Mataram. Untara sendiri tidak berkeberatan melihat Mataram berkembang, namun sudah pasti, bahwa Mataram yang berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali Jika Sultan Pajang memberikan bentuk yang lain kelak. Sehingga karena itu, maka ia pun hanya sekedar mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka Untara pun sejenak kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
“Silahkan beristirahat di gandok wetan,” berkata Widura pula kepada para tamunya. Lalu kepada Agung Sedayu, “Antarkan Ki Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Bersama Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki Lurah Branjangan bersama para pengiringnya pergi ke gandok Wetan.
Namun ketika Agung Sedayu dan Swandaru akan kembali lagi ke pendapa setelah Ki Lurah Branjangan duduk di amben bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun. Ki Lurah itu memanggilnya hampir berbisik, “Kemarilah. Duduklah di sini.”
Kedua anak-anak muda itu menjadi heran. Tetapi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan tertawa, mereka pun segera duduk di sampingnya.
“Aku membawa pesan dari Raden Sutawijaya bagi kalian,” berkata ki Lurah Branjangan. “Bukan apa-apa, sekedar salam dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu.”
“O, terima kasih,” sahut Agung Sedayu.
“Dan barangkali Raden Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku akan bertemu dengan kalian berdua di sini. Maka Raden Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka membantu tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat berkunjung ke Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak, lalu, “Kami tidak berkeberatan,” sahut Agung Sedayu. “Kami mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke dalam kesulitan menghadapi Pajang. Jika ada orang yang memancing persoalan dan dengan sengaja membenturkan Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang, Mataram memang akan mengalami banyak kesulitan.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau terlampau banyak mengetahui tentang Mataram. Siapakah yang mengatakan kepadamu?”
“Tidak ada. Dan aku hanya menduga-duga.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Kini ia melihat sendiri, betapa tangkasnya anak muda itu berpikir, sehingga karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia menghadapi anak-anak.
Sebelum Ki Lurah Branjangan berkata lebih lanjut, Agung Sedayu sudah berdiri dan berkata, “Silahkan Ki Lurah beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera dibersihkan. Jika Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah akan berada di sini secepat-cepatnya sepuluh hari sampai Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten.”
“Terima kasih,” sahut Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian meninggalkan Ki Lurah itu duduk termangu-mangu. Seorang pembantunya yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata, “Anak ini ternyata cukup matang untuk menanggapi setiap persoalan. Ki Lurah tidak dapat menganggapnya sebagai anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang bersungguh-sungguh.”
“Aku keliru. Ketika aku memperkenalkan diri, aku menganggap keduanya masih terlalu muda, sehingga aku bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu telah mentertawakan aku di dalam hati. Mereka bersikap matang, meskipun agaknya dapat juga dibawa bergurau.”
“Tentu mereka merasa geli mendengar pujian-pujian bagi mereka, seperti anak-anak yang sedang belajar berdiri.”
“Ya, aku kira mereka aka senang dengan pujian-pujian itu seperti kebanyakan anak-anak muda di masa pancaroba. Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak yang menginjak masa gelisah dan mendambakan kebanggaan dan pujian? Tetapi tidak bagi mereka. Hampir saja aku minta mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara dengan Untara setelah aku memujinya.”
“Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya memanggil mereka, atau setidak-tidaknya mengharap kedatangan mereka. Bukan sekedar anak-anak muda yang kebetulan mampu berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir,” desis Ki Lurah Branjangan lebih lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya merendah, “Lalu betapa kemampuan yang dimiliki oleh guru mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan berpikir.”
Pembantunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Agaknya memang ada tetesan darah orang besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika Agung Sedayu terjun ke dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan memiliki kemampuan seperti Untara di medan mau pun menanggapi keseluruhan keadaan dan suasana.”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Lurah Branjangan dan para pengiringnya, serta setelah Agung Sedayu dan Swandaru kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat mereka tentang pesan Raden Sutawijaya.
“Aku dapat mengerti,” berkata Widura, “agar tidak semua noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang Mataram.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah itu bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?”
“Aku rasa bukan maksudnya,” berkata Widura pula, “orang-orang Mataram pun menyadari ketegangan yang seakan-akan semakin lama menjadi semakin runcing. Tetapi kita semuanya tidak mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwijaya sudah menyerahkan tanah Mentaok kepada Pemanahan. Sebenarnya tidak ada persoalan lagi yang perlu menambah ketegangan.”
“Tetapi tindakan Ki Gede Pemanahan sudah menimbulkan kesan yang tegang.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang kebangkitan Mataram dapat diurai dalam banyak arti. Terlebih-lebih lagi usaha-usaha yang sengaja membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar hancur sama sekali,” desis Widura.
“Adalah wajar, bahwa perkembangan Mataram yang dimulai dengan ketegangan itu akan selalu dibayangi oleh ketegangan pula,” desis Untara.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk ikut berbicara. Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula, “Kakang Untara, menurut penglihatanku, Mataram berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang tidak pernah mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali Mataram?”
Untara mengerutkan keningnya. Sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan kerut-merut di kening, Untara bertanya, “Misalnya?”
Agung Sedayu menjadi semakin ragu-ragu melihat tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah terlanjur mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya, “Sependengaranku, Pati. Jika tidak yang terlalu besar, daerah Mangir, dan daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada persoalan yang mendahului perkembangan daerah itu. Menoreh telah mendapatkan bentuknya. Karena Argapati pernah berjasa kepada pimpinan pemerintahan pada waktu itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah Perdikan. Mangir adalah sebuah kademangan yang besar di daerah Selatan. Tidak pernah ada persoalan apa-apa dengan Mangir. Juga Pati diterima oleh Ki Penjawi dengan wajar. Sedangkan daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada beberapa orang Adipati yang merasa tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pajang setelah Demak lenyap. Nah, bukankah tidak hanya Mataram saja yang menjadi persoalan kini?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang memang hanya terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya, Untara. Bahkan Swandaru pun ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perhatiannya terhadap pemerintahan sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat mempersoalkannya dengan orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hal itu.
“Mataram adalah salah satu persoalan di antara banyak persoalan yang di hadapi oleh Pajang,” berkata Untara selanjutnya, “Pajang masih harus meneruskan usaha Demak untuk mempersatukan seluruh daerah yang pernah menjadi suatu ikatan negara yang besar.”
Agung Sedayu dan Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Untara kemudian, “kita kembali kepada persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima tawaran itu tanpa prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan kepercayaan yang kita berikan, mereka pasti akan menyesal.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Sedayu, agaknya Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat membantu kami dan orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri di tengah, agar kami tidak saling menyalahi. Kau mengerti?”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku bersedia.”
“Tetapi sebaiknya kau minta gurumu datang bersama Ki Sumangkar. Orang-orang tua mempunyai pendapat yang baik, yang kadang-kadang melampaui pendapat para pemimpin pemerintahan. Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka sebelum aku pergi ke Pengging. Aku minta keduanya mengawani paman Widura di sini. Namun demikian, aku akan bertemu dengan beberapa orang perwira untuk menyampaikan maksud Ki Lurah Branjangan. Aku kira kebanyakan dari mereka tidak pula akan menolak. Mungkin ada satu dua orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi aku dapat memerintahkan kepada mereka untuk melunakkan sikapnya, atau aku bawa saja mereka sebagai pengiringku ke Pengging.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Bukankah begitu, Paman?”
“Aku sependapat Untara, dan aku senang sekali mendapat kawan Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar.”
“Jika demikian, biarlah Agung Sedayu menjemput mereka. Ia dapat segera pergi dan segera pula kembali. Sangkal Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak minta Ki Demang datang sekarang. Aku tahu, bahwa ia tidak dapat meninggalkan kuwajibannya begitu saja. Bukankah begitu, Swandaru?”
Swandaru tersenyum sambil mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Tetapi tentu kau akan memberitahukan kepada Demang di Jati Anom,” potong Widura.
“Ia akan datang malam nanti untuk ikut tirakatan di sini,” sahut Untara.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak usah menunggu sampai menjelang hari sepasaran dan ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan datang menjelang hari-hari penjemputan sepasang penganten dan upacara di rumah Widura. Namun agaknya karena persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru harus mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara akan berbicara dengan para perwira.
Seperti yang diduga oleh Untara, maka beberapa orang perwira sama sekali tidak berkeberatan, ketika Untara menyampaikan permintaan Ki Lurah Branjangan atas pesan Raden Sutawijaya di dalam pertemuan yang segera diadakan di rumah Untara. Tetapi juga seperti yang diduga oleh Untara, ada juga beberapa orang di antara mereka yang sambil mencibirkan bibirnya bergumam di antara mereka.
“Sebenarnya aku tidak sependapat.”
Tetapi pengaruh Untara terlalu besar atas mereka, sehingga tidak seorang pun yang langsung berani menolak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru telah berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan permintaan Untara agar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersedia untuk datang ke Jati Anom menjelang keberangkatan Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara kedatangannya dari Pengging bersama isterinya kelak.
Kedatangannya di Sangkal Putung memang agak menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada Kiai Gringsing dan Sumangkar, maupun pada Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan berada di Jati Anom sampai upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun tiba-tiba mereka telah muncul, justru sebelum Untara berangkat ke Pengging.
Tetapi ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihat kesan di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera menyampaikan kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung Sedayu pun segera berceritera kepada gurunya dan Ki Sumangkar, sedang Swandaru segera menemui ayahnya.
“Jadi kami diminta segera datang ke Jati Anom?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Kapan kita akan berangkat?”
“Hari ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi jangan hari ini. Besok pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan perjalanan kita akan menyenangkan.”
Agung Sedayu merenung sejenak. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
“Tentu Angger Untara akan memakluminya.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Swandaru lebih dahulu.”
Ternyata Swandaru yang berada di dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya pun menggeliat sambil berkata, “Memang sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk kembali sekarang.”
“Tetapi mereka menunggu kita,” sahut Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyahut, terdengar dari balik pintu ruang dalam suara seorang perempuan, “Biar sajalah kalau Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan Guru pasti akan pergi paling cepat besok pagi.”
Agung Sedayu memandang ke arah daun pintu yang separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang yang menyahut kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara Sekar Mirah.
Karena itu, Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi.
Swandaru yang sudah hampir menjawab sebelum Sekar Mirah, tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan kemudian ia berbisik, “Nah, apakah Kakang Agung Sedayu masih akan membantah lagi.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sekilas ia melihat wajah Ki Demang dan Nyai Demang tersenyum pula.
“Baiklah,” Agung Sedayu pun kemudian berdesis lambat, seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri, “kita akan kembali besok saja ke Jati Anom.”
Demikianlah, di sore hari, Agung Sedayu sempat juga bercakap-cakap dengan Sekar Mirah, meskipun Agung Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang terbuka. Ragu-ragu dan kebimbangan masih selalu membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah sendiri, tetapi tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
“Jadi, banyak sekali perwira-perwira yang akan datang?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, beberapa orang perwira tinggi kawan-kawan Kakang Untara akan datang.”
“Juga isteri-isteri mereka?”
“Tentu. Mereka yang sudah beristeri akan datang bersama isteri-isteri mereka.”
“Dan anak-anak gadis mereka?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnva. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apakah ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang sudah mempunyai anak gadis.”
“Tentu ada. Dan jika demikian, sebaiknya aku tidak usah datang.”
“Kenapa?”
“Ayah dan ibu juga tidak usah datang.”
“Kenapa? Kenapa, he?” Agung Sedayu menjadi bingung.
“Aku tentu tidak akan mendapat tempat. Ayah dan ibu pun pasti hanya akan tersisih. Jika tamu-tamunya adalah para perwira, maka ayah, sekedar seorang Demang, pasti hanya akan mendapat tempat di sudut yang paling gelap.”
“Ah, ada-ada saja kau, Mirah.”
Sekar Mirah tidak segera menyahut. Tetapi sambil bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan. Memang terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut yang tersendiri. Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali tidak dihiraukan oleh para perwira yang hadir karena ayahnya hanyalah seorang Demang, sedang ibunya yang duduk di pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara isteri-isteri perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri pun sama sekali tidak mendapat tempat, karena Agung Sedayu sibuk melayani para tamu dan persiapan jamuan di belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan menghiraukannya.
Agung Sedayu yang melihat Sekar Mirah bersungut-sungut menarik nafas sambil berkata, “Kau jangan membayangkan jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang besar sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi dari Pajang. Sama sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada beberapa orang perwira tinggi yang akan hadir. Tetapi sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang sendiri. Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu. Justru para perwira dan isteri-isterinyalah yang akan disediakan tempat tersendiri.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Lalu, “Benar?”
“Tentu.”
“Dan aku?”
“Ada saudara-saudaraku yang akan mengawanimu. Sanak kadang yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Mereka akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari mereka telah mendengar namamu.”
“Dari mana mereka mendengar namaku?”
“Bukankah Paman Widura pernah mengenalmu. Dan bukankah Kakang Untara juga pernah berada di Sangkal Putung? Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura-lah yang akan menjadi pengganti ibu bapaku.”
“Bukan Kakang Untara?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu, “Ya, mungkin Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus.”
“Kakang Untara sudah mempunyai sisihan. Ia akan dapat bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan itu adalah kuwajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki.”
“Kita serahkan saja kepada keduanya.”
“Tetapi tentu kita akan lebih berbangga, bahwa yang akan menerima kita di dalam lingkungan keluarga adalah Kakang Untara.”
“Kenapa?”
“Bukankah Kakang Untara seorang senapati besar, lebih besar dari Paman Widura? Bukankah dengan demikian, akan memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?”
Terasa sesuatu berdesir di dada Agung Sedayu. Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin bertambah. Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi hati, tetapi di antara orang-orang yang dianggapnya lebih besar, ia merasa rendah diri. Dan Agung Sedayu tidak ingkar, bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga padanya. Namun dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang meledak di hatinya. Untuk mengatasi rasa rendah diri itu, Sekar Mirah ingin tampak menjadi seorang yang besar. Yang agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang mempunyai keinginan dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan itu jauh-jauh. Sambil tersenyum ia berkata, “Aku akan minta kepada Kakang Untara, agar aku pun mendapat kesempatan mencicipi kebesarannya.”
Ketika kemudian malam menjadi gelap, maka Agung Sedayu dan Swandaru berada di gandok bersama gurunya dan Ki Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok itu, Swandaru segera mengusirnya, “He, masuk ke dalam. Jangan berada di sini.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah, “aku akan bertemu dengan guruku.”
“Macammu. Kau pasti mencari Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah menjadi merah sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk lampu di atas bancik dan dilemparkannya kepada Swandaru. Tetapi Swandaru sempat menghindar. “Jangan, jangan Mirah. Kau merusak barang-barang saja.”
Kini Sekar Mirah memegang kendi berisi air. Katanya, “Ayo, sekali lagi kau ulangi.”
Swandaru kini berdiri di belakang Agung Sedayu. Katanya, “Jawablah, Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak mencari kau.”
Sekar Mirah meletakkan kendi itu sambil bergeramang. Tetapi ia pun segera meninggalkan gandok dan masuk ke dalam.
Sepeninggal Sekar Mirah, Swandaru tidak dapat menahan tertawanya.
“Jangan kau ganggu Sekar Mirah itu lagi,” berkata gurunya, “ia sedang dipengaruhi oleh angan-angannya. Angan-angan tentang dirinya sendiri, justru karena Untara akan segera kawin.”
“Kenapa? Apa hubungannya dengan perkawinan Kakang Untara.”
Ki Sumangkar tersenyum sambil menjawab, “Gadis itu sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka akan segera datang saatnya, Agung Sedayu kawin.”
“O,” Swandaru mengangguk-angguk. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, Agung Sedayu mendahului, “Tetapi apakah Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?”
“Apa salahnya,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Tidak ada salahnya. Tetapi alangkah baiknya, jika kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan itu berarti kita akan segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan yang jauh dan melintasi garis tegang antara Pajang dan Mataram, meskipun garis itu tidak dapat ditentukan di mana.”
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan tangannya segera menutup mulutnya yang sedang menguap.
“Aku akan tidur. Biarlah semuanya itu terjadi di dalam mimpi. Agaknya menyenangkan juga.”
Agung Sedayu memandanginya sejenak. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Agung Sedayu dan Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun segera bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya ada juga kuwajiban mereka untuk ikut berbicara tentang Pajang dan Mataram. Dan Untara yang akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
“Jika Kakang Agung Sedayu tidak menjemputku, kelak menjelang upacara sepasaran di rumah Paman Widura, aku segan untuk datang,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Apabila mungkin, aku akan menjemputmu dan menjemput Ki dan Nyi Demang di Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah melintasi bulak persawahan di luar padukuhan Sangkal Putung. Mereka memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri hutan-hutan yang rindang di ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih juga agak lebat dan kadang-kadang seekor harimau yang lapar sampai juga di jalan di pinggir hutan itu.
Tetapi keempat orang itu sama sekali tidak mencemaskan diri mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor harimau sekaligus.
Yang menarik perhatian ketika mereka menyusuri pinggir hutan itu adalah suara burung-burung liar di saat-saat matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakan-akan mereka benar-benar telah menikmati kedamaian yang mantap.
Kiai Gringsing yang berkuda di paling depan tiba-tiba saja terhenti, sehingga mereka yang berada di belakangnya pun terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup masuk beberapa langkah ke dalam hutan rindang itu.
Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian mereka pun segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di perhatikan oleh Kiai Gringsing.
“Perapian,” desis Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” ia menyahut, “agaknya ada beberapa orang yang membuat perapian di sini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya berpatahan dan rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan agaknya ada di antara mereka yang berbaring. Beberapa lembar daun pembungkus makanan bertebaran pula di sekitar tempat itu.
“Ada beberapa orang yang semalam bermalam di sini,” berkata Kiai Gringsing, “dan itu sangat menarik perhatian.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak kemudian ia bergumam, “Orang-orang asing bagi daerah ini. Agaknya mereka membawa bekal makanan.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengangguk-angguk pula. Meskipun mereka tidak memberikan tanggapannya, namun mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu dengan kemungkinan yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
“Memang ada sesuatu yang harus kita perhatikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “baiklah hal ini dapat kita jadikan bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah Branjangan itu.”
Agung Sedayu yang masih saja mengangguk-angguk kemudian bertanya, “Jadi, di manakah kira-kira mereka sekarang?”
Kiai Gringsing dan Sumangkar berbareng menggeleng. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing, “Kita tidak tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di sekitar Jati Anom untuk mendapat bahan yang lebih lengkap tentang daerah itu, dan kemungkinan yang akan dilakukan di dalam upacara penganten itu.”
“Dan di malam hari mereka akan berkumpul lagi di sini,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi seperti yang diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata, “Kita dapat mengintainya di sini, di malam hari.”
“Ya,” Swandaru menyambung, “kita dapat mengetahui, siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka berbuat apa-apa.”
“Kau selalu tergesa-gesa,” potong Agung Sedayu, “kita harus yakin dahulu tentang mereka.”
“Tentu, kita harus yakin dahulu. Karena itu, baiklah nanti malam kita lihat. Siapakah yang ada di sekitar hutan ini?”
“Mungkin mereka tidak kembali ke tempat ini, tetapi mereka akan berada di tempat lain,” berkata Kiai Gringsing.
Dan Sumangkar menyahut, “Tetapi tidak akan jauh dari tempat ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah, marilah kita meneruskan perjalanan yang pendek ini. Mungkin kita dapat menemukan jawab di Jati Anom. Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang sedang nganglang untuk mengawasi keadaan.”
Setelah sekali lagi mereka meneliti tempat itu, dan tidak menemukan tanda-tanda baru, mereka pun segera meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan membawa sebuah laporan tentang perapian di hutan kecil agak menjorok masuk dari jalan setapak di pinggir hutan itu.
Demikianlah, maka perjalanan ke Jati Anom itu tidak memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah kademangan itu.
Meskipun Jati Anom yang sudah mulai miring karena letaknya di lereng Merapi itu tidak sesubur Sangkal Putung, namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang. Pematang-pematang yang bagaikan tangga raksasa memanjat semakin lama menjadi semakin tinggi di lereng Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak dataran-dataran yang rata seluas jangkauan mata.
Derap beberapa ekor kuda di tengah-tengah bulak itu memang menarik perhatian para petani yang bekerja di sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang senapati dari Pajang yang kebetulan berasal dan kini berada di Jati Anom akan melangsungkan perkawinannya, sehingga dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai. Bukan saja orang-orang yang berkepentingan dengan hari perkawinan Untara, tetapi juga prajurit-prajurit memperpendek gelombang pengamatan mereka. Setiap kali dua orang prajurit berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan mereka mengawasi juga pinggiran hutan di atas padukuhan Jati Anom dan di daerah sebelah Timur.
Kedatangan Kiai Gringsing dan Sumangkar di rumah Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai orang yang meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan pemerintahan dan pimpinan keprajuritan, namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Bahkan Untara tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar seorang yang tidak berarti di Kepatihan Jipang pada masa pemerintahan Adipati Penangsang yang diembani oleh Patih Mantahun.
Setelah duduk sejenak sambil berbicara tentang keselamatan masing-masing serta meneguk air panas, barulah Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan keduanya hadir di Jati Anom lebih cepat dari rencana mereka.
“Justru selagi aku tidak berada di tempat, Paman Widura memerlukan kawan yang dapat dibawa berbincang,” berkata Untara kemudian. “Bahkan aku mengharap Kiai berdua hadir kemarin di Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah Kiai berdua agak berkeberatan meninggalkan Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Bukan berkeberatan. Tetapi kami ingin berkuda di pagi hari yang segar seperti ini”
Untara tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia pun kemudian mulai mengatakan maksudnya.
“Di gandok itulah Ki Lurah Branjangan beserta pengiringnya beristirahat.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula, “Agung Sedayu sudah mengatakan serba sedikit. Dan sekarang aku menjadi semakin jelas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kita memang terus berhati-hati. Dan bukankah Anakmas Untara sudah memperhitungkan semua kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?”
“Ya,” Untara mengangguk-angguk pula, “tetapi prajurit Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka terlampau keras menentang Mataram. Barangkali Agung Sedayu pernah berceritera apa yang dialaminya karena kecurigaan prajurit Pajang yang berlebih-lebihan. Karena itu, di dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang dapat menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang dan Mataram itu sudah bersikap, meskipun ia masih berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu, aku memerlukan pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di samping kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis tugas masing-masing.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam sikapnya, sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau tajam. Meskipun demikian, masih tampak pada sikap dan kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan tindakan-tindakan seorang senapati.
“Apakah Kiai bersedia membantu kami dan Paman Widura di dalam hal ini?” desak Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Aku akan membantu Anakmas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sumangkar yang juga sedang mengangguk-angguk, lalu katanya, “Dan kami sudah mulai melihat sesuatu, yang barangkali penting Anakmas ketahui.”
Untara menjadi tegang sejenak, lalu, “Maksud Kiai, sesuatu yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?”
Kiai Gringsing pun mengangguk. Lalu dikatakannya apa yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke Jati Anom.
“Apakah mungkin para prajurit yang sedang nganglang berhenti dan membuat perapian?” Kiai Gringsing mencoba bertanya.
“Tidak, tentu tidak mungkin,” Untara merenung sejenak. “Itulah yang penting. Memang persoalan-persoalan yang kadang-kadang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku akan memerintahkan para prajurit untuk menelitinya.”
“Jangan tergesa-gesa, Anakmas. Seperti yang kau katakan, bahwa prajurit-prajurit itu sebagian telah bersikap keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram. Ketegangan yang justru tumbuhnya dari atas.”
“Jadi?”
“Biarlah kami melihatnya. Nanti malam kami akan mencoba meyakinkan, apakah sebenarnya yang telah kami lihat itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Jika Kiai memerlukan, kami dapat menyediakan beberapa orang prajurit.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Jangan menimbulkan kesan yang tegang, agar upacara perkawinan Anakmas dapat berjalan dengan tenang. Kami hanya memerlukan ijin Anakmas. Dan kami akan mencoba berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di mana kami sedang berdiri.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Adalah di luar kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan tugas yang berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia mempunyai sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan tugas-tugas serupa itu. Namun demikian, benar juga kata Kiai Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan sandinya dan menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan timbul ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang. Ketegangan itu tentu akan berpengaruh pada hari perkawinannya yang segera akan berlangsung.
Sejenak Untara merenungi kata-kata Kiai Gringsing. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Aneh sekali. Tiba-tiba saja aku setuju dengan pendapat Kiai. Namun hal itu justru karena aku sudah mengenal Kiai berdua bersama murid-murid Kiai.”
“Terima kasih atas kepercayaan ini. Nanti malam kami akan mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan itu.”
“Silahkan Kiai. Tetapi kami berharap, bahwa tidak akan timbul salah paham dengan petugas-petugas sandi dari Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka kalian harus berkata berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas khusus dari aku, dari senapati di daerah Selatan ini, supaya persoalan kalian dikembalikan kepadaku. Aku berharap, agar kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas sandi itu, karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugas-petugas sandi Pajang yang dapat berbuat seperti Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Memang tugas di medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadang-kadang petugas-petugas khusus semacam yang akan mereka jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka harus berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai Gringsing memahami pesan itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, Anakmas. Kami akan melakukan semua pesan Anakmas. Dan karena itulah, maka sore nanti kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung, agar kepergian kami tidak menimbulkan kecurigaan.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Silahkan. Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang baik bagi Kiai. Namun sebelumnya, Kiai dapat bertemu dengan Ki Lurah Branjangan, sekedar memperkenalkan diri.”
Kiai Gringsing memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia mengangguk pula sambil berkata, “Baiklah. Aku akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari Mataram. Aku kira Mataram memang perlu menyusun jaringan pengamanan bagi diri mereka sendiri.”
“Ya, tetapi Mataram masih berada di dalam lingkungan Pajang, sehingga tanggung jawab keamanannya seluruhnya masih menjadi tanggung jawabku.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, namun kemudian ia pun menyahut, “Ya, ya. Memang segala sesuatunya, Mataram harus mempertanggung-jawabkannya kepada Pajang, dalam hal ini kepada senapati yang mendapat tanggung jawab di daerah Selatan, yang langsung berhadapan dengan Mataram.”
“Bukan yang berhadapan dengan Mataram,” sahut Untara, “tetapi yang kekuasaannya meliputi Mataram.”
“O,” sekali lagi Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “ya, yang kekuasaannya meliputi daerah Selatan sampai ke Alas Mentaok.”
Tampak wajah Untara menegang sedikit. Namun ia pun kemudian berusaha untuk menghilangkan segala kesan itu. Sambil tersenyum Untara berkata, “Kiai benar. Kekuasaanku sampai ke Alas Mentaok dengan segala isi dan perkembangan yang terjadi atasnya, karena bentuk penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan masih belum jelas.”
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang Sumangkar, dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada menangkap siratan sikap Untara yang sebenarnya sebagai seorang prajurit Pajang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang tua itu pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata pertemuan Ki Lurah Branjangan dengan Ki Sumangkar telah menumbuhkan keheranan sejenak. Tetapi sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum sambil tertawa, “Ki Sumangkar, aku sudah mendengar pengampunan khusus dari Sultan Pajang atasmu.”
Sumangkar hanya tersenyum saja, sementara Kiai Gringsing bertanya, “Jadi kalian sudah saling mengenal?”
Sumangkar mengangguk. Katanya, “Aku mengenalnya sebagai Ki Lurah Mudal.”
“Nama itu terlalu jelek. Ki Widura lebih senang menyebut aku Ki Lurah Branjangan.”
Demikianlah, mereka sempat berbicara sejenak dengan akrabnya, seolah-olah mereka bertemu dengan kawan sendiri dari lingkungan yang sama.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin rendah, maka Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera minta diri. Mereka berpura-pura akan kembali ke Sangkal Putung bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah yang mengetahui, bahwa mereka berniat untuk mengintai orang-orang yang tidak dikenal yang telah membuat perapian di hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal Putung dan Jati Anom.
“Bagaimana dengan kuda-kuda ini?” bertanya Swandaru ketika mereka mendekati hutan rindang itu. “Apakah kuda-kuda ini tidak justru mengganggu?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, “Kita ikat kuda-kuda itu agak jauh dari hutan.”
Mereka berempat pun kemudian menuju ke sebuah pategalan di ujung hutan. Mereka mengikat kuda-kuda mereka di tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak mudah diketahui oleh orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
“Bagaimana kalau pemiliknya menengok pategalan ini di malam nanti?” bertanya Swandaru.
“Jarang sekali seseorang pergi ke pategalan yang kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung ini menjelang mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di malam hari.”
“Kita menunggu gelap di sini?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
“Ya, kita menunggu gelap di sini. Tempat ini terlindung oleh pepohonan yang cukup rimbun,” sahut gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk membayangkan apa yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap.
Tiba-tiba saja ia berhenti dan bertanya kepada gurunya, “Apakah mungkin orang yang membuat perapian itu orang-orang yang tidak dikenal di daerah ini, Guru?”
Gurunya menganggukkan kepalanya. “Ya,” jawabnya, “agaknya mereka orang asing di sini.”
“Jika mereka orang asing, apakah perapian itu tidak mengundang para peronda untuk mendekatinya?”
“Bukankah mereka berada di tempat yang terlindung agak menjorok masuk. Dan menurut perhitungan mereka, para peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat mereka membuat perapian itu.”
“Agaknya memang demikianlah,” sambung Sumangkar. “Ternyata tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan tentang perapian kepada Untara.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Dan sebentar lagi kita akan melihat, siapakah sebenarnya mereka itu.”
Ketika matahari menjadi semakin rendah dan hilang di balik cakrawala, maka mereka pun segera mulai bersiap-siap. Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin mereka ketahui keadaannya itu.
Karena itu, ketika malam mulai turun, mereka berempat pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan hati-hati mereka berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat, yang membentang di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
“Bagaimana jika ada harimau yang sampai ke pategalan itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kemungkinan itu kecil sekali. Terlalu jauh bagi seekor harimau. Kecuali apabila harimau itu benar-benar kelaparan. Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi ke pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai apa pun di sana. Agaknya harimau-harimau yang kelaparan lebih senang pergi ke padesan untuk mencuri ternak.”
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera masuk ke dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap. Mereka menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung, tetapi mereka dapat melihat lapangan rumput yang diselingi oleh pohon-pohon perdu di luar hutan sampai ke pinggir jalan. Dari kegelapan mereka akan dapat melihat bayangan yang bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang itu benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu.
Untuk memperluas jarak jangkau pengamatan mereka, maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama. Kiai Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang tidak jauh dari bekas perapian yang mereka ketemukan agak menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan Agung Sedayu berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
“Apakah mereka akan kembali, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak tahu,” jawab gurunya, “tetapi aku mengharap mereka akan kembali. Mereka akan membuat perapian lagi, dan berbicara tentang tugas-tugas mereka.”
Swandaru menganggukkan kepalanya.
“Tetapi memang mungkin pula mereka menemukan tempat lain yang lebih baik. Dan apabila demikian, kita akan sia-sia semalam suntuk di tempat ini,” sambung gurunya.
Swandaru mengerutkan keningnya Tetapi ia hanya berdesah di dalam dirinya, “Jika demikian, kamilah yang lebih bodoh dari orang-orang itu.”
Namun keduanya tidak berbicara lagi. Swandaru duduk di atas dahan yang besar, bersandar batangnya yang condong, sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang duduk di sebuah ayunan yang tergantung tinggi-tinggi.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun tidak banyak berbicara. Mereka lebih memusatkan perhatian mereka kepada keadaan di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti patung-patung yang membeku.
Mereka mulai menjadi gelisah, ketika malam menjadi semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat di dekat mereka, apalagi berhenti dan membuat perapian. Tetapi meskipun demikian, mereka masih tetap menahan hati, karena mereka masih berpengharapan, bahwa mereka tidak akan gagal.
Selagi mereka termangu-mangu menunggu orang-orang yang belum mereka ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai Gringsing yang duduk berjuntai di atas sebatang dahan itu mengerutkan keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru yang duduk terkantuk-kantuk.
“Ssst, jangan tidur,” desisnya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tidak tidur.”
“Lihatlah,” bisik gurunya kemudian.
Swandaru mengangkat wajahnya mencari sesuatu di dalam rimbunnya dedaunan.
“Bukan di sana, tetapi lihat itu.”
“Api,” desis Swandaru dengan serta merta sambil membelalakkan matanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sela-sela batang pepohonan mereka melihat samar-samar nyala api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
“Marilah kita melihat,” bisik Swandaru.
“Jangan tergesa-gesa. Kita belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka memiliki kemampuan indra yang melampaui manusia biasa, maka kita harus sangat berhati-hati. Tetapi mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Guru juga orang yang melampaui kewajaran manusia yang lain.”
Sejenak Kiai Gringsing masih tetap berada di tempatnya. Perapian yang mereka lihat sedikit bertambah besar, namun kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang mengerumuninya berusaha agar perapian itu tidak menjadi begitu besar.
“Apakah Kakang Agung Sedayu juga melihatnya?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Mungkin tidak. Tempatnya tidak memungkinkan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah kita akan memberitahukan kepadanya dan Paman Sumangkar?”
“Ya. Aku akan memberitahukan. Tunggulah kau di sini. Jika ada sesuatu yang penting, kau dapat memberitahukan kepadaku dengan isyarat.”
“Apakah isyarat itu?”
“Kau dapat menirukan suara burung kedasih seperti orang-orang di Alas Tambak Baya?”
“Ya.”
“Nah, itulah isyaratnya jika perlu sekali. Tetapi aku tidak akan lama, karena mereka berada tidak jauh dari tempat ini, asal saja mereka tidak berpindah tempat.”
Kiai Gringsing kemudian, turun dengan hati-hati. Ketika ia sudah berdiri di tanah, ia tidak segera bergeser. Dengan ketajaman panca inderanya ia meyakinkan lebih dahulu, bahwa tidak ada orang yang berada di sekitar tempat itu.
Baru setelah ia yakin benar-benar bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing itu mulai bergeser mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu bersembunyi.
Ternyata mereka berdua tidak beranjak dari tempatnya. Namun karena Sumangkar tidak tahu, bahwa Kiai Gringsing akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh oleh tubuh Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan digamitnya Agung Sedayu yang duduk di sampingnya.
Agung Sedayu pun kemudian mempersiapkan dirinya pula. Suara desir itu lambat laun didengarnya pula.
Namun mereka berdua itu menarik nafas, ketika mereka mendengar suara Kiai Gringsing lirih, “Adi Sumangkar?”
“Kiai Gringsing?” Sumangkar menyahut.
“Ya. Aku.”
Sumangkar pun kemudian bergeser ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat di luar gerumbul tempatnya bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata, “Apakah Kiai melihat sesuatu?”
“Ya. Aku sudah melihat sesuatu.”
“O, adakah mereka lewat di dekat tempat Kiai bersembunyi di hutan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak. Aku tidak melihat mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain. Tetapi aku sudah melihat perapian itu.”
“Jika demikian, mereka sudah ada di tempatnya.”
“Perapian itu bergeser sedikit.”
“Jadi, maksud Kiai?”
“Marilah, kita melihat apa yang mereka lakukan.”
Sumangkar pun kemudian menggamit Agung Sedayu dan memberinya isyarat untuk mengikutinya.
“Agung Sedayu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Kau mengawani Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan pamanmu Sumangkar akan melihat, siapakah yang telah membuat perapian itu?”
“Kenapa kami tidak ikut melihatnya pula, Guru?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi kecewa karenanya. Ia sudah sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak. Tetapi tiba-tiba ia tidak diperbolehkan ikut mengetahui siapakah sebenarnya yang berada di sekitar perapian itu.
Kiai Gringsing dapat membaca perasaan kecewa itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum aku memberikan isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman indra orang-orang di sekitar perapian itu.”
Demikianlah, setelah mereka singgah sejenak untuk memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru berada beberapa langkah di belakang Kiai Gringsing dan Sumangkar.
Dengan hati-hati sekali, kedua orang tua itu merayap semakin dekat. Setiap langkah, mereka perhitungkan baik-baik, agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengejutkan atau menunjukkan kepada orang-orang di sekitar perapian itu, bahwa ada orang yang sedang mengintai. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti saja dari jarak yang agak jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena malam yang serasa menjadi semakin gelap di dalam rimbunnya hutan yang meskipun tidak begitu lebat.
Demikianlah, akhirnya kedua orang tua-tua itu berhasil mendekati perapian itu. Mereka berdiri di balik pepohonan sambil mengatur pernafasan, agar orang-orang di sekitar perapian itu tidak mengetahui kehadiran mereka.
Beberapa saat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berada di tempatnya, mereka masih belum mendengar orang-orang itu berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil menundukkan kepala di sekeliling perapian sambil memanasi badannya.
“Tidak, bukan hanya badannya,” berkata Kiai Gringsing dan Sumangkar di dalam hatinya ketika mereka melihat semakin jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang memanggang beberapa potong daging binatang.
“Apakah mereka beberapa orang pemburu yang sedang berburu di hutan ini?” bertanya kedua orang tua-tua itu di dalam hati pula.
Namun mereka mengerutkan keningnya, ketika mereka melihat kulit domba teronggok di samping lingkaran itu.
“Tentu bukan pemburu,” keduanya mendapat kepastian. “Pemburu-pemburu tidak akan menyembelih kambing di hutan perburuannya.”
Karena itu, maka keduanya menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu dan Swandaru duduk beberapa langkah dari gurunya. Mereka pun melihat merahnya api di dedaunan dan pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja yang sedang mereka lakukan.
Ketika Swandaru akan berbisik sesuatu, Agung Sedayu meletakkan jari telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk itu, sehingga Swandaru mengurungkan loncatan kata-katanya yang sudah ada di tenggorokan.
Baru setelah daging yang mereka panggang di perapian itu masak, terdengar salah seorang dari mereka berbicara, “Kita makan sekarang.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi mereka pun kemudian bergeser sedikit. Salah seorang dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah beberapa langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi.
Kiai Gringsing dan Sumangkar harus menahan hati mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu sampai orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu, sehingga keduanya mendapatkan suatu kesimpulan tentang orang-orang itu. Sementara itu yang dapat dilakukan adalah sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit, namun akhirnya Kiai Gringsing berdesis di dalam hati, “Tujuh orang.”
Sambil menunggu mereka makan, maka Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Sumangkar untuk mendapat pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut penilaiannya, orang-orang yang berada di perapian itu bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan.
Ki Sumangkar yang mengerti isyarat itu pun mengangguk, karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut serta menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun dengan demikian mereka pun menemukan kejemuan baru. Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung Sedayu dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu.
Tetapi mereka harus memaksa diri duduk saja merenung. Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk, bersandar sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang sedang makan itu.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika terdengar, derap kaki kuda di kejauhan. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Dan ternyata, bahwa bukan saja Kiai Gringsing dan muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi juga orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba saja terdengar perintah, “Padamkan api.”
Beberapa orang segera berdiri dan mencakup tanah kering dan dihamburkannya di atas perapian, sehingga sejenak kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga tampak asap yang mengepul. Namun ketika angin berhembus, asap itu pun segera pecah berserakan.
Derap kaki kuda itu pun menjadi semakin dekat. Tetapi ternyata, bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak berhenti. Agaknya beberapa orang peronda telah lewat di jalan yang membujur di pinggir hutan itu.
“Anak setan,” terdengar salah seorang dari orang-orang yang mengitari perapian yang telah padam itu mengumpat. “Malam kemarin tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang peronda-peronda itu berkeliling sampai ke tempat ini.”
“Apakah ada orang yang berhasil mencium kehadiran kita di sini?” bertanya yang lain.
“Aku belum mendapatkan tanda-tanda itu,” sahut yang mula-mula berbicara, yang agaknya adalah pemimpin mereka.
“Makanlah,” desis suara yang lain, “kita akan segera pergi.”
“Sudah habis,” terdengar jawaban.
Namun tiba-tiba yang lain lagi berkata, “Nasiku tumpah. Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu harus dipadamkan.”
“Tinggal daunnya,” jawab yang lain, “aku tahu, kau makan daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau makan nasi serta daunnya.”
“Sst,” desis pemimpin mereka, “kita masih harus mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat memastikan, di mana kita akan mulai, karena besok lusa, Untara sudah harus pergi ke Pengging. Sepeninggal Untara kita harus bertindak dengan cepat, supaya kesan yang kita timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya langsung. Hanya Untara-lah yang masih dapat berpikir bening menghadapi Mataram. Pada umumnya, para prajurit sudah diracuni oleh kecurigaan.”
“Bagaimana dengan Widura?”
Widura sudah bukan prajurit lagi. Ia sudah jemu, karena ketuaannya yang semakin mengganggu tugas-tugas keprajuritannya.”
“Ia belum terlalu tua.”
Terdengar suara tertawa pendek. Namun untuk beberapa lamanya tidak terdengar suara yang lain.
Maka sejenak kemudian, hutan itu telah dicengkam oleh kesenyapan. Yang terdengar adalah suara binatang malam di kejauhan. Suara burung hantu dan bilalang yang berderik di rerumputan.
Yang mula-mula terdengar adalah suara pemimpin dari orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang sudah padam itu, “Tidak seorang pun yang dapat membaca pikiran orang lain dengan tepat. Tetapi agaknya Widura itu pun sudah jemu mengabdikan diri kepada Sultan Adiwijaya. Tetapi karena ia tidak mau berkhianat, maka lebih baik baginya untuk mengundurkan diri saja dari lingkungannya.”
“Apakah Ki Lurah yakin?” tiba-tiba terdengar suara yang berat.
“Aku yakin. Banyak prajurit yang lari ke Mataram. Lurah Branjangan lari pula di samping Ki Lurah Mahoni dan Ki Lurah Sarimpat.”
“Tetapi hubungan Mataram dengan Pajang masih belum dapat diambil kesimpulan apa pun juga,” suara yang berat itu terdengar lagi. “Ternyata menurut beberapa orang petugas kami, Raden Sutawijaya telah mengirimkan beberapa jodang sumbangan kepada Untara.”
“Kau bodoh sekali,” berkata pemimpinnya, “itu sekedar suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu cepat bertindak, sebelum Mataram siap.”
“Begitu?”
“Ya. Dan adalah tugas kita untuk memancing tindakan Pajang terhadap Mataram. Tepat setelah Untara meninggalkan Jati Anom.”
Sejenak kemudian tidak terdengar jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah nafas-nafas yang berdesah.
Kiai Gringsing dan Sumangkar yang duduk berdekatan saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata yang mereka duga telah benar-benar terjadi. Orang-orang itu adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin menimbulkan benturan langsung antara Pajang dan Mataram secepatnya.
Namun keduanya masih belum dapat menyatakan pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk melihat perkembangan yang bakal terjadi.
“Marilah kita pergi,” terdengar suara pemimpinnya, “kita melihat keadaan di Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu sampai malam besok. Di dalam waktu itu kita harus sudah dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan dan di mana?”
“Sekarang kita sudah mendapat gambaran itu,” sahut suara yang lain.
Kiai Gringsing dan Sumangkar bersama kedua anak-anak muda yang mengikutinya itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu tidak mengatakan apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita pergi.”
“Kita memutari Jati Anom dari sebelah Timur. Kita akan mencari kemungkinan yang lebih baik dari yang telah kita dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan melihat hutan kecil di sebelahnya.”
“Arah itu tidak menguntungkan,” sahut yang lain.
“Marilah kita coba melihatnya.”
Tidak seorang pun yang menjawab. Di dalam kegelapan, Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir tidak dapat melihat orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam, masih juga dapat menangkap bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan kemudian berjalan meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian, mereka telah benar-benar hilang di dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah kaki mereka serta desah dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih harus berbisik, “Mereka pergi ke sebelah Timur Jati Anom.”
“Ya. Orang-orang itulah yang diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan,” sahut Sumangkar.
“Tetapi mereka mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya mengirimkan orang ke Jati Anom.”
“Tetapi mereka tidak memperhitungkan sejauh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin Mataram. Mereka hanya sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak mereka ketahui siapa orangnya itu telah menyerahkan sebuah bingkisan yang banyak kepada Untara.”
“Tetapi siapakah mereka sebenarnya, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kami belum tahu pasti.”
“Apakah mereka bukan justru orang-orang Pajang sendiri yang menghendaki agar segera mendapat perintah untuk menghancurkan Mataram.”
Kiai Gringsing menggeleng, “Nadanya bukan orang Pajang. Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa orang senapati yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang mengetahui rencana Ki Lurah Branjangan. Dan mereka tidak akan dengan membabi buta meneruskan rencananya untuk mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan segera dikenal oleh Ki Lurah Branjangan itu.”
“Jadi kesimpulan Guru?” sahut Swandaru.
“Bukan orang-orang Pajang, tetapi pasti juga bukan orang Mataram.”
“Apakah mungkin mereka pengikut-pengikut Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
“Bahkan mungkin kedudukan mereka lebih tinggi dari para hantu di Alas Mentaok itu,” sahut Kiai Gringsing. “Mungkin di antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di belakang tabir dan menggerakkan kendali atas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak serta orang-orang yang lain lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, “Tetapi, jika mereka adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari Kiai Telapak Jalak, apakah mereka tidak sangat berbahaya, Guru? Dan apakah kita akan dapat mengikutinya dan menyadap pembicaraan mereka?”
“Tentu bukan orang-orang yang duduk di perapian itu. Maksudku, yang akan memimpin mereka. Yang memimpin keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat Mataram menjadi tempat yang ramai, seperti juga sebagian orang-orang Pajang yang tidak mau melihat Mataram menjadi sebuah kota.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya, “Guru, apakah sebabnya Pajang berkeberatan? Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir berkembang dengan pesat pula? Adipati-adipati di daerah Timur juga menumbuhkan persoalan-persoalan tersendiri. Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya justru ditujukan kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih terlalu lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang sudah tumbuh semakin kuat itu? Atau barangkali akulah yang sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan prajurit Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga bergolak?”
“Tidak, Agung Sedayu. Perhatian Pajang kini terutama tertuju kepada Mataram.”
“Jika demikian, kenapa, Guru?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Meskipun kadipaten yang lain lebih kuat dari Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di daerah-daerah itu tidak ada sebuah nama yang mempunyai pengaruh sebesar Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di daerah pesisir tidak ada seorang pun yang sangat dihormati oleh Sultan Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang memiliki kemampuan mengemudikan pemerintahan seperti orang tua itu. Itulah sebabnya, beberapa orang di Pajang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Mataram. Terutama para senapati yang masih tetap menganggap, Pajang sebagai pusat dari perkembangan tanah ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Ternyata, bahwa seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas suatu persoalan yang sedang berkembang.
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Kita mengikutinya sampai ke Lemah Cengkar.”
“Bagaimana dengan kuda-kuda itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Biar saja ia berada di pategalan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atas mereka. Mungkin kuda-kuda itu sekarang sedang tidur dengan nyenyak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Kita akan memintas, sehingga kita akan mendahului mereka sampai ke Lemah Cengkar,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Apakah mereka tidak juga memilih jalan memintas?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya mereka bukan orang yang tinggal di sekitar daerah ini. Mereka tidak mengenal jalan-jalan sempit di tengah hutan ini.”
“Apakah Guru mengenalnya?”
“He, bukankah aku orang Dukuh Pakuwon.”
“O,” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gurunya, yang juga bernama Tami Metir, itu memang pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang cukup lama, sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon itu mengenal jalan-jalan setapak di daerah ini.
Demikianlah, maka mereka berempat pun segera berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian mereka pun segera memotong, setelah mereka menemukan sebuah jalan sempit yang memintas. Mereka menyusup pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini tidak seganas Alas Tambak Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena itu, bagi keempat orang itu, perjalanan mereka bukannya perjalanan yang terlampau sulit.
Meskipun demikian, terbersit juga sebuah kenangan di dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar ceritera tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di daerah Lemah Cengkar terdapat seekor harimau putih yang jauh lebih besar dari harimau kebanyakan. Bahkan lebih besar dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa menurut ceritera macan putih itu sama sekali bukan harimau sebenarnya, tetapi harimau jadi-jadian.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terkenang pula ketika ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya, Untara. Betapa ia dibayangi oleh wajah-wajah hantu yang menakutkan. Untunglah, ketika ia berada di Alas Mentaok, hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah hantu yang menakutkan itu. Jika sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas Mentaok selagi ia masih dibelenggu oleh perasaan takutnya, maka ia tidak akan lebih baik dari orang-orang yang ketakutan di daerah yang sedang dibuka itu.
Tetapi kini, Agung Sedayu tidak lagi dihantui oleh ceritera tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan sejenak kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang sedang diikutinya itu.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah Lemah Cengkar. Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah Utara daerah yang masih liar itu. Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di antara kekerdilan semak-semak. Dan di atas sebuah puntuk kecil terdapat sebuah batu yang aneh. Seolah-olah batu itu diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di atas gumuk kecil itu.
“Kita menunggu di sini. Mereka pasti akan melintas jalan ini,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya dan Ki Sumangkar hanya menganggukkan kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai Gringsing seakan-akan memiliki firasat yang sangat tajam.
Demikianlah, mereka kemudian bersembunyi di balik semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk menemukan pangkal yang baik bagi usaha mereka mengacaukan Jati Anom.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai Gringsing tidak salah. Sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara ranting-ranting perdu yang berpatahan.
“Kalian di sini, Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini kita tidak sekedar mengintai orang-orang yang duduk mengelilingi perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka bergeser dari satu tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun. Aku berdua bersama Ki Sumangkar akan mengikuti mereka dan akan mencari kalian ke tempat ini jika kami sudah merasa cukup.”
Ia melihat kekecewaan membayang di wajah kedua muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing tidak dapat mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Betapa pun kecewa bergejolak di dalam hatinya, namun kedua murid Kiai Gringsing itu harus mematuhi kata-kata gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya baik-baik.
Sesaat kemudian, maka ketujuh orang yang sedang mereka tunggu itu pun lewat beberapa langkah di hadapan Kiai Gringsing menuju ke rumpun-rumpun perdu yang lebih lebat di pinggir hutan kecil agak ke Utara.
Dengan isyarat, Kiai Gringsing mengajak Ki Sumangkar untuk segera mengikuti mereka Tetapi untuk sementara keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih berada di tempat yang agak terbuka.
Namun ketika kemudian mereka memasuki hutan perdu yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya dari jarak yang semakin dekat.
“Ternyata tempat ini cukup baik,” desis salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang segera menanggapi. Tetapi mereka berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu yang menjadi semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil yang gelap.
Sesaat kemudian, pemimpin mereka itu pun berkata, “Kita berhenti sebentar. Kita pertimbangkan tempat ini.”
Orang-orang itu pun kemudian berhenti. Mereka berdiri menghadap ke Jati Anom.
“Kita akan membuat pertimbangan-pertimbangan,” berkata pemimpinnya, “apakah tempat ini lebih menguntungkan atau tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan sebelah Barat Jati Anom?”
Kawan-kawannya tidak segera menyahut.
“Kita akan menyerang Jati Anom dan berusaha membuat kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita mengharap betapapun mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga sepeninggal Untara, karena pengamanan mereka pasti sebagian terbesar mereka tujukan bagi Untara dan para perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara ke Pengging. Kegaduhan yang timbul pasti akan segera membuat Rangga Parasta marah dan mempengaruhi Untara untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya dilewatinya. Dari tempat ini, kita dapat mencapai Sendang Gabus tanpa kesulitan. Kita akan menghindari jalan langsung ke Banyu Asri. Yang harus kita lakukan adalah memasuki rumah Untara. Bukan rumah Widura.”
“Tetapi prajurit Pajang sebagian terbesar ada di banjar kademangan. Jika kita tidak segera mencapai rumah Untara, maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit yang ada di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,” sahut seseorang.
“Kita akan berputar lewat sebelah Selatan. Justru di sebelah Timur Banyu Asri.”
“Jika demikian, apakah tidak lebih baik kita berada di sebelah Barat. Jika kita terpaksa harus secepatnya menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan bersembunyi di sekitar bekas padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi untuk mencapai rumah Untara yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu, kita lebih baik datang dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang perwira, kemudian kita dapat menghilang ke Barat, karena jika ada kesempatan membangunkan para prajurit di banjar, mereka akan datang dari arah Timur.
“Jadi kenapa kita harus datang dari arah Timur juga?”
“Supaya tidak menimbulkan kemungkinan ada persiapan lebih dahulu di bagian Barat, jika memang ada satu dua orang peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan menyusup masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara agaknya lebih aman, karena pengamanan daerah ini pasti akan ditekankan di daerah Barat, karena mereka masih harus mengawasi rumah Widura.”
“Jadi kenapa kita tidak menghindar ke Timur juga?” bertanya yang lain.
“Sudah aku katakan, jika ada satu dua orang yang sempat membunyikan tengara, prajurit-prajurit yang ada di banjar akan bangun dan mereka akan datang dari arah Timur. Namun kita berharap, bahwa mereka masih tetap nyenyak ketika kita datang.”
Sejenak tidak ada seorang pun yang segera menyahut. Agaknya mereka sedang merenungi rencana itu. Daerah ini memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang daerah lereng Merapi adalah daerah yang baik untuk mereka jadikan tempat menghindar. Batu-batu padas yang besar dan liku-liku lereng yang berselimut batang-batang perdu memberikan kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya. Apalagi mereka sempat meninggalkan Kademangan Jati Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang meskipun tidak begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan untuk berhasil menyelamatkan diri di lereng-lereng yang berbatu padas.
Untuk beberapa saat lamanya orang-orang itu masih berdiam diri sambil mengawasi keadaan di sekitarnya. Tetapi gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga sejenak kemudian, salah seorang dari mereka berkata, “Aku kira kita dapat mengajukan rencana ini. Tetapi sebaiknya besok siang kita melihat keadaan ini untuk mendapatkan kepastian.”
“Di siang hari?”
“Ya.”
“Berbahaya sekali.”
“Tentu tidak perlu kita semua berbareng datang kemari. Aku akan datang dengan seorang dari kalian.”
“Hanya dua orang?”
“Ya, tentu tidak akan menumbuhkan kecurigaan. Adalah merupakan hal yang biasa bila dua orang berjalan bersama-sama. Apakah yang aneh? Jika kita datang bertujuh, memang hal itu akan dapat menumbuhkan persoalan.”
Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini di siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus mereka lakukan.
“Marilah, kita sekarang pergi.”
“Apakah kita tidak melihat Jati Anom?”
“Tidak ada yang baru di Jati Anom. Besok pun tidak ada. Tetapi besok kita dapat melihat Banyu Asri yang sepi, setelah Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana kita memasuki Jati Anom itu.”
Tidak ada seorang pun yang menyahut.
“Marilah,” gumam pemimpinnya itu sambil melangkah.
Sejenak kemudian mereka pun berjalan berurutan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, Sumangkar dan Kiai Gringsing yang mengintip mereka, membiarkan mereka pergi. Mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan yang kehitam-hitaman itu hilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, barulah mereka berdiri sambil menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing berdesis, “Rencana yang baik.”
Sumangkar pun mengangguk-angguk pula, katanya, “Tentu rencana ini di susun oleh orang yang cukup berpengalaman.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing, “kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain.”
“Prajurit-prajurit itu?”
“Kita harus berhati-hati. Siapa tahu, bahwa ada orang-orang mereka yang menyusup di dalam lingkungan keprajuritan.”
Sumangkar mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu untuk mengatasi persoalan itu.
“Marilah, kita kembali kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap sambil berjalan.”
Keduanya pun segera kembali ke tempat mereka meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru sedang tidur dengan nyenyaknya.
“Dapat juga ia tidur nyenyak,” desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Ia kecewa sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu, lebih baik baginya untuk tidur saja daripada menggerutu tidak habis-habisnya.”
Kedua orang tua-tua itu pun tersenyum.
Ternyata percakapan itu telah membangunkan Swandaru, sehingga sambil menggeliat ia berkata, “Apakah sekarang sudah fajar pagi?”
“Sudah lewat,” jawab Agung Sedayu.
Swandaru pun kemudian berdiri sambil bertanya, “Di mana orang-orang itu, Guru?”
“Sudah pergi.”
“Pergi? Dan kita membiarkan mereka pergi tanpa berbuat apa-apa?”
“Kita tidak berbuat apa-apa.”
“Kenapa guru?” Agung Sedayu pun bertanya, “bukankah mereka orang-orang yang berbahaya?”
“Ya. Mereka memang orang-orang yang berbahaya. Tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka itu sekarang. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan kepalanya, kecuali ekornya saja, seperti seekor cicak, meskipun kita mematahkan ekornya, maka ekor itu akan segera tumbuh kembali.”
Kedua murid-muridnya tidak menjawab, meskipun mereka belum mengerti alasan gurunya itu yang sebenarnya.
“Mereka bukannya orang-orang terpenting dari lingkungan mereka,” berkata Kiai Gringsing. “Mereka hanyalah semacam penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi.”
“Tetapi jika kita menangkap mereka, maka mereka tidak akan dapat memberikan keterangan lebih jauh kepada atasan mereka.”
“Ya, karena mereka tidak kembali kepadanya. Tetapi, bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan itu pasti menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan orang-orang yang sangat dungu, maka mereka pasti akan segera merubah rencana mereka. Perubahan rencana itu sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat mengetahui rencana ini. Agaknya mereka mendapat kepercayaan penuh untuk menentukan dari mana mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu berubah, kita tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.”
“Tetapi apakah kita dapat memastikan, bahwa pendapat orang-orang itu akan diterima oleh atasannya?”
“Menilik pembicaraan mereka, mereka adalah satu-satunya kelompok yang mendapat tugas untuk menentukan garis serangan,” jawab gurunya, namun kemudian, “tetapi memang tidak mustahil, bahwa mereka hanya dapat memberikan bahan dan pertimbangan. Meskipun demikian inti dari rencana itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat menentukan sikap.”
(bersambung ke Episode 066)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

S1-E91 Kiai Jalawaja Tewas, Tombak Kiai Pleret Tercium Keberadaannya

KETIKA  malam menjadi semakin dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai keadaan. Kiai Kalasa Sawit ya...