KI WASKITA menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa beberapa orang Pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang kebanyakan. Jika mereka bersama-sama menyerangnya, maka ia akan menjadi agak bingung juga. Namun ia sudah bertekad, bahwa ia harus terlibat dalam perkelahian yang kisruh sehingga Panembahan Agung akan menjadi ragu-ragu melepaskan anak panahnya, karena dengan demikian akan dapat mengenai anak buahnya sendiri. Atau ia justru harus langsung menyerang Panembahan Agung dalam jarak yang pendek, sehingga Panembahan Agung tidak sempat lagi melepaskan anak panah itu ke arahnya.
Dan agaknya cara yang kedua itulah yang condong akan diambil oleh Jaka Raras. Dengan tangkasnya ia meloncat maju sambil menangkis setiap serangan yang menghujaninya. Semakin lama semakin dekat. Ternyata bahwa ikat pinggangnya benar-benar memiliki kekuatan yang mengagumkan, sehingga ia tidak lagi mencemaskannya, bahwa ikat pinggang itu akan menjadi hancur.
Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung pun mulai bergerak. Mereka sudah mendengar perintah yang diberikan oleh pemimpinnya, sehingga mereka sudah tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak.
Tetapi sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, “He, Ki Sanak. Jangan ganggu Jaka Raras. Marilah kita membuat arena permainan sendiri.”
Para pengawal itu pun berpaling. Dilihatnya seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang mereka.
Sejenak para pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Biarkan bentuk semu itu. Lawan Panembahan Agung yang licik itu tentu akan mencoba menahan kita di sini, agar ia tidak menjadi bingung karena ia harus melawan kita bersama-sama.”
“Lihatlah dengan saksama,” berkata orang itu, “ini bukan sekedar bentuk semu. Sebenarnyalah kau melihat seseorang yang berdiri di sini.”
Tetapi para pengawal itu menjadi ragu-ragu. Sementara Panembahan Agung hampir tidak mendapat kesempatan untuk membantu mereka, karena Jaka Raras berloncatan semakin mendekatinya.
“Jangan hiraukan,” sekali lagi seorang pengawal berdesis, “yang pasti, Jaka Raras itu sajalah yang harus kita binasakan.”
Para pengawal itu pun kemudian tidak menghiraukan lagi orang yang berdiri di depan gerumbul-gerumbul perdu itu. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian siap untuk menerjunkan diri melawan Jaka Raras yang sedang bertempur melawan Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang pengawal itu pun memekik tertahan. Ternyata senjata orang yang berdiri di depan gerumbul itu telah menyambar lengannya, sehingga lengannya itu pun tersobek karenanya.
“He,” salah seorang kawannya berdesis, “apakah kau benar-benar terluka, atau sekedar penglihatanku.”
Orang yang terluka itu terdorong beberapa langkah dan bersandar pada sebuah batu padas yang besar sambil menggeram, “Setan. Ia benar-benar melukai tanganku.”
“Nah, kalian harus percaya bahwa aku bukannya sekedar bentuk semu. Trisulaku telah berhasil menyobek lengan itu, dan sebentar lagi, dada kalian pun akan berlubang karenanya.”
Meskipun demikian para pengawal itu masih termangu-mangu sejenak sehingga mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian.
“He, siapakah orang itu,” Panembahan Agung yang sempat memperhatikan dengan seksama itu pun bertanya ketika ia sekilas melihat seseorang yang bersenjata sebuah trisula yang diikatkan pada ujung rantai, hampir seperti cakram bergerigi Jaka Raras.
“Ki Sumangkar,” Ki Waskita-lah yang menjawab, “ia akan menghancurkan pengawalmu.”
“Apakah kalian seperguruan di dalam olah kanuragan setelah kita berpisah dari perguruan kita itu?” bertanya Panembahan Agung.
“Ya. Kami seperguruan. Guru kami adalah tuntunan keadilan sehingga kami harus bekerja bersama melawanmu dan para pengawalmu kali ini.”
Panembahan Agung menjadi semakin marah sehingga rasa-rasanya dadanya akan meledak karenanya. Sambil menyerang Jaka Raras dengan anak panahnya ia berteriak, “Bunuhlah orang itu. Yang berdiri di hadapan kalian itu bukannya bentuk semu.”
Tetapi ketika para pengawal itu mulai menyadari sepenuhnya akan keadaan mereka, maka seorang lagi di antara mereka telah berteriak kesakitan. Trisula Sumangkar benar-benar telah menyambar lambung salah seorang dari mereka.
Yang lain tidak membiarkan Sumangkar mendahului lagi. Mereka pun segera menyerangnya hampir berbareng dengan senjata masing-masing.
Tetapi mereka tidak segera dapat mendekat. Sumangkar memutar rantai yang berujung trisula dan trisula yang lain di tangan kirinya.
Dengan demikian, maka di antara mereka, Sumangkar dan para pengawal Panembahan Agung itu pun segera timbul pertempuran yang sengit. Sumangkar harus melawan beberapa orang sekaligus yang mengepungnya rapat-rapat. Tetapi mereka tidak dapat dengan mudah menyerang Sumangkar yang mempunyai senjata yang aneh itu.
Meskipun demikian, karena jumlah mereka berlipat banyaknya, maka Sumangkar pun akhirnya harus berusaha melepaskan diri dari kepungan yang rapat itu. Untunglah bahwa di sekitarnya terdapat pohon-pohon perdu, sehingga Sumangkar dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.
“Licik,” teriak salah seorang pengawal Panembahan Agung, “kau tidak bertempur secara jantan.”
“Kenapa?” bertanya Sumangkar.
“Kau berlari-lari melingkar-lingkar di seputar gerumbul-gerumbul perdu. Bukan begitu caranya seorang laki-laki bertempur.”
“Maaf, aku akan bersikap jantan terhadap orang-orang yang bersikap jantan pula. Jika salah seorang dari kalian siap untuk berperang tanding, aku akan melayaninya dengan jantan.”
Sejenak para pengawal itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak, “Aku menantangmu. Marilah kita bertempur dengan jantan.”
“Aku tidak membawa saksi,” sahut Sumangkar sambil memutar senjatanya.
“Pengecut.”
“Aku mempunyai firasat bahwa kalian akan menjebak aku. Perang tanding itu sendiri adalah suatu cara yang licik dan pengecut.”
“Jangan banyak bicara.”
Di luar dugaan mereka, Sumangkar menjawab, “Baik.”
Dan Sumangkar pun tidak berbicara lagi. Tetapi ia masih mempergunakan caranya. Sekali-sekali ia menyusup di balik batang-batang perdu, kemudian berlari-lari dan dengan tiba-tiba ia menyerang dengan garangnya. Di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun itu, sulitlah untuk dapat mengepungnya dan kemudian menyerang bersama-sama dari banyak arah.
Selagi Sumangkar bertempur dengan sengitnya, maka Panembahan Agung pun mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Jaka Raras.
Tetapi anak panahnya seakan-akan tidak banyak berarti lagi. Jaka Raras mempunyai perisai yang dapat memunahkan serangan-serangan anak panah Panembahan Agung. Bahkan semakin lama Jaka Raras justru menjadi semakin dekat.
“Kau tidak akan dapat lari lagi, Panembahan. Aku tahu bahwa kau terikat pada tempatmu itu.”
“Persetan.”
Terdengar Jaka Raras tertawa. Suaranya dalam dan datar. Katanya, “Sekali lagi aku tawarkan kepadamu, hentikan semua kegiatanmu.”
“Syaratnya?” tiba-tiba Panembahan Agung bertanya.
“Aku akan memunahkan semua kesaktian yang ada padamu. Kau akan menjadi seorang panembahan yang baik dan hidup tenteram di padukuhanmu di mana pun yang kau kehendaki.”
“Gila. Syarat itulah yang gila. Lebih baik aku membunuhmu.”
Jaka Raras tidak menjawab. Ia disibukkan oleh anak panah yang bagaikan hujan menyerangnya. Namun ia berhasil menangkis dan menghindarinya.
Betapa pun banyaknya persediaan anak panah pada Panembahan Agung, namun semakin lama menjadi semakin susut juga, sejalan dengan kecemasan yang semakin mengguncangkan dadanya. Apalagi karena ia sadar, bahwa tidak akan banyak gunanya lagi ia melepaskan anak panah itu kepada lawannya.
Apabila sekilas ia melihat kepada pertempuran yang berlangsung antara pengawalnya melawan Sumangkar, maka ia tidak mendapat gambaran sama sekali, siapakah yang akan dapat menang. Setiap kali Sumangkar berlari bersembunyi di balik batang-batang perdu yang rimbun. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia menyerang lawan-lawannya yang sedang mencarinya. Setiap kali justru ialah yang berhasil melukai lawannya, sehingga kekuatan para pengawal itu pun semakin lama menjadi semakin berkurang.
Sekali lagi, Panembahan Agung menggeram. Ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu. Yang terjadi bukannya sekedar bentuk-bentuk semu yang dilontarkan oleh Jaka Raras. Tetapi yang terjadi adalah sebenarnya terjadi. Pengawalnya tidak segera dapat mengalahkan lawannya, sehingga karena itu mereka tidak akan segera dapat membantunya.
Karena itu, maka Panembahan Agung pun tidak lagi ingin berbuat setengah-setengah. Ia sudah melepaskan ilmunya yang dahsyat dengan membingungkan lawannya. Tetapi ternyata di antara lawan-lawannya itu terdapat orang yang memiliki kemampuan yang serupa.
Dengan demikian maka Panembahan Agung pun berusaha untuk sampai kepada puncak ilmunya. Ilmu yang didapatkannya dari perguruannya. Ia tahu, bahwa lawannya juga pernah menerima ilmu itu dari gurunya. Tetapi ia mendapatkan lebih banyak sampai saatnya gurunya tidak lagi mampu menambah ilmu itu, justru karena ia lebih dekat pada gurunya itu daripada Jaka Raras. Pada saat maut tidak lagi terelakkan, karena usia yang lanjut, gurunya belum sempat meratakan ilmunya itu kepada Jaka Raras sampai setingkat dengan dirinya.
“Aku terpaksa membinasakannya dengan ilmu ini,” katanya di dalam hati, “jika tidak, maka akulah yang akan dibinasakannya, atau semua ilmuku akan dipunahkannya.”
Dalam pada itu, Sumangkar pun semakin lama semakin sibuk melayani lawan-lawannya yang marah. Tetapi ia masih dapat melawan dengan caranya. Dengan trisula di ujung rantainya dan dengan berlari-lari sambil bersembunyi. Namun yang kemudian menyerang dengan tiba-tiba.
Agaknya Sumangkar berhasil mengurangi jumlah lawannya. Tetapi ia masih belum berhasil melepaskan dirinya sama sekali dari bahaya yang masih selalu mengancamnya dari segala arah. Apalagi ketika kemudian terasa nafasnya mulai mengganggu.
Tetapi Sumangkar adalah saudara seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikenal seakan-akan memiliki nyawa rangkap. Karena itu, maka ia masih mampu mengatasi kesulitan yang ada di sekitarnya.
Namun demikian, jumlah lawannya yang banyak itu telah menimbulkan kesulitan yang beruntun. Ketika ujung tombak seorang lawannya berhasil menyentuhnya, maka rasa-rasanya dadanya mulai diganggu oleh debar yang semakin cepat.
Ternyata ketika ia bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang rimbun, seorang lawannya yang marah tidak menunggunya atau mengitari gerumbul itu. Untung-untungan ia melontarkan tombaknya dengan sekuat tenaga. Namun ternyata bahwa ujung tombak itu justru berhasil mengenai lengan Sumangkar yang sedang bersembunyi di dalamnya, meskipun luka itu tidak terlampau dalam.
“Setan alas,” Sumangkar mengumpat. Kemarahannya bagaikan menyala sampai ke ujung ubun-ubun. Namun demikian ia harus menyadari bahwa kemampuannya pun terbatas. Apalagi menghadapi lawan yang jumlahnya cukup banyak.
Ternyata kemudian bahwa lawan-lawannya itu telah berhasil melukainya.
Sekilas teringat olehnya Kiai Gringsing yang terbaring dengan luka-lukanya pula. Bagi Sumangkar Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki kelebihan daripadanya betapa pun tipisnya. Meskipun di Jati Anom Kiai Gringsing pernah juga terluka, tetapi agaknya hal itu terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh Kiai Gringsing sendiri. Sedang berhadapan dengan Panembahan Alit, ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak akan dapat menghindarkan diri dan luka-lukanya itu meskipun ia sama sekali tidak melakukan kesalahan di dalam pertempuran itu.
Dan kini, ia pun sudah mulai terluka. Seorang demi seorang lawan-lawannya bukannya orang yang harus disegani. Tetapi mereka berada di dalam satu kelompok yang berusaha mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru.
Debar jantung Sumangkar terasa semakin cepat. Tangannya menggenggam senjata semakin erat. Ketika ia meraba lukanya dengan ujung jarinya, terasa ujung jari itu menjadi hangat oleh darah.
Tetapi Sumangkar tidak segera kehilangan akal. Ia masih tetap menguasai perasaannya. Karena itu ia tidak menjadi putus asa dan membabi buta. Ia masih sempat memperhitungkan dan mempertimbangkan setiap langkahnya.
Sementara itu Panembahan Agung yang sudah sampai pada puncak ilmunya, sudah siap untuk menghancurkan Jaka Raras. Namun Jaka Raras yang agaknya mengetahui bahwa Panembahan Agung berusaha untuk melontarkan ilmunya yang dahsyat, ia pun segera meloncat semakin dekat dan menyerangnya dengan cakramnya yang digantungkannya pada ujung rantainya.
Panembahan Agung mengumpat di dalam hati. Ia belum sempat melontarkan ilmunya itu ketika Jaka Raras mengayunkan cakramnya yang bergerigi itu hampir menyambar hidungnya.
Dengan demikian maka Panembahan Agung terpaksa mempergunakan busurnya untuk menangkis setiap serangan Jaka Raras, sedang tangannya yang lain menggenggam anak panahnya yang sekaligus dipergunakannya sebagai senjata yang mematuk-matuk.
Namun Jaka Raras ternyata sangat lincah. Ia mampu meloncat selincah anak kijang di padang perburuan. Ditambah lagi dengan ayunan senjatanya yang dahsyat itu.
Sekali-sekali terdengar Panembahan Agung menggeram ia belum mendapat kesempatan melontarkan ilmunya. Justru karena Jaka Raras berhasil mendekatinya sampai pada jarak putar cakramnya.
Namun Panembahan Agung pun memiliki kecepatan bergerak yarg luar biasa. Ketika terbuka sedikit kesempatan, maka anak panahnya telah melekat pada busurnya. Dalam jarak yang sangat pendek Panembahan Agung membidikkan anak panahnya.
Jaka Raras terkejut melihat kecepatan bergerak tangan Panembahan Agung itu. Namun jaraknya tidak lagi memungkinkannya untuk menyerang dengan cakramnya.
Karena itu, dadanya menjadi berdentangan. Jarak itu sangat pendek. Sedangkan Jaka Raras mengetahui dengan pasti kekuatan busur Panembahan Agung itu.
Tetapi Jaka Raras tidak membiarkan lehernya terputus oleh anak panah itu. Dengan memusatkan kekuatan pada tangan kirinya ia berdiri tegak. Justru memusatkan tatapan matanya kepada ujung anak panah Panembahan Agung itu.
Yang terjadi kemudian hanyalah beberapa saat yang pendek. Anak panah Panembahan Agung pun telah terlepas dari busurnya dan meluncur dengan cepatnya. Hampir berbareng, karena jarak yang sangat pendek, terdengar benturan yang sangat dahsyat. Jaka Raras terlontar beberapa langkah surut. Dorongan anak panah pada lengannya yang terbalut ikat pinggang itu benar-benar bagaikan merontokkan tulang-tulangnya.
Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan dan ketahanan tubuh yang luar biasa sehingga ia masih sempat meloncat berdiri dan mempersiapkan diri dengan serangan berikutnya.
Tetapi Panembahan Agung tidak ingin menyerangnya lagi dengan anak panah, karena ia kini mendapat kesempatan untuk melontarkan puncak ilmunya.
Jaka Raras yang juga bernama Ki Waskita itu terkejut melihat tatapan mata Panembahan Agung. Ia tidak menduga bahwa Panembahan Agung telah sampai kepada ilmu simpanannya.
Untunglah bahwa Jaka Raras masih melihat seolah-olah asap yang tipis bergulung lepas dari mata Panembahan Agung.
Dengan serta-merta Jaka Raras meloncat dan berguling di atas batu-batu padas.
Pada saat itulah terdengar ledakan di sebelah Jaka Raras. Ternyata kekuatan aji pamungkas yang terlontar dari mata Panembahan Agung tidak mengenai sasarannya. Ketika kekuatan itu menyentuh batu padas, maka padas itu seakan-akan meledak.
“Kau gila Panembahan,” teriak Jaka Raras.
“Kau harus lumat dibakar oleh ilmu ini.”
Tetapi Jaka Raras tidak mau menjadi debu. Ia pun pernah menerima dasar-dasar dari ilmu yang dahsyat itu. Tetapi sebelum ia menjadi sempurna, bahkan belum sejauh Panembahan Agung yang dekat dengan gurunya, gurunya itu telah kehilangan kemampuannya karena kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah direnggut oleh Maha Kekuasaan yang tidak dapat dilawannya, dan yang sebenarnyalah memang tidak terbatas.
Namun dalam pada itu, sepeninggal gurunya ia masih sempat bersunyi diri mematangkan ilmu yang baru diterima dasar-dasarnya. Tetapi dengan dasar-dasar ilmu yang telah lengkap itu, ia telah berhasil membentuk dirinya pada saat itu menjadi orang yang luar biasa. Dengan mesu raga dan olah tapa, maka ternyata bahwa ia berhasil menguasai dan mengembangkan ilmu itu.
Itulah sebabnya, ketika ia diserang dengan kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas itu, Jaka Raras benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia pun kemudian meloncat bangkit, berdiri pada kedua kakinya yang renggang, dan dengan wajah yang seakan-akan membara memandang mata Panembahan Agung yang mulai melepaskan asap yang tipis bergulung-gulung melibatnya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, dari mata Jaka Raras pun telah memancar kabut yang tipis pula, sehingga sejenak kemudian gulungan asap tipis yang seakan-akan saling menyerang itu pun berbenturan dengan dahsyat sekali.
Tidak seorang pun yang mendengar sesuatu. Tidak seorang pun yang melihat batu-batu berguguran atau gumpalan api yang memancar. Namun terasa pada keduanya, maka dada mereka telah berguncang dengan dahsyatnya.
Benturan ilmu yang telah dilontarkan oleh dua buah ujung dari garis lurus yang menghubungkan pasangan mata kedua orang itu bagaikan guruh yang meledak hanya di dada masing-masing. Demikian dahsyatnya sehingga keduanya telah berguncang.
Sebenarnyalah telah terjadi pergolakan yang dahsyat di dalam diri masing-masing ketika keduanya kemudian saling perpandangan. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Panembahan Agung telah menerima ilmu itu hampir lengkap dari gurunya, sedang Jaka Raras baru menerima dasar-dasarnya saja. Tetapi ia telah berhasil mengembangkannya sendiri dan justru tidak kalah dahsyatnya dengan yang dimiliki Panembahan Agung. Panembahan Agung menerima dari gurunya seakan-akan telah berada dalam tingkatnya yang sekarang, sedang Jaka Raras yang harus mencari kesempurnaannya sendiri, ternyata telah justru mendapatkan lebih banyak dari yang ada pada Panembahan Agung yang sudah puas dengan apa yang telah dimilikinya itu.
Sejenak mereka masih saling memandang. Dari segenap lubang kulit mereka, mengembun bintik-bintik keringat yang semakin lama bukan saja keringat yang bening, tetapi menjadi semburat merah seakan-akan di dalam butiran-butiran keringat itu mengembun pula warna darah.
Dengan sekuat tenaga keduanya mencoba mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Kedua macam ilmu yang serupa itu bagaikan saling mendesak dan mendorong.
Namun dengan demikian, maka tubuh kedua orang itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin panas. Desakan-desakan yang tidak kasat mata itu membuat keduanya terbenam dalam ketegangan yang semakin memuncak.
Keringat yang semburat merah itu semakin lama justru menjadi semakin jelas berwarna darah. Semakin lama semakin rata di seluruh tubuh kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu yang dahsyat itu.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya bagaikan menjadi patung. Nafas mereka semakin lama menjadi semakin cepat mengalir. Apalagi ketika kemudian dari ubun-ubun mereka seakan-akan telah mengepul kabut yang berwarna putih, seperti yang telah terlontar dari mata masing-masing.
Sejenak kemudian keduanya pun menjadi gemetar. Jantung mereka rasa-rasanya semakin lama semakin lemah, dan darah mereka pun mengalir semakin lambat. Tetapi dalam pada itu, keringat mereka telah benar-benar berwarna darah.
Tidak ada kekuatan seseorang yang dapat mencegah apa yang terjadi kemudian. Kedua sosok tubuh itu benar-benar telah menjadi gemetar seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan keduanya telah kehilangan kekuatan mereka, sehingga akhirnya keduanya merasa bahwa pertempuran yang aneh itu memang harus segera berakhir.
Tetapi mereka masih belum tahu pasti, siapakah yang masih akan dapat menghisap udara pegunungan yang segar oleh angin lembah yang mengusap punggung-punggung bukit itu.
Jaka Raras pun kemudian tidak mampu lagi tetap berdiri tegak pada kedua kakinya. Perlahan-lahan ia jatuh berlutut dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Namun demikian ia masih tetap memandang sepasang mata Panembahan Agung yang masih juga memandanginya.
Dalam keadaan yang semakin lemah keduanya tidak mau melepaskan tatapan mata mereka, karena dari mata mereka itulah pancaran kekuatan mereka saling berbenturan. Betapa pun lemahnya keadaan mereka, namun keduanya masih tetap saling memandang dalam puncak ilmu masing-masing.
Dari tubuh kedua orang itu telah benar-benar mengalir keringat yang bercampur dengan darah. Wajah mereka menjadi kehitam-hitaman seakan-akan hangus terbakar oleh ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Sumangkar pun masih harus bertempur mati-matian melawan para pengawal Panembahan Agung. Segores demi segores kulitnya telah disobek oleh senjata lawannya. Semakin lama semakin banyak. Seperti juga Panembahan Agung dan Jaka Raras, maka Sumangkar pun telah dibasahi oleh darahnya, meskipun tidak mengembun lewat lubang-lubang kulitnya, tetapi mengalir lewat luka senjata.
Tetapi senjata Sumangkar yang dahsyat itu masih juga sempat melukai lawan-lawannya. Seorang demi seorang telah tersentuh oleh ujung trisula, sehingga bukan saja dirinya sendiri yang terluka, tetapi beberapa orang lawannya pun telah dilukainya pula.
Namun demikian Sumangkar yang seorang diri itu semakin lama menjadi semakin lemah. Sedang jumlah lawannya masih cukup banyak mengepungnya dan mengejarnya kemana ia berlari dan bersembunyi sebelum ia tiba-tiba meloncat menyerang.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Apalagi ketika ia sekilas melihat Jaka Raras yang berdiri pada lututnya dan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya.
Tetapi bagi Sumangkar, tugas seorang di medan perang memang mengarah kepada kemungkinan yang paling pahit itu. Jika ia tidak berhasil, maka ia akan mati. Dan mati di peperangan adalah mati yang paling terhormat bagi seorang prajurit.
Meskipun Sumangkar sudah bukan seorang prajurit, tetapi tugasnya kini adalah tugas seorang prajurit, sehingga baginya apa pun yang akan terjadi, bukannya harus diratapi dan disesali. Meskipun demikian Sumangkar masih tetap bertempur sekuat tenaga.
Tetapi kemampuan dan tenaganya benar-benar tidak dapat dipaksakannya melampaui batas tertentu. Nafasnya yang semakin lama menjadi semakin dalam. Kekuatannya yang semakin susut, dan darah yang semakin banyak mengalir.
Namun dalam pada itu, selagi Sumangkar sudah hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya, seorang anak muda telah meloncat ke tengah-tengah perkelahian itu dengan sebatang tombak pendek. Kemudian disusul oleh dua orang yang lain dengan cambuk di tangannya.
Ketika seorang anak gadis muncul di antara mereka, maka terdengar anak muda bertombak pendek itu berdesis, “Tolonglah Paman Sumangkar lebih dahulu.”
Gadis itu adalah Pandan Wangi. Mereka yang datang ke arena itu adalah anak-anak muda yang merasa cemas karena Sumangkar yang pergi menyusul Panembahan Agung. Setelah mendapat ijin dari orang-orang tua, serta menyerahkan pimpinan pasukan Mataram kepada Ki Lurah Branjangan, maka Sutawijaya bersama dengan kedua murid Kiai Grinsing dan Pandan Wangi mencoba menyusulnya. Semula mereka hanya akan melihat apakah kira-kira yang telah terjadi. Namun dari puncak bukit mereka melihat bahwa di lereng seberang. Sumangkar sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengeroyoknya.
Anak-anak muda yang melihat perkelahian yang tidak seimbang itu tidak dapat membiarkannya terjadi. Karena itu, maka mereka pun segera berlari turun dan berusaha membantu Sumangkar yang menjadi semakin lemah.
Pandan Wangi segera mendekati Sumangkar. Masih ada satu dua orang yang mencoba menyelesaikan hidup Sumangkar yang sudah hampir tidak dapat melawan sama sekali, sedang yang lain menghambur melawan anak-anak muda yang berdatangan itu.
Namun Pandan Wangi ternyata cukup cepat. Dengan sepasang pedangnya ia menyerang orang-orang yang masih berusaha menghabisi nyawa Sumangkar.
Sumangkar melihat kehadiran anak-anak muda itu. Terasa dadanya berdesir oleh haru yang mendalam. Apalagi ketika dilihatnya dengan lincah Pandan Wangi berhasil menghalau dua orang yang masih tetap berusaha menyerangnya.
Sesaat Sumangkar masih tetap berdiri di tempatnya. Namun kemudian terasa tubuhnya menjadi semakin lemah. Karena itu, maka ia pun melangkah tertatih-tatih menepi dan duduk bersandar pada sebatang pohon sambil menyaksikan pertempuran yang seakan-akan menyala semakin dahsyat antara anak-anak muda itu melawan para pengawal Panembahan Agung.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi bertempur dengan gigihnya. Senjata mereka yang terayun-ayun itu pun berhasil memecah kesatuan pengawal Panembahan Agung yang menjadi kisruh.
Sementara itu Sumangkar melihat dalam sekilas, bahwa anak-anak muda itu akan segera berhasil menguasai keadaan. Jumlah mereka cukup banyak untuk melawan para pengawal yang jumlahnya sudah menjadi semakin susut.
Demikianlah, maka seorang demi seorang para pengawal itu pun terluka oleh ujung pedang, tombak, dan cambuk. Betapa pun mereka berusaha, namun mereka tidak dapat melawan anak-anak muda yang darahnya seolah-olah mendidih menyaksikan perkelahian yang tidak seimbang, sehingga hampir saja membunuh Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat beberapa orang pengawal itu mencoba melarikan diri. Tetapi mereka justru tergelincir dan terperosok ke dalam tebing padas yang dalam, sehingga yang terdengar hanyalah teriakan ngeri yang menyayat.
Akhirnya, para pengawal Panembahan Agung itu pun tidak lagi dapat berbuat apa pun juga. Tiga orang yang tersisa, kemudian melemparkan senjatanya dan menyerah.
“Kalian benar-benar menyerah?” bertanya Sutawijaya.
“Ya. Kami benar-benar menyerah. Tetapi jangan bunuh kami.”
Sutawijaya memandang mereka sejenak, lalu, “Kalian harus diikat, sementara kami akan melihat pertempuran antara Panembahan Agung dan Ki Waskita itu.”
Ketiga orang pengawal yang menyerah itu tidak mengelak ketika tangan mereka kemudian diikat pada sebatang pohon dengan kain panjang mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itu pun mendekati Ki Sumangkar dan bertanya, “Apakah Ki Sumangkar tidak terlampau parah?”
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku telah mencoba mengurangi arus darah dari luka-lukaku dengan serbuk-serbuk ini yang aku dapatkan dari Kiai Gringsing.”
Sutawijaya melihat sebuah bumbung kecil di tangan Ki Sumangkar yang berisi serbuk seperti yang dikatakannya.
“Aku akan melihat pertempuran itu.”
“Hati-hatilah. Mereka tidak saja mempergunakan ilmu kanuragan. Jangan memasuki daerah kemampuan kekuatan aji mereka yang belum kita ketahui dengan pasti.”
Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat membiarkan pula sesuatu terjadi atas Ki Waskita yang nampaknya telah menjadi sangat lemah dan berlutut di hadapan Panembahan Agung.
Dengan tergesa-gesa anak-anak muda itu berlari-lari mendekat arena itu. Tetapi langkah mereka tertegun beberapa langkah, ketika rasa-rasanya mereka telah menyentuh arena yang tidak dapat mereka masuki. Rasa-rasanya udara menjadi sangat panas dan mencengkam.
Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Dengan hati yang berdebar-debar anak-anak muda itu menyaksikan Ki Waskita yang meskipun sudah berdiri di atas lututnya, namun ia masih tetap memandang mata Panembahan Agung. Sebaliknya Panembahan Agung pun masih tetap pula menatap sepasang mata Ki Waskita.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda itu pun menjadi heran. Mereka hampir tidak percaya pada penglihatannya, bahwa Panembahan Agung di dalam keadaannya itu duduk bersila di atas sebuah amben kecil dengan sepasang kayu usungan. Tandu.
Serentak tumbuh dihati anak-anak muda itu dugaan, “Apakah Panembahan Agung telah diusung dengan tandu itu?”
Tetapi mereka tidak segera dapat kepastian. Yang dilihatnya adalah Panembahan Agung yang sedang bertempur itu duduk dengan lemahnya di atas sebuah amben kecil yang terikat dengan beberapa helai tali-temali pada usungan yang terletak di sebelah menyebelah amben kecil itu.
Untuk beberapa saat keduanya tetap dalam keadaannya. Mereka seakan-akan telah terpisah dengan dunia sekitarnya. Keduanya seakan-akan tidak melihat anak-anak muda yang ada di sekitar arena itu.
Dengan demikian keduanya masih tetap saling memandang. Agaknya ilmu mereka yang berdasarkan pada sumber yang sama itu sudah berada pada batas kemampuan mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar bertahan agar diri masing-masing tidak lumat dilanda oleh ilmu lawannya.
Tetapi keadaan itu pun sampai pula pada saatnya berakhir. Baik Panembahan Agung maupun Jaka Raras benar-benar telah sampai pada batas kemampuan mereka. Namun batas itu ternyata berselisih beberapa kejap.
Pada saat terakhir, Panembahan Agung yang duduk bersila di atas ambennya itu masih sempat menghempaskan sisa-sisa kekuatannya pada saat yang pendek, sehingga hampir saja Jaka Raras kehilangan kemampuan untuk bertahan. Namun sekejap kemudian, ternyata Panembahan Agung benar-benar telah kehilangan segenap kekuatannya. Betapa pun ia mencoba bertahan namun perlahan-lahan kepalanya mulai menunduk dengan lemahnya.
Yang dapat dilakukan olehnya hanyalah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi kepalanya itu tetap bergerak perlahan-lahan.
Maka sampailah batas yang mengerikan itu. Ketika Panembahan Agung telah kehilangan segenap kekuatannya, ia pun tidak dapat lagi bertahan memandang sepasang mata Jaka Raras, sehingga dengan demikian, maka ilmunya pun perlahan-lahan menjadi padam sejalan dengan gerak kepalanya yang lemah itu.
Karena itulah, maka kekuatan ilmu Jaka Raras bagaikan mendapat kesempatan. Seakan-akan Panembahan Agung telah membuka pintu bagi serangan yang melontar dari kekeuatan ilmu Jaka Raras yang tidak kasat mata itu.
Demikianlah, maka sesaat Panembahan Agung terlepas dari kemampuan tatapan matanya, maka serasa api neraka telah melanda tubuhnya. Sejenak ia menggeliat. Namun ia pun kemudian terkapar tidak berdaya. Meskipun kakinya masih tetap bersila, namun tubuhnya terkulai di atas ambennya dan kepalanya seolah-olah bergantungan tanpa kekuatan sama sekali.
Panembahan Agung agaknya telah terbakar oleh ilmu yang dahsyat yang dilontarkan oleh Jaka Raras.
Namun dalam pada itu, dalam saat yang bersamaan, Jaka Raras pun seakan-akan telah kehilangan segenap kekuatannya pula. Sejenak ia bertahan pada lututnya, namun kemudian ia pun segera duduk bersila pula sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam dan matanya telah terpejam.
Anak-anak muda itu berdiri termangu-mangu. Untuk beberapa lamanya mereka tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain setiap kali memandang Jaka Raras yang duduk dengan kepala tunduk dan mata terpejam itu berganti-ganti dengan Panembahan Agung yang sudah terkulai dengan lemahnya.
Dalam ketegangan itu, mereka dikejutkan oleh suara di belakang mereka, “Pertempuran sudah selesai.”
Serentak anak-anak muda itu berpaling. Dilihatnya Sumangkar yang lemah berdiri di belakang mereka. Kedua tangannya memegangi luka-lukanya yang dirasanya paling pedih.
“Bagaimana dengan Ki Waskita?” bertanya Agung Sedayu.
“Ia sedang memusatkan segenap kekuatan untuk memulihkan tenaganya. Kekuatan yang tidak tampak di mata kita, tetapi ada di dalam dirinya.”
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi memandang Panembahan Agung yang terkulai diam itu sambil berdesis, “Dan Panembahan Agung itu?”
“Ia kehabisan tenaga sama sekali, sehingga di saat terakhir kekuatan aji pamungkas Ki Waskita berhasil menghantamnya. Tetapi ternyata kekuatan itu pun tidak ada lagi sepersepuluh dari kemampuan yang sebenarnya sehingga Panembahan Agung tidak hancur menjadi debu karenanya.”
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Sutawijaya pun kemudian bertanya, “Apakah kami dapat mendekati keduanya, Kiai?”
“Kita harus menunggu sampai Ki Waskita selesai dengan samadinya. Mudah-mudahan ia akan segera dapat pulih kembali.”
Anak-anak muda itu tidak menyahut. Mereka masih saja berdiri termangu-mangu memandang kedua orang yang sudah tidak berdaya itu berganti-ganti. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, “Paman Sumangkar, apakah Panembahan Agung itu mati.”
“Aku pun tidak tahu. Apakah ia mati atau sekedar pingsan karena kekuatan aji Ki Waskita yang sudah sangat lemah itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian bertanya pula, “Paman. Apakah sebenarnya amben kecil itu? Apakah benar amben itu sebuah tandu?”
“Ya,” jawab Sumangkar.
“Kenapa Panembahan Agung harus ditandu? Apakah ia tidak mau berjalan sendiri atau …”
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, “Dugaanmu benar. Dari Ki Waskita aku mendengar bahwa Panembahan Agung memang cacat kaki. Lebih parah dari Ki Argapati. Tetapi bahwa ia harus berada di atas tandu itu pun baru aku ketahui ketika aku mengikuti perkelahian ini dan melibatkan diri ke dalamnya. Menilik keadaannya, maka Panembahan Agung telah mengalami cacat kaki yang sangat parah.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Meskipun tidak mereka ucapkan, namun seakan-akan mereka berkata di dalam hatinya bersama-sama, “Ia telah mengimbangi cacat tubuhnya dengan ilmu yang luar biasa dahsyatnya.”
Dalam pada itu, Ki Waskita masih saja tekun dalam samadinya dalam usahanya untuk memulihkan segenap kekuatan tenaganya. Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Bahkan seandainya ada seekor harimau yang hendak menerkamnya pun ia tidak dapat melawannya sama sekali.
Karena itu, maka agar mereka tidak melakukan kesalahan, maka Sumangkar yang lemah itu pun berkata, “Baiklah, kita menunggunya sampai selesai. Lebih baik kita duduk sejenak di sini. Aku masih harus banyak beristirahat karena rasa-rasanya tubuhku terlampau lemah meskipun kini darah sudah tidak banyak mengalir lagi dari luka-lukaku. Sedangkan orang-orang yang terikat itu pun tidak akan dapat melepaskan diri mereka sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah, Kiai. Kita sudah tidak tergesa-gesa lagi. Semuanya seakan-akan sudah selesai. Rudita sudah diketemukan dan sarang Panembahan Agung ini sudah kita kuasai pula seluruhnya.”
Dengan demikian, maka anak anak muda itu pun kemudian duduk di atas rerumputan menunggui Ki Waskita yang sedang samadi. Namun demikian, mereka masih saja selalu diganggu oleh kegelisahan. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari perasaan, bahwa mereka masih tetap berada di medan peperangan.
Dada anak-anak muda itu bergetar ketika mereka melihat justru Panembahan Agung yang terkulai itulah yang mula-mula bergerak. Ternyata Panembahan Agung itu tidak mati. Bahkan perlahan-lahan ia berusaha mengangkat kepalanya dan bangkit duduk meskipun nampaknya masih terlampau lemah. Sejenak kepalanya tertunduk kembali karena kekuatannya sama sekali masih belum mampu menahan kepalanya yang tegak.
Sumangkar pun menjadi berdebar-debar. Ia mengenal Panembahan Agung sebagai seseorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ia pun mengetahui bahwa busurnya yang besar itu dapat melontarkan anak panah raksasa yang dapat meledakkan kepala seseorang.
“Kiai,” berkata Sutawijaya, “Panembahan Agung itu seolah-olah bagaikan mayat yang bangkit lagi dari kuburnya. Mengerikan sekali. Ia akan dapat membakar kita dengan ilmunya.”
“Ya,” sahut Sumangkar.
“Kita mendahuluinya,” geram Swandaru, “kita membunuhnya selagi ia masih belum mampu berbuat apa-apa.”
Sumangkar berpikir sejenak. Agaknya pendapat Swandaru itu dapat dimengertinya. Lebih baik mendahuluinya daripada mereka harus dibakar hidup-hidup oleh ilmunya yang sangat dahsyat itu.
Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Sekilas mereka berpaling. Dilihatnya Ki Waskita masih duduk dalam samadinya.
Dalam pada itu, perlahan-lahan Panembahan Agung mendapatkan sebagian kecil kekuatannya kembali sehingga meskipun masih bersandar pada kedua telapak tangannya yang bertelekan di sisi tubuhnya, ia sudah berhasil mengangkat kepalanya.
Dalam pada itu, mereka yang ditinggalkan oleh anak-anak muda itu menyusul Ki Sumangkar menjadi cemas juga. Namun mereka percaya bahwa anak-anak muda yang sudah cukup matang menghadapi berbagai jenis medan itu akan dapat menolong diri mereka sendiri apabila terjadi sesuatu.
Sementara itu, pasukan pengawal Menoreh dan pasukan pangawal dari Mataram telah benar-benar menguasai seluruh padepokan yang oleh Panembahan Agung disebutnya Padepokan Medang.
Sebagian dari para pengawal padepokan itu dapat dikuasai hidup-hidup. Namun korban pun berserakan hampir tidak terhitung jumlahnya dari kedua belah pihak. Namun karena pasukan Mataram dan Menoreh telah mempersiapkan diri menghadapi medan yang membingungkan, justru korban di antara mereka tidak jatuh sebanyak korban dari padepokan itu sendiri. Para pengawal Panembahan Agung ternyata telah terguncang oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga. Mereka menyangka bahwa hanya Panembahan Agung sajalah yang dapat menciptakan kebohongan-kebohongan yang membingungkan. Namun ternyata bahwa lawan mereka pun mampu melakukannya, sehingga karena mereka belum bersiap sama sekali menghadapi hal itu, justru merekalah yang menjadi sangat bingung sehingga korban berjatuhan tanpa hitungan.
Apalagi para pemimpin padepokan itu. Tidak seorang pun yang berusaha untuk tetap hidup. Sepeninggal Putut Nantang Pati dan Daksina, apalagi kemudian Panembahan Alit, maka mereka pun bagaikan saling mendahului membunuh diri di peperangan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang lemah sudah dibawa ke padepokan. Dibaringkannya tubuhnya di pembaringan yang terletak di sebuah gubug kecil dekat regol terdepan padepokan Panembahan Alit.
Namun Kiai Gringsing sudah dapat memberikan petunjuk kepada Ki Demang Sangkal Putung, bagaimana merawat luka-lukanya sendiri. Sementara itu Ki Argapati dan Prastawa sibuk mengatur para pengawal yang memasuki padepokan itu. Menempatkan mereka di tempat-tempat yang pantas mendapat pengawasan dan menjaga para tawanan yang menyerah.
Sementara itu beberapa orang pemimpin pengawal dari Mataram telah mengatur beberapa orang pengawal dan para tawanan untuk membersihkan medan. Menyingkirkan mayat yang berserakan dan mengurus penguburannya.
Di dalam kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan segera dapat mengenali beberapa orang yang sebenarnya prajurit-prajurit Pajang. Baik yang menjadi korban di dalam peperangan itu, maupun yang masih hidup dan menjadi tawanan.
Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit. Mereka tidak akan dapat memberikan banyak keterangan selain menyebut nama Daksina sebagai senapati mereka yang telah membawa mereka ke padepokan terpencil itu.
Namun dengan demikian semakin nyata bagi Ki Lurah Branjangan, bahwa sebenarnyalah Pajang telah terpecah. Seperti dirinya sendiri yang pernah menjadi seorang senapati di Pajang, kini telah berada di antara para pengawal di tanah Mataram yang sedang berkembang itu. Dengan demikian maka ternyata bahwa kekuatan Pajang telah terpecah dalam bagian-bagian kecil yang saling bertentangan dan bahkan saling bertempur. Jika di peperangan ini ia bertemu dengan Daksina, itu berarti bahwa dua orang Senapati Pajang telah berhadapan di bawah panji-panji yang berbeda warna. Namun dengan demikian, warna-warna itu seakan-akan telah melambangkan keringkihan Pajang yang semakin lama menjadi semakin parah.
Sementara itu, selagi orang-orang di padepokan itu sibuk dengan menyingkirkan mayat-mayat yang akan dikubur di tempat yang masih harus dicari, maka Ki Pemanahan yang berada di Mataram dengan gelisah menunggu kedatangan Sutawijaya. Namun sebagai seorang prajurit ia menyadari, bahwa tugas Sutawijaya tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu satu dua hari saja. Mungkin Sutawijaya berhasil menduduki sarang orang-orang bersenjata itu, tetapi tentu diperlukan waktu untuk menguasainya sama sekali.
Namun dalam pada itu, yang seakan-akan membuat Ki Gede Pemanahan tidak sabar lagi menunggunya adalah berita yang sudah sampai di telinganya, yang bersumber dari seorang prajurit Pajang, bahwa Sutawijaya telah melakukan tindakan yang tercela. Ia telah melakukan kesalahan yang besar sekali terhadap Sultan Pajang, yang telah mengangkat menjadi anaknya dan mengasihinya seperti anaknya sendiri.
“Jika berita ini benar, celakalah Sutawijaya. Sultan Pajang mempunyai alasan yang kuat untuk menghukum Sutawijaya. Jika beberapa daerah sebelumnya menyetujui sikapnya, meskipun hanya di dalam hati, tentu akan melepaskan dukungannya terhadap Mataram. Beberapa orang bupati yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, akan mengutuknya dan meninggalkannya dalam kesulitan. Bahkan mereka tentu akan mendukung tindakan Sultan Pajang seandainya mereka akan menangkap Sutawijaya,” keluh Ki Gede Pemanahan di dalam hati.
Sekali-sekali Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak segera mengambil tindakan berhubung dengan berita yang sampai kepadanya, namun ia merasa seakan-akan tersiksa karenanya.
Karena itu, ketika ia tidak dapat menahan hati lagi, masa diperintahkannya beberapa orang penghubung untuk menyusul Sutawijaya ke Menoreh.
“Katakan kepadanya, jika persoalan yang dihadapinya sudah selesai, ia harus segera kembali ke Mataram. Ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan,” berkata Ki Gede kepada utusan itu.
Utusan itu menjadi termangu-mangu. Kepergian Sutawijaya ke Menoreh dengan membawa pasukan berkuda adalah untuk melakukan tugas yang cukup berat. Namun tiba-tiba Ki Gede Pemanahan seolah-olah tidak sabar menunggunya dan memerintahkan puteranya segera kembali ke Mataram.
Karena itu maka utusan itu pun memberanikan diri untuk bertanya, “Ki Gede. Kami kurang mengerti Bukankah kepergian Raden Sutawijaya itu untuk menunaikan tugas pengamanan daerah Mataram?”
“Ya. Tetapi yang harus kau sampaikan itu ada juga sangkut pautnya dengan pengamanan daerah yang sedang kita buka ini. Justru tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang kini sedang dihadapi oleh Sutawijaya di Menoreh.”
“Apakah aku dapat menyampaikan persoalan itu kepada Raden Sutawijaya.”
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau tidak usah menyebut persoalan itu. Mungkin Sutawijaya sendiri tidak segera mengetahui apakah yang akan dijumpainya di dalam persoalan yang aku pesankan kepadamu. Itu tidak penting. Yang penting biarlah Sutawijaya segera kembali.”
“Tetapi bagaimanakah jika tugas itu belum selesai.”
Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak.
“Panggilan ini tentu akan menggelisahkannya, Ki Gede. Jika Raden Sutawijaya sedang berada di medan, sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat menyampaikan kepadanya.”
“Kenapa?” bertanya Ki Gede.
“Aku mengetahui benar tabiat Raden Sutawijaya. Jika ia dikecewakan oleh sesuatu persoalan, selagi persoalannya yang dahulu belum selesai, ia akan menjadi marah, dan berbuat atas landasan perasaannya.”
“Kau benar.”
“Jadi?”
“BaiKiah. Jika ia masih berada di medan, kau dapat menunggunya sampai selesai. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu di tlatah Menoreh, dan bahkan mudah-mudahan ia dapat berhasil.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ingatlah, ia harus segera berada di Mataram, sebelum ada persoalan yang datang justru dari Pajang.”
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Tetapi Ki Gede berkata seterusnya, “Jangan kau pikirkan apa yang telah terjadi dengan Sutawijaya. Tugasmu adalah membawanya kembali. Biar aku sajalah yang menyampaikan persoalan itu kepadanya, agar tidak terjadi salah mengerti.”
“Baiklah, Ki Gede.”
“Nah, berangkatlah. Pergilah ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Kebijaksanaan selanjutnya ada padamu.”
Demikianlah maka penghubung itu pun segera berkemas. Dengan tiga orang kawannya maka ia pun segera berangkat menyeberangi Sungai Praga.
Ternyata di lereng perbukitan padas di perbatasan Menoreh, Raden Sutawijaya bersama anak-anak muda murid Kiai Gringsing, Pandan Wangi, dan Ki Sumangkar sedang dicengkam oleh kegelisahan.
Panembahan Agung itu pun perlahan-lahan mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya. Namun sekali lagi wajah itu tertunduk. Agaknya masih belum cukup kekuatan padanya untuk memandang keadaan di sekelilingnya dengan tatapan matanya.
Sementara itu, Swandaru hampir tidak sabar lagi. Sekali lagi ia berdesis, “Apakah kita akan menunggu Panembahan Agung itu berhasil membangunkan kekuatannya dan membakar kita di sini menjadi debu?”
Sutawijaya memandang Ki Sumangkar sejenak, seakan-akan mencari jawab atas pertanyaan Swandaru itu yang memang dapat dimengertinya.
Sekilas Ki Sumangkar memandang Panembahan Agung yang lemah. Nampaknya betapa pun ia berusaha, tetapi ia masih tetap tidak bertenaga. Ia hanya berhasil bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya dengan kepala yang seakan-akan terkulai tunduk tidak bertulang lagi.
Namun tiba-tiba Sutawijaya berdesis, “Apakah ia memiliki ilmu kebal seperti Panembahan Alit. Jika tidak, maka ia tentu sudah menjadi debu oleh kekuatan ilmu Ki Waskita.”
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka pun memandang kepada Ki Sumangkar. Swandaru-lah yang mula-mula bertanya kepadanya, “Apakah Panembahan Agung itu juga kebal seperti Panembahan Alit?”
Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Ternyata ia berhasil lolos dari maut oleh kekuatan ilmu Ki Waskita. Tubuhnya sama sekali tidak terluka meskipun menjadi kehitam-hitaman.”
Anak-anak muda itu menjadi tegang. Jika benar Panembahan Agung juga memiliki ilmu kebal, maka sudah barang tentu mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hanya Kiai Gringsing-lah yang akan berhasil meremukkan bagian dalam orang itu meskipun kulitnya masih tetap utuh. Tetapi Kiai Gringsing bangkit pun seakan-akan tidak mampu lagi karena luka-lukanya yang agak parah.
Dalam keragu-raguan itulah mereka melihat Panembahan Agung bergerak-gerak lagi. Dengan sepenuh sisa tenaga yang dapat dibangunkannya lagi, ia berusaha mengangkat wajahnya yang kehitam-hitaman.
Betapa pun beratnya, namun akhirnya Panembahan Agung itu berhasil. Ia berhasil mengangkat wajahnya dan memandang keadaan di sekelilingnya. Tatapan matanya itu pun kemumudian terhenti ketika terlihat olehnya Ki Sumangkar bersama anak-anak muda yang sedang termangu-mangu itu.
Debar di jantung Ki Sumangkar dan anak-anak muda itu pun rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Mereka hanya dapat berdiri tegak memandang Panembahan Agung dari tempat mereka. Rasa-rasanya mereka bagaikan melekat di atas tanah tempat mereka berdiri.
Sejenak Panembahan Agung menggeram. Matanya masih memandang kepada Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sekitarnya.
“Panembahan Agung sedang menyiapkan ilmunya,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba anak-anak muda itu mendengar Ki Sumangkar berkata, “Kita harus memencar. Jika tenaga itu tumbuh lagi di mata Panembahan Agung, kita tidak bersama-sama terbakar.”
“Bagus,” desis Sutawijaya, “kita bersembunyi di balik batu-batu padas.”
Anak-anak muda itu pun telah siap untuk meloncat memencar agar mereka tidak hangus bersama-sama. Dari tempat mereka bersembunyi mereka akan dapat berusaha melawan Panembahan Agung sejauh dapat mereka lakukan.
Namun sebelum mereka melangkahkan kaki mereka, terdengar suara lemah di belakang mereka, “Kalian tidak usah menyingkir ke mana pun.”
Serentak mereka berpaling. Dan mereka pun merasa seolah-olah telah terlepas dari mulut seekor harimau yang paling ganas. Mereka melihat Ki Waskita telah mengangkat wajahnya meskipun ia masih duduk bersila.
“Ki Sumangkar,” berkata Ki Waskita, “kau tidak usah cemas lagi terhadap Panembahan Agung. Meskipun ia masih tetap hidup tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ia telah kehilangan sebagian besar dari dirinya sendiri. Ia sudah tidak dapat memancarkan ilmunya yang dahsyat itu lagi. Di dalam keadaan yang terakhir, kita berjuang untuk saling menghancurkan sumber ilmu yang ada di dalam diri kita masing-masing, bukan bentuk jasmaniah ini meskipun siapa yang menang akan dengan mudah dapat menjadikan bentuk jasmaniah ini menjadi debu.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Panembahan Agung yang masih juga memandang ke arahnya dan anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya.
Namun tiba-tiba Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Baru kini ia sadar, bahwa tatapan mata Panembahan Agung itu bagaikan tatapan sebutir batu hitam. Tanpa sorot dan tanpa lukisan kehendak sama sekali.
Tiba-tiba saja Sumangkar menjadi ngeri. Seakan-akan ia melihat sebuah sumur yang sudah mati, namun dalamnya tidak dapat dijajagi. Dalam sekali tanpa dasar, namun kosong.
Agaknya anak-anak muda. yang ada di sekitarnya pun menangkap keadaan itu pula, sehingga Pandan Wangi yang meremang di seluruh tubuhnya bergeser mendekatinya sambil berdesis, “Kiai, apakah yang sebenarnya terjadi?”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Panembahan Agung ia berkata, “Ia telah kehilangan segala-galanya yang ingin ia miliki di dunia ini. Ilmunya, kedudukannya, dan kini dirinya sendiri.”
Pandan Wangi bergeser semakin mendekati Sumangkar. Meskipun ia prajurit di medan perang, tetapi kesan yang ditangkapnya pada Panembahan Agung agak berbeda. Semula ia sudah siap untuk pergi memencar dan berjuang seorang demi seorang. Tetapi kini justru ia menjadi ngeri dan seakan-akan ia ingin berlindung di belakang Sumangkar yang telah mengalami luka-luka.
Dalam pada itu, perlahan-lahan Ki Waskita pun berdiri pula. Dengan kening yang berkerut ia melangkah mendekati Panembahan Agung yang masih duduk sambil memandang berkeliling. Seakan-akan ia menjadi heran melihat alam yang gumelar di sekitarnya.
Ketika Ki Sumangkar melangkah mengikutinya, Pandan Wangi pun ikut pula di belakangnya diiringi oleh anak-anak muda yang lain.
Beberapa langkah di hadapan Panembahan Agung, Ki Waskita pun berdiri tegak. Kemudian sambil membungkukkan kepalanya ia bertanya, “Apa kabar, Panembahan?”
Panembahan Agung memandanginya sejenak, lalu terdengar ia bertanya. Namun Ki Sumangkar dan anak-anak muda itu terkejut mendengar suaranya yang tidak ubahnya suara seorang tua yang sudah pikun, “Kau siapa, he?”
“Panembahan, apakah Panembahan tidak mengenali aku lagi? Aku Jaka Raras.”
“Jaka Raras,” Panembahan Agung mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Siapakah Jaka Raras itu?”
“Aku Panembahan.”
“Kenapa kau panggil aku Panembahan.”
“Bukankah kau menyebut dirimu Panembahan Agung?”
Panembahan Agung itu mengangkat alisnya, lalu, “Aku tidak mengerti.”
“Baiklah. Jika kau tidak mengenal lagi dirimu sebagai Panembahan Agung, biarlah aku memanggilmu Gantar, yang kemudian kau lengkapi namamu menjadi Gantar Angin. Kau ingat.”
“Ya, ya. Aku adalah Gantar Angin.”
“Dan aku adalah Jaka Raras.”
“Jaka Raras,” orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengingat-ingat. Lalu, “O, aku ingat sekarang. Kau Jaka Raras. Ya, Jaka Raras yang dungu itu.” Terdengar suara orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tertawa seorang tua.
Namun tiba-tiba suara tertawanya terhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Jaka Raras. Ya, kita pernah berguru bersama.”
“Benar. Kau sudah menemukan permulaan dari kesadaranmu. Cobalah, kau telusuri ingatan itu, sehingga kau tentu akan menemukan keadaanmu sekarang, sebagai seorang Panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung.”
Orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu termenung sejenak. Ia masih tetap duduk bersila di atas sebuah amben kecil. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tangannya yang lemah ia mencoba mengusap keningnya yang sudah menjadi kehitam-hitaman.
Tetapi, ketika kulitnya bersinggungan, Panembahan Agung itu menyeringai menahan sakit.
“O,” Pandan Wangi semakin bergeser di belakang Sumangkar. Ia menjadi bertambah ngeri melihat keadaannya. Rasa-rasanya ia benar-benar menghadapi sesosok mayat yang hidup kembali.
“Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung, “di manakah aku sekarang ini berada?”
“Jangan kau cari di mana kau sekarang. Telusurilah kenanganmu sejak kita bersama-sama berguru.”
Panembahan Agung tidak segera menjawab. Dengan ingatannya yang gelap ia mencoba mengenang semua yang telah terjadi atas dirinya.
“Gantar Angin,” berkata Jaka Raras, “mulailah dari nama itu.”
Panembahan Agung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sedang mencoba. Tetapi aku rasa, aku tidak akan berhasil.”
“Kau akan berhasil,” sahut Jaka Raras, “kau telah mendapatkan ilmu yang tidak ada taranya. Ilmu yang dapat menciptakan bentuk-bentuk semu, kemudian ilmu yang dapat kau pergunakan untuk membakar gunung dan memecahkan batu-batu hitam sebesar kerbau dengan tatapan matamu. Dan kau mempunyai sebuah busur yang besar sekali yang tidak setiap orang dapat mempergunakan.”
“O,” Gantar Angin yang kemudian menyebut dirinya Panembahan Agung itu mengangguk-angguk kecil.
“Nah, bukankah kau sudah menemukan.”
“Kau benar,” tiba-tiba Panembahan Agung itu mengangkat wajahnya. Sambil memandang Jaka Raras ia berkata, “Aku memiliki ilmu itu, ilmu yang dapat membakar gunung. He, apakah kau akan menghalang-halangi aku? Jaka Raras, aku ingat semuanya. Aku memiliki ilmu untuk menciptakan bentuk-bentuk semu. Nah, malanglah nasibmu. Aku akan membakarmu dengan ilmuku.”
“Panembahan,” berkata Jaka Raras, “kau belum selesai. Ingatanmu baru merambat sampai saat kau mendapatkan ilmu itu.”
“Aku tidak peduli. Aku mempunyai firasat bahwa kau berniat buruk. Karena itu kau harus mati.”
Panembahan Agung itu memandang Jaka Raras dengan tajamnya.
“Jangan kau siksa dirimu dengan kenangan itu. Jika kau menyadari kenyataanmu, dan jika kau berhasil menemukan dirimu saat ini, kau akan mengetahui, bahwa ilmumu sudah punah semuanya.”
Mata Panembahan Agung terbelalak. Dan tiba-tiba saja ia memandang ke dirinya sendiri.
“Panembahan Agung. Kau adalah Panembahan Agung. Tetapi kau bukan lagi Panembahan Agung seperti pada saat kau menyebut dirimu demikian.”
“He,” mata Panembahan Agung itu terbelalak, “jadi ilmuku sudah punah? He, siapakah yang sudah memunahkan ilmuku. Tidak mungkin. Hanya gurukulah yang dapat melakukannya. Tidak orang lain. Tidak ada ilmu yang dapat menyingkirkan ilmuku dari diriku.”
“Gantar Angin,” berkata Jaka Raras, “kita bersama telah menerima bagian dari ilmu guru. Meskipun kau mendapat kesempatan lebih banyak, tetapi setelah guru tidak ada lagi, aku berhasil menyempurnakan ilmuku sehingga mendekati kemampuan guru. Dan aku, seperti juga kau, tentu akan dapat melakukannya. Memunahkan ilmu itu. Kita telah bertempur untuk berusaha saling membakar dan memunahkan ilmu kita masing-masing. Dan karena usahaku aku landasi dengan keyakinan bahwa aku benar, maka aku berani mohon kepada Tuhan agar menolongku di dalam puncak perjuanganku. Ternyata aku berhasil.”
“O, gila kau Jaka Raras. Aku mempelajari ilmu itu bertahun-tahun. Kini kau khianati aku. Kau khianati aku,” Panembahan Agung itu tiba-tiba berteriak keras sekali sehingga suaranya seakan bergema memenuhi lembah dan tebing-tebing pegunungan, meskipun ia tidak mampu lagi melontarkan suara di luar jangkauan getaran tenggorokannya seperti yang pernah dapat ia lakukan.
“Sudahlah, Panembahan. Sadarilah bahwa hukuman Tuhan telah datang.”
“Persetan. Aku tidak mau. Kembalikan ilmuku itu, kembalikan,” Panembahan itu berteriak-teriak.
“Sadarlah, kau bukan anak-anak lagi.”
“Tidak, tidak. Kembalikan, kembalikan,” Panembahan itu menjerit. Namun tiba-tiba suaranya terputus. Sejenak Panembahan Agung itu jatuh terkulai. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit kembali perlahan-lahan.
Wajahnya masih tetap kehitam-hitaman. Tetapi justru menjadi semakin mengerikan ketika Panembahan Agung itu justru tertawa, “Ha, akulah manusia yang paling sempurna di muka bumi. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki ilmu yang dahsyat, yang mampu membakar gunung dan memecahkan batu hitam sebesar kerbau. Aku pulalah yang dapat menciptakan apa pun juga yang aku kehendaki.”
“Panembahan,” Jaka Raras mengerutkan keningnya.
Panembahan Agung tertawa semakin keras, semakin keras sehingga tubuhnya yang lemah itu menjadi terguncang-guncang.
“Panembahan, sadarilah keadaanmu.”
Suara tertawanya justru semakin keras. Sambil berteriak ia menengadahkan tangannya, “Aku adalah manusia yang paling sempurna. Aku akan menghancurkan semua negeri yang ada di muka bumi. Akulah penguasa tunggal alam semesta. Aku adalah yang Maha Kuasa di atas bumi.”
Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu mundur selangkah. Wajahnya menjadi tegang. Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sebelahnya.
“Pergi, pergilah kalian. Jangan ganggu aku lagi. Atau aku harus membakar kalian menjadi abu?”
“Semuanya sudah lampau, Panembahan. Sebaiknya Panembahan melanjutkan selangkah lagi. Panembahan belum sampai pada ujung penjelajahan kenangan masa lampau itu.”
Panembahan Agung mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tertawa lagi, “Persetan. Jangan mencoba menghasut. Jika kau ingin hidup, pergilah.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat menolong lagi goncangan jiwa Panembahan Agung yang agaknya telah menghancurkan nalarnya, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan gejolak perasaannya.
“Pergi, pergi. Aku akan menghancurkan Mataram. Aku akan menghancurkan Demak yang sudah bergeser ke Pajang itu. Aku akan menghancurkan kekuasaan para Adipati di pasisir dan Bang Wetan. Semuanya, semuanya. Dan aku adalah penguasa tunggal di atas bumi.”
Jaka Raras hanya dapat memandanginya saja ketika Panembahan Agung berusaha untuk meloncat bangkit. Sambil berteriak mengerikan ia menolak kenyataan tentang dirinya yang sebenarnya lumpuh.
Tetapi Panembahan Agung sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Ilmunya sudah punah dan kekuatan jasmaniahnya pun telah hampir punah sama sekali.
Karena itulah, maka hentakan kekuatan yang dipaksakannya itu ternyata telah merampas semua yang tersisa padanya. Seperti sebatang pohon pisang, Panembahan Agung roboh di tanah. Nafasnya menjadi terengah-engah, dan wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.
Perlahan-lahan Ki Waskita mendekatinya. Sambil berjongkok di samping tubuh Panembahan Agung ia berkata, “Panembahan, sebaiknya kau menyadari dirimu. Marilah, ikutlah aku.”
“Aku adalah orang yang paling berkuasa. Jangan memerintah aku.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
“He kau dengar, bukankah aku orang yang paling berkuasa di muka bumi.”
Hampar di luar sadarnya tiba-tiba saja Ki Waskita mengangguk, “Ya, Panembahan.”
“Nah, bersujudlah.”
“Ya, Panembahan.”
“Akuilah bahwa aku mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan di muka bumi.”
“Ya, Panembahan.”
Panembahan Agung memandang Ki Waskita sejenak. Perlahan-lahan ia menggeliat. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, maka tiba-tiba ia pun tersenyum sambil berdesis, “Bagus, akulah yang Maha Kuasa itu.”
Ki Waskita tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja kepala Panembahan Agung itu terpejam untuk selama-lamanya.
Perlahan-lahan Ki Waskita bergeser surut. Diusapkan kening Panembahan Agung yang menjadi dingin.
“Ia sudah meninggal,” desisnya.
Ki Sumangkar diikuti oleh Agung Sedayu, Swandaru, dan Sutawijaya mendekatinya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiri di kejauhan. Ia tidak berani memandang wajah dan tubuh Panembahan Agung, yang mengerikan baginya itu.
“Ia tetap pada pendiriannya sampai saat matinya,” desis Ki Waskita. “Ia bertahan pada jalannya yang sesat tanpa setitik terang pun sampai ia harus kembali kepada Yang Maha Pencipta.”
“Mengerikan sekali,” tiba-tiba Agung Sedayu berdesis.
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Panembahan Agung adalah gambaran orang yang tetap mengeraskan hatinya sampai saat pengadilan yang abadi itu tiba. Dan ia tidak akan sempat lagi untuk menyesali segenap kesalahan dan mohon ampun kepada Yang Maha Pengasih.
Rasa-rasanya semua pintu telah tertutup baginya, bagi orang yang tidak mengindahkan kasih dan pengampunan-Nya.
Ki Waskita pun kemudian berdiri. Dipandanginya orang-orang yang terikat pada batang-batang pohon sambil menahan segala macam pergolakan di dalam hati. Panembahan yang mereka sangka tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun juga itu, akhirnya terbunuh di peperangan
“Ki Sanak,” berkata Ki Waskita, “Panembahan Agung telah mati. Ia adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Tetapi ia memilih jalan sesat. Kalian yang selama ini mengaguminya dan percaya kepadanya, kini melihat kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di muka bumi.” Ki Waskita berhenti sejenak. “Nah, yang dapat kalian lakukan kemudian adalah menguburnya dan mengubur kawan-kawanmu yang terbunuh. Berilah pertanda pada kuburannya, panembahan yang pernah menggoncangkan dunia.”
Orang-orang itu tidak menyahut. Tetapi mereka dengan sepenuh hati menguburkan Panembahan Agung setelah ikatan mereka dilepaskan. Salah seorang dari mereka pun kemudian menemukan sebatang pohon nyamplung yang baru tumbuh dan memindahkannya di atas kuburan Panembahan Agung itu, sehingga apabila pohon nyamplung itu kelak dapat tumbuh dan menjadi sebesar gumuk kecil yang berada di lereng bukit, maka akan dapat dikenal, bahwa di tempat itulah Panembahan Agung dikuburkan, tanpa setetes pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Demikianlah, setelah penguburan Panembahan Agung dan korban-korban yang lain telah selesai, maka mereka pun segera kembali kepada induk pasukan yang sedang menunggu. Swandaru berjalan di paling depan sambil menolong Ki Sumangkar yang terluka. Sedang dibelakangnya Pandan Wangi melangkah sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang tawanan mengikutnya dengan hati yang kosong. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi atas diri mereka. Dan di belakang mereka berjalan Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Ki Waskita.
Sutawijaya sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi adalah peristiwa yang sangat gawat bagi Mataram. Jika tidak secara kebetulan ia pergi bersama Ki Waskita dan pasukan pengawal terpilih dari Menoreh, maka ia tidak akan dapat menyelesaikan tugas itu. Bahkan mungkin hanya tinggal namanya sajalah yang akan diucapkan oleh orang-orang Mataram, sebagai seorang pahlawan yang mengorbankan diri sebagai bebanten berdirinya Tanah Mataram. Atau dengan demikian ayahnya akan menjadi sangat kecewa dan melepaskan niatnya untuk mendirikan sebuah negeri yang ramai. Mataram akan terbengkelai, dan akhirnya benar-benar jatuh ke tangan orang-orang yang gila itu.
Tetapi bagi Sutawijaya, peristiwa ini bukan akhir dari perjuangannya untuk menegakkan Mataram. Ia yakin bahwa di Pajang masih ada beberapa orang yang memiliki kelebihan di dalam berbagai bidang, yang tidak senang melihat Mataram tumbuh dan menjadi kuat. Mereka tentu akan melakukan apa saja yang dapat mereka usahakan untuk menghancurkan Ki Gede Pemanahan.
“Persetan dengan mereka,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya, “pada suatu saat aku akan menemukan mereka. Ayahanda Sultan Pajang akan mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah menggali jarak antara Pajang dan Mataram.”
Namun tiba-tiba dada Sutawijaya terguncang. Hampir di luar kemampuannya untuk menolak, telah hadir pula di dalam angan-angannya wajah seorang gadis cantik dari Kalinyamat itu.
“Persetan,” sekali lagi ia berdesis.
Namun ia akhirnya gagal untuk mengusir kegelisahan di hatinya itu. Ia tidak akan dapat ingkar, jika seandainya ia dihadapkan pada gadis itu.
“Tetapi, apakah benar-benar ia mengandung?” pertanyaan itu telah mengguncangkan dadanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu akibat dari kekhilafan itu.”
Meskipun demikian Sutawijaya tidak dapat mengingkari, bahwa rahasia itu tentu sudah tersebar. Jika Daksina berhasil mengetahui rahasia itu, maka para pemimpinnya di Pajang pun pasti telah mengetahuinya pula. Bukannya aneh jika kekhilafan itu akhirnya akan didengar pula oleh ayahandanya
Baik ayahanda angkatnya, Sultan Pajang, maupun ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan.
Raden Sutawijaya berusaha mengusir angan-angan itu dengan menggeretakkan giginya. Bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Untunglah bahwa orang-orang yang berjalan di sekitarnya tidak memperhatikannya, karena mereka sedang sibuk dengan persoalan mereka masing-masing.
Kedatangan mereka di induk pasukannya disambut dengan perasaan lega, setelah beberapa lamanya pasukan itu dicengkam oleh kegelisahan. Rudita pun kemudian berlari-larian mendapatkan ayahnya dan seperti seorang kanak-kanak yang baru pandai berjalan, ia menangis terisak-isak.
“Rudita,” berkata ayahnya, “lihatlah. Kawan-kawan sebayamu tidak menangis seperti kau meskipun mereka mengalami peristiwa yang barangkali lebih dahsyat dari yang kau alami.”“
Rudita menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak merengek seperti biasanya. Matanya yang redup memandang ke kejauhan, seakan-akan menggapai-gapai mencari persoalan di dalam dirinya sendiri yang tidak dapat diketemukannya selama ini di dalam dirinya itu.
“Memang ada kelainan pada diri ini dengan anak-anak muda sebayaku,” tiba-tiba saja terbersit perasaan itu di dalam dadanya.
Tetapi Rudita hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan Agung Sedayu, dengan Swandaru, Prastawa, dan apalagi Sutawijaya.
Sementara itu, Pasukan dari Mataram dan Menoreh itu pun mempersiapkan diri dan berkemas. Setelah beristirahat secukupnya mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing.
Di malam hari, lembah itu bagaikan dunia yang senyap dan terpisah dari dunia yang lain. Gelap pekat dan sunyi. Suara malam bagaikan lagu yang sangat asing menyentuh relung-relung hati yang paling dalam.
Meskipun para pengawal menyadari bahwa peperangan yang aneh itu sudah selesai, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang sempat tidur dengan nyenyak. Berbagai bayangan mengganggu angan-angan mereka. Bahkan kadang-kadang mereka seakan-akan melihat bentuk-bentuk semu yang mengerikan di dalam gelapnya malam.
Ketika angin lembut mengusap tubuh mereka, terasa malam menjadi dingin. Dingin, sepi, tetapi mengerikan.
Di lewat tengah malam para pengawal itu terkejut mendengar suara anjing liar menyalak di kejauhan. Melolong-lolong, seperti hantu-hantu yang buas mencium bau mayat yang berserakan, yang terlampaui tidak diketemukan oleh kawan-kawannya dan karena itu tidak dikuburkan.
Lembah itu rasa-rasanya bagaikan neraka yang dingin beku, tetapi melampaui panasnya bara api kayu mlandingan.
Setiap orang mengharap agar mereka segera terlepas dari belenggu yang menegangkan itu. Setiap kali mereka selalu memandang batas langit di ujung sebelah Timur.
Ketika seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menahan lagi kesepian yang mencengkam, ia mencoba untuk bangkit dan melangkah hilir-mudik di antara beberapa orang kawannya yang terbaring membujur lintang. Namun hatinya menjadi bergetar ketika ia mendengar di kejauhan terdengar suara burung kadasih. Perlahan-lahan ia kembali duduk dan merayap ke atas rerumputan yang telah dibuatnya menjadi pembaringannya.
“Kau ngeri mendengar suara burung itu?” tiba-tiba saja terdengar kawannya yang berbaring di sampingnya bertanya. Meskipun suaranya lambat sekali, namun pengawal yang gelisah itu terkejut bukan buatan, sehingga hampir saja ia melonjak.
“Kau mengejutkan aku,” desah pengawal yang terkejut itu.
“Aku hanya berbisik,” jawab kawannya.
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kesepian yang memuncak itu telah membuat setiap hati menjadi semakin mudah tersentuh.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan suara burung kedasih itu dengan hati yang semakin gelisah. Suara burung kedasih bagi mereka mempunyai arti tersendiri. Beberapa kali mereka pernah mendengar suara burung kedasih sebagai pertanda yang khusus dari anak buah orang yang ternyata menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Namun setelah mereka mendengarkan suara burung itu dengan saksama, disusul oleh suara burung kedasih yang lain di kejauhan, maka mereka pun yakin bahwa yang didengarnya itu adalah benar-benar suara burung kedasih.
“Kau mendengar suara burung itu?” bertanya Agung Sedayu berbisik.
Swandaru mengangguk lemah. Katanya, “Tetapi agaknya suara itu benar-benar suara seekor burung.”
“Ya. Memang agak berbeda. Tetapi agaknya di daerah ini memang banyak burung kedasih. Bahkan mungkin daerah ini merupakan sarang sekelompok besar burung kedasih, sehingga menimbulkan gagasan bagi Panembahan Agung untuk mempergunakan suara burung itu sebagal suatu isyarat tertentu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi suara burung kedasih yang ngelangut itu masih saja menggelitik hatinya.
Namun keduanya tidak lagi membicarakannya. Keduanya mencoba untuk mempergunakan sisa malam itu untuk benar-benar beristirahat meskipun mereka sama sekali tidak dapat tertidur sekejap pun.
Di antara mereka yang tidak dapat tertidur terdapat Rudita. Malam baginya benar-benar merupakan malam yang dahsyat. Setiap kali ia terkejut mendengar desir daun yang terlepas dari tangkainya dan jatuh di tanah.
Namun dalam pada itu, Rudita sempat melihat kepada dirinya sendiri. Pengalamannya telah menimbulkan persoalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Tetapi pengalaman itu ternyata telah memacunya untuk berpikir lebih dewasa. Ia merasa, bahwa sebenarnyalah ia bukan lagi kanak-kanak yang dapat bermanja-manja kepada setiap orang. Memang ayah dan ibunya akan berusaha untuk dapat mengerti perasaannya, tetapi tentu tidak bagi orang lain. Jika orang lain mencoba mengertinya, maka tentu dalam batas-batas yang jauh lebih sempit dari ayah dan ibunya sendiri.
Dalam pada itu, mereka yang mendapat perintah untuk melihat kuda-kuda mereka yang terikat, merasa jauh lebih sepi lagi dari kawan-kawannya, yang ada di dalam pasukan. Beberapa orang yang berada di daerah terpisah, di antara sekelompok kuda yang tertidur sambil terikat pada batang-batang pohon, merasa diri mereka selalu terancam bahaya. Mereka belum mengerti akhir dari pertempuran yang terjadi di depan padepokan Panembahan Agung, sehingga karena itu, mereka masih tetap dibayangi oleh kecemasan bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami kegagalan.
Kecemasan dan kegelisahan yang mencengkam hati mereka, membuat mereka selalu berjaga-jaga sepanjang malam. Senjata mereka sama sekali tidak terlepas dari tangan. Apa pun yang sedang mereka lakukan, maka mereka tetap menggenggam senjata telanjang.
Ketika cahaya kemerah-merahan mulai membayang di langit sebelah Timur, maka rasa-rasanya setiap orang yang berada di lembah itu mulai dijalari oleh ketenangan. Rasa-rasanya darah yang seakan-akan telah membeku di malam hari, mulai mengalir lagi perlahan-lahan di seluruh tubuh.
Para pengawal itu tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika cahaya kemerah-merahan semakin jelas membayang di punggung pegunungan, maka mereka pun membenahi diri mereka masing-masing. Mereka menyiapkan segala peralatan, dan mengumpulkah para tawanan. Dengan batang-batang kayu yang dianyam dengan tali, mereka telah membawa Kiai Gringsing yang terluka. Namun agaknya badan Kiai Gringsing sudah merasa lebih segar dan lebih baik.
Ketika lembah itu menjadi semakin terang, para pengawal itu mulai menghitung diri. Setiap kelompok melihat keadaan masing-masing. Mereka harus tahu pasti, apakah ada korban yang jatuh di dalam kelompok itu.
Setelah semuanya selesai, maka mulailah pasukan itu berjalan perlahan-lahan, bersamaan dengan cahaya yang semakin terang muncul di balik bukit.
Demikianlah maka mulailah perjalanan mereka, pasukan pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh menyusuri lembah kembali keluar dari daerah yang terpencil itu.
“Raden Sutawijaya, kami harap singgah sejenak di Tanah Perdikan Menoreh,” Ki Argapati mempersilahkan.
Semula Raden Sutawijaya ragu ragu. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Namun ia sama sekali tidak tahu, bahwa utusan ayahandanya telah menunggunya dengan membawa kabar yang sangat penting baginya.
Setelah menempuh jalan yang sulit, dan setelah mereka melalui daerah yang mengerikan karena guguran-guguran tebing di sebelah-menyebelah lembah yang mereka lalui, maka mereka pun akhirnya sampai ke daerah hutan perdu, di mana kuda-kuda mereka terikat.
Sejenak mereka beristirahat dan membenahi kuda-kuda mereka yang gelisah. Beberapa orang yang terluka terpaksa naik ke atas punggung kuda dijagai oleh kawannya. Yang tidak terlalu parah masih dapat berkuda sendiri, tetapi ada di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi untuk berpegangan pada kendali.
Demikian juga Kiai Gringsing. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berkuda sendiri Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa menjaganya. Dipilihnya kuda yang tegar dan besar. Dan di atas punggung kuda itulah Kiai Gringsing dan Agung Sedayu naik bersama-sama.
Setelah semuanya siap, maka pasukan berkuda itu pun kemudian meniggalkan lembah yang masih saja selalu membekas dalam kenangan setiap orang. Peristiwa yang mengerikan dan hampir tidak dapat mereka percaya, telah terjadi. Tebing yang bagaikan runtuh. Batang-batang kayu yang bergulung-gulung menimbuni lembah. Bahkan beberapa orang kawan mereka telah tertimbun pula di bawah batu dan kayu-kayu itu. Kemudian bentuk-bentuk semu yang hanya dapat mereka lihat di dalam mimpi, namun ternyata bahwa mata mereka seakan-akan telah benar-benar melihatnya.
“Perang yang paling gila yang pernah aku alami,” desis Ki Lurah Branjangan. “Aku adalah prajurit Pajang sejak aku masih sangat muda. Aku sudah mengalami banyak sekali peperangan. Namun baru kali ini aku berada di dalam dunia yang seolah-olah hanya sekedar khayalan saja.”
Kawannya yang berada di sisinya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menyahut, “Jika aku ceriterakan pengalaman ini kepada orang lain, maka apakah mereka dapat mempercayainya?”
Ki Lurah Branjangan menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Dan menurut Ki Waskita semuanya itu adalah sebuah kebohongan yang paling besar yang dapat dibuat oleh Panembahan Agung.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka memandang lurus ke depan. Ke jalan yang samar di antara batang-batang perdu. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang lebih lapang.
Namun perjalanan mereka tidak dapat lebih cepat lagi, karena mereka harus membawa beberapa orang tawanan yang tidak dapat berjalan secepat seekor kuda. Karena itu, maka perjalanan itu pun menjadi sangat lamban dan hampir merampas kesabaran para pengawal itu.
Tetapi mereka tidak dapat memaksa tawanan mereka berjalan sambil berlari-lari, karena perjalanan yang akan mereka tempuh adalah perjalanan yang cukup jauh.
Sekali-sekali iring-iringan itu harus beristirahat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Para tawanan yang tidak dapat berjalan lagi karena luka-luka, mendapat kesempatan untuk naik ke punggung kuda yang tidak berpenumpang. Mungkin karena penumpangnya berkuda bersama kawannya karena keadaan tubuhnya yang lemah. Tetapi mungkin juga karena mereka tidak dapat lagi kembali karena mereka gugur di peperangan yang karena keadaannya, mereka terpaksa dikuburkan di medan dengan ciri-ciri tertentu, sehingga kuburan itu akan tetap dapat dikenal apabila pada suatu saat sanak keluarganya akan pergi menengoknya.
Karena perjalanan yang lambat itulah maka iring-iringan itu tidak dapat mencapai padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berhenti pada sebuah padukuhan kecil di sebelah hutan yang lebat itu. Padukuhan yang hanya dihuni oleh beberapa orang, yang kerjanya sehari-hari berburu binatang dan mencari kayu.
Baru di pagi harinya mereka meneruskan perjalanan menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan pasukan itu disambut dengan berbagai macam perasaan. Ada yang gembira, terharu, tetapi ada juga yang harus menitikkan air mata karena yang ditunggunya terpaksa tidak dapat datang bersama kawan-kawan mereka.
“Mereka adalah bebanten bagi ketenteraman Tanah Perdikan ini,” berkata kawan-kawannya menghibur mereka yang kehilangan sanak keluarganya. “Seluruh Tanah Perdikan tidak akan melupakan jasa-jasanya.”
Orang yang kehilangan itu menahan isaknya sambil bertanya, “Apakah begitu?”
“Ya. Kita semuanya akan menghargai mereka yang mendahului kita. Untuk selama-lamanya. Anak cucu kita pun harus mengetahui siapa saja yang pernah melakukan pengorbanan tanpa dapat dinilai dengan nilai kebendaan, karena yang mereka korbankan adalah jiwa.”
Namun demikian, mereka yang kehilangan masih juga menitikkan air mata. Meskipun nalar mereka dapat mengerti, tetapi perasaan mereka bersikap lain.
Setelah beristirahat sejenak di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh serta setelah setiap kelompok mengulangi hitungan mereka, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pun diperkenankan pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan yang kemudian menjaga para tawanan adalah para pengawal dari Mataram dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta pergi ke peperangan.
Dalam pada itu, para pemimpin pasukan pengawal itu pun kemudian naik ke pendapa. Mereka duduk melingkar di atas tikar pandan yang putih
Namun yang tidak ada di antara mereka adalah Ki Waskita. Ia langsung membawa Rudita ke gandok, mendapatkan ibunya yang menunggu dengan hati yang bagaikan dipanggang di atas bara sambil menangis tanpa henti-hentinya.
Pandan Wangi yang merasa bertanggung jawab atas hilangnya Rudita pun kemudian mengikutinya beberapa langkah di belakang Ki Waskita.
Pandan Wangi tidak dapat menahan air matanya yang mengembun di pelupuknya melihat betapa ibu Rudita itu menyambut anaknya yang dikembalikannya kepadanya, setelah hilang untuk beberapa saat lamanya.
Beberapa orang yang ada di pendapa melihat pertemuan itu dengan perasaan haru pula. Namun mereka pun bersyukur bahwa Tuhan masih melindungi anak muda itu dan dapat kembali kepada orang tuanya dengan selamat.
Sementara itu di gandok yang lain, Kiai Gringsing terbaring di atas pembaringan ditunggui oleh Agung Sedayu. Namun karena keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Kiai Grigsing pun menyuruh muridnya itu naik ke pendapa bersama dengan para pemimpin yang lain.
“Apakah keadaan Guru sudah baik?” bertanya Agung Sedayu.
“Sudah. Aku sudah menjadi semakin baik. Tinggalkan aku. Aku akan tidur. Dan sebaiknya kau berada di pendapa. Mungkin ada persoalan yang perlu kau dengar.”
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Dengan ragu ragu ia melangkah meninggalkan Kiai Gringsing yang sudah tampak lebih segar.
Tetapi langkahnya tertegun ketika di pintu gandok Agung Sedayu berpapasan dengan Ki Sumangkar yang masih pucat dilayani oleh seorang pengawal.
“Kenapa, Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya merasa pening. Luka-lukaku agak terasa pedih meskipun tidak mengalirkan darah lagi. Aku hanya ingin beristirahat sejenak mengawani Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu.
“Aku tidak apa-apa,” berkata Sumangkar kemudian, “aku hanya ingin tidur. Luka-lukaku akan sembuh dalam waktu yang dekat.”
Kiai Gringsing tersenyum melihat kehadiran Ki Sumangkar di bilik itu. Katanya, “Marilah kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu tertidur.”
Ki Sumangkar pun tertawa. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata, “Apakah kau akan ikut pula?”
Agung Sedayu pun tersenyum. Namun dengan demikian ia tidak ragu-ragu meninggalkan kedua orang-orang tua itu karena keadaan mereka agaknya menjadi berangsur baik.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Sumangkar pun berbisik kepada Kiai Gringsing, “Utusan dari Mataram ternyata telah menunggu Raden Sutawijaya.”
“Ki Gede Pemanahan tentu sekedar cemas karena puteranya tidak segera datang,” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin. Tetapi jika demikian utusan itu tidak akau memanggil Raden Sutawijaya untuk segera menghadap ayahandanya.”
“Kenapa? Seperti ayah dan ibu Rudita, mereka pun tidak sabar menunggu kedatangan anaknya lebih lambat lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mungkin demikian. Tetapi masih ada bedanya. Raden Sutawijaya adalah seorang prajurit.”
Kiai Gringsing-lah yang kemudian mengangguk-angguk. “Ya, agaknya demikian.”
Dalam pada itu, di pendapa, utusan yang sudah ada di Menoreh itu masih berada bersama di antara para pemimpin yang sedang beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan sekedar makanan ringan yang tergesa-gesa dipersiapkan.
Namun agaknya suasananya memang dipengaruhi oleh kehadiran beberapa orang utusan dari Mataram itu, karena mereka langsung menyampaikan pesan Ki Gede Pemanahan kepada Raden Sutawijaya.
“Biarlah Raden Sutawijaya beristirahat sehari dua hari di sini,” berkata Ki Argapati.
Utusan itu tersenyum. Katanya, “Ki Gede Pemanahan berpesan, agar Raden Sutawijaya segera kembali.”
“Apakah sebenarnya yang telah terjadi di Mataram?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Kami tidak mengetahui dengan pasti,” sahut utusan itu, sehingga Ki Lurah Branjangan pun hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Raden Sutawijaya sendiri menjadi gelisah mendengar panggilan ayahandanya. Sekilas terngiang ancaman Daksina bahwa rahasianya tentu akan terbongkar. Gadis dari Kalinyamat itu tidak akan dapat lagi menyembunyikan dirinya akibat hubungannya dengan Raden Sutawijaya.
“Apakah ayahanda sudah mendengar?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi karena orang-orang Pajang banyak sekali yang tidak menyukainya lagi, justru karena ia berusaha membuka hutan Mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Tetapi,” berkata Ki Argapati kemudian, “bukankah Ki Gede tidak perlu gelisah lagi, bahwa puteranya telah pasti selamat dan berada di sini?”
Utusan itu masih tersenyum, katanya, “Aku tidak dapat membuat pertimbangan seperti itu menilik pesan yang agaknya sangat mendesak.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera kembali. Tetapi aku minta kesempatan untuk beristirahat sejenak. Aku harus membersihkan diri dahulu. Demikian juga para pengawal. Kami harus mengurus orang-orang yang terluka dan para tawanan.”
“Tentu, Raden. Kami akan membantu. Bukan maksud kami, Raden harus berangkat sekarang. Tetapi sudah barang tentu Raden akan berkemas lebih dahulu dan beristirahat secukupnya. Tetapi tidak terlampau lama.”
Raden Sutawijaya merasa bahwa sesuatu yang sangat penting telah terjadi. Dan firasatnya pun telah mengatakan kepadanya, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan gadis dari Kalinyamat itu. Gadis yang seharusnya disediakan untuk ayahandanya Sultan Pajang, namun yang terjadi adalah di luar kemampuannya untuk menghindar.
Sutawijaya yang termangu-mangu itu pun kemudan mencoba mengusir kegelisahannya. Di pendapa itu masih ada beberapa orang yang duduk sambil menghirup minuman hangat dan makanan sepotong-sepotong.
Pandan Wangi yang sekali-sekali masih mengusap matanya yang basah telah duduk di pendapa pula, sedang Ki Argapati-lah yang kemudian turun dari pendapa menemui Ki Waskita dan isterinya.
“Kami berterima kasih kepada Ki Gede dengan para pengawal dari Menoreh dan Mataram,” berkata Ki Waskita.
“Ah, justru kamilah yang berterima kasih kepada Ki Waskita. Tanpa Ki Waskita, kami tidak akan kembali dengan selamat,” sahut Ki Gede Menoreh.
Namun dengan segera Ki Waskita memotong, “Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sekedar menggantungkan diri kepada kalian. Aku hanya sekedar orang yang mencoba melihat isyarat buat masa depan yang sebenarnya tidak jelas.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Apalagi ketika dilihatnya wajah Rudita yang keheran-heranan.
“Aku tidak lebih dari sebuah beban bagi Ki Gede,” berkata Ki Waskita. Sambil berpaling kepada anaknya ia melanjutkan, “Kau harus mengucapkan terima kasih. Kau tahu bahwa ayahmu tidak lebih adalah seorang tukang ramal yang lebih banyak gagal dari hasil yang memadai. Tanpa pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kau benar-benar telah hilang.”
Rudita masih termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Ki Gede. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede, kepada pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kepada Pandan Wangi, kepada Prastawa kepada Ki Demang dari Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan kedua muridnya, dan terlebih-lebih kepada Ki Sumangkar. Ki Sumangkar-lah yang secara langsung membebaskan aku dari kekuasaan mereka.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada yang berbeda pada cara Rudita menyatakan perasaannya.
“Ki Gede,” berkata Rudita kemudian, “agaknya selama ini aku telah keliru menilai diriku sendiri.”
“Rudita,” hampir berbareng Ki Waskita dan ibunya memotong meskipun tanggapan mereka berbeda-beda.
“Kau tidak keliru, Rudita,” berkata ibunya, “kamilah yang kurang berhati-hati menjagamu. Ayahmu terlalu lengah karena ia telah melepaskanmu berburu hanya dengan anak-anak muda.” Ibunya berhenti sejenak, lalu, “Aku pun tidak dapat menyalahkan anak-anak muda itu, karena mereka pun masih dipengaruhi oleh kemudaannya dan memburu kesenangan diri masing-masing.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa menyahut, “Tentu tidak, Nyai. Meskipun mereka masih muda, tetapi sikap mereka cukup dewasa.”
“Tetapi tentu berbeda dengan orang-orang tua.”
“Ya,” potong Ki Argapati, “tentu berbeda dengan orang-orang tua. Biasanya anak-anak lebih memperhatikan diri sendiri seperti yang dikatakan oleh Nyai Waskita. Tetapi orang tua lebih banyak menjaga anak-anaknya dan anak-anak muda yang bersamanya.”
“Nah,” sahut Nyai Waskita, “bukankah benar kataku. Kau jangan menyalahkan anakmu saja. Meskipun aku juga tidak menyalahkan anak-anak muda yang bersamanya, tetapi bahwa keadaan yang demikian itulah yang telah memungkinkan Rudita hilang.”
“Tetapi kita sekarang tinggallah mengucap syukur,” Ki Argapati menyela, “dan Rudita sudah ada di antara kita.”
“Ya. Demikianlah aku mengucap syukur kepada semuanya, terutama kepada kemurahan Yang Maha Agung.”
Ki Argapati memandang Rudita yang menundukkan kepalanya sejenak, lalu katanya, “Tenteramkan hatimu. Kau sudah berada di sarang sendiri, di bawah sayap induk yang akan selalu melindungmu. Dan agaknya indukmu adalah seekor burung garuda yang luar biasa.”
“Aku tidak mengerti, Ki Gede,” desis Ki Waskita, “tetapi bagaimana pun juga, aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.”
Demikianlah Ki Argapati pun kembali ke pendapa. Ternyata Raden Sutawijaya masih tetap duduk di tempatnya. Agaknya ia masih sangat segan untuk segera berkemas dan kembali ke Mataram. Karena itulah, maka Ki Gede sama sekali tidak bertanya apa pun kepadanya.
Sepeninggal Ki Argapati, ibu Rudita agaknya masih belum puas mendengar pembicaraan suaminya dengan Ki Argapati. Katanya, “Kiai, sebenarnya Kiai harus menunjukkan kekecewaan kita terhadap anak-anak muda itu. Kiai jangan mencari kesalahan pada Rudita. Adalah suatu kurnia bahwa mereka berhasil menemukan Rudita. Jika tidak, maka anak itu akan benar-benar sudah hilang. Dan akulah orang yang akan merasa paling pedih karena kehilangan itu. Bukan Ki Argapati, bukan tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dan bukan anak-anak muda yang membawanya tanpa bertanggung jawab itu.”
“Kau jangan menyalahkan mereka Nyai. Mereka adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Rudita.”
“Siapa pun mereka, tetapi mereka telah membawanya.”
“Tidak, Ibu,” potong Rudita tiba-tiba saja, “seharusnya Ibu tidak menganggap bahwa mereka telah membawa aku serta di dalam perburuan itu. Tetapi yang benar, kami pergi bersama-sama. Karena aku pun anak muda yang sudah sebaya dengan mereka, sehingga di antara kita, tidak ada yang harus mempertanggung-jawabkan yang seorang atas yang lain.”
Ibu Rudita menjadi heran mendengar jawaban itu. Demikian juga ayahnya. Tetapi tanggapan mereka terhadap Rudita menjadi semakin jauh berbeda. Ki Waskita melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang pada anaknya seperti yang diharapkannya. Sedang ibunya sama sekali tidak mengerti, kenapa Rudita menjawab demikian.
“Rudita,” berkata ibunya, “kenapa kau menganggap bahwa kau tidak pergi bersama anak-anak muda itu di dalam tanggung jawab mereka. Bukankah mereka telah membawamu?”
“Seperti juga Pandan Wangi tidak bertanggung jawab atas Prastawa, dan juga Prastawa tidak bertanggung jawab atas Agung Sedayu, maka kenapa mereka harus bertanggung jawab atasku?”
“Tetapi kedudukanmu lain dari mereka, Rudita. Mereka adalah anak-anak yang sudah terbiasa melakukan perburuan atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Tetapi tidak dengan kau. Kau adalah anakku. Kau wajib mendapat perlindungan sebaik-baiknya. Jika kau hilang, maka aku akan kehilangan milikku yang paling berharga di muka bumi ini. Tetapi jika orang lain, anak-anak Sangkal Putung itu, aku sama sekali tidak akan merasa kehilangan apa pun juga. Aku mungkin akan terharu dan iba jika terjadi sesuatu atas mereka, tetapi aku sendiri tidak kehilangan apa pun juga.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebelum la menyahut ternyata Rudita berkata, “Ibu memandang persoalan ini dari satu segi. Coba katakan, apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya Swandaru itu hilang. Aku tidak menyebut Agung Sedayu, karena ia adalah anak yatim piatu. Jika Swandaru hilang, maka banyak sekali orang yang akan merasa kehilangan . Ibunya. Tentu ia akan berkata seperti ibu. Swandaru adalah miliknya yang paling berharga. Kemudian ayahnya. Seperti Ayah, Ki Demang Sangkal Putung menganggap Swandaru adalah anak yang paling baik. Tetapi masih ada orang lain yang merasa kehilangan. Luka di hatinya tentu akan sangat parah. Orang itu adalah Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Rudita,” potong ibunya. Wajahnya benar-benar diwarnai oleh keheranan yang menghentak dadanya.
“Sudahlah,” berkata Ki Waskita menengahi, “Rudita baru saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Mungkin sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Kita belum dapat menilai, apakah ia akan menjadi semakin dewasa atau sebaliknya. Karena itu biarlah ia beristirahat. Pengaruh goncangan perasaannya itu tentu masih terasa. Dan karena itulah maka kau seakan-akan tidak mengenali lagi perasaan anakmu. Tetapi jika ia sudah tenang, maka biarlah ia menilai dirinya sendiri.”
Ibunya mengusap air matanya. Dibelainya kepala anaknya. Lalu katanya, “Tenangkan hatimu, Anakku. Kita berada di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang dijaga dengan baik. Kau akan dapat tidur nyenyak dan beristirahat sebaik-baiknya.”
Rudita menganggukkan kepalanya.
“Jika kau memerlukan sesuatu, kau dapat mengatakannya kepadaku. Di sini banyak pelayan yang dapat melayanimu.”
Sekail lagi Rudita mengangguk. Tetapi kata-kata ibunya itu kini bukannya ditelannya begitu saja, tetapi ia sudah mulai mencernakannya.
Ketika ibunya pergi ke belakang, dan berada di antara para pelayan dan tetangga yang sibuk menyediakan makan dan minuman bagi para pengawal di halaman depan, maka Ki Waskita pun mendekati anaknya sambil bertanya, “Rudita, siapakah yang mengajarimu bahwa kepergianmu ke hutan perburuan itu sama sekali bukannya menjadi beban tanggung jawab orang lain, tetapi sekedar pergi bersama-sama di dalam tanggung jawab kalian masing-masing?”
Rudita memandang ayahnya sejenak, lalu, “Apakah maksud Ayah?”
“Rudita, aku memang melihat sesuatu berubah di dalam dirimu.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Ki Waskita tidak lagi melihat mata anaknya itu mengembun dan menitikkan air mata. Mulutnya tidak lagi menyeringai dibuat-buat untuk memberikan tekanan kepada usahanya menarik perhatian orang lain.
“Ayah,” berkata Rudita, “pengalaman beberapa hari ini telah membangunkan aku. Aku tidak tahu, kenapa aku merasa bahwa aku memang agak lain dari anak-anak muda itu. Mereka berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak. Aku masih saja menggantungkan diriku kepada orang lain seperti aku berada di rumah, di antara Ayah dan ibu. Dan agaknya ibu memang mendidik aku untuk selalu bergantung kepada orang lain.”
Ki Waskita menepuk bahu anaknya. Sesuatu telah bergetar di dalam hatinya, seakan-akan ia melihat cahaya terang yang memercik di sanubari anaknya.
“Rudita,” berkata ayahnya, “kau telah tumbuh ke arah yang benar. Kau masih mempunyai waktu untuk meraih bentuk dirimu. Meskipun barangkali tidak untuk menjadi anak-anak muda seperti Agung Sedayu dan Swandaru.”
Rudita menganggukkan kepalanya.
“Banyak cara yang dapat di tempuh untuk menentukan diri sendiri. Ciri seorang yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri bukannya hanya ada pada mereka yang pandai bermain pedang dan tombak.”
Sekali lagi Rudita menganggukkan kepalanya.
“Rudita, betapa pun dahsyatnya ilmu yang dimiliki seseorang namun sebenarnya bahwa tujuan setiap manusia adalah perasaan damai dan tenang. Kehidupan yang aman tenteram. Bukankah seseorang mempelajari ilmu sejauh-jauhnya sekedar berusaha melindungi dirinya dari ketidak-tenangan. Dengan ilmu itu ia menjadi tenang karena ia merasa tidak ada orang lain yang dapat mengganggunya dan menghalang-halangi kehendaknya. Meskipun ada satu dua perkecualian, namun demikianlah pada umumnya.”
Rudita tidak menyahut. Tetapi kepalanya pun kemudian tertunduk. Rasa-rasanya di dalam waktu terakhir, di sepanjang pulang kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh ini, hatinya bergejolak dahsyat sekali. Seolah-olah ada sesuatu yang saling berbenturan dan melingkar-lingkar di dalam hatinya itu.
Tetapi di dalam waktu yang singkat itu, Rudita masih belum dapat menemukan apakah yang sebenarnya kini sedang berkembang di dalam dirinya. Namun ia mulai meyakini bahwa jalan yang dilaluinya selama ini tidak menguntungkannya.
Dalam pada itu, para pengawal dari Mataram yang bertebaran di halaman, telah mendapatkan makan mereka masing-masing. Mereka sebenarnya masih juga segan untuk segera berangkat kembali ke Mataram karena badan mereka yang masih terasa letih setelah melakukan peperangan yang dahsyat itu. Namun ada juga dorongan untuk segera kembali kepada keluarga mereka yang menunggu siang dan malam. Karena itu, maka mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, manakah yang lebih-baik, segera kembali atau beristirahat barang semalam di Menoreh.
“Terserah kepada Raden Sutawijaya,” berkata seorang pengawal yang sudah setengah tua, “tetapi ada juga baiknya kita pulang. Sama sekali kita menjadi letih. Tetapi kita segera berada di antara keluarga.”
Seorang pengawal yang masih muda menarik nafas. Katanya, “Sebenarnya aku ingin tidur sejenak.”
“Tidurlah. Tidak ada yang melarangmu tidur. Mungkin di bawah jambu itu kau dapat tidur nyenyak,” sahut seorang kawannya.
“Aku masih malas untuk meneruskan perjalanan.”
“Kau masih sendiri,” berkata seorang yang sudah lebih tua sedikit daripadanya.
“Ah, tentu. Kau penganten baru,” jawab pengawal yang muda itu.
“Sudahlah,” sahut yang sudah setengah umur, “sekarang tidur sajalah. Nanti jika pasukan ini benar-benar akan segera kembali ke Mataram, aku akan membangunkanmu.”
Pengawal muda itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berbaring di bawah pohon jambu yang sejuk, sehingga beberapa saat kemudian, ia pun benar-benar telah tertidur.
Ternyata bukan hanya pengawal muda itu saja yang telah tertidur. Di kebun belakang, beberapa orang pengawal bertebaran dan tidur silang melintang.
Di pendapa, Sutawijaya sama sekali tidak sempat beristirahat dengan baik. Utusan ayahnya benar-benar tidak memberinya kesempatan untuk menunda perjalanannya kembali ke Mataram.
Karena itu, setelah pasukannya beristirahat beberapa lamanya, maka Sutawijaya pun membenahi dirinya. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan mandi di pakiwan. Kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanannya.
Para pengawal dari Mataram pun kemudian berkemas pula. Ada di antara mereka yang masih segan untuk bangun meskipun mereka hanya sekedar bersandar tiang gedogan.
Tetapi Sutawijaya pun memutuskan untuk segera kembali ke Mataram. Baginya hal itu tentu lebih baik. Ia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di Tanah Perdikan Menoreh, karena ayahnya sudah mengharapnya menghadap karena ada persoalan yang cukup penting.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itu pun segera mohon diri kepada Ki Argapati. Dengan mengucapkan terima kasih, maka ia terpaksa sekali segera meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
“Agaknya persoalan yang akan disampaikan oleh ayahanda Raden cukup penting.”
Raden Sutawljaya hanya tersenyum saja.
“Kami di sini tidak dapat memaksa Raden untuk tinggal lebih lama lagi, jika ayahanda memang ingin segera bertemu dengan Raden.”
Raden Sutawijaya pun kemudian minta diri pula kepada orang-orang tua yang ada di Induk Tanah Perdikan Menoreh. Kepada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan terutama kepada Ki Waskita.
“Jasa Ki Waskita tidak akan dilupakan. Bukan saja olehku dan pasukanku, tetapi oleh seluruh Tanah Mataram.”
“Ah,” Ki Waskita berdesah, “sudahlah, Raden. Aku sudah senang sekali bahwa aku dapat bertemu dengan anakku. Tidak ada yang lebih baik dari ketenangan di dalam hidup kekeluargaan. Dan agaknya Rudita pun akan menempuh jalan yang sudah terbuka baginya. Ketenangan di dalam hati sendiri.”
Raden Sutawijaya memandang wajah Rudita sejenak. Tetapi anak muda yang perkasa itu mengerutkan keningnya. Seakan-akan wajah Rudita itu adalah wajah yang lain dari yang dilihatnya pada saat anak itu belum hilang. Dan bahkan sesaat setelah ia diketemukan.
“Memang ada sesuatu yang berkembang di dalam jiwa anak itu,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.
Demkianlah, maka pasukan pengawal dari Mataram itu pun segera bersiap untuk berangkat. Atas persetujuan Ki Argapati, maka para tawanan pun akan dibawanya pula bersama pasukan itu ke Mataram. Karena jumlah mereka tidak begitu banyak lagi maka Sutawijaya pun meminjam beberapa ekor kuda di samping kuda-kuda pasukan Mataram sendiri yang tersisa, untuk membawa tawanan-tawanan itu.
“Kita akan segera mengembalikan,” berkata Sutawijaya.
Ketika pasukan pengawal itu mulai bergerak, anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Menoreh melambaikan tangannya. Bahkan Prastawa telah melambaikan kedua belah tangannya, sedang Pandan Wangi memandangi pasukan itu dengan senyum yang tergores di bibirnya.
“Menoreh akan segera menjadi sunyi kembali,” desisnya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Memang Menoreh akan menjadi sunyi. Setelah terasa kegelisahan dan kesibukan di seluruh tlatah Menoreh, meskipun pertempuran itu hanya terjadi di salah satu sudutnya saja, maka kini semuanya itu telah berlalu.
Yang tinggal adalah kepedihan hati mereka yang telah kehilangan keluarganya di peperangan itu. Seakan-akan masih terdengar isak tangis mereka di antara derap kaki-kaki kuda yang gemeretak di atas tanah berbatu-batu.
Demikianlah, maka mereka yang berada di regol pun perlahan-lahan melangkah melintasi halaman dan kembali ke pendapa. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru pergi sejenak ke gandok menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang masih berbaring.
“Raden Sutawijaya itu sudah berangkat?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya, Guru,” jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi. Sumangkar pun agaknya lebih senang mengangguk-angguk saja tanpa bertanya sesuatu. Sambil melangkah ke pendapa, Swandaru berdesis ragu, “Apakah kau tahu apakah yang penting bagi Raden Sutawljaya itu?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
“Bagaimana pendapatmu tentang gadis yang disebut-sebut oleh beberapa orang termasuk Daksina? Apakah agaknya gadis itu telah menumbuhkan persoalan yang pentang bagi Raden Sutawijaya?”
“Mungkin. Bahkan mungkin bukan saja bagi Raden Sutawijaya. Tetapi juga bagi Mataram.”
Swandaru menarik nafas. Katanya, “Agaknya memang demikian. Gadis itu gadis yang penting bagi Sultan Pajang. Menurut pendengaran kami, Sultan Pajang adalah seorang raja yang agak banyak terlibat hubungan dengan perempuan.”
“Ya. Dan itulah kelemahan Sultan Pajang.”
“Tetapi agaknya Raden Sutawijaya pun demikian.”
Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Meskipun tidak jelas baginya, namun ia dapat menduga, bahwa agaknya Sultan Pajang telah mendengar, bahwa salah seorang gadis yang ditemukannya di Kalinyamat itu telah membuat hubungan dengan Raden Sutawijaya tanpa ijinnya. Dan apabila persoalannya telah memuncak, maka persoalan pribadi itu akan membakar hubungan baik antara Pajang dan Mataram yang nampaknya memang sudah menjadi semakin buram.
Tetapi keduanya tidak memperbincangkannya lagi. Mereka pun kemudian duduk di pendapa bersama beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati sendiri telah masuk ke dalam rumah bersama Pandan Wangi.
Prastawa yang masih ada di pendapa pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Aku akan ke belakang dahulu.”
Agung Sedayu merenung sejenak, lalu, “Aku ikut bersamamu.”
Prastawa memandang Agung Sedayu sejenak, lalu berpaling kepada Swandaru, “Kau di sini mengawani Ki Demang sejenak?”
“Aku ikut ke belakang.”
“Biarlah ia ikut ke belakang. Barangkali ia dapat membantu mengambil air atau membersihkan kuda,” potong Ki Demang Sangkal Putung. “Aku akan menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
Demikianlah maka mereka pun telah meninggalkan pendapa. Tetapi di pendapa itu masih ada beberapa orang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun agaknya Menoreh telah menjadi tenang kembali, namun di setiap padukuhan harus dipersiapkan penjagaan yang baik. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan yang pecah itu tentu akan bertebaran ke mana-mana. Mungkin ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin justru memasuki daerah Mataram yang sedang dibuka. Tetapi mungkin juga mereka memasuki Tanah Mataram dengan tujuan yang sudah jauh berbeda dengan yang pernah mereka lakukan. Mereka memasuki tlatah Mataram dengan niat yang baik. Karena mereka telah kehilangan pegangan, maka mereka merasa lebih baik membuka hutan dan hidup wajar di dalam sebuah padukuhan yang baru bersama orang-orang yang baru dalam suasana yang lain dari suasana kehidupan di padepokan Panembahan Agung.
Dalam pada itu, di gandok yang lain, Ki Waskita duduk di amben yang besar bersandar dinding. Dibiarkannya angan-angannya terbang dari waktu ke waktu. Yang baru saja terjadi di lembah terasing itu telah mengungkapkan masa hidupnya yang lampau. Petualangan yang kadang-kadang agak binal. Namun kemudian semakin matang ia menguasai ilmunya, maka rasa-rasanya apa yang sudah dilakukannya itu bagaikan bayangan yang pahit. Dengan sepenuh hati maka ia bertekad untuk menghentikannya.
Maka Ki Waskita memilih suatu kehidupan yang tenang. Meskipun sebagian dari ilmunya masih terus dapat dipergunakan, ia memiliki kurnia dari Yang Maha Kuasa untuk melihat isyarat bagi masa dan tempat yang terpisah oleh waktu dan jarak. Dan karena ilmu itu dirasakannya tidak merugikan orang lain, maka ia masih tetap mempergunakannya.
Tetapi pada suatu saat ia harus mempergunakan ilmu yang lain, yang telah disimpannya untuk beberapa lama.
“Untunglah Rudita tidak melihat seluruhnya, sehingga ia tidak akan menuntut untuk mewarisinya.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Aku kira ilmu ini tidak sesuai dengan jiwanya yang agak lemah. Ia memandang semuanya dari kepentingan diri sendiri.” Ki Waskita mengerutkan keningnya sejenak, lalu, “Tetapi agaknya ia telah berubah. Tetapi tidak seorang pun dapat menjamin, bahwa apabila ia memiliki ilmu itu, ia akan menjadi semakin mengendap.”
Dan sekilas terbayang olehnya Panembahan Agung yang salah langkah justru karena ia memiliki ilmu yang dahsyat itu.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang berusaha memandang persoalan yang dihadapinya, apalagi yang menyangkut orang banyak dengan sejujur-jujurnya. Meskipun Rudita adalah anaknya sendiri, tetapi ia tidak dapat dengan begitu saja memberikan pengetahuan yang dapat membahayakan ketenangan lingkungannya seperti Panembahan Agung.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia mengucapkan sukur di dalam hatinya, bahwa Yang Maha Kuasa memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia tidak kehilangan akal karena justru ia telah berhasil menguasai beberapa macam ilmu yang dahsyat, dan bahwa ia masih dapat menyumbangkan ilmunya bagi ketenangan hidup sesamanya.
Namun agaknya Ki Waskita masih mempunyai banyak harapan pada anak laki-lakinya itu untuk menemukan jalan yang baik dan matang. Meskipun sebagai seorang ayah Ki Waskita dibayangi oleh keragu-raguan dan kecemasan sehingga ia tidak berani melihat isyarat bagi masa depan Rudita, tetapi berdasarkan perkembangan pribadinya yang dirasakannya di saat terakhir, agaknya Rudita akan menemukan dirinya bukan sebagai seorang anak yang cengeng, manja, dan mementingkan dirinya sendiri.
Meskipun demikian setiap kali ia ingin mencoba melihat masa depan anaknya, ia masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Ia tidak akan begitu banyak terpengaruh seandainya ia melihat kemungkinan yang buram bagi orang lain. Bahkan, ia merasa beruntung bahwa ia dapat memberitahukannya, sehingga orang itu sempat mempersiapkan dirinya dan menjauhkan kemungkinan yang lebih buruk lagi. Tetapi jika yang dilihatnya itu adalah masa yang buram bagi anaknya sendiri, maka hatinya tentu akan menjadi sangat bersedih. Dan itu pun disadarinya, bahwa kelemahan hati manusiawinyalah yang telah membuatnya takut melihat kenyataan yang bakal dihadapi.
Di belakang, pada saat itu Prastawa sibuk dengan kerjanya. Meskipun sebenarnya ia masih lelah, namun ia termasuk anak yang rajin. Ia harus membersihkan kuda yang baru saja mereka pakai ke medan. Kuda yang dipergunakan oleh pamannya dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia mendapat kawan bekerja. Agung Sedayu dan Swandaru pun termasuk anak-anak muda yang biasa bekerja berat, selain beberapa orang pelayan.
Agung Sedayu dan Swandaru tidak saja sekedar membersihkan kuda yang mereka pakai sendiri, tetapi juga kuda-kuda Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Daripada kita kehabisan waktu menimba air, bagaimana jika kuda-kuda ini kita bawa saja ke sungai?” berkata Swandaru.
Prastawa mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi tentu tidak sebanyak ini. Nanti kita pergi ke sungai membawa beberapa saja yang mudah dikuasai.”
Demikianlah, setelah sebagian dibersihkan di halaman belakang dan dimasukkan ke dalam gedogan, maka yang lain pun dimandikannya di sungai. Mereka membawa kuda-kuda itu ke dalam air sehingga dengan mudah mereka memandikannya tanpa menghabiskan tenaga untuk menimba.
Dalam pada itu selagi mereka sibuk dengan kuda-kuda itu, seseorang perlahan-lahan mendekatinya dengan ragu-ragu. Sejenak ia berdiri di tepian. Namun kemudian ia melangkah mendekat.
Prastawa-lah yang mula-mula melihatnya, sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Anak cengeng itu datang pula kemari.”
Swandaru berpaling sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku juga termasuk anak manja. Tetapi aku tahu bahwa manja yang berlebih-lebihan seperti itu sama sekali tidak menguntungkan.”
Agung Sedayu yang juga berpaling tidak berkata sepatah kata pun. Namun ia melihat sesuatu yang lain di wajah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi karena ia tidak yakin akan penglihatannya, maka ia pun sama sekali tidak mengatakannya.
Prastawa yang benar-benar telah menjadi jemu melayani Rudita, masih saja berpura-pura tidak melihatnya. Bahkan ia telah bergeser dan membelakangi anak muda yang berdiri di tepian itu. Nampaknya ia masih saja sibuk memercikkan air ke tubuh kuda yang sedang dimandikannya.
Ternyata Swandaru pun tidak menghiraukannya sama sekali. Seperti Prastawa ia sibuk dengan kudanya dan menggosoknya dengan sepotong kain.
Agung Sedayu-lah yang kemudian tidak sampai hati membiarkan anak muda itu terlalu lama berdiri termangu-mangu di tepian. Karena itulah maka anak muda itu pun mengangkat wajahnya dan seakan-akan baru saja melihat Rudita itu berdiri di situ.
“O, kau?” bertanya Agung Sedayu.
Rudita menganggukkan kepalanya. Jawabnya lambat, “Ya.”
“Kenapa kau kemari?” bertanya Agung Sedayu pula.
Rudita termangu-mangu sejenak, lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah aku dapat membantu kalian memandikan kuda-kuda itu?”
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan, sehingga Prastawa dan Swandaru pun terhenti sejenak sambil memandang Rudita yang termangu-mangu.
“Kau akan memandikan kuda?” bertanya Prastawa.
Rudita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku memang tidak biasa memandikan kuda, Prastawa. Tetapi aku ingin belajar melakukannya, akhirnya aku berpendapat, bahwa pada suatu saat aku pun harus memandikan kuda seperti yang kalian lakukan.”
Prastawa dan Swandaru saling berpandangan sejenak, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia melihat bayangannya sendiri pada anak muda yang bernama Rudita itu. Sebagai seorang anak muda yang pernah mengalami perkembangan pribadi yang cukup berat, maka Agung Sedayu segera dapat merasakan, ada sesuatu yang bergejolak di hati Rudita.
Karena itu, maka ialah yang mula-mula menanggapinya dengan penuh minat. Sejenak dipandanginya wajah Rudita yang nampak bersungguh-sungguh. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Kemarilah jika kau memang ingin mencoba menyesuaikan dirimu dengan kehidupan yang barangkali agak terlampau keras bagimu.”
“Ya. Aku selama ini menganggap bahwa aku dapat berbuat apa saja tanpa berbuat sesuatu.”
Swandaru dan Prastawa mulai merasakan getaran di dalam hati anak muda itu. Wajah Rudita nampaknya telah berubah. Tatapan matanya tidak lagi memancarkan perintah yang tidak berkeputusan. Mulutnya tidak lagi menuntut perhatian orang lain dan ia mulai mendengarkan pendapat orang lain atas dirinya.
Anak-anak muda itu pun menjadi iba kepadanya. Prastawa yang mula-mula merasa sangat jemu karena tingkah lakunya, kini menganggap anak itu sebagai anak yang paling malang.
“Apakah kau benar-benar akan mencoba memandikan kuda?” hampir di luar sadarnya Swandaru bertanya.
Rudita mengangguk.
“Baiklah. Kemarilah. Kau tentu akan segera dapat melakukannya. Jika kau tidak mengejutkan kuda yang sedang kau mandikan, maka kuda itu pun tidak akan berusaha untuk lari.”
Perlahan-lahan Rudita melangkah ke dalam air sungai yang tidak begitu dalam. Kakinya memang agak merasa sakit karena batu-batu kerikil, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya, sehingga semakin lama ia pun menjadi semakin ke tengah mendekati anak-anak muda yang sedang memandikan kuda itu.
Sejenak kemudian Rudita telah ikut serta memandikan kuda-kuda itu. Semula tangannya memang agak canggung. Tetapi semakin lama pekerjaan itu menjadi semakin menarik. Bahkan rasa-rasanya ia menemukan kegembiraan baru di dalam percikan-percikan air sungai itu.
Rudita tidak menghiraukan lagi pakaiannya yang kemudian menjadi basah kuyup seperti pakaian anak-anak muda yang lain. Tetapi Rudita tidak mau melepaskan bajunya seperti kawan-kawannya. Karena itu, maka baju yang masih dipakainya itu pun menjadi kuyup pula karenanya.
Sejenak kemudian maka anak-anak muda itu pun menuntun kuda-kuda itu kembali ke rumah Ki Argapati. Tidak banyak orang yang memperhatikannya. Mereka yang bertemu di sepanjang jalan, sekedar mengangggukkan kepalanya, karena mereka sudah mengenal anak-anak muda itu, sedang memandikan kuda sama sekali bukan pekerjaan yang aneh bagi mereka.
Ketika mereka sampat di rumah Ki Argapati, maka mereka pun segera memasukkan kuda-kuda itu ke dalam kandang. Kemudian anak-anak muda itu pun kembali ke bilik masing-masing untuk mengambil ganti pakaian yang basah. Mereka masih akan mengguyur tubuh mereka di pakiwan sebelum mereka berganti pakaian.
Berbeda dengan Agung Sedayu, Swandaru dan Prastawa yang setelah memberikan keterangan bahwa mereka baru saja memandikan kuda di sungai maka pakaian mereka yang basah sama sekali tidak menjadikan persoalan apa pun, namun ternyata bahwa pakaian Rudita yang basah telah sangat mengejutkan ibunya.
“Kenapa pakaianmu Rudita? Dan apalagi yang telah terjadi atasmu?”
Rudita memandang ibunya sejenak, lalu jawabnya dengan tenang, “Aku ikut memandikan kuda di sungai, Ibu.”
“Memandikan kuda?” ibunya mengulangi dengan mata terbelalak. “He, kenapa kau harus memandikan kuda? Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang mau memandikan kudamu dan barangkali juga kuda ayahmu?”
“Aku ikut dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa.”
“Kenapa kau ikut dengan anak-anak itu? Kau dapat menyuruh orang lain. Atau barangkali kau dapat menyuruh anak-anak itu memandikan kudamu dengan sekedar upah.”
Tetapi kali ini Rudita menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ternyata senang sekali memandikan kuda di sungai. Barangkali kerja yang lain pun memberikan kegembiraan yang serupa. Aku belum pernah pergi ke sawah untuk membajak dan mencangkul. Aku kira pekerjaan itu pun memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika kelak kita memetik hasilnya.”
“He, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan?”
“Ibu,” berkata Rudita, “ternyata aku selama ini telah jauh ketinggalan dari anak-anak muda sebayaku. Aku tidak dapat mengerjakan apa yang sanggup mereka lakukan dengan baik.”
“O, Rudita. Apakah sebenarnya yang telah terjadi atasmu. Kenapa kau tiba-tiba saja telah berubah. Kau tidak perlu berbuat apa-apa anakku. Kau tidak perlu berbuat seperti anak-anak padesan itu. Kita mempunyai banyak pelayan di rumah. Kita mempunyai uang untuk mengupah orang-orang yang dapat mengerjakan pekerjaan kita.”
“Itulah yang membuat aku ketinggalan, Ibu. Terlalu jauh.”
Ibunya masih akan menjawab. Tetapi mereka berpaling ketika terdengar suara, “Tetapi masih ada kesempatan mengejar ketinggalan itu, Rudita.”
Ibunya memandang Ki Waskita yang berdiri di muka pintu sambil menatap wajah anaknya. Dengan nada yang datar ayahnya itu berkata selanjutnya, “Kau agaknya telah menemukan jalan yang benar anakku.”
“Apakah yang kau maksud, Kiai?” bertanya ibu Rudita itu. “Apakah kau akan menjadikan anak kita seperti anak-anak padesan yang melarat itu dan membuatnya menjadi budak? Tidak. Anakku harus menjadi anak yang lebih baik dari mereka. Anakku tidak seharusnya bekerja di sawah, apalagi memandikan kuda.”
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya kita berterima kasih, bahwa sepercik cahaya terang telah memancar di hati anak kita itu.”
Nyai Waskita termangu-mangu sejenak. Tetapi nampak pada sorot matanya bahwa ia tidak dapat mengerti keterangan suaminya. Baginya Rudita adalah anak yang lain dari anak-anak padesan. Bahkan bagi ibu Rudita itu, anaknya adalah anak yang lebih tinggi martabatnya dengan anak-anak Sangkal Putung meskipun yang seorang dari keduanya adalah anak Demang di Sangkal Putung.
Tetapi ibu Rudita itu tidak berusaha mengetahui lebih banyak tentang sikap suaminya. Ia seolah-olah telah menentukan sikapnya sendiri terhadap anaknya. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan tetap menjaga agar derajat anakku tidak merosot. Ia harus tetap anak yang baik, yang terhormat dan berwibawa.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun sadar, bahwa tidak akan ada gunanya menjelaskan kepada isterinya untuk langsung dapat dimengerti.
“Mudah-mudahan pada suatu saat ibunya dapat mengerti,” katanya di dalam hati.
Rudita sendiri kemudian merasa dirinya berdiri di persimpangan jalan. Ia kini sadar, bahwa ibunya masih tetap dalam sikapnya. Dan itulah yang membuatnya semakin jauh dapat menyelami dirinya sendiri. Perlahan-lahan ia dapat melihat sebab yang membuatnya tumbuh di dalam keadaan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.
Ketika malam kemudian menyaput induk Tanah Perdikan Menoreh, maka Rudita mendapatkan Agung Sedayu dan Swandaru yang duduk di serambi gandok. Udara yang panas membuat mereka tidak tahan berada di dalam bilik menunggui Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka terlampau asik berbicara di antara mereka orang-orang tua bersama Ki Demang Sangkal Putung.
Tetapi sikap Rudita pun kemudian sudah sangat berlainan. Ia tidak lagi memandang kedua anak-anak muda itu dengan kepala tengadah dan mengucapkan perintah-perintah dan menyatakan keinginan-keinginannya tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Kini Rudita itu duduk di hadapan Agung Sedayu dan Swandaru dengan kepala tunduk.
“Aku minta maaf kepada kalian,” berkata Rudita itu, “kepada kau berdua, kepada Pandan Wangi, dan kepada Prastawa.”
Agung Sedayu bergeser setapak. Lalu katanya, “Kesalahanmu bukan kesalahan yang tidak termaafkan. Kami tahu, bahwa kau selama ini dibayangi oleh kepribadian yang belum terbentuk karena lingkungan keluargamu. Hampir tidak masuk akal bahwa kau adalah anak Ki Waskita yang tidak dapat dibayangkan, betapa tinggi kemampuannya.”
Rudita mengerutkan keningnya, lalu, ”Maksudmu?”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Ayahmu adalah seorang yang memiliki ilmu tidak ada duanya dari mereka yang pernah aku kenal.”
Rudita tidak mengerti yang dimaksud oleh Agung Sedayu. Namun kemudian ia menyahut, “Ayah hanya mampu menebak apa yang dilihatnya dalam isyarat. Kadang-kadang benar dan kadang-kadang salah.”
Agung Sedayu dan Swandaru mulai merasakan sesuatu yang ganjil pada tanggapan Rudita terhadap ayahnya. Bahkan mereka pun kemudian mulai curiga bahwa Rudita tidak banyak mengetahui bahwa ayahnya memiliki kemampuan olah kanuragan yang luar biasa di samping ilmunya yang ajaib itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian tidak lagi berbicara tentang kemampuan Ki Waskita. Namun mereka ingin menjajagi perkembangan pribadi Rudita
“Rudita,” Swandaru-lah yang kemudian bertanya kepadanya, “aku melihat sesuatu yang berubah pada dirimu. Apakah kau menyadarinya?”
“Aku menyadari,” berkata Rudita, “aku merasa bahwa aku selama ini bersikap lain dengan sikap anak-anak muda sebayaku. Aku dipengaruhi oleh perasaan yang baru sekarang aku sadari, bahwa hal itu kurang menguntungkan bagi diriku sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi kau adalah orang yang jujur sekali Rudita. Jarang sekali orang yang mau mengakui kelemahan sendiri di masa lampaunya.”
“Aku mengalami getaran yang sangat dahsyat di dalam jiwaku. Aku bahkan merasa bahwa aku tidak akan pernah dapat melihat matahari terbit esok pagi.” Rudita berhenti sejenak, lalu, “Ketika Paman Sumangkar menemukan aku, rasa-rasanya aku adalah orang yang mati dan hidup lagi. Goncangan itulah yang membuat aku harus mengakui apa yang terjadi atas diriku.”
“Apakah dengan demikian kau kemudian berhasrat untuk mempelajari olah kanuragan?”
“Sudah terlambat.”
“Tidak. Kau adalah seorang laki-laki. Adikku, Sekar Mirah adalah seorang gadis. Ia tekun mempelajari ilmu di saat ia sudah dewasa. Ia pun mengalami goncangan seperti yang terjadi atasmu ketika ia diculik oleh seorang laki-laki yang menginginkannya. Kini Sekar Mirah adalah seorang gadis yang dapat menjaga dirinya sendiri.”
Rudita tersenyum. Katanya, “Tetapi aku memilih jalan lain. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk membina ketenteraman. Jika Raden Sutawijaya dan Paman Argapati mempergunakan kekerasan untuk membuat Mataram dan Menoreh tenteram dan tidak lagi diganggu oleh orang-orang bersenjata yang ternyata di bawah pimpinan Panembahan Agung itu, maka aku akan memilih jalan lain.”
“Apakah yang kau pilih itu?” bertanya Agung Sedayu.
“Jika setiap orang menghindarkan diri dari tindak kekerasan, maka rasa-rasanya kita bersama-sama akan hidup tenteram. Memang agaknya kemungkinan itu jauh sekali dari batas pencapaian di masa kini. Tetapi aku kira, itu adalah cara yang dapat dimulai.”
Agung Sedayu dan Swandaru mendengarkan kata-kata Rudita itu dengan dada yang berdebar-debar. Mula-mula mereka tidak begitu menyadari arti dari kata-kata itu. Namun kemudian terasa sesuatu yang lain menyentuh hati mereka.
“Jika kita masih tetap menganggap bahwa kekerasan adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan ketenangan, maka aku kira kita tidak akan pernah sampai pada ketenangan yang sebenarnya,” berkata Rudita pula.
“Tetapi,” dengan ragu-ragu Swandaru menyahut, “apakah sikap itu akan ada artinya apabila kita harus berhadapan dengan kekerasan? Kita tentu tidak akan dapat meneriakkan aba-aba agar semua orang menghentikan kekerasan dalam satu saat yang sama. Dengan demikian, maka sikap itu pun akan terguncang oleh kenyataan bahwa kita berhadapan dengan sikap yang lain. Apakah dalam keadaan serupa itu kita tidak seharusnya berusaha mempertahankan diri sebagai salah satu sifat manusiawi, bahwa kita selalu ingin mempertahankan hidup kita dan menghindari kematian sejauh dapat kita lakukan.”
“Kau benar, Swandaru,” berkata Rudita, “seperti yang aku katakan, masa itu adalah masa yang masih jauh sekali dari masa kini, di mana sikap tenang dan damai tidak dilambari dengan sikap kekerasan. Tetapi menurut pendapatku, sesuai dengan keadaanku, maka bagiku jalan inilah yang paling tepat aku tempuh. Tentu tidak akan dapat tercapai sejauh umurku. Jika ada orang lain yang dapat mengerti caraku berpikir dan berusaha untuk bersama-sama melakukannya, maka aku akan berbesar hati. Mudah-mudahan pada suatu saat yang jauh sekali, akan datang waktunya bahwa kekerasan bukan merupakan pelindung yang paling utama untuk mendapatkan kedamaian.”
Swandaru memandang wajah Rudita sejenak. Rasa-rasanya yang diajaknya berbicara kali ini bukan Rudita yang beberapa hari yang lalu masih saja membentak sambil berkata, “Hasil buruan yang pertama akan aku hadiahkan kepada Pandan Wangi.”
Bahkan Agung Sedayu menerima kata-kata Rudita itu dengan debar yang rasa-rasanya menghentak-hentak di dadanya. Ia sendiri pernah mengalami masa yang serupa dengan Rudita. Tetapi akibat yang kemudian tumbuh adalah berbeda sekali. Ia sendiri memilih jalan kekerasan untuk memantapkan diri, mempelajari ilmu kanuragan dan ketahanan jasmaniah, namun Rudita memilih jalan yang lain. Ia memilih jalan yang terasa asing. Namun justru jalan yang sangat mengagumkan.
Namun Agung Sedayu pun menyadari alasan dari perkembangan yang berbeda itu. Pada masa kecilnya, betapa pun ibunya memanjakannya seperti ibu Rudita, namun ia sempat mempelajari beberapa jenis kemampuan jasmaniah. Ia mempelajari dasar-dasar tata bela diri dan ilmu bidik yang ternyata melampaui kemampuan orang kebanyakan. Modal itulah yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dan agaknya berbeda dengan Rudita. Meskipun ayahnya seorang yang memiliki kelebihan yang jarang ada duanya, namun agaknya Rudita sama sekali tidak pernah diperkenalkan dengan ilmu olah kanuragan sehingga arah perkembangan kepribadiannya pun sangat berlainan dangan Agung Sedayu.
“Rudita,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sikapmu sangat mengagumkan. Aku iri mendengar pernyataanmu tentang dunia yang kau cita-citakan. Tetapi apakah kau tidak membayangkan, betapa pun bersihnya suatu cita-cita, namun apabila cita-cita itu tidak pernah dapat berkembang, bukankah itu sama artinya dengan kesia-siaan?”
“Tentu, Agung Sedayu,” jawab Rudita, “karena itu terserahlah kepada orang lain yang menanggapi sikapku. Jika tidak ada orang lain yang berpendapat sesuai dengan pendapatku, dan bahkan aku akan tergilas oleh sikap yang lain dalam waktu yang singkat, maka yang aku harapkan itu tidak akan pernah terwujud. Tetapi aku masih ada harapan lain, bahwa pada suatu saat ada orang lain yang meskipun belum pernah mendengar namaku dan belum pernah mengetahui sikapku ini, akan mengambil sikap serupa.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, “Apakah bedanya sikapmu itu dengan sikap seseorang yang meskipun memiliki kemampuan yang tinggi tetapi ia mendambakan kedamaian yang kekal. Justru dengan demikian ia akan dapat memelihara dan mempertahankan sikapnya itu jika orang lain berusaha menghancurkan cita-citanya dengan kekerasan, maka ia mempunyai kekuatan untuk melindunginya.”
“Agung Sedayu. Di dalam pertempuran yang baru saja terjadi di padepokan yang terpencil itu, aku melihat sesosok tubuh raksasa. Aku semula tidak mengerti, karena bentuk yang satu mirip sekali dengan ayahku. Ternyata Panembahan Agung sedang bermain-main dengan bentuk semunya. Bentuk yang menurut Paman Sumangkar dapat mengelabuhi siapa pun juga yang ada di sekitar jarak jangkau ilmunya. Namun akhirnya yang semu itu tidak ada artinya apa-apa. Demikian juga agaknya kekerasan itu. Yang dapat dicapai dengan kekerasan adalah keadaan yang semu, karena pada suatu saat kekerasan yang lain akan saling berbenturan sehingga akhirnya kekuatan yang satu akan segera lenyap karena kekuatan yang lain yang timbul kemudian. Demikian seterusnya. Tetapi jika kita bersama-sama sama sekali tidak memiliki kemampuan apa pun yang bersifat kekerasan, kita tidak akan dapat berbuat demikian. Dan kita akan menemukan ketenangan yang sebenarnya di dalam sikap damai setiap orang.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pendirian itu, namun bagi Swandaru pendirian Rudita masih merupakan suatu mimpi yang samar-samar terapung di langit yang jauh sekali. Meskipun Swandaru tidak menolak, bahwa jika benar keadaan yang demikian itu dapat dicapai, maka hidup di dunia ini akan menjadi semakin tenang.
Agung Sedayu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Swandaru ia pun mengerti. Bahkan ia lebih dalam tersentuh oleh kata-kata Rudita itu. Dan menurut pendapat Agung Sedayu, apa yang dikatakan oleh Rudita itu adalah murni tumbuh dari sanubarinya sendiri setelah ia mengalami goncangan perasaan yang sangat dahsyat.
“Agung Sedayu,” berkata Rudita kemudian, “peristiwa yang baru saja terjadi telah melontarkan aku ke dalam puncak perasaan takut. Dengan demikian maka kini justru timbul pertanyaan di dalam diriku, kenapa aku harus ketakutan menghadapi peristiwa semacam itu. Takut atau tidak takut sebenarnya bagiku tidak akan ada bedanya. Jika tidak ada Paman Sumangkar yang menolongku, maka aku sekarang sudah tidak akan sempat berbicara dengan kau lagi. Karena itu sebenarnya sia-sialah perasaan takut itu bagiku. Mungkin tidak bagimu, karena di dalam ketakutan kau dapat mencurahkan ilmumu untuk melindungi dirimu. Tetapi tidak bagiku. Aku tidak perlu takut, karena aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sehingga karena perasaan takut atau tidak takut sama saja bagiku, sebaiknya aku belajar mengusir perasaan takut itu. Ketakutan yang bagaimana pun juga tidak akan menolongku.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah itu tampak tegang. Namun kemudian kepala Swandaru pun terangguk-angguk kecil.
Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk pula di luar sadarnya. Rudita benar-benar telah menemukan dirinya di dalam bentuknya yang lain. Jika Agung Sedayu pun kemudian berhasil melepaskan diri dari belenggu perasaannya dari ketakutan, maka agaknya Rudita pun demikian. Namun Rudita menganggap bahwa lebih baik baginya untuk berada di dalam sikapnya yang damai tanpa ketakutan sama sekali apa pun yang akan dialami.
Untuk beberapa saat ketiga anak-anak muda itu berdiam diri, masing-masing dengan angan-angannya sendiri. Agung Sedayu dan Swandaru masih saja merenungi sikap Rudita yang dapat mereka mengerti, namun masih belum dapat mereka lakukan karena pertimbangan yang berlapis-lapis.
“Aku hormati sikapmu,” desis Agung Sedayu kemudian, “ternyata bahwa kau jauh lebih berani daripada aku. Aku mengerti bahwa jalan itu benar. Tetapi aku tidak mempunyai keberanian untuk menempuhnya. Dan kau pun benar, bahwa dengan ketakutan sebagai dasar yang paling dalam, maka aku merasa perlu untuk menempa diri dengan berbagai macam ilmu, sekedar untuk mendapatkan ketenteram hati. Dan agaknya kau telah menemukan sikap yang damai dan tenang tenteram tanpa mempelajari ilmu yang kau sebut dengan sikap kekerasan itu.”
Rudita tersenyum. Katanya, “Mungkin dapat juga diartikan, aku sudah terlanjur menjadi anak yang malas, yang tidak mempunyai kemampuan dan kemauan apa pun lagi untuk memilih sikap yang lain dari sikapku ini.”
“Sikapmu agaknya bukan sekedar karena kau tidak dapat berbuat yang lain,” jawab Swandaru, “agaknya kau meyakini bahwa sikap itu adalah sikap yang paling baik kau lakukan.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut.
Maka malam pun menjadi semakin dalam. Di langit bintang bertebaran dari ujung sampai ke ujung. Di kejauhan terdengar suara bilalang berderik bersahut-sahutan.
Rudita menarik nafas. Kadang-kadang bulu-bulunya masih juga meremang jika ia mengenang masa-masa yang mengerikan di padepokan yang terasing itu. Namun ia tersenyum sendiri mengenangkan saat-saat ia menangis hampir semalam suntuk. Dan ternyata tangisnya sama sekali tidak menolongnya. Yang menolongnya adalah Ki Sumangkar yang memasuki padepokan itu.
Meskipun Ki Sumangkar harus berbekal kekerasan selagi melepaskannya, namun kekerasan itu sendiri agaknya tidak lagi diperlukannya bagi dirinya sendiri.
Pembicaraan mereka pun terputus ketika Prastawa kemudian datang memanggil mereka dan Ki Demang Sangkal Putung untuk makan bersama. Sedang bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, Pandan Wangi telah membawa dan melayani mereka berdua makan di dalam biliknya.
“Aku dapat naik ke pringgitan,” berkata Sumangkar, “mungkin bagi Kiai Gringsing masih diperlukan pelayanan di dalam bilik ini.”
“Beristirahat sajalah, Kiai,” sahut Pandan Wangi, “biarlah aku melayani Kiai berdua. Meskipun luka-luka Kiai tidak separah Kiai Gringsing, tetapi biarlah Kiai beristirahat secukupnya.”
Dengan demikian, di pringgitan kemudian berkumpul beberapa orang tua bersama anak-anak muda untuk makan bersama. Sedangkan ibu Rudita seperti biasanya makan bersama beberapa orang perempuan yang sibuk di dapur membantu menyediakan makan bagi para tamu dan pengawal yang masih selalu bersiap-siap.
Sekali-sekali mereka yang makan di pringgitan itu masih juga berbicara tentang kekuatan yang tersembunyi di padepokan terpencil itu. Kekuatan yang sebenarnya akan sangat berarti jika disalurkan lewat jalan yang benar dan baik.
Dengan demikian Rudita pun menjadi semakin yakin, bahwa ilmu yang semakin tinggi, akan semakin berbahaya. Sifat manusia adalah lupa diri. Betapa pun juga ia mendasari dirinya dengan sifat-sifat yang baik, namun apabila pada suatu saat ia tersentuh oleh nafsu yang tidak terkendali, maka kemampuannya itu pun akan tergeret oleh nafsunya dan akan disalah-gunakannya.
Demikian asyiknya mereka berbicara, akhirnya sampai juga mereka pada Raden Sutawijaya. Seorang anak muda yang mengagumkan. Namun timbul pula pertanyaan di dalam diri mereka, siapakah sebenarnya gadis yang telah disebut-sebut berasal dari Kalinyamat itu.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya sendiri yang sedang dibicarakan itu, telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat. Betapa pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun tampaklah bahwa ia sedang kebingungan.
Ki Lurah Branjangan yang telah menduga bahwa sesuatu sedang bergolak di dalam hati anak muda itu, sekali-sekali ingin juga bertanya kepadanya. Tetapi ia selalu ragu-ragu dan pertanyaan itu masih belum dapat dilontarkannya. Ia hanya dapat duduk memandangi anak muda yang murung itu sambil menunggu saat yang baik untuk bertanya.
Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal justru menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti, kenapa Sutawijaya telah menghentikan pasukannya justru setelah mereka berada di mulut Tanah Mataram.
“Apakah kita harus tidur di belukar ini setelah rumah kita berada di depan hidung?” desis seorang pengawal yang nampaknya sudah terlalu letih sehingga seakan-akan ia sudah tidak lagi dapat menahan hati untuk segera pulang dan tidur dengan nyenyaknya.
Kawannya hanya dapat mengangkat bahu. Mereka tidak mengerti kenapa mereka harus berhenti. Jika mereka harus beristirahat di tempat itu, maka akan lebih baik jika jarak yang pendek itu mereka selesaikan saja sama sekali. Baru kemudian mereka beristirahat sebaik-baiknya.
Tetapi tidak seorang pun yang menanyakannya kepada Sutawijaya. Bahkan utusan yang memanggilnya agar ia cepat-cepat pulang ke Tanah Mataram itu pun tidak bertanya apa-apa. Bahkan utusan itu malahan mendekati Ki Lurah Branjangan dan duduk di sebelahnya.
“Apakah ada sesuatu yang tidak wajar terjadi atas Raden Sutawijaya?” bertanya utusan itu.
Ki Lurah Branjangan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil bergumam, “Aku tidak mengerti perasaan apa yang berkecamuk di dalam dadanya.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka sekilas memandang Raden Sutawijaya yang duduk bersandar sebatang pohon. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir.
“Ki Lurah,” berkata utusan itu, “agaknya Raden Sutawijaya memang sedang menghadapi kesulitan.”
“Ya,” sahut Ki Lurah Branjangan, “apakah kau benar-benar tidak mengerti, atau setidak-tidaknya mendengar desas-desus, apakah desas-desus itu salah atau benar, bahwa sesuatu telah terjadi sehingga ia telah terpaksa pulang dengan tergesa-gesa?”
Utusan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Hanya sekedar desas-desus. Tetapi sudah barang tentu tidak akan dapat dijadikan pegangan. Dan itulah sebabnya aku bertanya kepada Ki Lurah barangkali Ki Lurah mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu. Tetapi bagaimana bunyi desas-desus itu?”
Utusan yang menjemput Raden Sutawijaya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya berbisik, “Raden Sutawijaya telah membuat hubungan gelap dengan seorang gadis dari Kalinyamat, yang seharusnya diperuntukkan bagi ayahandanya Sultan Pajang.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnya ia sudah tidak terkejut lagi. Ia memang sudah menduga bahwa hal itulah yang menjadi persoalannya. Ia pernah mendengar desas-desus yang serupa pula. Dan agaknya hal itu sudah bukan merupakan rahasia lagi, meskipun belum seorang pun yang berani mengatakannya dengan berterus-terang. Setiap mulut berbisik ke setiap telinga dengan pesan, “Jangan kau katakan kepada orang lain.” Namun akhirnya desas-desus itu sudah merata di seluruh Tanah Mataram.”
Utusan yang membisikkan desas-desus itu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kau tidak sependapat bahwa hal itu telah terjadi?”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Bukan aku tidak sependapat bahwa hal itu telah terjadi. Jika hal itu sudah terjadi, apa yang dapat aku lakukan? Tetapi aku memang tidak sependapat bahwa hal itu terjadi. Tetapi sudah barang tentu yang sudah terjadi itu terjadilah.”
Utusan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika benar hal itu telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka yang akan terjadi tentu tidak kita harapkan bersama. Kesulitan demi kesulitan akan melanda Mataram. Hari ini Mataram telah membebaskan diri dari gangguan orang yang menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama yang juga disebut Panembahan Alit dan orang yang lebih berbahaya lagi, Panembahan Agung, namun kesulitan yang bakal datang adalah dari Pajang. Di Pajang tidak kurang jumlah orang sakti yang akan dapat mempengaruhi pertumbuhan Mataram.”
Ki Lurah Branjangan memandang saja ke dalam kegelapan yang rasa-rasanya semakin mencengkam. Lamat-lamat ia masih melihat bayangan Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik. Sepercik cahaya perapian telah mewarnai wajahnya menjadi kemerah-merahan.
“Ya,” jawab utusan itu, “di Pajang masih ada beberapa orang sakti. Mereka adalah senapati-senapati yang terpilih. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, masih ada Ki Mancanagara, masih ada Ki Wilamarta dan Ki Wuragil. Masih ada senapati-senapati lain yang namanya cukup mendebarkan, selain mereka masih juga harus diingat, bahwa kekuasaan Pajang meliputi Pasisir Lor dan Wetan, para adipati tentu tidak akan tinggal diam jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas mereka untuk menyapu Mataram yang kini masih tidak lebih dari sebutir debu di pantai.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Memang Mataram masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan Pajang keseluruhan. Tanpa para adipati itu pun Mataram tentu akan menghadapi kesulitan apabila senapati di daerah Selatan yang justru merupakan jalur lurus antara Pajang dan Mataram itu mulai bertindak. Jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas Untara maka Mataram akan menghadapi persoalan yang sangat rumit. Kekuatan Untara memang masih belum sebesar kekuatan Mataram jika dihimpun seluruhnya. Tetapi Untara adalah bagian kecil saja dari seluruh pasukan yang ada. Jika dikehendaki, maka pasukan Untara dalam waktu satu hari satu malam dapat ditambah dengan dua kali lipat, di bawah pimpinan senapati yang berilmu tinggi.
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Ia mengetahui semuanya itu. Tetapi ada sesuatu yang mendesaknya untuk pergi ke Mataram saat itu. Bukan ia sendiri, tetapi beberapa kawannya dan beberapa orang prajurit.
Tetapi agaknya Pajang yang tampak kuat di luar itu, ternyata semakin lama menjadi semakin rapuh. Para senapatinya telah menentukan sikapnya sendiri-sendiri. Jika Ki Lurah Branjangan itu pergi ke Mataram, maka Daksina telah berada di padepokan terpencil di bawah pengaruh Panembahan Agung, meskipun Daksina sendiri bukannya orang tertinggi di Pajang di dalam lingkungannya.
“Apakah pada saatnya Pajang akan runtuh dengan sendirinya?” bertanya Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan masih tetap berdiam diri. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya langit yang gelap menjadi semakin gelap. Segumpal mendung yang hitam mengalir di ujung langit menutupi bintang yang bertebaran, dan hujan tentu sudah jatuh di bagian lain dari daerah Mataram
Raden Sutawijaya masih saja berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya. Kegelisahannya ternyata membuat para pengawal itu menjadi gelisah pula.
“Jika kita berjalan terus, kita tentu sudah berada di mulut gerbang,” desis seorang pengawal.
Tetapi kawannya sama sekali tidak menyahut. Mereka tidak akan dapat merubah keputusan Raden Sutawijaya. Bahkan utusan yang seolah-olah telah memaksa anak muda itu meninggalkan Menoreh, sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun pasukan para pengawal itu sudah berada di depan pintu gerbang.
Selagi para pengawal itu merenung, maka tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya itu memanggil Ki Lurah Branjangan, sehingga dengan tergesa-gesa Ki Lurah itu berdiri dan melangkah mendekatinya.
“Raden memanggil aku?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Ya, Ki Lurah,” sahut Haden Sutawijaya, “kemarilah. Aku ingin berbicara sedikit.”
Ki Lurah Branjangan pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Sutawijaya kemudian duduk di atas sebuah batu, maka Ki Lurah Branjangan pun berjongkok pula.
“Duduklah,” berkata Raden Sutawijaya, “aku ingin berbicara dengan Paman seorang diri.”
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk pula di atas sebuah batu. Ketika ia berpaling, dilihatnya utusan yang tadi berbicara dengannya itu sudah melangkah pergi.
“Ki Lurah,” berkata Sutawijaya kemudian, “sebenarnya ada sesuatu yang menyulitkan kedudukanku sekarang.”
Ki Lurah Branjangan yang sudah menduga, persoalan apa yang sedang mencengkam hati Raden Sutawijaya itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih tidak segera menanggapinya, seolah-olah ia masih belum mengetahuinya sama sekali.
Tetapi Sutawijaya itu pun berkata, “Paman tentu sudah mengetahuinya. Bahkan sebagian para pengawal Mataram pun sudah membicarakannya. Daksina menyebutnya dengan berterus-terang di hadapan para pengawal. Maksudnya memang dengan sengaja mempengaruhi perasaanku pada waktu itu.”
“Persoalan apakah yang Raden maksudkan?”
“Ki Lurah tentu sudah mengetahuinya.”
Ki Lurah memandang wajah Raden Sutawijaya sejenak. Meskipun wajah itu hanya disentuh oleh nyala perapian yang redup namun Ki Lurah Branjangan dapat menangkap betapa tegangnya perasaan Raden Sutawijaya, sehingga ia sama sekali tidak dapat menyembunyikannya lagi.
“Raden,” berkata Ki Lurah Branjangan, “ada beberapa persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi persoalan yang khusus bagi Raden, tentu aku tidak berani menyebutnya. Jika aku keliru, barangkali Raden dapat marah kepadaku, sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang sama sekali tidak menyangkut masalah yang aku perkirakan itu.”
Raden Sutawijaya termenung sejenak. Lalu katanya, “Baiklah, Paman. Paman adalah orang yang sudah jauh lebih masak dari padaku.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Aku kini dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit. Aku tentu akan dituntut oleh suatu pertanggungan jawab yang barangkali berada di luar batas kemampuanku untuk mempertanggung-jawabkannya.”
Ki Lurah Branjangan hanya mengangguk-angguk saja. Dan Sutawijaya pun mulailah menceriterakan apa yang pernah terjadi atas dirinya selagi ia pada suatu saat datang ke Pajang.
“Aku menjumpai gadis itu di luar rencanaku,” berkata Sutawijaya, “tetapi tiba-tiba saja hal itu sudah terjadi. Gadis itu terlampau cantik, manja, dan seakan-akan pasrah diri. Dan akhirnya terjadilah semuanya itu. Apa yang dikatakan Daksina itu sebenarnyalah memang sudah terjadi.”
———-oOo———-
(bersambung ke Episode 078)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar