KIAI GRINGSING memandang Ki Sumangkar sejenak. Seolah-olah ia minta pertimbangannya. Tetapi Ki Sumangkar tidak memberikan tanggapan apa pun juga. Bahkan orang tua itu sedang menundukkan kepalanya sambil merenungi persoalan yang sedang berlaku itu.
Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak dapat memberikan kesan yang dapat dipertimbangkan. Bahkan ia sendiri bingung menghadapi keadaan itu. Sehingga karena itu, seperti kedua anak muda murid Kiai Gringsing, ia duduk berdiam diri sambil menunggu perkembangan keadaan lebih lanjut.
Sesaat kemudian mereka mendengar Kiai Gringsing berkata, “Marilah, Ki Juru. Jika diperkenankan aku akan melihat keadaan Ki Gede Pemanahan.”
“Tentu, bahkan kehadiranmu memang sudah ditunggu-tunggunya.”
Demikianlah maka Kiai Gringsing pun kemudian beringsut dari tempatnya. Tetapi ketika kedua muridnya bergerak pula, Kiai Gringsing berkata, “Tunggulah di sini bersama Ki Demang dan Raden Sutawijaya. Agaknya lebih baik aku menengoknya sendiri supaya tidak justru mengejutkan dan menimbulkan kesan yang agak lain.”
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Demikian pula Ki Demang Sangkal Putung yang untunglah belum bergerak sama sekali dari tempat duduknya.
Yang ragu-ragu kemudian adalah Sumangkar. Tetapi karena Kiai Gringsing tidak menahannya, maka ia pun kemudian beringsut pula sambil berdesis, “Aku akan ikut menghadap Ki Gede sambil mengucapkan terima kasih atas semua kesempatan yang aku terima sampai saat ini.”
Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Namun kemudian ia pun menganggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah. Mungkin Ki Gede Pemanahan akan senang melihatmu. Dan kesempatan berikutnya tentu akan diberikan pula kepada Ki Demang dan kedua anak-anak itu.”
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun kemudian mengikuti Ki Juru Martani masuk ke ruang dalam. Sementara Sutawijaya sendiri masih harus tetap tinggal bersama tamu-tamunya yang lain.
“Maaf, Ki Demang,” berkata Raden Sutawijaya, “agaknya Kiai Gringsing lebih senang menengok ayahanda tanpa mengganggunya.”
“Ah, aku mengerti, Raden. Ayahandamu memang sedang sakit dan perlu banyak beristirahat. Tentu tidak baik baginya, jika kami akan berimpitan di dalam bilik Ki Gede Pemanahan.”
“Tetapi ayahanda tentu akan senang sekali menerima Ki Demang nanti.”
“Dan aku pun akan senang sekali atas kesempatan itu,” sahut Ki Demang.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar melangkah mengikuti Ki Juru Martani. Mereka langsung menuju ke bilik Ki Gede Pemanahan yang sedang ditunggui oleh seorang pelayan yang duduk di luar pintu.
“Apakah Ki Gede sudah bangun?” bertanya Ki Juru kepada pelayan yang menunggui itu.
Pelayan itu mengerutkan keningnya, lalu jawabnya berbisik, “Aku kurang tahu, Ki Juru.”
Ki Juru mengangguk. Katanya, “Baiklah, aku akan menengoknya.”
Dengan hati-hati Ki Juru Martani pun kemudian mendorong pintu bilik itu. Ketika pintu itu terbuka sedikit dilihatnya Ki Gede Pemanahan terbaring diam.
Perlahan-lahan Ki Juru Martani melangkah masuk. Dipandanginya wajah yang pucat itu. Bahkan wajah yang pucat itu ternyata dibasahi oleh keringat yang mengembun di kening dan dahi. Namun nampaknya Ki Gede sempat tertidur meskipun hanya sejenak.
Ketika Ki Juru Martani berdiri di sisi pembaringan, maka Ki Gede Pemanahan membuka matanya. Ketika dilihatnya Ki Juru maka ia pun tersenyum. Katanya, “Oh, silahkan, Kakang. Aku sempat tertidur sejenak.”
“Itu baik sekali, Adi. Tidur adalah obat yang baik bagi kesehatanmu.” Ki Juru berhenti sejeniak, lalu, “Kecuali itu Adi, di saat ini orang yang menamakan Kiai Gringsing itu telah benar-benar datang. Ia berada di luar pintu bilik ini. Jika diijinkan, ia akan masuk dan menengok Adi barang sejenak.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Juru Martani sejenak. Namun di sorot matanya nampak sesuatu yang bergejolak di dadanya.
Ternyata sepercik kekecewaan telah melonjak di hati Ki Gede Pemanahan. Selama ini ia mengharap bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu memiliki sesuatu yang rahasia di dalam dirinya. Sudah cukup lama ia ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Dan dalam waktu yang lama ini Kiai Gringsing selalu menghindarkan pertemuan itu, seolah-olah ada sesuatu yang dirahasiakan. Sedang Ki Gede Pemanahan yang tidak pernah dapat bertemu dengan Kiai Gringsing itu telah mereka-reka di dalam angan-angannya, bahwa Kiai Gringsing adalah seseorang yang bukan orang kebanyakan. Seseorang yang memiliki sesuatu yang menempatkannya pada kedudukan yang khusus.
“Jika tiba-tiba saja ia dengan suka rela datang kemari, maka agaknya ia memang sebenarnya Kiai Gringsing. Seorang dukun yang datang dari Dukuh Pakuwon. Tidak lebih dan tidak kurang,” Ki Gede berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya. “Jika ia adalah orang yang aku harapkan memiliki sesuatu yang tersembunyi, maka apakah ia dengan demikian mudah dapat dibawa oleh Sutawijaya datang kemari dan menemui aku setelah sekian lamanya ia berusaha menghindarkan diri?”
Pertanyaan itulah yang ternyata justru bergejolak di dalam hati Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani yang masih berdiri di sisi pembaringan itu pun kemudian mendesak karena Ki Gede masih tetap berdiam diri, “Bagaimana, Adi?”
“O,” Ki Gede tergagap, “baiklah. Bawalah ia masuk, Kakang. Mungkin kedatangannya ada manfaatnya bagiku.”
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ia sudah berada di depan pintu bersama Ki Sumangkar.”
“Sumangkar dari Jipang?” Ki Gede bertanya.
“Ya. Sumangkar. Orang kedua yang memiliki tongkat berkepala tengkorak.”
Ki Gede termenung sejenak. Lalu, “Biarlah ia ikut masuk bersamanya, Kakang.”
“Ya. Ia akan ikut bersama Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik ini, sedang Ki Demang Sangkal Putung masih akan menunggu.”
“O, kenapa ia tidak dibawa serta sama sekali.”
“Kiai Gringsing mengharap ia menunggu lebih dahulu di luar. Ia ingin masuk tanpa orang lain kecuali Sumangkar yang menyatakan dirinya ingin bertemu denganmu pula.”
Sesuatu terasa bergetar di dada Ki Gede. Kekecewaannya menjadi kabur. Namun berbagai macam tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya.
“Kakang,” berkata Ki Gede kemudian, “aku persilahkan mereka masuk.”
Ki Juru Martani pun kemudian meninggalkan bilik itu. Di luar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menunggu tanpa sepatah kata pun yang meluncur dari mulut mereka. Mereka masing-masing seakan-akan sedang tenggelam dalam angan-angan yang jauh mengawang mengarungi alam yang lain.
Mereka terkejut ketika Ki Juru kemudian datang mendekat sambil berkata, “Silahkah, Kiai. Adi Pemanahan baru saja bangun dari tidurnya yang nyenyak.”
“O, seharusnya Ki Gede tidak dibangunkan.”
“Tidak. Aku memang tidak membangunkannya. Tetapi ia telah terbangun sendiri.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian ia pun mengikuti Ki Juru Martani melangkah mendekati pintu. Namun nampaknya langkah Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu.
Di belakang Kiai Gringsing, Sumangkar berjalan dengan kepala tunduk. Agaknya ia pun merasakah sesuatu yang bergetar di dalam dadanya.
Ketika Ki Juru Martani sampai ke pintu, ia pun berhenti dan menepi. Dipersilahkannya Kiai Gringsing melangkah mendahului masuk ke dalam bilik.
Kiai Gringsing yang tidak menduga, termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian melangkahkan kakinya ke pintu bilik itu.
Di depan pintu, ternyata langkahnya terhenti sejenak. Ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan terbaring, wajahnya menegang. Apalagi ketika kemudian Ki Gede Pemanahan pun memandanginya pula.
Untuk sesaat Kiai Gringsing berdiri diam di pintu bilik itu. Tetapi hanya sejenak. Kemudian wajahnya yang tegang itu pun menjadi cair kembali.
Tetapi yang sekejap itu dapat ditangkap oleh Ki Juru Martani yang memiliki ketajaman batin. Bahkan Sumangkar yang tidak dapat melihat wajah Kiai Gringsing karena ia berada di belakangnya pun merasakan, bahwa langkah Kiai Gringsing tertegun sejenak, bukan oleh karena wadagnya, tetapi justru karena sikap batinnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing mendekati pembaringan Ki Gede Pemanahan yang memandanginya dengan saksama. Seperti Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan dicengkam oleh berbagai macam pertanyaan tentang orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.
Namun seperti juga Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan tidak begitu tergesa-gesa. Seperti yang sudah diduganya, bahwa ia tidak akan dapat menemukan ciri-ciri lahiriah untuk mengenal orang yang dengan sengaja menyembunyikan diri, karena penyamaran lahirlah adalah pekerjaan yang mudah sekali dilakukan.
Tetapi justru karena Ki Gede Pemanahan sedang mencari sesuatu pada tamunya, ia kemudian tergagap ketika tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah berdiri di sampingnya sambil berdesis, “Maaf, Ki Gede Pemanahan, bahwa aku dan Adi Sumangkar telah mengganggu Ki Gede yang sedang beristirahat.”
“Tidak, tidak,” jawab Ki Gede terputus-putus, “silahkan. Silahkan, Kiai,” jawab Ki Gede Pemanahan.
Ia akan mencoba bangkit, tetapi ditahan oleh Kiai Gringsing sambil berkata, “Jangan, Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede tetap berbaring. Agaknya Ki Gede benar-benar memerlukan istirahat sepenuhnya.”
Ki Gede mengurungkan niatnya. Namun terasa bahwa nafasnya telah memburu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri dan mengatur pernafasannya.
Tetapi agaknya Ki Gede tidak segera berhasil. Bahkan terasa seakan-akan nafasnya menjadi sesak.
Kiai Gringsing melihat gejala itu. Maka katanya kemudian sambil meraba tangan Ki Gede Pemanahan, “Berbaringlah seenaknya, Ki Gede. Ki Gede harus beristirahat lahir dan batin. Jangan memaksa diri berbuat sesuatu yang memerlukan tenaga. Baik tenaga bagi badan wadag, maupun tenaga bagi batin Ki Gede.”
Ki Gede menggeleng lemah. Jawabnya di antara deru nafasnya, “Tidak, Kiai, aku tidak berbuat apa-apa. Aku hanya berusaha untuk bangkit. Itu pun telah aku urungkan.”
“Itu adalah gerak lahiriah,” sahut Kiai Gringsing.
“Lalu maksud Kiai?”
“Apakah Ki Gede tidak sedang memikirkan sesuatu yang dapat merampas banyak tenaga?”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Agaknya pertanyaan Kiai Gringsing itu adalah pertanyaan yang wajar. Namun bagi Ki Gede Pemanahan, pertanyaan itu bagaikan suatu peringatan, bahwa ia tidak perlu mencari sesuatu selain yang nampak oleh matanya. Sesuatu yang tidak kasat mata.
Ternyata bukan Ki Gede Pemanahan saja yang dapat merasakan sentuhan serupa. Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar pun merasakan pula peringatan yang lembut itu.
Perlahan-lahan Ki Gede Pemanahan mulai dapat menguasai pernafasannya kembali. Tanpa disadarinya ia mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Katanya, “Kiai. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa dan tidak memikirkan apa-apa. Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa aku sedang mencoba mengosongkan perasaan dan pikiranku.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Jawabnya, “Syukurlah. Aku cemas bahwa Ki Gede Pemanahan terlampau berpikir tentang puteranda. Aku sudah mendengar dari Raden Sutawijaya apa yang telah terjadi.”
“O,” Ki Gede yang tengah berbaring itu mengerutkan keningnya. Sesuatu bergetar di dalam dirinya. Bahkan ia bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar yang dimaksud Kiai Gringsing itu seperti yang dikatakannya. Karena aku terlampau memikirkan Sutawijaya atau memikirkan teka-teki tentang diri orang tua itu?”
Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar pun menarik nafas panjang. Mereka juga tergetar oleh kata-kata Kiai Gringsing. Seolah-olah ia ingin mengarahkan persoalan yang tidak nampak oleh indera itu pada Raden Sutawijaya yang memang sedang dibelit oleh persoalan yang rumit.
Sementara itu, maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun telah dipersilahkan duduk di atas sebuah dingklik kayu di sebelah pembaringan Ki Gede Pemanahan. Ki Juru Martani yang duduk di tepi pembaringan itu pun kemudian berkata, “Kiai Gringsing. Menurut pendengaran kami, Kiai adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Itulah sebabnya kami mengundang Kiai mengunjungi Mataram, justru karena Ki Gede Pemanahan berada dalam keadaan yang nampaknya semakin lama menjadi semakin gawat.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Sebenarnyalah yang aku lakukan sekedar berusaha seperti yang sudah sering aku katakan. Segala sesuatunya tergantung kepada Tuhan Yang Maha pengasih. Jika Tuhan berkenan, maka mudah-mudahan penyakit yang aku obati itu dapat sembuh. Tetapi bahwa pada suatu saat, aku pun dapat gagal jika usahaku tidak sejalan dengan guratan kehendak Yang Maha Kuasa.”
Ki Juru Martani mengangguk-angguk pula. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun nampak pada wajah itu sesuatu yang bergejolak di dalam hati.
“Apakah ada sesuatu yang akan kau katakan, Adi Pemanahan, atau barangkali sebuah pertanyaan?”
Ki Gede Pemanahan memandang wajah Ki Juru Martani. Namun kemudian ia menggeleng lemah, “Tidak, Kakang. Aku tidak ingin mengatakan dan menanyakan sesuatu.”
“Jika demikian, silahkan Kiai. Kiai dapat melihat keadaan Ki Gede Pemanahan. Silahkan berbuat sesuatu, mudah-mudahan yang Kiai lakukan itu akan berguna.”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk sekali lagi. Katanya, “Aku akan berusaha, Ki Juru. Tetapi Ki Gede Pemanahan pun harus membantu aku berusaha sebaik-baiknya.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Jawaban Kiai Gringsing itu telah menyentuh perasaannya pula. Seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah cermin. Dan ia melihat dirinya sendiri yang nampaknya sedang berputus asa.
Namun Ki Gede Pemanahan tidak segera menyahut. Tetapi tatapan matanya yang sayu bagaikan tersangkut pada atap bilik itu.
Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya. Perlahan-lahan ia meraba-raba pergelangan tangan Ki Gede Pemanahan. Kemudian meraba dadanya dan lambungnya.
Ki Gede masih saja berbaring diam. Dibiarkannya Kiai Gringsing mengamati seluruh keadaannya. Dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya.
Kiai Gringsing merasa betapa tubuh Ki Gede itu bergetar oleh debar di dalam diri Ki Gede Pemanahan. Namun juga karena kelemahan yang semakin mencengkam tubuh yang menjadi sangat lemah itu.
Sementara itu, luka di tubuh Ki Gede Pemanahan sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan sembuh sama sekali.
“Yang menyebabkannya sakit bukannya karena luka yang tergores di wadagnya itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “tetapi justru yang batin, karena luka wadagnya itu sebenarnya sudah sembuh.”
Karena itulah maka Kiai Gringsing kini menghadapi persoalan yang lebih rumit dari penyakit yang biasa dihadapinya.
Ki Juru Martani yang kemudian duduk di atas dingklik kayu dan membiarkan Kiai Gringsing duduk di sisi Ki Gede Pemanahan di tepi pembaringannya, memperhatikan semua yang dilakukan oleh Kiai Gringsing dengan saksama. Ia melihat dengan tajamnya, sentuhan tangan Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Juru Martani sambil berkata, “Ki Juru. Sebagian terbesar obat bagi Ki Gede Pemanahan justru berada ada di dalam diri Ki Gede sendiri. Mudah-mudahan Ki Gede dapat memahaminya.”
Ki Gede Pemanahan yang terbaring itu pun berkata, “Mungkin keadaanku memang dipengaruhi oleh perkembangan jiwaku di saat terakhir. Tetapi bukankah yang wadag ini dipengaruhi pula oleh pengobatan yang wadag pula.”
“Benar, Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi bahwa yang wadag itu sangat dipengaruhi oleh yang halus, agaknya Ki Gede tentu sudah mengetahuinya pula.”
Tiba-tiba saja Ki Gede Pemanahan tersenyum. Lalu, “Jika demikian, maka kau adalah seorang dukun yang sebenarnya pandai. Kau melihat bahwa wadagku sudah tidak mampu lagi mengatasi kelemahan jiwaku. Dan itulah yang kau lihat sekarang ini.”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru Martani sejenak, lalu katanya, “Tentu bukan demikian, Ki Gede. Bukankah yang wadag dan yang halus itu saling mempengaruhi dan saling mendorong selama masih ada keserasian, keseimbangan nalar dan budi.”
“Benar, Kiai,” jawab Ki Gede, “tetapi nalar dan budi yang pribadi kadang-kadang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dalam bebrayan yang luas. Mungkin dengan mementingkan diri sendiri kita dapat melepaskan pengaruh lingkungan kita. Tetapi bahwa di dalam bebrayan itu kita diselubungi oleh kepentingan yang saling mengisi, yang mementingkan diri sendiri dan yang nampaknya dipengaruhi oleh pertimbangan pengaruh lingkungan tetapi yang sebenarnya juga karena dorongan kepentingan sendiri semata-mata, bahkan yang nampaknya sebuah pengorbanan bagi sesama. Tetapi arti yang sebenarnya adalah pamrih yang terselubung.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar yang menegang. Namun kemudian jawabnya, “Ki Gede. Tidak ada hubungan yang dapat lepas sama sekali dari kepentingan sendiri. Pengorbanan yang tulus bagi sesama memang harus dilandasi dengan perbuatan yang tanpa pamrih. Namun itu adalah jangkauan yang seperti Ki Gede katakan, jauh sekali adanya, sejauh bintang yang bergayutan di langit. Meskipun demikian, seperti kita meyakini ada bintang yang gemerlapan itu, maka kita pun meyakini bahwa pengorbanan yang tulus itu sebenarnya memang ada.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi pengorbanan yang tulus tergantung sekali pada arah dan landasannya.”
“Kiai,” berkata Ki Juru kemudian, “jika arah dan landasam itu kuat, maka apakah yang tulus itu dapat merupakan beban pada yang wadag.”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu adalah tangan kekuasaan yang tidak kasat mata. Tetapi menurut jangkauan nalar yang picik seharusnya tidak. Namun bahwa yang pasrah itu dapat mengabaikan usaha lahiriah itulah agaknya yang dapat membebani wadagnya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan semuanya tergantung sekali kepada tangan Yang Maha Kasih adanya.”
“Dan Kiai melihat yang manakah yang Kiai hadapi sekarang?”
Wajah Kiai Gringsing menegang. Dipandanginya wajah Ki Juru sejenak, lalu katanya, “Jawaban itu ada pada Ki Gede Pemanahan sendiri.”
Mereka yang ada di dalam bilik itu melihat Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Pengorbanan yang tidak berarti seharusnya tidak disebut sebagai pengorbanan. Ia hilang seperti hilangnya garam di dalam lautan. Tetapi jika itu memberikan kepuasan jiwa, maka apakah salahnya jika itulah yang diberikannya.”
“Meskipun demikian, kita dapat mengadakan pertimbangan. Langkah yang manakah yang akan lebih berarti,” sahut Kiai Gringsing.
“Adakah dalam keadaan tertentu, di dalam gejolak jiwa yang miskin akan keseimbangan, ada juga pertimbangan itu? Kiai, apakah juga memberikan arti yang lebih jika seseorang menghindar dari dirinya sendiri?”
Pertanyaan itu telah mengejutkan Kiai Gringsing. Sejenak wajahnya menjadi tegang dan kerut-merut di keningnya menjadi bertambah dalam.
Namun semua itu hanya terjadi dalam beberapa kejap saja. Wajah itu pun kemudian menjadi pulih kembali seperti tidak terjadi sesuatu.
Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan, dan Ki Sumangkar melihat dengan jelas perubahan wajah Kiai Gringsing. Tetapi mereka sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun juga.
“Aku tidak mengerti maksud Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “adakah seseorang dapat menghindari dari dirinya sendiri? Dan apakah hubungannya dengan keadaan Ki Gede Pemanahan sekarang ini?”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Namun wajahnya yang pucat menjadi semakin pucat. Katanya perlahan-lahan, “Kiai. Mungkin Kiai berpendapat bahwa sebaiknya aku memberikan arti yang lebih besar bagi hidupku. Jika aku tidak membiarkan diriku hanyut dalam keadaanku sekarang, maka langkah yang akan aku ambil tentu memberikan lebih banyak arti dari pada keadaanku sekarang.”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya.
“Kiai. Aku tidak dapat menghindar dari perasaan yang mencengkam. Dan inilah kelemahanku sekarang ini. Namun kadang-kadang seseorang akan menjadi lebih berarti jika ia tidak memberikan arti apa-apa lagi bagi masa-masa selanjutnya.”
“Ah. Itu mirip dengan sikap putus asa. Memang yang tidak berbuat sesuatu itu lebih bermanfaat dari langkah yang salah. Namun tidak sebaiknya usaha yang dipertimbangkan dengan masak itu terhenti sama sekali.”
“Kiai mungkin benar. Tetapi bagaimana dengan pertanyaanku? Apakah akan memberikan arti yang lebih jika seseorang menghindar dari dirinya sendiri?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tentu tidak.”
“Tetapi, jika jalan itu ditempuh pula?” desak Ki Gede Pemanahan.
Kiai Gringsing masih menggeleng, “Aku kira tidak ada seorang pun yang akan melakukannya dengan tujuan yang pasti.”
“Maksud Kiai, jika itu terjadi adalah semata-mata karena tidak ada lagi pegangan?”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dan Ki Gede Pemanahan mendesaknya pula, “Apakah itu juga berarti bahwa sikap itu mirip dengan sikap putus asa?”
Perlahan-lahan kepala Kiai Gringsing terangguk kecil. Suaranya menjadi datar dan dalam, “Ki Gede benar. Jika ada orang yang menghindar dari dirinya sendiri, maka orang itu sudah berada di ambang pintu keputus-asaan. Setidak-tidaknya orang itu telah kehilangan cita-citanya.”
Ki Juru Martani yang mendengarkan pembicaraan itu kemudian menyela, “Memang seorang dapat kehilangan cita-citanya oleh sesuatu sebab. Tetapi seperti yang Kiai harapkan dari Adi Pemanahan, dapatkah orang yang kehilangan cita-citanya itu dianggap menyia-nyiakan umurnya sendiri karena dengan demikian hidupnya seakan-akan telah terhenti.”
Kiai Gringsing mengangkat kepalanya. Lalu katanya, “Ki Juru. Ada cita-cita kewadagan, dan ada cita-cita yang lebih luhur lagi. Seorang yang mengasingkan diri dan bertapa di atas bukit yang sepi, adalah orang yang tidak lagi mempunyai cita-cita kewadagan. Tetapi ia justru sedang tekun berusaha untuk mewujudkan cita-cita yang lebih luhur lagi.”
“Tetapi itu adalah sikap seorang pendeta,” tiba-tiba Sumangkar pun ikut berbicara, “kita dapat mengerti bahwa itu adalah cara yang benar bagi seorang pendeta. Tetapi tidak bagi seorang kesatria. Pengabdian kita memang berbeda meskipun bukan berarti bahwa kesatria dapat mengabaikan pendekatan rohani bagi masa abadinya. Namun setiap pengabdian adalah jasa dan ujud dari kasih sesama.”
Kiai Gringsing memandang Sumangkar sesaat. Kemudian jawabnya, “Adi Sumangkar. Apakah seseorang dapat menempatkan dirinya dalam pilihan, apakah ia seorang kesatria atau seorang pendeta atau ulama, seseorang tidak akan dapat menyebut dirinya sendiri dan menempatkan kakinya di mana ia harus berdiri pada saat ia lahir. Kelahiran belum menunjukkan jalan hidup yang akan ditempuhnya.”
“Tetapi lingkungannya akan memberikan warna bagi kelahiran itu, Kiai,” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bagiku tidak. Kelahiran tidak melahirkan perbedaan apa pun juga. Kita dapat menyebutnya justru setelah seseorang melakukan sesuatu dengan menempatkan pilihannya.”
Ki Gede Pemanahan yang terbaring di pembaringannya memotong kata-kata Kiai Gringsing, “Tetapi Kiai, yang kadang-kadang menumbuhkan pertanyaan dan kekaburan sikap adalah mereka yang sudah menempuh jalan hidupnya, tetapi tiba-tiba saja ia kehilangan arah dan mencari pegangan-pegangan baru yang goyah.”
Kiai Gringsing memandang Ki Gede yang pucat. Kemudian sambil memijit tangan Ki Gede yang lemah, Kiai Gringsing berkata, “Setiap pribadi mungkin sekali mengalami perkembangan. Mungkin perkembangan yang tumbuh semakin subur, tetapi perkembangan sikap yang surut. Tetapi bahwa perubahan dapat terjadi, kita tidak akan dapat mengingkarinya.”
“Tentu ada sesuatu yang memaksa perubahan itu terjadi. Suatu kejutan atau persoalan-persoalan yang tidak dapat lagi diatasinya atau penyesalan yang tidak ada habisnya.”
Hampir di luar sadarnya Kiai Gringsing menyahut, “Tidak. Tidak selalu, Ki Gede.”
Jawaban yang tiba-tiba itu memang sangat menarik perhatian. Apalagi jawaban itu terlontar dengan serta-merta dari wajah yang menegang.
Namun wajah Kiai Gringsing itu segera menjadi kendor. Sebuah senyum membayang di bibirnya. Katanya, “Aku kira tidak selalu demikian. Memang mungkin, kejutan perasaan dan persoalan yang tidak dapat lagi diatasi dapat mendorong seseorang untuk berpaling dari sikapnya yang semula. Tetapi tidak setiap perubahan ditumbuhkan oleh sebab yang serupa.”
“Tentu tidak, Kiai,” Ki Juru Martani-lah yang menyahut. “Memang ada alasan lain yang membuat seseorang merubah pandangan dan cara hidupnya. Mungkin karena usianya, mungkin karena kesadaran akan arti dan nilai-nilai yang lain dari pandangan hidup yang dianut sebelumnya, atau hal-hal lain lagi.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Ternyata kita telah terlibat dalam pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya. Bukankah kehadiranku di sini sekedar untuk mengobati sakit Ki Gede Pemanahan, sedang Adi Sumangkar masih akan mengucapkan terima kasihnya karena Ki Gede tidak berbuat apa-apa atasnya selagi Ki Gede masih menjadi seorang panglima di Pajang atas kesalahannya?”
Ki Gede Pemanahan memandang Sumangkar sejenak. Katanya, “Ia sudah mengucapkan terima kasih pada saat itu. Pada saat aku masih berada di Pajang. Ia mengucapkan terima kasih pula ketika aku menyerahkan kembali senjatanya yang aneh, yang merupakan kembaran senjata Macan Kepatihan. Karena itu, ia tidak perlu menambah dengan ucapan terima kasih yang lain. Bahkan sekarang akulah yang harus menyampaikan terima kasih kepadanya, karena ia telah ikut serta bersama Sutawijaya menembus ke dalam sarang Panembahan Agung yang tidak terlawan itu.”
Tetapi Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya, “Aku tidak banyak berbuat apa-apa. Dan Panembahan Agung bukannya orang yang tidak terlawan. Jika Ki Gede Pemanahan sempat menjumpainya, maka Ki Gede pun akan dapat menundukkannya.”
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tanpa kalian sulit bagi Sutawijaya untuk dapat keluar lagi dari jebakan yang mereka pasang. Aku sudah mendengar semuanya.”
Ki Sumangkar tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Namun dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan pun berkata seterusnya, “Dan di situlah Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing menunjukkan, bahwa bagaimana pun juga, kalian masih tetap seorang kesatria. Kalian mengabdikan diri kalian bagi kesejahteraan sesama.”
“Ah,” desis Kiai Gringsing, “kita akan terlibat lagi dalam pembicaraan yang tidak berujung pangkal.”
“Bukan maksudku, Kiai. Tetapi bahwa perubahan sikap di dalam setiap pribadi tidak selalu merubah pandangan hidup seseorang. Bagaimana pun juga Kiai Gringsing sampai saat ini masih juga selalu berjuang untuk membasmi kejahatan. Justru sebagai suatu pengabdian yang tulus.”
“Bagiku, yang aku lakukan bukannya suatu perubahan sikap atau cara pengabdian. Sejak masa mudaku, aku telah menempuh jalan yang sama.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Sekilas ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Namun Ki Gede Pemanahan itu menjadi heran. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian Ki Juru Martani.
Karena itulah, Ki Gede Pemanahan pun segera berkata untuk menarik perhatian Kiai Gringsing, “Maksudku, Kiai. Kiai dapat memberikan pengabdian dengan menolong sesama dengan ilmu obat-obatan yang Kiai miliki. Tetapi pada suatu saat Kiai menyelamatkan seseorang dari tangan-tangan yang hitam dengan ilmu olah kanuragan yang mantap.”
“Ah. Sudahlah, Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum. “Tetapi apakah aku sudah dapat mulai dengan suatu usaha untuk berbuat sesuatu atas Ki Gede Pemanahan? Mungkin aku masih memerlukan beberapa jenis tumbuh-tumbuhan. Empon-empon atau akar-akaran. Grandel dari akar, batang, kulit, daun sampai kepada bunga dan buahnya. Aku harus melumatkannya dan mengambil airnya. Barangkali obat itu dapat menyejukkan tubuh Ki Gede untuk sementara.”
Ki Gede tidak menyahut. Sekilas dipandanginya Ki Juru Martani yang menarik nafas dalam-dalam. Namun tampak pada wajahnya, bahwa sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya.
Ketika ia melihat Kiai Gringsing masih saja memijit-mijit tubuh Ki Gede, maka tiba-tiba katanya, “Kiai, jika Kiai memerlukan, biarlah Kiai menyuruh satu dua orang pelayan yang barangkali juga mengerti serba sedikit tentang obat-obatan. Barangkali Kiai tinggal menyebut jenisnya. Biarlah mereka mencarinya.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak boleh keliru, Ki Juru. Karena itu, aku sendiri akan mencarinya meskipun pelayan itu dapat menyertaiku dan menunjukkan kemana aku harus mencari di kebun belakang atau di pinggir sungai.”
Ki Juru Martani mengerti bahwa Kiai Gringsing harus yakin bahwa dedaunan, akar-akaran dan barangkali empon-empon atau jenis yang lain itu tidak boleh keliru. Namun hal itu ada baiknya karena dengan demikian ia akan dapat berbicara dengan Ki Gede Pemanahan tentang sesuatu yang sangat menarik perhatiannya atas Kiai Gringsing yang dibayangi oleh rahasia pribadinya itu.
Karena itu, maka Ki Juru Martani pun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Baiklah, Kiai. Jika memang demikian, biarlah seseorang mengantar Kiai dan menunjukkan di mana Kiai mendapat jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang Kiai perlukan.”
Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudin diantar oleh Ki Juru Martani keluar bilik itu setelah Ki Gede Pemanahan menyebut seseorang yang akan dapat melayani Kiai Gringsing di dalam memilih jenis dedaunan yang diperlukan. Oleh Ki Juru Martani maka disuruhnya seorang pelayan memanggil orang yang diperlukannya dan kemudian menyerahkannya kepada Kiai Gringsing. “Silahkan Kiai. Orang ini juga mengerti serba sedikit tentang jenis-jenis dedaunan dan empon-empon yang dapat dijadikan obat, sehingga barangkali ia akan dapat menunjukkan di mana Kiai harus mencari obat-obatan itu.”
“Baik, Ki Juru. Mudah-mudahan aku dapat menemukannya dan barangkali dapat sedikit menolong,” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ada sesuatu yang akan dikatakannya. Tetapi agaknya Kiai Gringsing ragu-ragu.
Ki Juru Martani adalah seorang yang mempunyai tanggapan yang cukup tajam. Karena itu maka ialah yang kemudian bertanya, “Kiai, apakah ada sesuatu yang akan Kiai katakan tentang Ki Gede Pemanahan yang sedang sakit itu?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Juru. Semuanya memang tergantung kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi baiklah aku mengatakan kepada Ki Juru, bahwa sakit Ki Gede Pemanahan sudah menjadi terlampau parah. Hanya karena Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit yang luar biasa dan mempunyai kelebihan yang jauh melampaui ketahanan jasmaniah orang kebanyakan, maka Ki Gede Pemanahan masih dapat berbicara dengan lancar dan bahkan masih dapat tersenyum dan sedikit bergurau. Tetapi bagi manusia biasa yang lain, jika ia mengalami sakit seperti itu, maka orang itu tentu sudah kehilangan segala kemampuan ketahanan jasmaniahnya. Bahkan mungkin ia sudah kehilangan kesadaran dan harapan sama sekali untuk dapat sembuh.”
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia pun sudah melihat kemungkinan serupa itu. Tetapi keterangan Kiai Gringsing, seseorang yang khusus mempelajari masalah-masalah serupa itu, menambah keyakinannya, bahwa Ki Gede Pemanahan berada di dalam keadaan yang gawat. Dan seperti Kiai Gringsing, Ki Juru pun mengetahui bahwa penyakit yang sebenarnya dari Ki Gede Pemanahan telah datang dari dirinya sendiri.
“Kiai,” berkata Ki Juru, “aku tahu kecemasan Kiai. Tetapi kita memang berwenang untuk berusaha. Adalah goncangan perasaan yang tidak dapat dibayangkan telah melanda hati Ki Gede Pemanahan. Ia adalah seorang prajurit bahkan seorang Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan adalah orang yang paling disegani lawan di peperangan. Namun agaknya kali ini persoalannya tidak dapat dihadapinya dengan pedang. Dengan demikian maka Ki Gede pun telah dicengkam oleh kerisauan, kegusaran, dan berbagai macam perasaan yang lain tanpa dapat disalurkannya keluar dari dirinya.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Demikianlah agaknya sehingga pengobatan yang bersifat wadag harus disertai dengan pengobatan yang lain, yang barangkali Ki Juru Martani jauh lebih mengerti daripadaku.”
“Bukan jauh lebih mengerti, Kiai. Tetapi aku akan berusaha. Mataram sudah mulai nampak besar. Karena itu, maka sebaiknya Ki Gede segera sembuh meskipun sifatnya hanya sekedar penundaan waktu, agar ia dapat melihat Mataram dalam keseluruhan sebelum saat terakhir itu benar-benar merenggutnya dari Tanah garapan yang besar ini.”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru sejenak, lalu, “Kita akan berusaha bersama-sama. Baiklah aku mohon diri, Ki Juru. Mudah-mudahan aku mendapatkan yang aku perlukan.”
Demikianlah Kiai Gringsing kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Kedua muridnya pun tidak ditinggalkannya. Mereka berempat kemudian menuju ke sebuah kebun yang khusus ditanami berbagai jenis pepohonan yang dapat dipergunakan untuk obat-obatan.
Sementara itu, Ki Juru Martani telah kembali pula ke dalam bilik Ki Gede Pemanahan. Sekilas terngiang kata-kata Kiai Gringsing tentang Ki Gede.
“Sebenarnyalah hanya karena ia memiliki kelebihan dari orang kebanyakan sajalah maka ia masih sempat tersenyum,” berkata Ki Juru di dalam hatinya. Namun dengan demikian kecemasan yang sangat telah menggetarkan dadanya. Wajah yang pucat, mata yang redup, dan kadang-kadang tanpa disadari telah terpejam sama sekali meskipun di saat yang lain Ki Gede masih dapat berbicara dengan lancar dan tersenyum cerah.
Ki Juru pun kemudian duduk di bibir pembaringan. Disentuhnya tubuh Ki Gede Pemanahan yang terasa sangat dingin.
“Tubuh ini kadang-kadang terasa sangat panas,” berkata Ki Gede Pemanahan, “tetapi kadang-kadang sangat dingin.”
Ki Juru tidak segera menyahut, sedang Ki Sumangkar duduk sambil termangu-mangu.
“Kakang Juru,” berkata Ki Gede tiba-tiba, “aku melihat ada sesuatu yang sangat menarik perhatian Kakang pada Kiai Gringsing. Apakah Kakang menemukan sesuatu adanya?”
Ki Juru mengerutkan keningnya, lalu, “Adi. Aku memang melihat sesuatu. Selagi ia memijit-mijit tangan Adi Pemanahan. Aku melihat sebuah goresan pada pergelangan tangannya. Goresan yang mengingatkan aku kepada sesuatu yang pernah aku kenal, meskipun mungkin aku tidak dapat mengambil kepastian bahwa yang pernah aku kenal itu adalah yang tergores di tangan dukun tua itu.”
Wajah Ki Gede Pemanahan menjadi tegang sejenak. Demikian pula Sumangkar. Mereka adalah orang-orang tua yang memiliki pengetahuan yang luas dan pengenalan atas berbagai masalah yang pernah terjadi di pusat pimpinan pemerintahan sejak akhir dari pemerintahan Demak.
“Kakang Juru,” bertanya Ki Gede Pemanahan, “apakah yang sudah Kakang lihat pada tangan Kiai Gringsing?”
“Adi,” berkata Ki Juru, “ketika lengan baju Kiai Gringsing tersingsing sedikit, aku melihat guratan di pergelangan tangannya.”
“Guratan apa Ki Juru?” Sumangkar pun menjadi kurang sabar.
“Tidak begitu jelas. Tetapi rasa-rasanya aku pernah mengenalnya.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Di pergelangan tangan itu tergurat sebuah gambar cakra kecil, yang tersangkut pada ujung cambuk.”
“Cakra,” hampir berbareng Ki Sumangkar dan Ki Gede Pemanahan berdesis. Bahkan Ki Gede yang terkejut mengangkat kepalanya. Namun Ki Juru dengan tenang menahannya dan berkata, “Jangan bangkit, Adi. Keadaan Adi Pemanahan tidak memungkinkannya. Sebaiknya Adi berbaring saja di pembaringan.”
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian suaranya yang datar terdengar seolah-olah bergumam di dalam mulutnya saja, “Bukankah sebuah cakra kecil di ujung cambuk itu merupakan ciri dari sebuah perguruan?”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam. Katanya, “Aku adalah orang yang sudah jauh lebih lama bergaul dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. Tetapi, aku belum pernah berkesempatan melihat cakra kecil yang tergores di pergelangannya. Bahkan aku pernah melihat Kiai Gringsing membuka bajunya dan sama sekali tidak berusaha menyembunyikan sesuatu pada dirinya.”
Ki Juru Martani termenung sejenak. Lalu katanya, “Agaknya memang suatu kebetulan. Selama ini Ki Sumangkar tidak menyangka bahwa di pergelangan tangan Kiai Gringsing tergores sebuah guratan kecil itu. Atau mungkin kemampuan Kiai Gringsing dapat menutup, atau setidak-tidaknya menyamarkan guratan itu sehingga tidak begitu jelas. Tetapi karena ia mengenakan bajunya saat ini, maka ia tidak berusaha menyamarkannya. Dan adalah kebetulan sekali bahwa aku sempat melihatnya.”
“Kakang,” berkata Ki Gede Pemanahan, “Jika aku tidak salah ingat, atau barangkali karena aku sudah menjadi semakin lemah ini, ingatanku pun menjadi lemah pula, bahwa ciri yang demikian itu adalah ciri perguruan Empu Windujati.”
Ki Juru Martani tersenyum. Dipandangnya Sumangkar sejenak, lalu ia pun bergumam, “Ingatanmu masih cerah. Menurut ingatanku pun demikian. Nama itu adalah nama yang pernah mengumandang di seluruh daerah Demak pada masa-masa terakhir. Tetapi jika benar, Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan perguruan Empu Windujati, maka kita akan kembali ke dalam suatu teka-teki yang melingkar. Adakah seseorang yang tahu pasti, siapakah Empu Windujati?”
Tetapi Ki Juru Martani bertanya pula, “Pangeran Windupati adalah nama yang kita kenal kemudian. Tetapi Pangeran Windupati pun masih harus dicari.”
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi tabir yang menyelubungi Pangeran Windupati tidak segelap yang kini menyamarkan Kiai Gringsing. Kita sama sekali tidak dapat membayangkan, siapakah sebenarnya orang itu. Baru ketika Ki Juru melihat sebuah guratan yang melukiskan sebuah cakra di ujung sebuah cambuk, maka kita sedikit dapat menghubungkannya dengan orang lain kecuali kedua muridnya.”
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Seperti kepada dirinya sendiri ia bergumam, “Ada gelar lain yang sering dipergunakan Pangeran Windupati. Ketika ia masih menjadi seorang senapati di masa terakhir Kerajaann Majapahit ia bergelar Kebo Kumara.”
“Ya. Dan kekecewaan demi kekecewaan telah mendesaknya ke sebuah padepokan kecil. Kegagalan beberapa orang pemimpin pemerintahan Majapahit, ketamakan dan nafsu pribadi telah membuatnya kehilangan harapan bagi masa datang dari sebuah negeri yang pernah menjadi lambang kesatuan Nusantara yang besar ini,” sahut Ki Gede Pemanahan perlahan-lahan. Lalu, “Tetapi aku kira, jika yang kau lihat benar, Kakang, sebuah cakra di ujung cambuk, maka kemungkinan itu adalah dekat sekali. Tetapi cakra itu harus bergerigi sembilan ditambah satu.”
“Ya sepuluh,” desis Ki Sumangkar, “ada sepuluh wewaler yang tidak boleh dilakukan oleh pengikut Empu Windujati.”
Ketiga orang tua itu termenung sejenak. Mereka mencoba mengingat-ingat, apa saja yang pernah mereka kenal dari Empu Windujati itu.
Tetapi ternyata pengenalan mereka tidak lebih dalam dari yang pernah dikenal oleh Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan yang serupa. Ki Argapati pun pernah melihat lukisan di pergelangan tangan Kiai Gringsing itu. Dan ia pun langsung menghubungkan orang tua itu dengan nama Empu Windujati. Tetapi Kiai Gringsing seakan-akan sama sekali tidak pernah mengenal nama Empu Windujati.
Meskipun demikian, namun Ki Juru Martani kemudian berkata, “Aku akan berusaha untuk mengenal Kiai Gringsing lebih banyak lagi lewat guratan di pergelangan tangannya itu. Satu-satunya ciri yang dapat kita ketemukan itu harus kita manfaatkan sebaik-baiknya.
Ki Gede Pemanahan yang sedang sakit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Sumangkar merenung sambil menundukkan wajahnya. Ia ingin dapat melihat, apa yang telah dilihat oleh Ki Juru Martani. Agaknya, Ki Juru memang mempunyai ketajaman melampaui dirinya. Meskipun ia pernah bergaul lebih lama dengan Kiai Gringsing, tetapi ia tidak pernah berkesempatan untuk melihat guratan di pergelangan tangan itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan kedua muridnya diantar oleh seorang yang sedikit banyak juga mengenal berbagai jenis pepohonan dan dedaunan yang dapat dipergunakan sebagai obat, sedang sibuk mencari di antara berbagai macam jenis tanaman tersebut. Agaknya Kiai Gringsing tidak mendapatkan kesukaran karena jenis tanaman itu cukup banyak. Apa yang disebutnya, orang yang melayaninya dapat menunjukkannya. Hanya kadang-kadang ada sejenis daun yang mereka agak lama memperbincangkannya karena mereka mempunyai istilah yang berbeda untuk menyebutnya. Namun setelah mereka menemukan daunnya, maka mereka pun segera sependapat.
Tetapi di dalam penggunaanya, reramuan dan campurannya, pengetahuan Kiai Gringsing ternyata jauh lebih luas dari orang yang melayaninya. Karena itulah maka orang yang melayani menjadi sangat senang karena dengan demikian ia dapat menambah pengetahuannya.
Apalagi Kiai Gringsing agaknya memang tidak merahasiakan beberapa jenis reramuan. Hanya jika memungkinkan timbulnya bahaya dari reramuan itu, Kiai Gringsing tidak memberitahukannya lebih banyak lagi. Misalnya reramuan yang harus dicampur dengan berbagai macam bisa atau racun. Yang apabila campurannya tidak mapan dalam perbandingan yang benar, akan dapat membuat obat itu justru sangat berbahaya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing pun bekerja dengan tekun dilayani oleh orang yang telah ditunjuk oleh Ki Gede Pemanahan dibantu oleh kedua muridnya. Mereka menyusup di antara berbagai jenis dedaunan yang memang ditanam di tempat tersendiri untuk kepentingan obat-obatan.
Selama itu, Ki Demang Sangkal Putung lebih senang duduk sambil minum dan saling berceritera dengan beberapa orang yang mengawaninya. Mereka berceritera tentang usaha membuat saluran air. Membuat bendungan dan menyusun hubungan antara padesan yang satu dengan yang lain.
“Tetapi pengalamanku tidak lebih dari menyusun tata padesan yang kecil dan sempit,” berkata Ki Demang kepada kawannya berbicara. Beberapa orang yang datang sengaja menemaninya.
“Tetapi pengalaman Ki Demang sangat berguna bagi kami yang baru mulai ini,” berkata salah seorang dari mereka yang menemaninya.
“Ki Sanak baru mulai di Mataram ini. Tetapi sebelumnya Ki Sanak tentu sudah memiliki pengalaman yang luas. Pengalaman mengenai tata kota dan padesan.”
Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku sebelumnya hanya seorang prajurit di medan perang. Sekarang aku harus mempelajari seluk beluk tata kota sehingga hal ini benar-benar merupakan hal yang baru bagiku.”
Ki Demang memandang orang itu sambil tersenyum. Kepalanya kemudian terangguk-angguk sambil berkata, “Bagaimanapun juga, Ki Sanak akan segera menguasai persoalan yang Ki Sanak hadapi.”
Dengan demikian maka pembicaraan mereka itu bergeser dari satu persoalan ke persoalan yang lain. Dan satu kesulitan kepada yang lain yang masih harus diatasi untuk menyusun kota Mataram yang luas dan ramai.
“Mataram harus memenuhi syarat sebagai kota yang memuat segala macam kegiatan. Mataram harus sedikitnya menyamai Pati dan bahkan menyamai Pajang,” berkata orang itu.
Ki Demang mengerutkan keningnya. Sedikit banyak ia juga merasakan nafas persaingan antara Mataram, Pati yang sudah lebih dahulu berkembang dan ramai, dan Pajang sendiri sebagai pusat pemerintahan.
Namun rencana perkembangan kota Mataram memang mempunyai persoalannya tersendiri. Meskipun demikian orang-orang yang bekerja tanpa mengenal lelah itu agaknya akan segera dapat mengatasinya. Daerah yang ternyata masih tergenang air di musim basah, harus mendapatkan cara yang tepat menyalurkan air sehigga daerah itu menjadi kering. Tetapi sebaiknya daerah persawahan yang luas harus mendapat pengairan yang ajeg di musim kering. Dengan demikian maka daerah itu akan dapat ditanami padi sepanjang tahun. Tidak hanya di musim hujan saja.
Tetapi juga penguasaan banjir dan tanggul memerlukan pemikiran. Sungai yang nampaknya tidak begitu besar, bahkan di musim kering airnya tidak lebih tinggi dari mata kaki di musim hujan dapat mendatangkan bencana jika tidak dipersiapkan sebaik-baiknya untuk menguasainya.
Pembicaraan itu pun kemudian terputus ketika kemudian Kiai Gringsing dan kedua muridnya datang menghampiri mereka yang sedang sibuk berbicara tentang tata kota. Kiai Gringsing agaknya sudah mendapat bahan obat-obatan secukupnya, sehingga ia tinggal meramunya dan kemudian membawanya kepada Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana dengan penyakit Ki Gede itu, Kiai?” bertanya Ki Demang.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia hanya menjawab, “Aku akan segera mencoba mengobatinya. Mudah-mudahan, mudah-mudahan saja aku dapat berguna di sini.”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Ia merasakan nada yang kurang meyakinkan pada kata-kata Kiai Gringsing itu. Namun Ki Demang tidak bertanya lebih banyak lagi.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian tidak segera kembali ke dalam bilik Ki Gede, ia masih harus meramu obatnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berpesan agar disampaikan kepada Ki Gede, bahwa ia masih harus menyiapkan obatnya lebih dahulu.
Karena itulah maka yang kemudian dipersilahkan memasuki bilik Ki Gede yang sedang sakit itu adalah Ki Demang dan kedua murid Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak terlalu lama berada di dalam bilik itu, karena Ki Demang pun kemudian menyadari bahwa Ki Gede harus banyak beristirahat.
“Ki Demang,” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “aku sangat berterima kasih atas kunjungan ini. Kita adalah tetangga yang dekat, Sangkal Putung terletak tidak begitu jauh dari Mataram yang sedang berkembang ini. Karena itu pada suatu saat kita tentu akan banyak bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama pula.”
“Ah,” desah Ki Demang, “tentu ada perbedaan. Aku adalah seorang Demang di Sangkal Putung. Aku sudah tidak tahu lagi, berapa keturunan dari leluhurku yang telah menjabat tugas ini. Sejak pemerintahan masih belum berpindah dari Demak. Dan untuk seterusnya Sangkal Putung akan tetap menjadi sebuah kademangan yang kecil seperti sekarang. Agaknya berbeda sekali dengan Mataram. Bukan karena rakyat Sangkal Putung tidak mau bekerja memperluas tanah garapan dengan membuka hutan di sekitarnya, tetapi di Sangkal Putung tidak ada seseorang seperti Ki Gede Pemanahan yang disuyuti oleh rakyat Pajang dan tidak ada anak muda seperti Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, putera angkat Kanjeng Sultan di Pajang. Nama-nama itulah yang memungkinkan Mataram akan menjadi besar dan berkembang terus.”
Ki Gede tersenyum. Dan Ki Demang berkata seterusnya, “Apalagi di sini ada Ki Juru Martani. Meskipun secara resmi Ki Juru bukan seorang pemimpin di pusat pemerintahan Pajang, tetapi pengaruhnya atas Kanjeng Sultan dan bahkan atas para pemimpin di Pajang cukup besar.”
“Kau memuji, Ki Demang. Terima kasih. Tetapi bagaimana pun juga Sangkal Putung adalah daerah yang penting. Baik bagi Pajang sekarang, maupun jika Mataram kelak berkembang,” sahut Ki Juru Martani.
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Yang dapat kami lakukan di Sangkal Putung adalah pasrah diri kepada kemungkinan yang bakal berkembang di hari depan atas Pajang dan Mataram.”
“Kenapa?” Ki Gede Pemanahan tiba-tiba saja bertanya.
Ternyata pertanyaan itu agak membingungkan Ki Demang Sangkal Putung, namun ia pun kemudian menjawab, “Bukankah akan menjadi kenyataan bahwa Mataram berkembang di samping Pajang?”
Ki Juru tertawa kecil. Katanya, “Benar, Ki Gede. Memang kita tidak dapat melepaskan kenyataan itu.”
“Karena itu, bagi daerah sekecil Sangkal Putung tidak akan dapat berbuat banyak, dan apalagi ikut menentukan apa yang bakal terjadi.”
Ki Juru Martani tidak menjawab lagi. Tetapi ia menyadari bahwa hubungan yang dingin antara Mataram dan Pajang tentu sudah terasa di seluruh daerah yang terutama berada di jalur lurus antara Pajang dan Mataram.
Demikianlah Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian minta diri untuk memberikan kesempatan Ki Gede beristirahat. Demikian pula Ki Sumangkar dan Ki Juru pun meninggalkan bilik itu pula.
Sementara Ki Sumangkar dan Ki Demang pergi ke bilik mereka, maka Ki Juru Martani pun pergi mendapatkan Kiai Gringsing yang baru melumatkan beberapa jenis dedaunan di atas sebuah pipisan.
Ketika Ki Juru Martani mendekat, maka sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata, “Apakah Ki Juru juga ingin menjadi seorang dukun seperti aku?”
“Tentu, Kiai. Aku ingin dapat mengobati orang-orang yang sakit meskipun hanya pertolongan untuk sementara.”
“Mungkin jalan kita memang berbeda, Ki Juru. Aku mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan. Sedang Ki Juru mempunyai ketajaman pandangan batin terhadap beberapa hal yang bakal terjadi.”
“Ah. Apakah Kiai menganggap aku dapat melihat sesuatu yang bakal terjadi?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Entahlah, Ki Juru. Tetapi ada kelebihan pada Ki Juru.”
Ki Juru tertawa. Katanya, “Aku hanya orang yang terlampau banyak berbicara. Karena itu mungkin ada di antara bicaraku yang banyak itu agak sesuai dengan peristiwa yang kemudian menyusul. Tetapi itu hanya suatu kebetulan.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Ki Juru mendahului, “Kiai, bukalah lengan baju. Kiai menjadi basah karena Kiai melumatkan obat-obatan di atas pipisan tanpa menyingsingkan lengan baju. Aku tadi melihat Kiai justru membuka gulungan lengan baju Kiai pada saat aku melihat.”
Sekilas warna merah tampak di wajah Kiai Gringsing. Tetapi hanya sesaat. Seperti biasa ia pun segera berhasil menyembunyikan perasaannya.
“Ah, aku tidak sengaja berbuat demikian. Aku tidak tahan menyingsingkan baju terlampau lama. Tubuhku sudah terlampau lemah.”
Ki Juru tertawa. Katanya, “Tubuh Kiai masih mampu bertahan atas tusukan pedang.”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru sejenak. Tetapi ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Agaknya Ki Juru telah mendengar ceritera dari Raden Sutawijaya tentang seseorang yang mempunyai ilmu kebal bernama Panembahan Alit. Orang itulah yang mampu bertahan atas tusukan pedang. Tetapi bukan aku. Oleh tusukan angin pun badanku akan segera merasa dingin dan nyeri di ujung-ujung tulang.”
Ki Juru pun tertawa pula. Di sela-sela suara tertawanya Ki Juru berkata, “Itukah ucapan seseorang yang ternyata mampu membunuh Panembahan Alit.”
Kiai Gringsing pun tertawa pula. Tetapi ia tidak menyahut. Bahkan tangannya telah sibuk dengan reramuan yang sedang dilumatkannya dengan pipisan.
Ki Juru yang mendekatinya kemudian berjongkok di sampingnya. Diperhatikannya reramuan yang menjadi lembut dan kemudian diberi beberapa titik air jeruk pecel.
“Obat itu harus diminum oleh Adi Pemanahan?” bertanya Ki Juru.
“Ya, Ki Juru. Obat ini hanya sekedar menguatkan tubuhnya. Tetapi tidak menyembuhkan sakitnya. Tidak ada obat yang dapat mengobati sakit Ki Gede Pemanahan selain dirinya sendiri.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
“Aku mengatakannya kepada Ki Juru, karena aku yakin bahwa Ki Juru pun sebenarnya telah mengetahuinya. Ki Juru adalah orang yang bijaksana dengan memiliki pengamatan batin yang tajam.”
“Siapakah yang mengatakannya demikian?”
“Setiap orang penting di Pajang mengetahuinya.”
“Apakah Kiai mengenal orang-orang penting itu?”
Kiai Gringsing termenung sejenak, lalu, “Aku tidak mendengarnya langsung. Tetapi para pemimpin prajurit di Mataram pernah mendengar hal itu dari orang-orang penting di Pajang. Juga para prajurit di Sangkal Putung yang kemudian bergeser ke Jati Anom setelah Sangkal Putung tidak diganggu lagi oleh berbagai macam kerusuhan.”
“Untara maksud Kiai?”
“Bukan, tetapi banyak orang yang berkata demikian kepadaku.”
“Dan bagaimana dengan Kiai sendiri?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Kiai,” berkata Ki Juru, “apakah aku boleh bertanya sesuatu kepada Kiai.”
“O, tentu, tentu. Kenapa?”
“Apakah Kiai memang dilahirkan di Dukuh Pakuwon dekat Sendang Gabus itu?”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi tangannya masih saja sibuk melumatkan obat dipipisan.
“Bukankah Kiai berasal dari Dukuh Pakuwon? Menurut ceritera yang sampai padaku lewat Ki Gede Pemanahan, bahwa Kiai menemukan Agung Sedayu ketika ia bersama Untara bersembunyi di rumah Kiai. Dan menurut ceritera itu pula Kiai adalah kawan baik dari Ki Sadewa. Ayah Untara dan Agung Sedayu. Benarkah begitu?”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru Martani sejenak. Lalu sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Ya. Begitulah. Aku kenal Ki Sadewa dari Jati Anom sebelum ia meninggal. Dan Untara telah mengenalku pula pada waktu itu.”
“Kiai, apakah sejak kanak-kanak Kiai berada di Dukuh Pakuwon, atau Kiai merupakan pendatang bagi padukuhan itu.
Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Ditatapnya dedaunan yang bergerak di kejauhan, sehingga tanpa disadarinya maka tangannya pun terhenti pula.
“Ki Juru,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “apakah gunanya Ki Juru mengetahui beberapa hal tentang diriku? Sebenarnyalah Ki Juru, bahwa yang telah terjadi padaku bukannya hal yang baik-baik saja. Tetapi juga yang penuh dengan pedih dan nyeri. Karena itu, sebaiknya aku melupakan saja masa-masa lampau itu. Tetapi jika Ki Juru ingin tahu, secara kasar dapat aku katakan bahwa aku adalah anak kabur kanginan, berkandang langit berselimut mega. Aku merantau dari pintu ke pintu rumah yang lain mohon belas kasihan, sehingga akhirnya aku sampai ke Dukuh Pakuwon. Aku di pungut anak oleh seseorang yang kini sudah tidak ada pada saat aku dewasa. Sejak itulah aku berada di Dukuh Pakuwon.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Ada yang lupa Kiai. Darimanakah Kiai mendapatkan cambuk itu? Maksudku ilmu mempergunakan cambuk yang demikian dahsyatnya?”
“O, sejak kanak-kanak aku adalah gembala yang selalu bermain-main dengan cambuk.”
“Jadi Kiai Gringsing menggembalakan kambing sambil merantau dari pintu ke pintu?”
Sekilas wajah Kiai Gringsing menegang. Namun kemudian ia tertawa, “Demikianlah. Maksudku, hidupku sama sekali tidak berketentuan. Kadang-kadang aku mendapat upah sebagai gembala kambing. Pernah aku tinggal selama tiga tahun pada seseorang selagi aku berumur kira-kira dua belas tahun sampai limabelas tahun, sebelum aku berada di Dukuh Pakuwon. Aku adalah penggembala waktu itu.”
Ki Juru menarik nafas dalam sekali. Terasa betapa Kiai Gringsing ingin menghindarkan diri dari pengamatannya. Karena itu, maka Ki Juru itu pun kemudian bertanya, “Kiai, apakah di dalam pengembaraan itu Kiai pernah bertemu atau melihat perguruan-perguruan yang dapat memberikan bekal yang demikian banyaknya kepada Kiai.”
“Tentu Ki Juru menganggap bahwa ilmuku tentu aku sadap dari seorang guru. Bukankah begitu?”
Ki Juru Martani tidak segera menjawab. Jika ia memaksakan pertanyaan-pertanyaannya maka jawabannya akan menjadi berbelit-belit dan tidak sampai pada sasarannya.
Karena itu, Ki Juru yang bijaksana tidak mendesaknya terus. Tetapi ia sudah memberikan kesan kepada Kiai Gringsing bahwa ada sesuatu yang telah tersingkap dari tabir yang dipasangnya.
“Ah,” desah Ki Juru kemudian, “agaknya aku mengganggu saja, Kiai. Baiklah Kiai menyelesaikan obat itu. Mungkin Ki Gede Pemanahan segera memerlukannya.”
“Ya, Ki Juru. Ki Gede memang segera memerlukan.”
Demikianlah, maka Ki Juru Martani pun kemudian meninggalkan Kiai Gringsing yang segera sibuk kembali. Tetapi Ki Juru telah mempunyai bahan yang lebih banyak lagi. Ia sudah bertekad untuk mengetahui latar belakang kehidupan Kiai Gringsing. Hubungannya dengan sebuah perguruan yang memiliki tanda sebuah cakra yang tersangkut di ujung sebuah cambuk. Tetapi tentu tidak dapat dengan serta-merta.
Sehari itu, maka Kiai Gringsing telah menyiapkan obat yang dapat menambah kekuatan tubuh Ki Gede Pemanahan. Kiai Gringsing dengan berterus terang mengatakan bahwa yang dibuatnya itu belumlah obat yang sebenarnya, karena ia masih harus menemukan sakit Ki Gede yang sebenarnya. Tetapi dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berkata, “Obat yang aku buat itu sekedar untuk menambah daya tahan jasmaniah Ki Gede. Tetapi obat yang paling baik akan datang dari Ki Gede sendiri.”
Ki Gede tersenyum. Tetapi rasa-rasanya senyumnya adalah senyum yang terlampau dalam. Seolah-olah wajah itu diselubungi oleh dinding yang tinggi, yang di dalamnya nampak semakin lama menjadi semakin buram.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing sendiri telah didesak ke dalam persoalannya yang selama ini tidak pernah nampak pada permukaan hatinya, karena ia selalu mencoba menyembunyikannya. Tetapi yang pada akhirnya memang harus dibicarakannya.
Ketika Mataram kemudian disentuh oleh gelapnya malam, maka untuk beberapa saat lamanya, setelah Ki Juru Martani dan Sutawijaya makan bersama tamu-tamunya, berbicara sejenak mengenai beberapa hal tentang perkembangan Mataram, maka Kiai Gringsing dan kawan-kawan serta murid-muridnya pun dipersilahkan beristirahat di tempat yang telah disediakan.
Sejenak Kiai Gringsing masih sempat menengok Ki Gede Pemanahan. Nampak bahwa dalam keadaannnya, Ki Gede Pemanahan tetap tenang dan yang mencemaskan Kiai Gringsing, seakan-akan Ki Gede Pemanahan memang sudah tidak mempunyai gairah.
“Aneh sekali,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Ki Gede Pemanahan adalah seorang Panglima. Seharusnya ia memiliki kemampuan untuk bertahan atas segala keadaan. Baik jasmaniah maupun batiniah. Ia seharusnya tidak segera menjadi putus asa menghadapi persoalan Raden Sutawijaya yang dalam keadaan seperti itu justru harus mendapat perhatian sejauh-jauhnya.”
Namun kemudian, seolah-olah terdengar jawaban di dalam hatinya, “Tetapi Ki Gede bukan saja seorang Panglima perang, ia adalah orang yang memiliki kebijaksanaan dan meskipun tidak sejauh Ki Juru Martani, namun Ki Gede Pemanahan mempunyai ketajaman mata hati. Mungkin ia sudah melihat bahwa ia sudah berjalan sampai ke batas.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia justru menjadi kagum, bahwa jika Ki Gede Pemanahan memang sudah merasa bahwa hari-hari terakhirnya memang sudah tiba, namun ia masih tetap tenang dan tabah. Tanpa kegelisahan sama sekali.
“Seakan-akan Ki Gede Pemanahan telah dekat sekali dengan kesempurnaan lahir dan batin. Perjalanan kembali ke asalnya sama sekali tidak mencemaskan dan menggelisahkannya. Dengan tenang dari tabah ia menunggu saat Yang Menciptakannya memanggilnya kembali.”
Dengan persoalan-persoalan yang menggelepar di dalam hatinya tentang Ki Gede Pemanahan, tentang dirinya sendiri, dan tentang berbagai persoalan yang desak-mendesak di dalamya, Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan baginya dan bagi Ki Sumangkar serta Ki Demang Sangkal Putung.
Sedang kedua murid Kiai Gringsing agaknya lebih senang berada di regol bersama Raden Sutawijaya.
Namun di antara mereka tidak banyak lagi yang dibicarakan. Seakan-akan mereka telah dibebani oleh kelelahan, sehingga mereka pun segera berbaring di tempat masing-masing.
Yang terdengar kemudian adalah desah angin malam yang dingin. Angin yang basah, yang menggetarkan dedaunan di halaman.
Dan menjelang tengah malam, maka Mataram seakan-akan telah menjadi lelap. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru pun telah berada di dalam bilik pula. Yang terdengar kemudian selain sentuhan angin di dedaunan adalah suara cengkerik dan bilalang yang berderik di batang-batang pepohonan. Lamat-lamat suara angkup terdengar ngelangut di kejauhan.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia dibebani oleh rahasia tentang dirinya sendiri, sehingga seakan-akan ia telah didorong ke dalam keadaan yang telah menyudutkannya.
Lewat tengah malam, Kiai Gringsing yang tidak dapat tidur itu tiba-tiba terperanjat. Di antara bunyi malam yang mengiba-iba ia mendengar bunyi yang lain. Bunyi yang mempunyai pertanda khusus bagi dirinya sendiri.
Kiai Gringsing menjadi heran. Bahkan hampir tidak percaya bahwa ia mendengar bunyi itu. Bunyi yang sudah lama sekali tidak pernah didengarnya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat tinggal diam. Bunyi itu sangat menarik perhatiannya sehingga ia tidak dapat berbaring saja di tempatnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing bangkit. Dilihatnya Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung masih tetap tidur nyenyak di tempatnya.
Dengan hati-hati Kiai Gringsing pun kemudian melangkah ke pintu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Jika ia membuka pintu itu dan pintu itu berderik, maka ia akan membangunkan orang-orang yang sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
“Tetapi aku harus keluar,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati, “bunyi itu aneh sekali bagiku. Seharusnya aku tidak mendengarnya lagi.”
Perlahan-lahan Kiai Gringsing terpaksa membuka pintu itu. Ia sudah menyediakan jawaban jika Ki Sumangkar kemudian terbangun dan bertanya.
Gerit yang lembut ternyata memang sudah membangunkan Ki Sumangkar. Ketika ia mengangkat kepalanya, dan melihat Kiai Gringsing di depan pintu, maka ia pun bertanya, “Kemana, Kiai?”
Pertanyaan itu memang sudah diperhitungkannya, sehingga dengan segera ia menjawab, “Ke belakang. Ke pakiwan sebentar.”
Ki Sumangkar tidak menghiraukannya lagi. Dan Kiai Gringsing pun menganggap bahwa meskipun Ki Sumangkar mendengar bunyi seperti yang didengarnya, namun Ki Sumangkar tentu tidak akan menghiraukan dan bahkan sama sekali tidak mengerti apakah di sela-sela bunyi cengkerik, bilalang, dan angkup pohon nangka itu terdengar bunyi yang lain, yang penting artinya bagi Kiai Gringsing.
Ketika Kiai Gringsing sudah berdiri di longkangan di muka gandok, ia termangu-mangu sejenak. Di antara suara-suara malam ia masih mendengar suara yang sudah lama sekali tidak didengarnya itu.
“Apakah Ki Juru Martani?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya. Lalu, “Jika memang Ki Juru mengenal bunyi itu dan mampu menirukan tepat seperti seharusnya, maka aku kira aku memang tidak akan dapat lari lagi.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak menghindarkan diri dari bunyi itu. Telinganya yang tajam segera menangkap dari mana arahnya.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri tegak di tempatnya. Masih terasa sangat sepi dan dingin.
Selangkah demi selangkah ia maju mendekati sumber bunyi itu. Meskipun ia kenal benar akan bunyi itu, namun ia harus berhati-hati, karena sama sekali tidak menduga, bahwa pada suatu saat di Mataram ia akan mendengar bunyi itu lagi.
Tetapi selain Kiai Gringsing harus berhati-hati terhadap sumber bunyi itu, ia pun harus berhati-hati pula, agar tidak ada orang yang dapat melihatnya.
Sekali-sekali Kiai Gringsing berpaling. Dan akhirnya ia pun menjadi yakin bahwa Ki Sumangkar agaknya tidak mengikutinya.
Setelah Kiai Gringsing melewati longkangan, maka ia pun dapat melangkah lebih cepat lagi. Semakin lama semakin dekat dengan sumber bunyi itu.
Tetapi Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ternyata sumber bunyi itu bergerak. Meskipun ia menjadi semakin dekat, tetapi rasa-rasanya sumber itu pun bergerak menjauh.
“Hem,” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “siapakah yang masih ingin bermain-main dalam saat seperti ini.”
Sejenak Kiai Gringsing terhenti. Dipusatkannya ketajaman pendengarannya. Dan ia yakin bahwa sumber bunyi itu agaknya telah bergerak pula.
Kiai Gringsing pun termangu-mangu di tempatnya. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya gelap malam menyelubungi rumah Ki Gede Mataram. Sedang Ki Gede Mataram sendiri pada saat itu sedang terbaring diam di pembaringannya karena luka-lukanya. Tetapi saat itu pula di rumah Ki Gede Mataram terdapat dua orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar, di samping Ki Gede Mataram sendiri.
Ketika suara itu didengarnya lagi, Kiai Gringsing bergeser pula mendekat. Di regol butulan ada beberapa orang penjaga yang bertugas. Karena itu, ia harus menghindari penjaga-penjaga itu jika ia tidak ingin timbul keributan.
Dengan hati-hati Kiai Gringsing melintasi halaman belakang. Dengan mempergunakan kelebihan yang ada padanya, Kiai Gringsing berhasil sampai ke dinding halaman bagian belakang tanpa diketahui orang.
Sejenak Kiai Gringsing menunggu. Akhirnya suara itu terdengar lagi. Agak dekat di balik dinding itu.
“Jika sumber suara itu seseorang,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “orang itu tentu memiliki kelebihan. Ia dapat melihat aku mendekatinya sehingga ia berusaha untuk memancing aku ke tempat yang terpisah.”
Tetapi Kiai Gringsing pun memiliki ketajaman indera pula, sehingga ia mampu menangkap suara yang bergeser itu dengan saksama.
Akhirnya Kiai Gringsing tahu pasti jarak antara dirinya dan suara itu. Dan ia pun yakin, bahwa ia akan dapat mendekatinya. Tetapi karena agaknya sumber suara itu sengaja memancingnya keluar halaman, maka Kiai Gringsing pun menanggapinya.
Sejenak kemudian, sama sekali tidak dilihat oleh seorang penjaga pun, Kiai Gringsing sudah berada di luar dinding halaman. Tanpa disadarinya ia meraba cambuk yang membelit di lambungnya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing maju terus mengikuti suara itu. Bahkan akhirnya ia sendiri merasa bahwa sebaiknya ia berada di tempat yang lebih jauh lagi dari rumah Ki Gede Pemanahan.
Dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar, ketika ia berhasil melihat sesosok bayangan di dalam kegelapan. Karena itu maka ia semakin pasti bahwa ia akan dapat mendekat dan setidak-tidaknya bertanya tentang sesuatu kepada bayangan itu.
Tetapi ketika bayangan itu kemudian berada di sebuah jalan sempit maka bayangan itu pun kemudian berjalan semakin cepat. Karena Kiai Gringsing mengikutinya semakin cepat pula, maka bayangan itu pun akhirnya berlari-lari kecil.
Kiai Gringsing tidak mau melepaskannya. Apalagi ia memang yakin bahwa bayangan itu sengaja ingin menjumpainya.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah berada di jalan persawahan. Kiai Gringsing menjadi semakin jelas melihat bayangan yang berlari ke tengah-tengah bulak itu. Dan karena itulah maka Kiai Gringsing selalu mengikutinya terus.
Namun demikian Kiai Gringsing masih saja selalu dibayangi oleh teka teki tentang orang yang diikutinya itu. Bunyi yang khusus itu seharusnya sudah lama tidak terdengar lagi. Bunyi yang mirip sekali dengan desis seekor ular. Bunyi yang tidak begitu banyak menarik perhatian selain mereka yang memahami benar-benar arti daripada bunyi itu.
Ketika keduanya sudah berlari semakin jauh dari padukuhan dan berada di tengah bulak, maka Kiai Gringsing melihat bayangan itu berhenti. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera berhenti pula pada jarak yang tidak terlampau dekat.
Perlahan-lahan dan dengan penuh kewaspadaan Kiai Gringsing melangkah mendekat. Selangkah demi selangkah. Sedang bayangan itu masih saja tetap berdiri di tempatnya.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing yang berdiri beberapa langkah dari orang itu tidak segera dapat mengenalnya. Ia melihat dalam keremangan malam wajah yang agak asing baginya. Namun ketajaman tatapan matanya yang memiliki kelebihan dari tatapan mata orang kebanyakan itu pun segera mengenal, bahwa ada yang tidak wajar pada wajah itu.
“Siapakah kau sebenarnya?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Kau belum mengenal aku,” jawab orang itu dengan suara yang besar dan berat.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdesis, seperti kepada diri sendiri, “Jika aku belum mengenalmu, aku kira kau tidak perlu menyamar wajahmu dan merubah suaramu yang sebenarnya.”
Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian terdengar ia tertawa sambil berkata, “Pikiranmu aneh. Aku memang menyamar. Tetapi tidak karena kau. Aku sadar bahwa seorang pemimpin yang luar biasa di Mataram ini akan dapat mengenalku. Dan aku kira, orang itulah yang mendekatiku. Ternyata kau orang tua bangka yang tidak tahu malu.”
Kiai Gringsing tertegun sejenak. Lalu katanya, “Kenapa aku tidak tahu malu,”
“Kenapa kau mengikuti aku? Aku memberikan isyarat bagi orang yang penting bagiku. Tidak kepadamu.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian aku minta maaf. Aku tidak sengaja mencampuri persoalanmu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa kau memanggil salah seorang pemimpin Mataram dengan isyarat itu?”
“Itu urusanku,” sahut orang itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ia mencoba mengamati orang itu dengan saksama. Mula-mula ia menyangka bahwa orang itu adalah Ki Juru Martani. Tetapi ternyata menurut bentuk tubuhnya, Kiai Gringsing menganggap bahwa orang itu tentu bukan Ki Juru. Bukan pula Ki Sumangkar dan apalagi Ki Gede Pemanahan yang sedang terbaring itu. Ki Gede Pemanahan adalah orang yang bertubuh tegap, tinggi dan kekar, meskipun tidak berlebih-lebihan.
“Sekarang,” berkata orang itu, “kembalilah ke rumah itu. Jangan ganggu aku lagi. Aku harus mengulangi memberikan isyarat bagi pemimpin yang aku cari itu.”
“Siapakah yang kau cari.”
“Itu juga bukan urusanmu.”
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ia mendengar dengan pasti bahwa isyarat itu adalah isyarat yang mempunyai arti khusus baginya. Sedang orang itu memberikan isyarat untuk orang lain.
“Tentu tidak,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “orang itu tentu mencari aku.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian melangkah maju. Katanya, “Kau jangan berputar-putar. Katakan saja apakah perlumu. Siapakah kau dan apa yang dapat aku lakukan bagimu.”
“Aku tidak memerlukan kau,” bentak orang itu, “bukankah sudah aku katakan. Pergilah dan kembalilah ke gandokmu sebelum kau menyesal.”
“Aku tidak akan kembali. Aku lebih senang berada di sini bersamamu.”
“Gila,” suara orang itu semakin tidak keruan. Kadang-kadang rendah dan dalam. Kadang-kadang melengking tinggi.
Dan Kiai Gringsing pun kemudian menyahut, “Lebih baik kau tidak usah merubah-rubah suaramu. Kau akan menjadi serak. Jika benar aku belum mengenalmu, maka suaramu pun tentu tidak aku kenal pula.”
“Persetan. Pergilah sebelum aku bertindak atasmu.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “aku menjadi curiga padamu. Karena itu, baiklah kita berbicara dengan baik. Kita sudah bukan anak-anak yang harus bergurau lagi. Katakanlah, siapakah kau dan apakah maumu.”
Orang itu terdiam sejenak. Di dalam keremangan malam Kiai Gringsing merasa bahwa orang itu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau sama sekali tidak berarti bagiku. Pergilah. Jangan mencampuri persoalan orang-orang besar di dalam dunia kanuragan. Kau tidak lebih dari tikus kecil yang akan ikut serta di dalam persoalan kucing-kucing yang buas. Karena itu aku peringatkan, lebih baik kau kembali dan tidur di bawah selimut yang hangat daripada kau ada di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dan orang itu meneruskan, “Aku masih mempunyai belas kasihan yang cukup bagi orang-orang yang tidak berarti seperti kau. Tetapi jika orang yang aku perlukan itulah yang datang, maka aku akan menyelesaikannya.”
“Baiklah,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apakah kau mau menyatakan dirimu yang sebenarnya. Kenal atau tidak kenal?”
Orang itu menggeleng. Namun kemudian membentak, “Setan alas. Kau membuat aku menjadi jengkel. Pergi, cepat pergi sebelum kau menjadi lumat di sini.”
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Orang itu cukup aneh baginya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu menjadi keheranan. Ia sendiri adalah orang yang senang bermain-main seperti itu. Menyamar diri dengan topeng, dengan tutup wajah dari ikat kepalanya, dengan cara-cara yang aneh-aneh. Tetapi kini ia dihadapkan kepada orang yang berbuat serupa itu pula.
“He, kenapa kau diam saja,” orang itu hampir berteriak sehingga Kiai Gringsing terkejut.
Bahkan dengan serta-merta Kiai Gringsing berkata, “Jika kau berteriak semakin keras, maka orang-orang yang paling dekat dengan tempat ini akan terbangun.”
“Tidak, kita berada di antara tanah-tanah kosong yang luas. Bukankah Mataram masih mempunyai tanah yang berkelebihan? Orang-orang tidur itu seperti mati. Mereka tidak akan mendengar.”
“Juga mereka tidak akan mendengar jika kau sebut namamu.”
“Gila. Ternyata kau termasuk orang yang keras kepala,” jawab orang itu, lalu. “Baiklah. Jika kau berkeras untuk mengetahui namaku. Dengarlah baik-baik. Namaku Kudabaruna.”
Mendengar nama itu Kiai Gringsing tertawa pendek. Katanya, “Memang akulah yang bodoh. Kau dapat menyebut namamu dengan siapa saja. Kudabaruna, Kebowisesa, Taliprahara atau siapa saja. Tetapi apakah kau punya ciri yang mantap dan dapat dipercaya?”
Orang itu termenung sejenak. Lalu katanya, “Kau memang aneh, Orang Tua yang gila. Marilah kita berjanji untuk tidak bergurau seperti anak kecil.”
“Maksudmu?”
“Aku akan menyebut ciri yang ada padaku. Tetapi sebut dulu siapa kau, Orang Tua yang bodoh. Kau sangka bahwa kau bukan orang yang suka bergurau seperti kanak-kanak. Hanya bedanya aku adalah orang besar, sedang kau adalah orang yang berpura-pura besar. Kau salah menilai dirimu sendiri, Kiai.”
Kiai Gringsing terkejut mendengar pertanyaan itu. Dan sebelum ia menyahut orang itu sudah berkata seterusnya, “Jangan bingung. Aku tahu bahwa nama Kiai Gringsing tidak lebih dari nama yang kau sebut Kudabaruna, Kebowisesa atau Taliprahara atau Ki Tanu Metir atau apa pun lagi.”
Wajah Kiai Gringsing menjadi tegang. Kini ia yakin bahwa orang itu dengan sengaja telah memancing dirinya dan kini sudah pasti baginya, bahwa orang itu ingin memaksa agar ia menyatakan dirinya yang sebenarnya.
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Agaknya kita memang orang-orang yang aneh, yang bergurau di tengah malam tanpa arti. Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Tetapi kau tentu tidak akan percaya. Nah, jika demikian kita akan saling menghadapi jalan buntu dengan pertanyaan kita masing-masing.”
“Mungkin. Tetapi kita tidak dapat berhenti begitu saja.”
“Apa masih ada persoalan?”
“Tentu,” jawab orang itu, “kau telah melihat kehadiranku di sini. Dan kau sudah menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan untuk pergi. Sekarang semuanya sudah terlambat. Apalagi kau tidak mau menyebut dirimu, ciri-cirimu, dan kau dalam keseluruhan. Meskipun kau sekedar tikus kecil, tetapi lebih baik jika menyebut jenismu. Tikus tanah, cecurut atau tikus kayu. Jika kau menyesal, itu adalah salahmu sendiri.”
Kiai Gringsing justru tertawa, seakan-akan ia melihat sebuah permainan yang lucu. Bahkan kemudian ia menyahut, “Kau ternyata mengenal berbagai jenis tikus. Tetapi baiklah. Sebenarnya kita sudah saling mengerti, bahwa baik kau maupun aku sedang diliputi oleh teka-teki tentang diri kita masing-masing. Karena itu, baiklah kita biarkan saja kita saling berteka-teki.”
“O, sudah aku katakan. Kau harus mati. Kau sudah mengenal sebagian dari aku.”
Kiai Gringsing masih tertawa. Namun demikian sekilas terbayang kembali Ki Juru Martani. Orang itu memang orang yang luar biasa. Tetapi menilik beberapa unsur pada orang itu, maka agaknya ia bukan Ki Juru Martani.
“Apakah ada orang lain di sini? Penjawi dari Pati atau barangkali Ki Wila atau Wuragil atau bahkan Ki Pramanca dari Pajang yang mendapat petunjuk dari Ki Juru Martani?”
Selagi Kiai Gringsing termangu-mangu, maka orang itu menggeram, “Jangan menyesal. Aku akan menghilangkah jejak pengenalanmu yang sedikit itu. Bersiaplah untuk mati.”
“Jadi kita akan berkelahi sekarang?” bertanya Kiai Gringsing.
Mendengar pertanyaan Kiai Gringsing itu, orang yang tidak mau menyebut dirinya sendiri itu pun termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Kita akan berkelahi sekarang.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia sebenarnya tidak tahu pasti maksud orang itu. Apakah ia sekedar bergurau, atau ia memang mempunyai kepentingan lain. Bahkan dengan caranya, ia bersungguh-sungguh untuk mencelakainya.
Sekilas terbayang pula wajah Panembahan Agung, Panembahan Alit, Daksina dan orang-orangnya. Katanya di dalam hati, “Apakah orang ini salah seorang dari mereka yang masih tertinggal dan berusaha membalas dendam atas kematian Panembahan Agung atau Panembahan Alit? Jika demikian maka ia pun harus pergi kepada Ki Waskita untuk membuat perhitungan yang sama.”
Tetapi agaknya ada sesuatu yang lain lagi melonjak di dalam hati Kiai Gringsing. Jika orang itu datang dari pihak Panembahan Agung, mungkin ia datang dari Pajang. Seorang Senapati yang pilih tanding yang marah karena kehilangan Daksina di padukuhan terpencil itu.
Namun bagaimanapun juga Kiai Gringsing sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Jika ia harus bertempur, maka ia pun akan bertempur. Jika ia harus mempergunakan senjatanya, apa boleh buat, meskipun mungkin akan mengejutkan banyak orang yang dapat mendengar letupan senjatanya.
Kiai Gringsing pun segera bersiap sepenuhnya. Ia merasa bahwa ia sudah pulih kembali. Bekas luka-lukanya sama sekali tidak lagi mengganggu.
Sejenak mereka saling berhadapan. Namun sejenak kemudian orang yang menyamar wajahnya itu pun melangkah maju. Tubuhnya yang agak miring ke sebelah kanan dan langkahnya yang seperti berat sebelah itu sangat menarik perhatian Kiai Gringsing.
“Nah, kau ternyata telah terjerumus ke dalam bencana karena kesombonganmu,” berkata orang itu. “Seharusnya kau tidak keluar dari gandok itu karena kau mendengar isyaratku. Isyaratku adalah suara dari neraka, dan siapa yang menanggapinya berarti maut.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Ia berdiri tegak menghadap orang itu. Ketika ia melihat orang itu meletakkan berat tubuhnya pada sebelah kakinya, maka Kiai Gringsing yang memiliki ketajaman pandangan melampaui kebanyakan orang itu pun segera mengetahui, bahwa orang itu sudah siap untuk mulai.
Ternyata dugaan Kiai Grinsing benar, ia tidak menunggu terlalu lama. Orang itu pun tiba-tiba meloncat maju, disusul dengan sebuah loncatan yang aneh. Ternyata ia tidak langsung menyerang. Tetapi selangkah ia meloncat ke samping. Baru kemudian serangannya menyambar lambung.
Tetapi yang diserangnya adalah Kiai Gringsing. Orang yang memiliki perbendaharaan pengalaman yang luar biasa itu, sehingga karena itu, maka dengan cepat ia dapat menilai tata gerak lawannya, dengan sigapnya Kiai Gringsing menarik kakinya surut, kemudian berputar setengah lingkaran.
Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Seperti seekor tupai ia meloncat cepat sekali. Kali ini serangannya pun agak aneh. Sambil menghadap penuh ke arah Kiai Gringsing, orang itu meloncat dan menyerang dengan sebelah kakinya.
Kiai Gringsing mencondongkan tubuhnya, tetapi ia curiga terhadap gerakan lawannya itu.
Dan ternyata kemudian bahwa orang itu menggeliat miring dan kini kakinya yang lainlah yang menyambar dengan cepat sekali.
Kiai Gringsing bukan saja mencondongkan tubuhnya. Tetapi ia bagaikan berbaring di tanah. Tetapi dalam pada itu, kaki Kiai Gringsing itu pun dengan cepat menyambar kaki lawannya yang berpijak di tanah.
Serangan balasan Kiai Gringsing yang tidak terduga-duga itu mengejutkan lawannya. Namun sebuah gerakan yang mengagumkan telah melepaskannya dari sentuhan kaki Kiai Gringsing. Ternyata orang itu mampu meloncat dengan sebelah kakinya berjejak di atas tanah, karena kakinya yang lain masih terjulur. Meskipun demikian, loncatannya cukup meyakinkan bahwa ia memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ketika orang itu kemudian berdiri di atas kedua kakinya yang renggang, maka Kiai Gringsing pun telah melenting berdiri pula. Ia merasa bahwa melawan orang yang tidak dikenalnya itu memerlukan kemampuan sepenuhnya, karena ternyata lawannya adalah orang yang masih asing baginya.
“Tetapi aku harus memaksanya melepaskan unsur-unsur geraknya yang sebenarnya,” berkata Kiai Gringsing. “Mungkin aku dapat mengenal serba sedikit, dari manakah orang itu datang.”
Karena itulah maka Kiai Gringsing pun kemudian tidak hanya sekedar mempertahankan dirinya. Ia menganggap bahwa lawannya adalah lawan yang seimbang. Sehingga karena itu, ia wajib bertempur dengan segenap kemampuannya.
Demikianlah maka keduanya pun bertempur. Semakin lama semakin seru. Sedikit demi sedikit, Kiai Gringsing mulai melepaskan ilmunya Dan ternyata bahwa orang itu masih tetap mampu mengimbanginya. Bahkan Kiai Gringsing pun yakin, bahwa orang itu pun belum sampai ke puncak ilmunya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama meningkat semakin sengit. Masing-masing mulai meningkatkan ilmunya, sehingga tata gerak mereka pun menjadi semakin lama semakin sulit dan cepat. Bahkan kadang-kadang mereka berloncatan bagaikan tidak berjejak di atas tanah.
Sekilas Kiai Gringsing sempat mengenang orang-orang berilmu yang terpaksa pernah dilawannya di medan. Dan kini ia masih harus berhadapan lagi dengan orang seperti itu.
Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat sekedar merenungi lawan-lawannya itu. Ia kini benar-benar sedang bertempur. Dan lawannya benar-benar seorang yang pilih tanding.
Beberapa saat lamanya mereka bertempur, maka mulailah keduanya tidak lagi dapat berpura-pura. Dalam keadaan yang sulit, maka kadang-kadang mereka harus melepaskan ilmunya yang sebenarnya. Namun, karena sebagian besar dari tata gerak mereka masih dilapisi oleh penyamaran, maka mereka masing-masing tidak segera dapat melihat, dari manakah sumber ilmu mereka masing-masing.
Agaknya lawan Kiai Gringsing pun masih tetap berusaha untuk tidak dapat dikenal oleh lawannya lewat ilmunya. Itulah sebabnya, kadang-kadang ia melakukan beberapa kesalahan sehingga semakin lama ia menjadi semakin terdesak. Namun demikian, yang menjadi perhatian Kiai Gringsing, bahwa lawannya itu sama sekali tidak berusaha mempergunakan senjatanya.
Sebagai seseorang yang menyimpan perbendaharaan pengalaman yang cukup Kiai Gringsing tidak dapat melepaskan perimbangannya dari sikap lawannya itu. Meskipun demikian, ia masih harus meyakinkannya.
Karena itu, maka akhirnya Kiai Gringsing berusaha untuk memaksa orang itu bersikap. Dengan dahsyatnya Kiai Gringsing menyerang semakin sengit.
Tetapi meskipun orang itu harus bergeser surut, namun ia sama sekali tidak mempergunakan senjata apa pun.
“Aneh,” desis Kiai Gringsing, “atau pada suatu saat ia akan melepaskan senjata rahasia dengan tiba-tiba?”
Oleh pikiran itu, maka Kiai Gringsing harus menjadi semakin berhati-hati. Meskipun demikian, ia pun masih belum mempergunakan senjatanya pula. Apalagi di malam hari. Tidak terlalu jauh dari tempat mereka berkelahi terdapat padukuhan. Jika cambuknya meledak, maka orang-orang di padukuhan itu tentu ada yang akan mendengarnya. Apalagi para peronda di gardu-gardu.
Karena itu, apabila tidak terpaksa sekali, Kiai Gringsing tidak akan mempergunakan senjatanya yang mengejutkan itu.
Meskipun Kiai Gringsing belum mempergunakan senjatanya, tetapi ia berhasil mendesak lawannya. Tetapi Kiai Gringsing sadar bahwa bukan karena lawannya tidak dapat mengimbangi ilmunya, tetapi karena lawan itu pun masih saja berusaha untuk melindungi diri dengan ilmu yang masih disamarkan. Karena itulah maka kemampuannya bertahan bukanlah kemampuannya sepenuhnya.
Namun pada suatu saat, maka orang itu pun telah kehilangan kesempatannya untuk tetap menyembunyikan diri. Karena serangan Kiai Gringsing yang semakin dahsyat, akhirnya satu dua unsur geraknya tidak lagi dapat terhindar dari pengamatan Kiai Gringsing. Namun untuk mengenal bentuk dan watak ilmu dari sebuah perguruan, tidak dapat ditilik dari satu dua unsur gerak. Tetapi dari hasil pengamatan atas sikap dan tata gerak yang tidak dengan sengaja disamarkan.
Namun demikian Kiai Gringsing masih berusaha terus. Dengan tajam ia mendesak lawannya. Setiap kali ia menyerangnya dengan tiba-tiba, sehingga lawannya hampir tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir. Dengan demikian maka semakin banyak pula unsur-unsur gerak yang dapat dikenalnya.
Ketika orang itu sudah menjadi semakin terdesak, maka memang tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali mempertahankan dengan kemampuan yang ada padanya.
Dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah benturan dua macam ilmu yang dahsyat. Ilmu yang jarang ada duanya di muka bumi. Sehingga perkelahian yang berlangsung kemudian hampir tidak dapat diikuti dengan penglihatan mata wadag saja.
Kiai Gringsing yang kemudian menyerang dengan dahsyatnya mencoba untuk mengenal ilmu lawannya yang menjadi mapan. Ia mencoba memperhatikan setiap benturan kekuatan dan setiap unsur-unsur gerak yang menentukan. Tetapi karena ia harus mempertahankan dirinya oleh tekanan yang tidak kalah dahsyatnya pula, maka untuk mengenal ilmu lawannya diperlukannya waktu pula.
Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing itu terkejut. Ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Tetapi ia tidak boleh terlambat. Jika ia terseret oleh arus yang terasa kurang wajar itu barang sekejap, maka yang akan terjadi adalah sangat merugikannya. Itulah sebabnya, maka Kiai Gringsing pun segera mengenakan ilmu penglihatan mata hatinya. Ia tidak saja mempergunakan mata wadagnya, tetapi ketajaman penglihatan yang lain, yang dapat menembus batas penglihatan lahiriah.
Itulah sebabnya, ketika ia melihat lawannya tiba-tiba saja menyerangnya sekaligus dari dua jurusan, ia meloncat surut. Ia masih mendapat kesempatan sekejap untuk menilai keadaan dengan saksama.
Dalam waktu yang sekejap itulah ia mengetahui, di manakah lawannya yang sebenarnya itu berada. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing pun segera bersikap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ia pun menyadari bahwa lawannya tidak akan dapat bertindak lebih cepat dari pengenalannya, karena untuk melepaskan ilmu seperti itu, lawannya pun memerlukan waktu.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri dengan kesiagaan sepenuhnya. Ia menghadapi lawannya yang tiba-tiba saja menjadi dua orang. Tetapi dengan ketajaman pandangan mata hatinya, Kiai Gringsing dapat mengetahui, yang manakah lawannya yang sebenarnya, itulah sebabnya, maka ia berhasil menghadapi lawannya ke arah yang tepat.
Sejenak mereka yang bertempur itu berdiri termangu-mangu. Seakan-akan mereka justru dengan sengaja beristirahat barang sejenak.
Ternyata bahwa sikap Kiai Gringsing membuat lawannya seakan-akan menjadi ragu-ragu. Seakan-akan lawannya itu dihadapkan pada suatu kenyataan yang tidak diduganya. Tetapi sebenarnya bahwa Kiai Gringsing memiliki kemampuan untuk menilai keadaannya dengan tepat.
Namun Kiai Gringsing tidak kehilangan kewaspadaan. Meskipun dengan ilmu yang sedang dihadapinya itu, ia mulai menemukan arah pengenalannya terhadap lawannya.
“Ki Sanak,” tiba-tiba saja lawannya yang masih dalam keadaan siaga sepenuhnya itu berkata, “apakah kau dapat membedakan dua bentuk yang serupa ini?”
Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian katanya, “Kau memang luar biasa. Kau dapat merubah dirimu menjadi dua. Tetapi kau tidak akan dapat melakukan sesuatu, bersama-sama. Satu di antara kau berdua adalah bentuk semu yang hanya dapat menyentuh penglihatan batin yang dipengaruhi oleh ilmumu. Tetapi bentuk itu tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku. Karena itu, dua, tiga atau lebih dari bentuk-bentuk serupa itu tidak akan menggoncangkan perlawananku atasmu.”
Lawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi kau benar-benar memiliki ilmu penglihatan yang dapat mengatasi kebohongan dari bentuk-bentuk semu serupa ini.”
Kiai Gringsing tertawa pendek. Bahkan kemudian ia melihat salah seorang bentuk dari kedua lawannya itu menjadi kabur dan hilang sama sekali.
“Kenapa kau hapus bayangan itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada gunanya,” jawab orang itu, namun kemudian. “Tetapi kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi Panembahan Agung? Jika saat itu tidak ada seseorang yang menyebut dirinya Jaka Raras, apakah yang akan terjadi atasmu dan seluruh pasukan Mataram dan Menoreh?”
“Jasanya cukup besar bagi Mataram dan Menoreh.”
“Dan kau sama sekali tidak berbuat apa-apa, padahal kau mempunyai ilmu penglihatan yang melampaui ketajaman penglihatan aji Sapta Pandulu.”
Kiai Gringsing masih tertawa. Katanya, “Aku sudah mengatakan kepada murid-muridku, bahwa aku mempunyai kemampuan untuk mengenal bentuk-bentuk semu. Untuk melihat yang manakah yang benar dan yang manakah yang sebenarnya hanya bentuk semu. Sebenarnya ilmu itu sekedar perisai yang menghindarkan aku dari pengaruh ilmu semacam ilmumu itu.”
“Apa pun namanya, tetapi kau mampu menyelamatkan dirimu.”
“Ya, tetapi sekedar diriku sendiri.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Meskipun demikian, jika terpaksa sekali aku dapat mempengaruhi orang lain dengan tingkah laku. Jika aku menunjukkan bahwa yang mereka lihat itu sekedar bentuk semu, maka mereka pun akan berbuat sesuatu tanpa menghiraukan bentuk-bentuk yang dilihatnya. Misalnya ular naga yang besarnya justru tidak masuk akal. Jurang yang tiba-tiba saja menganga.”
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing benar-benar orang yang pilih tanding. Semula aku menyangka, bahwa dengan ilmu kebohongan itu aku dapat menundukkan orang yang dikagumi oleh penghuni Alas Mentaok yang sekarang sudah dibuka menjadi sebuah negeri yang ramai.”
“Kau salah. Tidak ada orang yang mengagumi aku di mana pun juga.”
“Kau memang seorang yang aneh. Tetapi aku tahu bahwa seluruh Mataram dan Menoreh mempercakapkan kau. Meskipun ada yang mengira bahwa orang yang disebut bernama Jaka Raras itulah yang telah menolong pasukan Mataram dan Menoreh, tetapi ternyata bahwa secara pribadi, Jaka Raras tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa, “Tentu tidak. Orang yang bernama Jaka Raras itu dapat menyelamatkan pasukan Mataram.”
“Aku tidak dapat mengatakan demikian. Siapakah sebenarnya yang membebaskan pasukan Mataram dari reruntuhan tebing di mulut lembah itu meskipun ada unsur kebetulan pula. Sedangkan tanpa Jaka Raras, Kiai Gringsing mampu mengatasi bentuk-bentuk semu yang betapa pun dahsyatnya.”
“Tetapi aku tidak dapat membuat lawan menjadi bingung dengan bentuk-bentuk semu pula seperti yang telah dilakukan oleh Jaka Raras.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang sebut namamu yang sebenarnya.”
“Tetapi aku masih akan bertanya, Kiai, kenapa saat itu Kiai hampir tidak berbuat apa-apa atas bentuk-bentuk semu itu?”
“Ah, aku sudah berbuat banyak. Aku sudah memberitahukan kepada muridku bahwa mereka harus mengikuti aku. Meskipun sebelum aku memastikannya, aku masih ragu-ragu apakah aku dapat mengatasi bentuk-bentuk serupa itu.”
“Tetapi Kiai mempunyai kemampuan yang melampaui dugaanku. Kiai dapat menangkap keadaan yang Kiai hadapi hanya dalam sekejap saja.
“Baiklah,” Kiai Gringsing pun kemudian melepaskan segala ketegangan, “apakah maksud kedatangan Ki Sanak yang sebenarnya. Aku tahu bahwa Ki Sanak tidak bermaksud jahat. Ki Sanak tentu hanya sekedar ingin bergurau. Tetapi bahwa Ki Sanak memilih tempat ini, aku benar-benar tidak mengerti.”
“Aku akan membunuhmu,” tiba-tiba orang itu membentak, “tetapi agaknya aku tidak akan berhasil. Ternyata selain ilmu kebohongan itu, secara kanuragan aku tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari Kiai. Demikian juga Panembahan Agung.”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ia masih berdiri termangu-mangu. Tetapi ia masih tetap yakin bahwa orang yang memancingnya itu sebenarnya memang tidak bermaksud jahat, meskipun ia harus mengerahkan tenaga untuk mengatasi perkelahian yang telah terjadi beberapa saat itu.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing pun berdesah di dalam hati, “Agaknya orang ini dengan sengaja ingin memancing unsur-unsur gerak untuk dapat dikenalnya.”
Tetapi ternyata bahwa Kiai Gringsing pun telah berhasil mengenal orang itu pula.
Sejenak kemudian, setelah mereka termangu-mangu beberapa saat, maka orang itu pun berkata pula, “Nah, Kiai. Apakah kira-kira aku dapat memenangkan perkelahian ini jika diteruskan?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku sudah lelah. Jika kau mau, biarlah besok saja kita lanjutkan. Mungkin aku dapat minta agar Ki Juru Martani dan Ki Sumangkar menjadi saksi.”
Lawannya termenung sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa. “Kiai. Baiklah. Agaknya aku tidak usah berpura-pura lagi, karena aku yakin bahwa permainanku telah gagal.”
“Tidak. Ki Sanak telah berhasil.”
Orang itu masih tertawa. Kemudian diusapnya wajahnya hingga jambangnya pun terlepas. Demikian juga penyamaran yang lain telah direnggutnya sama sekali.
Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut lagi melihat wajah itu. Bahkan kemudian ia tertawa pula sambil berkata, “Ah sudah pasti, bahwa aku berhadapan dengan Jaka Raras.”
Ki Waskita yang juga bernama Jaka Raras itu menarik nafas dalam-dalam.
“Mula-mula aku benar-benar bingung menghadapi Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi akhirnya aku menyadari, siapakah sebenarnya lawan yang tidak dapat aku kalahkan ini.”
“Tentu bukan begitu, Kiai,” sahut Ki Waskita. “Ternyata bahwa Kiai memiliki kelebihan yang hampir tidak dapat terbayangkan sebelumnya.”
“Ah, tentu tidak. Aku tidak mempunyai ikat pinggang yang mampu melawan anak panah Panembahan Agung.”
“Cambuk Kiai tidak kalah dahsyatnya, Panembahan Alit yang memiliki ilmu kebal dapat Kiai kalahkan. Menurut penilaianku, Panembahan Alit justru lebih berbahaya dari Panembahan Agung bagi Kiai karena secara pribadi Kiai dapat melepaskan diri dari pengaruh ilmu semunya.”
“Ya. Hanya untuk diriku sendiri,” sahut Kiai Gringsing, “seperti yang pernah aku katakan kepada Raden Sutawijaya bahwa aku dapat menguasai indera wadagku dan menghapuskan bayangan semu. Tetapi tidak lebih dari diriku sendiri. Aku tidak dapat mempergunakan ilmuku untuk mempengaruhi orang lain.”
“Dan itu agaknya telah membuat Kiai menjadi sempurna.”
“Adakah orang yang sempurna di muka bumi ini?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Tentu tidak, Kiai,” jawab Ki Waskita, “tetapi Kiai adalah orang yang tidak ada duanya.”
“Seperti juga Ki Waskita. Ki Waskita mempunyai kelebihan tersendiri. Dan itulah ujud kita masing-masing. Kita masing-masing mempunyai kelebihan dari orang lain, tetapi juga kekurangan-kekurangan. Sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang berhak menyebut dirinya orang yang paling mumpuni di dunia ini. Mungkin seseorang memiliki kelebihan yang tidak terjangkau di bidang ilmu kanuragan, tetapi orang lain yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan ilmu kekasaran semacam ini memiliki kelebihan yang tidak dapat kita jangkau pula. Misalnya keluhuran budi dan pengabdian beralaskan kasih yang tulus.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kiai benar. Dan Kiai mempunyai banyak kelebihan daripada aku yang masih terlampau dipengaruhi oleh persoalan lahiriah. Karena itulah maka Kiai tidak tertarik kepada ilmu semu seperti yang pernah aku pelajari dengan tekun, justru karena Kiai terlampau jujur. Sifat kesatria yang ada di dalam diri Kiai agaknya telah menahan untuk tidak berbuat licik seperti yang pernah aku lakukan. Sebagai seorang kesatria, Kiai menghadapi lawan dengan dada tengadah tanpa kebohongan dan kepura-puraan.”
“Ah. Tentu bukan begitu. Dan Ki Waskita pun telah berbuat tidak seperti itu dengan ilmu yang mengerikan itu.”
Ki Waskita tersenyum. Lalu katanya, “Dan ternyata tidak sia-sialah perjalananku sampai ke tempat ini. Ketika aku mencari Kiai ke padukuhan induk di Menoreh, ternyata Kiai telah berada di Mataram, sehingga aku pun kemudian menyusul Kiai kemari.”
“Begitu penting?”
“Penting sekali. Setelah aku sedikit demi sedikit dapat memperkenalkan isteriku dengan sifat-sifat anakku yang telah berkembang itu, maka aku telah minta diri kepada mereka untuk mencari Kiai. Tentu saja aku tidak pernah mengatakan bahwa cara inilah yang telah aku pilih untuk menemukan Kiai. Bukan saja Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir, tetapi aku mulai melihat ciri-ciri dari perguruan yang pernah aku kenal sebelumnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Banyak orang aneh di dunia ini.”
“Kenapa Kiai?”
“Aku tidak mengerti, kenapa begitu banyak orang yang bersusah payah mencari keterangan tentang diriku. Sebenarnya bahwa aku adalah aku ini. Tetapi Ki Argapati di Menoreh, Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan, bahkan Ki Sumangkar yang sudah sekian lamanya hilir-mudik bersamaku, masih juga belum mengenal aku. Dan sekarang datang giliran Ki Waskita.”
Ki Waskita tersenyum. Kemudian terdengar ia tertawa tertahan-tahan. Dalam keremangan malam nampak Ki Waskita, mengusap wajahnya yang berkeringat.
“Itu suatu pertanda bahwa Kiai memang menyimpan rahasia. Jika tidak, maka kita semuanya tidak akan bersusah payah mencari keterangan tentang Kiai,” berkata Ki Waskita kemudian.
“Itulah anehnya,” sahut Kiai Gringsing, “seandainya ada rahasia apa pun padaku, maka apakah aku ini orang yang demikian penting sehingga Ki Waskita dan bahkan Ki Juru Martani merasa perlu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak aku mengerti.”
Kini Ki Waskita tertawa lebih keras. Katanya, “Mungkin kami memang ingin mengetahui apa yang Kiai tidak mengetahui. Tetapi apakah Kiai secara kebetulan saja sampai ke tempat ini?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu ia pun tertawa pula. Katanya, “Ki Waskita tentu akan bertanya, kenapa aku mengenal isyarat yang Ki Waskita perdengarkan. Bukankah begitu? Tentu Ki Waskita akan menghubungkan aku dengan perguruan yang memiliki isyarat khusus itu.”
Keduanya tertawa berkepanjangan. Memang tidak ada sesuatu yang dapat disembunyikan di antara keduanya, seakan-akan keduanya saling dapat melihat isi hati masing-masing.
Meskipun demikian Ki Waskita pun kemudian berkata, “Demikianlah, Kiai. Aku harus heran, bahwa Kiai mengenal pertanda khusus dari perguruan itu.”
“Jadi Ki Waskita murid dari suatu perguruan yang memiliki isyarat khusus itu untuk saling mengenal?”
“Kiai tentu tahu bahwa aku bukan murid dari perguruan itu. Tetapi Kiai tentu akan bertanya, kenapa aku mengenal pertanda itu?”
“Ya. Kenapa Ki Waskita mengenal pertanda itu?”
“Aku mempelajarinya dari seorang sahabat.”
“Jadi, agaknya tidak semua orang yang mengenal pertanda itu adalah murid dari perguruan yang memilikinya. Bukankah begitu? Dan aku pun tidak mengenal perguruan itu sama sekali. Yang membawa aku kemari adalah tanggapan naluriah. Aku mendengar sesuatu yang asing bagiku, sehingga aku menjadi curiga. Itulah sebabnya maka aku pun segera mencarinya. Mungkin isyarat itu datang dari pihak yang tidak senang melihat Mataram berkembang. Ternyata aku keliru. Isyarat itu datang dari Ki Waskita.”
“Kiai,” berkata Ki Waskita, “di Mataram ada orang-orang yang memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri seperti yang Kiai katakan. Ki Gede Pemanahan. Tetapi agaknya Ki Gede baru sakit. Ki Juru Martani yang mempunyai indera yang sangat tajam. Bukan saja indera lahiriahnya, tetapi juga indera batinnya. Ki Sumangkar dan mungkin juga Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi kenapa mereka tidak berpendapat seperti Kiai. Kenapa mereka tidak menganggap bahwa mereka telah mendengar suara yang khusus? Padahal tentu sulit bagi kita, untuk menyangka bahwa Ki Juru Martani yang memiliki ketajaman pendengaran melampaui aji Sapta Pangrungu itu tidak mendengarnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Mereka tentu mendengarnya. Tetapi mereka bukan orang yang hatinya sekecil menir seperti hatiku. Mereka adalah orang-orang linuwih yang tidak perlu mencemaskan apa pun juga, termasuk suara itu. Bahkan seandainya ada bahaya sekali pun mereka tidak perlu gentar. Tetapi aku tidak. Aku selalu dibayangi oleh kecemasan karena aku tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.”
“Ah,” Ki Waskita memotong, “itu adalah ciri Kiai Gringsing selama ini. Merendahkan diri sendiri dan seolah-olah tidak akan pernah dapat menolong diri sendiri. Tetapi Kiai lupa bahwa sifat itu pun dimiliki oleh sahabatku yang memberitahukan isyarat yang aneh dan yang ternyata telah menarik perhatian Kiai.”
“O, Ki Waskita benar. Aku pun mendengar tentang isyarat itu dari seseorang yang demikian,” Kiai Gringsing tertawa. Dan Ki Waskita pun tidak dapat menahan tertawanya pula.
“Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “sudahlah. Jangan membuat aku bingung. Aku tidak mempunyai persoalan apa pun yang aku sembunyikan. Baik terhadap Ki Waskita maupun terhadap Ki Gede Pemanahan.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Waskita, “tetapi aku masih ingin mengatakan, bahwa sahabatku adalah seorang murid dari dua perguruan atas ijin kedua gurunya. Gurunya yang seorang adalah seorang yang memiliki sikap dan watak yang mantap dan bersungguh-sungguh. Tetapi gurunya yang lain adakah seorang yang senang bergurau. Keduanya memiliki ilmu yang berbeda, tetapi luluh menjadi satu pada sahabatku itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi di dalam gelapnya malam, perubahan wajah yang hanya sekejap itu tidak dapat dilihat oleh Ki Waskita. Dan Ki Waskita pun melanjutkan, “Tetapi ternyata sahabatku itu tidak seorang diri, ia mempunyai saudara seperguruan. Saudara tua. Ia tidak berguru kepada dua orang guru. Tetapi ia sendiri ternyata mampu menyusun ilmu yang melampaui kemampuan gurunya sehingga akhirnya ia mendapat kepercayaan sepenuhnya dari gurunya itu.”
“Ah, ceritera yang menarik sekali. Agaknya yang tua itu adalah Ki Waskita sendiri. Yang muda adalah Panembahan Agung.”
“Tidak. Kiai salah.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Waskita beberapa saat lamanya. Lalu tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, “Jika demikian agaknya terbalik, Ki Waskita-lah yang muda, Panembahan Agung adalah yang tua.”
“Kiai sudah mengetahui bahwa yang Kiai katakan itu bukan yang seharusnya,” sahut Ki Waskita. Lalu, “Karena itu Kiai, kenapa kita tidak berbicara dengan hati terbuka? Apakah demikian dalamnya perasaan kecewa menusuk hati Kiai, sehingga sampai saat ini Kiai masih tetap mengesampingkan diri sendiri.”
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Kemudian sambil tertawa kecil ia berkata, “Ki Waskita seolah-olah tahu pasti sesuatu tentang diriku. Tetapi sebenarnyalah aku menjadi bingung. Jika Ki Waskita mengetahui seseorang yang dikecewakan oleh keadaan, apakah tidak sebaiknya Ki Waskita langsung menyebut namanya. Barangkali aku dapat mengatakan serba sedikit tentang orang itu, sehingga Ki Waskita tidak selalu salah sangka.”
Ki Waskita menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Mungkin, memang belum datang waktunya. Tetapi pengenalanku atas Kiai dengan bunyi isyarat itu menjadi semakin dekat.”
“Lupakan, Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “sekarang marilah kita datang kepada Ki Juru Martani dan Ki Gede Pemanahan. Aku tidak dapat mengatakan apakah yang akan terjadi atas Ki Gede Pemanahan. Tetapi sakitnya rasa-rasanya menjadi semakin parah. Tentu ia akan senang sekali bertemu dengan Ki Waskita karena ia mengetahui apa yang telah terjadi dalam perjuangan melawan Panembahan Agung.”
“Ah, bukan maksudku untuk menampakkan diri dengan penuh kebanggaan atas hasil kerja yang tidak seberapa itu.”
“Tentu bukan. Tetapi apakah Ki Waskita tidak ingin sekedar memperkenalkan diri dengan ayahanda Raden Sutawijaya?”
Ki Waskita termangu-mangu sejenak.
“Tentu tidak ada salahnya, Ki Waskita.”
Ki Waskita masih merenung. Namun kemudian ia berharap bahwa jika ia dapat bertemu dengan Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Martani, maka ia akan dapat berbicara serba sedikit dengan keduanya. Juga dengan Ki Sumangkar. Kiai Gringsing sendiri mengatakan bahwa mereka pun seolah-olah selalu dibayangi oleh teka-teki tentang Kiai Gringsing.
Karena itu, maka Ki Waskita pun kemudian berkata, “Baiklah, Kiai. Aku akan singgah sebentar.”
“Tentu bukan sebentar dalam arti yang sebenarnya. Mungkin sehari atau dua hari.”
Ki Waskita tertawa. Katanya, “Ya. Sehari atau dua hari.”
“Jika demikian, marilah kita masuk kembali ke dalam regol halaman.”
“Apakah Kiai juga keluar lewat regol?”
Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya seperti kepada diri sendiri, “Aku meloncati dinding. Tetapi tidak ada salahnya kita masuk lewat regol.”
“Kita dapat meloncat lagi,” berkata Ki Waskita.
“Kehadiran Ki Waskita besok akan menumbuhkan pertanyaan, karena tidak seorang pun yang melihat Ki Waskita masuk.”
“Sebaliknya, para penjaga juga akan heran melihat Kiai sudah ada di luar regol, sedang tidak seorang pun yang melihat Kiai keluar.”
“Aku keluar lewat regol yang lain dari regol yang aku lalui ketika aku keluar.”
Ki Waskita tertawa pendek. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Terserahlah kepada Kiai. Aku hanya akan mengikut saja.”
Demikianlah maka keduanya pun kemudian berjalan ke rumah Ki Gede Pemanahan. Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, para penjaga regol menjadi heran melihat Kiai Gringsing sudah berada di luar regol.
Sambil tertawa Kiai Gringsing berkata, “Aku tadi keluar lewat regol butulan.”
“Dan siapakah kawan Kiai itu?” bertanya seorang penjaga.
“Ki Waskita. Seorang sahabat yang baik.”
Penjaga regol itu mengangguk-angguk. Dipersilahkannya keduanya masuk. Meskipun para penjaga itu dibebani oleh perasaan heran, bahwa keduanya datang di malam hari, tetapi mereka pun tahu bahwa Kiai Gringsing adalah tamu Ki Gede Pemanahan. Bahkan hampir setiap pengawal sudah mendengar bahwa Kiai Gringsing telah banyak berbuat bagi kepentingan Mataram. Karena itu para pengawal itu pun tidak sepantasnya mencurigainya.
Kedatangan Ki Waskita digandok telah menumbuhkan berbagai macam tanggapan. Dengan heran Ki Sumangkar dan Ki Demang yang kemudian terbangun melihat bahwa Ki Waskita telah ada di Mataram.
Agung Sedayu dan Swandaru yang kemudian terbangun, pula saling berpandangan dan perlahan-lahan Swandaru berbisik, “Kapan orang itu datang?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Kita hampir bersamaan bangun.”
“Besok Ki Gede tentu akan heran melihat kehadiranku,” berkata Ki Waskita.
“Aku akan menjelaskan persoalannya,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan mengerti pula bahasa isyarat itu.”
Ki Sumangkar yang mendengarkan pembicaraan itu pun bertanya, “Bahasa isyarat yang mana?”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Bahasa isyarat Ki Waskita.”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat bersama mereka di gandok itu. Sambil tertawa Kiai Gringsing berkata, “Meskipun bukan aku pemilik rumah ini, tetapi biarlah aku mempersilahkan Ki Waskita.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Apakah Ki Waskita akan mandi dahulu?”
Ki Waskita pun tertawa. Jawabnya, “Tidak ada artinya. Aku tidak membawa ganti pakaian sama sekali. Seperti kebiasaan para perantau. Jika aku mandi sekarang, akhirnya aku akan memakai pakaian kotor pula.”
“Dan Ki Waskita dapat tidur tanpa membersihkan diri?” bertanya Ki Demang.
Ki Waskita memandang Ki Demang sejenak. Memang agak berbeda sedikit tata cara hidup Ki Demang yang serba teratur di rumahnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Waskita sendiri di rumahnya. Tetapi Ki Waskita pernah menjadi seorang perantau yang dapat tidur di sembarang tempat. Demikian ia berhenti berjalan, maka ia pun segera merebahkan diri di atas rerumputan kering di pinggir jalan.
Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab, “Sebentar lagi fajar akan menyingsing Ki Demang. Mungkin aku sudah tidak sempat tidur.”
“Tentu masih sempat,” berkata Ki Sumangkar, “aku pun akan tidur lebih dahulu sebelum aku tahu, kenapa tiba-tiba saja Ki Waskita sudah ada di sini.”
Ki Waskita tersenyum sambil menjawab, “Kiai Gringsing yang akan memberikan penjelasan tentang segala-galanya.”
“Nah, jika demikian, silahkan tidur. Aku akan memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini,” berkata Sumangkar.
Ketika mereka melihat Sumangkar kemudian melingkar lagi dipembaringan, maka mereka pun tertawa. Ki Waskita kemudian bergumam, “Ki Sumangkar memang memiliki kekhususan. Di medan perang Ki Sumangkar berjaga selama tiga hari tiga malam bahkan lebih tanpa memejamkan mata barang sekejap pun, tetapi di gandok ini Ki Sumangkar merupakan seorang tua yang menjadi sangat manja.”
Ki Sumangkar masih dapat tertawa sambil menjawab, “Di peperangan aku mempergunakan aji mata ikan. Di sini aji mata ayam.”
Agung Sedayu dan Swandaru yang tidak ikut dalam pembicaraan itu pun ikut tertawa. Bahkan Swandaru pun kemudian berbaring sambil berdesis, “Aku sependapat, aku masih kantuk sekali.”
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah kembali berbaring di tempat masing-masing. Ki Waskita pun kemudian ikut berbaring pula di amben yang besar. Dengan pakaian kotor dan kaki kotor yang dijulurkan terayun di bibir pembaringan.
Tetapi mereka tidak dapat tidur terlampau lama, karena sejenak kemudian mereka telah mendengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya di malam itu.
Swandaru yang kemudian menggeliat sambil duduk di pembaringan bergumam, “Rasa-rasanya aku belum tidur sama sekali. Hari sudah pagi.”
Agung Sedayu yang sudah terbangun pula, tetapi masih tetap berbaring menyahut, “Kita harus bangun lebih dahulu dari Raden Sutawijaya. Kita tamu di sini.”
“Apakah kita juga akan mengisi jambangan di pakiwan seperti di Menoreh?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Seharusnya. Tetapi aku sudah mendengar senggot timba berderu. Tentu di sini ada beberapa orang pelayan. Meskipun Mataram belum menemukan bentuknya yang pasti, tetapi rasa-rasanya kita berada di sebuah kadipaten. Apalagi Raden Sutawijaya adalah putera angkat terkasih dari Kanjeng Sultan di Pajang.”
Swandaru mengangguk-angguk. Lalu, “Jadi kita harus berbuat apa?”
“Kita keluar dari gandok. Jika Raden Sutawijaya keluar ke pendapa kita Sudah ada di pendapa.”
“Di mana Raden Sutawijaya sekarang? Apakah ia tidur di dalam, atau di ujung gandok ini atau bahkan di serambi itu?”
Agung Sedayu tidak menyahut. Ia pun kemudian bangkit dan sambil mengusap matanya ia pergi ke pintu.
Tetapi ketika pintu itu terbuka, Agung Sedayu terkejut. Ia melihat Raden Sutawijaya duduk di amben di serambi gandok itu seorang diri.
Sambil membenahi pakaiannya, Agung Sedayu mendekatinya. Kemudian beberapa langkah di sebelah amben itu ia berhenti sambil bertanya, “Sepagi ini Raden sudah berada di sini?”
Raden Sutawijaya memandang Agung Sedayu sejenak. Lalu, “Ketika kau meninggalkan regol masuk ke dalam gandok, aku kembali berada di regol.”
“Jadi Raden tidak tidur sama sekali?”
Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Aku menunggui Ayahanda beberapa saat. Itulah yang akan aku katakan kepada Kiai Gringsing.”
“Kenapa dengan ayahanda Raden?”
“Tidak apa-apa. Ayah masih selalu tersenyum. Tetapi pernafasannya nampaknya agak lain.”
“Kenapa Raden tidak memanggil Kiai.”
“Aku tidak ingin mengganggu.”
“Guru juga hampir tidak tidur semalam. Barangkali sekarang Guru sudah siap pula untuk menghadap jika Raden memerlukan.”
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Tetapi dalam pada itu Kiai Gringsing sudah berada di pintu. Katanya, “Aku memang akan segera menghadap Raden. Maksudku jika sudah terang. Tetapi jika perlu, aku dapat menghadap sekarang.”
Raden Sutawijaya memandang Kiai Gringsing sejenak. Nampak wajahnya menjadi sangat murung. Matanya seakan-akan tidak lagi bercahaya seperti biasanya.
“Marilah, Raden. Tetapi biarlah aku berkemas sejenak. Dan biarlah aku membawa tamu yang tentu akan menarik sekali bagi Ki Gede Pemanahan,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Siapa?”
“Silahkan Raden menunggu sejenak. Aku akan membawa tamu itu ke pakiwan sebentar, membersihkan diri dan kemudian menghadap.”
Sejenak Kiai Gringsing menghilang di balik pintu. Namun sejenak kemudian ia pun muncul lagi bersama seseorang yang disebutnya.
“Ki Waskita,” Raden Sutawijaya terlonjak.
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Selamat pagi, Raden. Barangkali aku mengejutkan.”
“Menyenangkan sekali. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Kedatangan Ki Waskita akan menggembirakan hati ayahanda. Setiap kali ayahanda mengatakan bahwa ayahanda ingin bertemu dengan orang-orang yang sudah banyak berjasa bagi Mataram. Termasuk Ki Waskita.”
“Ah, apakah jasaku yang berarti?”
“Tanpa Ki Waskita, Panembahan Agung merupakan hantu bagi Mataram.”
“Tidak. Jika Kiai Gringsing masih ada, maka Panembahan Agung bukan orang yang berbahaya. Jika Kiai Gringsing berhasil bertemu seorang dengan seorang, maka semuanya akan dapat diselesaikan.”
“Ah,” sahut Kiai Gringsing, “jangan berlebih-lebihan. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Ki Waskita telah melakukannya. Sekarang, marilah kita membersihkan diri sejenak. Kemudian kita akan menghadap.”
Demikianlah, mereka yang ada di gandok itu pun segera membersihkan diri dan sesuci. Setelah semua kuwajiban lahir dan batin mereka tunaikan dengan baik, maka mereka pun kemudian pergi menghadap Ki Gede Pemanahan di pembaringannya, meskipun matahari masih belum terbit sehingga pagi masih disaput oleh kegelapan dan rerumputan masih dibasahi oleh embun.
Kehadiran mereka di bilik Ki Gede Pemanahan benar-benar telah menarik perhatian. Agar bilik itu tidak menjadi penuh sesak, maka Agung Sedayu dan Swandaru harus menunggu di luar.
Ki Juru Martani yang sudah ada lebih dahulu di bilik itu pun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya mendekat. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung dan masih ada seorang lagi.
Karena baik Ki Juru Martani, maupun tatapan mata sayu Ki Gede Pemanahan agaknya melontarkan pertanyaan tentang tamunya yang seorang itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Gede, maafkan bahwa aku telah membawa seorang tamu lagi yang datang malam tadi.”
“O,” Ki Gede mengangguk lemah, “siapakah tamu Kiai itu?”
“Orang inilah yang menyebut dirinya Ki Waskita dan yang juga bernama Jaka Raras. Ialah orang yang telah ikut bersama Raden Sutawijaya menyerang padukuhan terpencil yang ternyata dihuni oleh orang yang menyebut dirinya bernama Panembahan Agung.”
“O,” hampir bersamaan Ki Gede Pemanahan dan Ki Juru Martani berdesis.
“Jadi, Ki Sanak-lah yang telah menyelamatkan pengawal dari Mataram itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan kemudian.
“Ah, bukan begitu, Ki Gede. Aku hanya sekedar membantu, bahkan karena kehadiran Raden Sutawijaya yang membawa pasukan dari Mataram dan para pengawal dari Menoreh, maka anakku telah diselamatkan.”
“O,” Ki Gede mengangguk.
“Sebenarnyalah bahwa kepergianku ke padukuhan terpencil itu bukan karena aku seorang yang memiliki rasa pengabdian yang tinggi. Tetapi, juga didorong oleh pamrih pribadi, bahwa anakku ternyata telah hilang dan disembunyikan di dalam sarang Panembahan Agung. Ki Sumangkar-lah orang yang sebenarnya telah menyelamatkan anakku.”
“Tetapi bagaimana pun juga kehadiran Ki Waskita sangat berarti bagi perjuangan para pengawal dari Mataram,” berkata Ki Juru Martani.
“Sebaliknya, tanpa para pengawal dari Mataram dan Menoreh, aku tentu sudah kehilangan satu-satunya anakku. Dengan demikian maka hidupku akan tidak berarti lagi. Isteriku pun akan menjadi sangat sedih. Jika demikian, maka apabila dendam telah menyala di dalam hatiku yang lemah, aku tidak tahu apakah aku dapat bertahan lagi untuk tetap hidup menyelusuri jalan Tuhan. Jika iblis berkuasa di dalam hati, maka aku tentu akan menjadi manusia yang lebih jahat lagi dari Panembahan Agung, karena sebenarnyalah bahwa perjalanan hidupku bukanlah perjalanan hidup yang lurus.”
“Tetapi agaknya Tuhan masih memelihara kita semua untuk tetap berada dijalan-Nya,” sahut Ki Juru Martani. “Itulah agaknya maka kita masih harus selalu mengucapkan terima kasih atas kebesaran-Nya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
“Sekarang,” berkata Ki Gede Pemanahan, “adalah kesempatan yang baik sekali bagiku untuk mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Semuanya yang telah memungkinkan Mataram dapat berdiri tegak sampai saat ini. Mudah-mudahan semuanya untuk selanjutnya akan tetap bersedia membantu Sutawijaya untuk mengembangkan Mataram.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenungi wajah Ki Gede Pemanahan. Wajah yang pucat meskipun masih selalu tersenyum.
Dalam pada itu Kiai Gringsing sempat memperhatikan wajah Ki Waskita yang diusap oleh cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan. Di luar cahaya pagi mulai meraba dinding. Namun sisa-sisa keburaman malam masih bertebaran di halaman.
Kiai Gringsing menahan nafasnya ketika dilihatnya wajah Ki Waskita menegang sejenak. Namun agaknya Ki Waskita itu pun segera berusaha rnenghilangkan kesan itu dari wajahnya.
Tetapi yang sekejap itu telah tertangkap oleh Kiai Gringsing. Ia sudah mencemaskan keadaan Ki Gede Pemanahan menurut penilikan ilmu pengobatannya. Sedang agaknya Ki Waskita pun melihat isyarat yang hitam pada kesehatan Ki Gede Pemanahan. Namun demikian Kiai Gringsing masih tetap berdiam diri dan seakan-akan tidak melihat apa pun juga di dalam bilik itu.
Bahkan Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Gede. Sebenarnya kedatangan kami sepagi ini adalah karena kami mendengar bahwa Ki Gede memerlukan sesuatu untuk membantu pernafasan Ki Gede yang agak berat.”
“O,” Ki Gede masih juga tersenyum, “aku tidak apa-apa. Siapakah yang mengatakan?”
“Aku, Ayahanda,” sahut Raden Sutawijaya, “aku melihat pernafasan Ayahanda yang agak lain.”
Ki Gede memandang anaknya sejenak. Lalu katanya, “Kau terlalu mencemaskan keadaanku Sutawijaya. Aku tidak apa-apa.”
Sutawijaya tidak menjawab.
“Dimanakah kedua murid Kiai Gringsing?” berkata Ki Gede.
“Di luar, Ayahanda.”
“Kenapa mereka tidak kau bawa masuk?”
“Ruangan ini terlampau sempit.”
Ki Gede masih saja tersenyum. Katanya, “Jika demikian, kawanilah mereka di luar.”
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun segera beringsut. Katanya, “Baiklah, Ayah. Aku akan berada di luar.”
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan bilik ayahandanya. Di pintu ia masih terhenti sejenak. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya. Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang memberatinya. Tetapi Sutawijaya tidak dapat menolak perintah ayahandanya.
Di luar, Agung Sedayu dan Swandaru duduk termenung di sebuah amben kayu yang diberi alas sebuah tikar pandan yang tebal. Ketika mereka melihat Raden Sutawijaya menghampirinya, maka hampir berbareng keduanya bertanya, “Bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
Raden Sutawijaya duduk di sebelah mereka sambil menjawab, “Nampaknya menjadi semakin baik. Aku tidak dapat membedakan keadaan ayah yang sebenarnya. Apakah keadaannya bertambah baik atau sebaliknya.”
Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak.
“Ayahanda masih selalu tersenyum.”
“Mudah-mudahan keadaannya berangsur baik. Apakah kata Guru ketika ia masuk ke dalam bilik Ki Gede Pemanahan,” bertanya Agung Sedayu.
“Kiai Gringsing tidak mengatakan apa-apa. Kiai Gringsing hanya memperkenalkan ayahanda dengan Ki Waskita. Ia sama sekali tidak menyentuh ayahanda, apalagi memberikan obat apa pun kepadanya.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu mengerutkan keningnya. Tetapi mereka pun mengerti, bahwa Ki Gede Pemanahan harus minum obat pada waktu-waktu tertentu.
“Tetapi kenapa Raden justru keluar dari bilik itu?”
“Ayahanda memerintahkan aku keluar. Mungkin bilik itu terasa terlampau panas, karena ada beberapa orang di dalamnya.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak bertanya lebih banyak lagi. Karena itu maka untuk beberapa saat lamanya mereka hanya duduk diam sambil menerawang ke dunia angan-angan masing-masing.
Dalam pada itu, Kiai Grinsing yang ada di dalam bilik menjadi cemas melihat perkembangan kesehatan Ki Gede Pemanahan. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan meraba tangannya yang dingin.
Namun bukan saja Kiai Gringsing yang menjadi sangat cemas. Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita yang sepintas melihat isyarat tentang Ki Gede Pemanahan, nampak bahwa kesehatannya menjadi akan sangat mundur. Bahkan akhirnya nampak di dalam isyarat itu, bahwa saat untuk kembali ke dunia yang baka menjadi semakin dekat bagi Ki Gede Pemanahan.
“Apakah memang demikian?” Ki Waskita bertanya kepada diri sendiri.
Namun menilik keadaan tubuhnya yang lemah, wajahnya yang pucat dan pernafasannya yang sendat, maka isyarat itu agaknya mendekati kebenarannya.
Karena itulah maka Ki Waskita pun menjadi sangat cemas seperti Kiai Gringsing yang melihat keadaan Ki Gede dari segi yang lain, namun dengan kesimpulan yang sama.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani yang memiliki ketajaman penglihatan batin pun seakan-akan telah melihat, bukan saja isyarat, tetapi jelas nampak padanya, bahwa Ki Gede Pemanahan memang sudah sampai saatnya untuk kembali menghadap kepada Tuhannya. Bukan sekedar karena perasaan kecewa bahwa anaknya telah meloncati pagar ayu, bukan pula karena penyesalan, tetapi justru demikianlah yang seharusnya terjadi.
Demikianlah maka suasana di dalam bilik itu menjadi hening sepi. Meskipun Ki Demang di Sangkal Putung secara pribadi tidak dapat mengetahui keadaan Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya, tetapi karena umurnya yang sudah cukup dibekali oleh berbagai macam pengalaman, maka ia pun dapat merasakan suasana yang agak lain di dalam bilik itu. Meskipun Ki Demang masih juga melihat Ki Gede Pemanahan tersenyum, tetapi senyumnya rasa-rasanya adalah senyum yang lain.
“Kiai,” tiba-tiba terdengar Ki Gede Pemanahan berdesis, “apakah menurut penglihatan Kiai, kesehatanku sangat mundur, dan tidak dapat diharapkan untuk sembuh lagi?”
“Ah, tentu tidak demikian, Ki Gede,” jawab Kiai Gringsing.
“Berkatalah sebenarnya, Kiai. Kiai tidak berhadapan dengan anak-anak yang menangis jika ditunjukkan kelemahan sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Setapak ia bergeser maju sambil berkata, “Ki Gede. Kita masih harus berusaha. Kita masih dapat memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan kesembuhan. Tuhan Maha Pengasih. Betapa pun juga keadaan kita menurut pengamatan manusiawi, tetapi bahwa kuasa-Nya memang tiada taranya.”
Ki Gede tersenyum. Katanya, “Kiai benar. Kita tidak akan dapat menebak secara pasti, apakah yang dikehendaki dan akan berlaku oleh kuasa-Nya. Tetapi secara manusiawi kita dapat memberikan pertimbangan.”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun kediamannya itu telah memberikan jawaban yang sebenarnya, sehingga Ki Gede Pemanahan berkata sambil tersenyum, “Baiklah, Kiai. Aku mengerti bahwa sudah barang tentu Kiai tidak akan dapat mengatakan berterus terang kepadaku. Tetapi aku sudah menangkap apa yang tersirat di hati Kiai.”
“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “tidak seorang pun dapat melihat rahasia yang tersembunyi di balik kuasa dan kasih-Nya.”
“Ya, Kiai. Aku mengerti.” Ki Gede termenung sejenak. Lalu tiba-tiba katanya kemudian, “Tetapi kuasa dan kasih-Nya pulalah agaknya yang telah mendekatkan aku kepada-Nya. Agaknya aku telah diperkenankan menghadap dengan sepenuh kesadaran. Aku masih mendapat kesempatan untuk memohon ampun kepada-Nya atas segala kesalahanku. Itu merupakan suatu kebahagiaan yang tiada taranya, karena aku akan memasuki kehidupan yang abadi. Di perbatasan itulah jalan hidup abadiku akan ditentukan. Dan bukankah kesempatan yang terakhir untuk memohon agar aku diperkenankan memilih pintu di perbatasan itu adalah suatu kebahagiaan?”
Kiai Gringsing tidak dapat merjawab. Kepalanya tertunduk lesu.
“Kakang Juru,” berkata Ki Gede kemudian, “Kakang adalah orang yang mumpuni. Satu-satunya orang yang aku percaya untuk mengasuh Danang Sutawijaya selanjutnya.”
Ki Juru memandang Ki Gede Pemanahan dengan wajah sayu. Lalu katanya, “Kita masih dapat memohon, Adi.”
Tiba-tiba saja Ki Gede menjawab sambil tersenyum, “Bertanyalah kepada Ki Waskita. Menurut pendengaranku, Ki Waskita dapat melihat apa yang terjadi.”
“Tidak. Tidak, Ki Gede. Bukan dapat melihat apa yang terjadi. Sekedar melihat isyarat yang kabur.”
“Nah, apakah kata isyarat itu.”
“Tentang apa Ki Gede?”
“Tentang diriku.”
“O,” keringat dingin mengembun di punggung Ki Waskita. Adalah sulit sekali baginya untuk mengatakan, apa yang melintas di dalam penglihatan batinnya. Isyarat yang buram dari ujung jalan yang dilalui oleh Ki Gede Pemanahan.
Tetapi Ki Gede berkata selanjutnya, “Kediaman Kiai Gaingsing, keragu-raguan Ki Waskita dan tatapan mata Ki Juru Martani yang suram telah memberikan gambaran kepadaku, apakah yang sebenarnya kalian pikirkan.”
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya dengan nada yang dalam, “Adi Pemanahan. Memang kami tidak dapat menyembunyikan perasaan cemas di dalam hati kami. Tetapi apakah itu berarti bahwa kita semua harus menghentikan segala usaha karena kita sudah berputus asa? Tidak. Kita selalu percaya kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Jika masih ada kemurahan-Nya, maka kita sudah memohon dengan sepenuh hati. Tetapi, jika kau memang sudah waktunya dipanggil mendekat, kita pun akan mengucapkan terima kasih pula. Adalah jarang orang yang sadar sepenuhnya setelah ia berdiri di ambang pintu perbatasan dan dunia yang fana ini dengan dunia yang tanpa akhir.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih saja nampak jernih. Dan dari senyumnya yang jernih itu terbayang hatinya yang jernih pula Apalagi di saat-saat terakhir.
“Baiklah, Kakang,” berkata Ki Gede Pemanahan, “adalah tidak baik untuk mendahului keputusan Yang Maha Agung. Karena itu kita harus berbuat seakan-akan kita masih akan tetap hidup untuk waktu yang lama, tetapi tidak kecewa, menyesal dan apalagi menolak jika keputusan itu jatuh.”
Ki Juru Martani mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tatapan mata yang kosong.
“Untuk sementara biarlah Danang berada di luar mengawani kedua murid Kiai Gringsing,” desis Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Adi,” sahut Ki Juru.
“Tetapi masih ada yang aku inginkan di saat terakhir ini,” berkata Ki Gede Pemanahan pula.
“Apa itu, Adi?”
Ki Gede masih dapat tertawa. Tertawanya masih juga sejernih senyumnya, sambil menatap wajah Kiai Gringsing yang tertunduk.
Hampir bersamaan semua orang berpaling memandang Kiai Gringsing. Tetapi hanya sekilas. Mereka yang sudah memiliki kemampuan menanggap keadaan itu, segera mengetahui bahwa sebelum saat terakhir tiba, Ki Gede Pemanahan masih dibebani oleh suatu keinginan untuk mengetahui siapakah sebenarnya Kiai Gringsing itu.
Kiai Gringsing pun menyadari persoalan yang sedang dihadapinya. Karena itu, hatinya rasa-rasanya menjadi bergejolak tidak menentu.
Di hadapan orang yang sudah tidak memiliki kelanjutan bagi hidup fananya, bukan waktunya lagi untuk menyembunyikan dirinya. Tetapi adalah sulit sekali bagi Kiai Gringsing untuk menyatakan dirinya sendiri. Ia tidak pernah bermimpi untuk pada suatu saat ia harus menyebut nama lain daripada Ki Tanu Metir dari Dukuh Pakuwon atau nama yang kemudian menyusul, Kiai Gringsing yang mula-mula sekedar untuk bergurau dengan Agung Sedayu. Tetapi yang kemudian justru nama itulah yang dipakainya sehari-hari, meskipun sebelumnya Untara dan orang tuanya menyebutnya Ki Tanu Metir pula.
Dalam pada itu, dengan suara yang melemah, Ki Gede Pemanahan berkata, “Nah, terserahlah kepada Kiai Gringsing. Apakah aku masih sempat mengetahui rahasia yang tersembunyi di balik kain gringsingmu itu?”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah yang tiba-tiba saja menjadi bersungguh-sungguh. Wajah Ki Juru Martani, Ki Waskita, Ki Sumangkar, dan Ki Demang di Sangkal Putung. Seolah-olah wajah-wajah itu telah menekannya untuk mengatakan sesuatu kepada Ki Gede yang nampaknya menjadi semakin lemah itu.
“Kiai,” berkata Ki Juru Martani, “memang sulit untuk memenuhi permintaan itu. Tetapi itu adalah permintaan Ki Gede yang sedang sakit.”
“Dan barangkali itu adalah permintaanku yang terakhir. Adalah lamban sekali rasanya perjalanan ini jika aku tidak mengenal yang satu ini. Mungkin aku tidak akan selalu dibayangi oleh teka-teki yang aneh ini, jika aku yakin bahwa Kiai sama sekali tidak aku kenal sebelumnya seperti Ki Waskita, meskipun aku pernah mendengar serba sedikit tentang ilmunya. Tetapi rasa-rasanya bagiku, Ki Waskita yang juga bernama Jaka Raras adalah Ki Waskita yang sekarang aku kenal. Tidak ada sesuatu yang terasa sandat di perasaan.”
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Waskita sudah mendahului, “Aku sudah mengatakan Kiai, bahwa aku adalah Jaka Laras, saudara seperguruan orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu. Dan namaku yang sebenarnya memang Waskita, tidak lebih dan tidak kurang. Aku datang dari daerah tidak dikenal dan aku pun kemudian tinggal di daerah yang tidak dikenal.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu katanya di dalam suasana yang menegang itu, “Ah. Ki Waskita dengan tergesa-gesa menyelamatkan dirinya, seolah-olah aku ingin mendapatkan kawan untuk bersembunyi.”
Ki Gede Pemanahan masih dapat tertawa pula. Katanya dengan lemah, “Demikianlah, sehingga teka-teki yang aneh telah memaksa aku untuk bertanya tentang Kiai Gringsing. Seorang dukun yang berada di daerah terpencil di dekat Jati Anom, sahabat Ki Sadewa yang dikenal oleh setiap orang Pajang, kemudian melakukan pengembaraan tiada berbatas waktu. Perhatian Kiai terhadap Pajang, kemudian perkembangan Mataram memang sangat menarik. Bukan sekedar kebetulan saja. Bahkan kadang-kadang Kiai telah berbicara tentang masa kebesaran Demak dan saat-saat Pajang berhenti sejak Sultan Hadiwijaya merasa dirinya sudah sampai kepada puncak pencapaiannya. Saat Sultan Hadiwijaya mulai berpaling dari perjuangan yang pernah dilakukan pada masa mudanya.”
Kiai Gringsing memandang Ki Gede Pemanahan sejenak. Kemudian beralih kepada Ki Juru Martani.
“Kiai mempunyai syarat?” bertanya Ki Juru Martani.
Kiai Gringsing menggeleng. Tetapi katanya kemudian, “Sebenarnya aku ingin menganjurkan agar Ki Gede beristirahat sebanyak-banyaknya. Dengan demikian badannya akan menjadi segar dan akan sangat berpengaruh bagi kesehatannya.”
“Ya Kiai,” sahut Ki Gede Pemanahan, “aku memang akan beristirahat sebaik-baiknya. Bukan hanya untuk waktu yang pendek. Bahkan tidak hanya sehari dua hari. Tetapi aku memang sudah mendekati tempat peristirahatanku yang abadi.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing.
“Adakah orang yang dapat lari dari kenyataan itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan. “Mungkin sehari ini aku masih akan tetap dapat tersenyum. Tetapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi malam nanti. Aku juga tidak tahu apakah besok aku masih sempat melihat matahari itu terbit dan melemparkan sinarnya menembus lubang-lubang dinding.”
“Tentu, Ki Gede.”
“Kiai, apakah Kiai merasa bahwa kemampuanmu dengan obat-obat, akan dapat menerobos takdir yang pasti berlangsung.”
“Tidak seorang pun yang melihat takdir itu sebelum terjadi. Ki Waskita pun hanya melihat isyarat-isyarat,” sahut Kiat Gringsing. “Namun sebenarnyalah bahwa Tuhan Maha Kuasa. Jika yang terjadi itu harus terjadi, tidak seorang pun dapat merubahnya.”
Ki Gede tersenyum. Lalu, “Nah, jika demikian apakah Kiai dapat memberikan bekal sehari ini, agar aku tidak tersendat di perjalanan ini.”
Dada Kiai Gringsing tergetar. Ki Gede Pemanahan ternyata memiliki firasat yang tajam tentang dirinya, dan sebagai orang yang mapan, ia sama sekali tidak menjadi gelisah.
Tetapi justru orang lainlah yang menjadi gelisah. Orang-orang yang mengerti bahwa Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan mereka untuk suatu perjalanan yang sangat panjang tanpa batas.
Namun yang paling gelisah dari mereka yang sedang gelisah itu adalah Kiai Gringsing. Selain ia menyadari bahwa Ki Gede Pemanahan benar-benar akan meninggalkan mereka, hari ini atau malam nanti, juga karena ia tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari pertanyaan Ki Gede Pemanahan. Justru karena Ki Gede Pemanahan akan meninggalkan mereka itulah maka Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk mengelakkan diri lagi.
“Bagaimana Kiai?” justru Ki Gede Pemanahan masih tetap tersenyum.
“Ki Gede,” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “apakah dasar dan titik tolak yang dapat aku pergunakan untuk membuat suatu ceritera yang menarik tentang diriku sendiri?”
“Tentu banyak sekali,” berkata Ki Gede Pemanahan, “sikap dan cara hidup Kiai yang lain dari orang lain. Juga kelebihan Kiai mempergunakan cambuk atau bertanyalah kepada Ki Juru.”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru Martani. Sebelum ia bertanya sesuatu Ki Juru-lah yang mendahului, “Sebaiknya Kiai berceritera tentang guratan di pergelangan tangan Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Barangkali ceritera ini sangat menjemukan. Tetapi apa boleh buat. Aku akan menceriterakan, kenapa tanganku terdapat sebuah guratan hitam.”
“Berceriteralah, Kiai,” berkata Ki Gede, “rasa-rasanya aku akan mendengarkannya seperti anak-anak yang mendengar kidung menjelang tidur. Aku pun ingin mendengarkan kidung yang merdu itu sebelum aku tidur nyenyak dan tidak terbangunkan lagi.”
“Ah,” desis Kiai Gringsing, “jangan membuat hatiku kuncup. Dengan demikian aku akan kehilangan baris demi baris dari kidungku ini.”
“Baiklah. Mulailah.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya setiap wajah sejenak. Rasa-rasanya semua orang menjadi tegang, termasuk Ki Gede Pemanahan sendiri.
“Seperti anak-anak muda yang lain pada waktu itu,” Kiai Gringsing mulai dengan ceriteranya, “kami senang sekali membuat lukisan pada badan kami. Beberapa orang di antara anak-anak muda ada yang membuat lukisan yang mengerikan di lengannya, di bahunya bahkan di punggungnya. Mereka mencocok tubuh mereka dengan duri ikan yang sudah mereka keringkan dan membuat gambar tengkorak, gambar ular naga, dan gambar-gambar yang lain.”
Ki Juru tertawa. Katanya memotong, “Kiai mulai lagi dengan ceritera tentang pembuatan gambar itu, bukan makna dari lukisan yang ada di tangan Kiai.”
“O,” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, “aku memang akan sampai ke sana. Bahkan aku pun telah membuat lukisan di pergelangan tanganku dengan arti yang khusus.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Yang khusus itulah yang ingin aku dengar Kiai.”
“Baiklah.” Kiai Gringsing bergeser sedikit, “memang bentuk lukisan di tanganku ini adalah khusus sekali. Sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya.”
“Itu yang sangat menarik,” berkata Ki Juru Martani.
Yang lain menjadi semakin tegang. Ki Demang Sangkal Putung yang berkesempatan mendengarkan pembicaraan itu menjadi termangu-mangu. Seakan-akan ia mendapat kesempatan untuk mendengarkan sebuah rahasia yang sangat besar.
Sekilas terkenang olehnya makhluk yang tidak berhak mendengarkan sebuah rahasia yang maha besar, tanpa disengaja telah ikut mendengarkannya. Ceritera itu berkembang seakan-akan benar-benar telah terjadi. Seekor cacing yang ada di dalam segumpal tanah liat yang dipergunakan oleh orang arif menyumbat sebuah lubang kecil dari sebuah perahu yang dipergunakan oleh mereka untuk membicarakan sesuatu yang bersifat sangat rahasia. Akhirnya cacing itu justru telah berubah menjadi manusia atas kesaktian sabda salah seorang arif yang ikut di dalam pembicaraan rahasia di lautan itu. Justru menjadi manusia yang sakti pula.
“Aku merasa seperti cacing itu,” berkata Ki Demang di Sangkal Putung di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak berbuat apa pun juga selain duduk di tempatnya. Katanya di dalam hati, “Jika kesempatan itu ada padaku, alangkah baiknya. Aku sempat mengetahui siapakah sebenarnya orang yang selama ini dikenal sebagai seorang dukun dari Dukuh Pakuwon dan bernama Ki Tanu Metir itu.”
Dakam pada itu, Kiai Gringsing pun berceritera terus, “Gambar yang ada di pergelangan tanganku ini memang ciri dari suatu perguruan.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tidak semua orang yang melukiskan ciri itu adalah murid dari perguruan itu. Tetapi mereka yang mendapat perlindungan daripadanya, mendapat ciri itu pula. Mereka yang karena kedudukannya atau keadaannya menjadi salah seorang yang mendapat belas kasihan dari perguruan yang besar itu.”
“Dan apakah benar Kiai membuat lukisan itu dengan duri ikan?” tiba-tiba Ki Juru bertanya.
Kiai Gringsing memandanginya sejenak. Lalu perlahan-lahan ia menggeleng, “Tidak, Ki Juru. Memang tidak.”
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyesali keterangan Kiai Gringsing sebelumnya, karena ia tahu Kiai Gringsing sebenarnya tidak bermaksud buruk. Ia hanya sekedar ingin menyembunyikan diri lebih lama lagi. Tetapi agaknya menghadapi Ki Gede Pemanahan yang rasa-rasanya sudah tidak akan mempunyai waktu kelak, Kiai Gringsing tidak sampai hati untuk mengelakkan diri lagi.
Karena itulah, maka tidak ada jalan lain bagi Kiai Gringsing untuk memenuhi keinginan Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, Ki Juru pun bertanya selanjutnya, “Jadi, dengan apa Kiai membuat lukisan di pergelangan tangai Kiai itu?”
Kiai Gringsing memandang Ki Juru sejenak, lalu jawabnya, “Sebenarnya jawabnya tentu sudah ada di dalam hati Ki Juru. Aku yakin Ki Juru sudah mengetahuinya, demikian juga yang lain-lain.”
“Sebutlah, Kiai,” desis Ki Gede Pemanahan.
“Baik. Baiklah,” sahut Kiai Gringsing. “Aku membuat lukisan ini dengan bara besi baja.”
Hampir bersamaan Ki Juru Martani, Ki Gede Pemanahan, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan mereka mendengar sesuatu yang telah lama menyesak di dalam hati mereka. Jawaban Kiai Gringsing itu telah membenarkan dugaan yang tersimpan di dalam dada masing-masing.
Hanya Ki Demang Sangkal Putung sajalah yang agak terkejut mendengar hal itu. Sebagai orang tua ia pun berusaha menempatkan dirinya, sehingga ia masih tetap menahan berbagai macam pertanyaan di dalam dirinya.
Kiai Gringsing memandang orang-orang yang ada di sekitarnya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah kalian telah menduga bahwa demikianlah jawabanku?”
“Ya,” jawab Ki Waskita, “sejak semula aku menduga, bahwa lukisan yang ada di dalam tubuh Kiai jika ada, tentu, dibuat dari bara besi baja. Besi baja yang merah oleh api dilekatkan pada tubuh Kiai dan akan meninggalkan bekas luka bakar yang sepanjang hidup tidak akan lenyap. Dan lukisan di pergelangan tangan Kiai itu tentu merupakan bentuk tertentu.”
“Aku sudah melihatnya,” sahut Ki Juru.
“O,” Ki Waskita mengangguk-angguk, “tetapi teruskanlah Kiai. Seandainya Ki Argapati ada di antara kita, ia tentu akan mengangguk-angguk pula bersama kita semuanya.”
“Ki Argapati pernah melihat lukisan di pergelangan tanganku.”
“Benar begitu?” Ki Waskita heran.
“Tentu jawab Kiai atas pertanyaan Ki Argapati itu sama dengan jawaban Kiai kepadaku pada saat aku melihat lukisan di pergelangan itu,” sahut Ki juru Martani.
Kiai Gringsing tersenyum. Kepalanya terangguk kecil sambil menjawab, “Ya, begitulah. Aku mengatakan bahwa aku telah membuat lukisan itu tanpa maksud apa-apa.”
Ki Sumangkar yang masih saja mengangguk-angguk menyahut, “Tetapi tentu tersimpan dugaan pada Ki Argapati seperti apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi Ki Argapati tidak akan memaksa agar Kiai Gringsing mengatakan sesuatu tentang dirinya, apabila hal itu tidak dikehendakinya.”
“Demikianlah agaknya. Pada saat itu Ki Argapati juga sedang terluka parah. Pada saat aku mengobatinya, maka aku kurang memperhatikan pergelangan tanganku, sehingga tiba-tiba saja ia menangkap tanganku dan bertanya tentang lukisan itu.”
Ki Juru yang juga mengangguk-angguk berkata, “Nah, jika demikian maka aku berhadapan dengan murid dari perguruan Windujati.”
“Ada beberapa orang murid dari perguruan itu,” sahut Ki Waskita, “meskipun aku tidak akan dapat membedakan yang satu dengan yang lain, tetapi apakah Kiai bersedia menyebut serba sedikit, barangkali dapat membuka hati kami untuk menyebut nama Kiai yang sebenarnya? Bukan sekedar Kiai Gringsing, Ki Tanu Metir, dan nama yang mana lagi.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kini berkata sebenarnya. Bukan hanya murid-murid dari perguruan Windujati sajalah yang boleh memakai tanda seperti ini. Tetapi mereka yang sudah dianggap keluarga paling dekat dari perguruan Windujati, diberi pula tanda serupa. Tentu saja mereka yang bersedia, dan menganggap dirinya satu dengan keluarga Windujati.”
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi perguruan Windujati adalah perguruan yang dibatasi dengan ketat dari lingkungan perguruan yang lain.”
“Tetapi itu bukan berarti bahwa Empu Windujati tidak mempunyai sahabat-sahabat terdekat.”
“Apakah Kiai masih akan mengatakan bahwa Kiai bukan murid dari perguruan Windujati, tetapi sekedar orang yang dianggap keluarga terdekat?”
“Ya. Dan itu adalah yang sebenarnya. Aku adalah orang yang berada di dalam lingkungan perguruan Empu Windujati.”
“Kiai,” berkata Ki Waskita, “bukankah aku sudah mengatakan, bahwa seorang murid dari perguruan Windujati mempunyai guru yang lain dari Empu Windujati sendiri, tetapi justru atas persetujuan Empu Windujati. Ilmu dari murid itu merupakan ilmu yang dahsyat sekali, karena ilmu kedua gurunya telah luluh di dalam dirinya.”
Kiai Gringsing menelan ludahnya.
“Alangkah dahsyatnya,” desis Ki Juru Martani, “aku tidak berani menyebutnya demikian. Tetapi Ki Waskita telah menebaknya. Dan jika benar demikian, maka yang tampak selama ini adalah bukan seluruh kemampuan yang ada di dalam dirinya. Kedahsyatan yang tersembunyi tentu merupakan ilmu yang tiada bandingnya.”
———-oOo———-
(bersambung ke Episode 082)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar