S1-E83 Ki Juru Martani dan Ki Waskita Dicegat oleh Kaki Tangan Para Pengkhianat

KI WASKITA tidak menyahut.
“Memang terlalu sekali. Mereka sama sekali tidak menghormati perjalananku untuk menyampaikan kabar wafatnya Ki Gede Pemanahan. Setiap orang berhak membenci aku, dan bahkan berusaha untuk mencelakai aku sekalipun. Tetapi tidak dalam keadaan seperti sekarang ini.”
“Ki Juru,” berkata Ki Waskita, “tetapi agaknya hal itu akan terjadi di hadapan kita sekarang ini.”
Ki Juru mengerutkan keningnya.
“Apakah kita akan berjalan terus atau mencari jalan lain?” bertanya Ki Waskita.
Sekilas Ki Juru memandang songsong berwarna kuning yang ditutup dengan selongsong putih.
Tiba-tiba saja ia menggeram, “Kita berjalan terus. Aku memandi payung tertinggi yang dihadiahkan oleh Kanjeng Sultan kepada Danang Sutawijaya yang akan bergelar Senapati Ing Ngalaga.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Ki Waskita,” berkata Ki Juru, “apakah Ki Waskita mempunyai pertimbangan lain? Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita tidak boleh mengalami perlakuan seperti itu, karena Ki Waskita tidak terlibat apa pun juga di dalam pertentangan antara Mataram dan beberapa orang di dalam pimpinan pemerintahan Pajang. Apalagi Ki Waskita adalah seorang tamu bagi Mataram.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang bukan prajurit, Ki Juru. Tetapi kita dapat saja bersikap seperti seorang prajurit yang menghadapi medan betapa pun beratnya. Dan Ki Juru jangan lupa, aku adalah orang pengawal yang mengikuti Ki Juru.”
Ki Juru Martani masih sempat tersenyum. Ia sudah mendengar bahwa Ki Waskita mempunyai kemampuan bertempur yang tidak ada taranya. Karena itu Ki Juru berkata, “Baiklah. Aku mempunyai seorang pengawal yang pilih tanding. Sekarang pengawalku harus membuktikan kepadaku kemampuannya. Kemudian aku akan menentukan apakah ia masih akan tetap dapat menjadi pengawalku atau aku harus memecatnya.”
Ki Waskita pun kemudian tertawa pula. Katanya, “Baik, Ki Juru. Marilah. Kita berjalan terus. Sebenarnyalah pekerjaanku kali ini tidak akan terlampau berat, karena orang yang aku kawal memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya.”
“Ah,” desah Ki Juru. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka kuda mereka pun mulai bergerak kembali. Tidak terlampau cepat. Tetapi mereka menjadi sangat berhati-hati.
Terasa angin yang lembut mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Sehelai-sehelai rambut Ki Juru yang sudah mulai dihiasi dengan warna putih, seakan-akan menggelepar di luar ikat kepalanya. Sedang matanya dengan tajamnya memandang ke depan, ke segala bentuk yang ada di hadapannya.
Ki Juru Martani itu pun kemudian menarik nafas panjang. Ia melihat sesuatu bergerak di balik gerumbul-gerumbul liar.
Ternyata bahwa bukan hanya Ki Juru sajalah yang melihat sesuatu yang bergerak di balik gerumbul, tetapi Ki Waskita pun mulai melihatnya pula.
“Agaknya kita memang harus mengatasi kesulitan ini, Ki Juru,” berkata Ki Waskita.
Ki Juru Martani merenung sejenak. Ia membawa payung pemberian Sultan Pajang. Karena itu, ia harus mempertahankannya jika ada orang lain yang ingin merampasnya.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk. Katanya seperti kepada dirinya sendiri, “Tidak ada pilihan lain.”
Mereka berdua pun kemudian terdiam. Bayangan yang bergerak di balik gerumbul itu pun seakan-akan menjadi semakin banyak.
“Cukup banyak orang,” berkata Ki Juru, “agaknya mereka merasa berhasil dengan cara itu. Meskipun Ki Gede tidak langsung terbunuh, tetapi menurut anggapan mereka, akhirnya Ki Gede Pemanahan pun wafat pula.”
“Mereka mengulangi cara yang pernah dilakukannya itu.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, “Mengulangi cara yang pernah dilakukan di dalam persoalan seperti ini sebenarnya adalah perbuatan yang bodoh. Tetapi ternyata mereka pun agaknya akan berhasil. Kitalah yang sebenarnya lebih bodoh dari mereka, karena kita telah mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan.”
Ki Waskita tidak menyahut, tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Kuda kedua orang Mataram itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan gerumbul liar di pinggir sawah itu. Orang-orang yang menunggu itu pun menjadi gelisah pula. Sebentar lagi mereka harus meloncat menerkam lawan yang menjadi semakin dekat.
“Memang hanya dua orang,” desis salah seorang prajurit yang mencegat perjalanan Ki Juru itu.
“Mereka memang orang-orang dungu,” berkata lurah prajurit yang memimpin mereka. “Mereka mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan.”
Tetapi yang lain menjawab, “Bukan karena dungu. Tetapi mereka adalah orang-orang sombong yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Pajang tidak akan berdaya menghadapi Ki Juru Martani dan pengawalnya itu.”
“Bukan main,” desis yang lain, “keduanya benar-benar harus dibinasakan. Bukan saja karena perintah dalam hubungannya untuk mencegah meluasnya Mataram. Tetapi mereka memang sudah menghina kita.”
Para prajurit itu pun segera bersiap. Mereka berada di sebelah-menyebelah jalan. Namun mereka sudah bersepakat, apabila mereka mendengar aba-aba diteriakkan, mereka akan berloncatan bersama-sama menerkam Ki Juru Martani dan pengawalnya.
Demikian teliti lurah prajurit yang memimpin pencegatan itu mengatur anak buahnya, sehingga siapa yang harus menerkam Ki Juru Martani, dan siapa yang harus menyerang pengawalnya sudah ditentukan pula.
“Sepuluh orang harus melawan Ki Juru Martani,” berkata Lurah prajurit itu, “selebihnya melawan pengawalnya.”
Dengan hampir tidak sabar lagi prajurit itu menunggu. Kuda Ki Juru Martani dan pengawalnya rasa-rasanya berjalan terlampau malas.
Akhirnya kuda itu menjadi semakin dekat. Lurah prajurit itu pun sudah siap meneriakkan aba-aba. Demikian kedua ekor kuda itu memasuki daerah mereka, maka aba-aba pun harus diteriakkan.
Ki Juru dan Ki Waskita yang sudah melihat orang-orang yang bersembunyi itu pun menjadi semakin berhati-hati. Meskipun tidak pasti jumlahnya, tetapi mereka berdua dapat menduga, bahwa orang-orang yang mencegat mereka itu jumlahnya cukup banyak.
“Kita memerlukan waktu yang panjang,” berkata Ki Juru, “sedang jenazah Adi Pemanahan minta segera diselesaikan.”
“Ya, Ki Juru,” berkata Ki Waskita, “Atau bahkan kita tidak akan dapat kembali sama kali untuk selamanya.”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang mencegatnya tentu orang-orang pilihan. Mereka tentu menyadari bahwa yang harus mereka hadapi adalah Ki Juru Martani.
“Apakah orang-orang itu juga seperti orang-orang yang mencegat Ki Gede Pemanahan,” bertanya kedua orang yang menyadari bahaya yang dihadapinya itu di dalam hati masing-masing.
“Ki Juru,” berkata Ki Waskita kemudian, “agaknya jika kita harus bertempur melawan mereka, kita akan memerlukan waktu lama, atau barangkali malahan kita tidak akan dapat kembali sama sekali.”
“Lalu, apa maksud Ki Waskita?” bertanya Ki Juru.
“Bagaimana jika kita lari saja meninggalkan mereka sebelum mereka mengepung kita.”
“Kembali ke Pajang?”
“Tidak. Tetapi kita dapat menerobos tanah persawahan dan meninggalkan orang-orang itu sebelum terlambat. Meskipun sawah itu basah, dan barangkali berlumpur, tetapi kuda akan lebih cepat dari orang-orang itu.”
Ki Juru memandang sawah yang basah di sebelah-menyebelah. Katanya, “Lumpur itu cukup dalam. Jika kaki kuda kita terperosok, maka kita akan terikat di tengah-tengah sawah dan menjadi sasaran yang lunak bagi mereka.”
Ki Waskita merenung. Lalu, “Jadi tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Pajang?”
Ki Juru mengangguk.
Tetapi tiba-tiba Ki Waskita berkata, “Kita berhenti sejenak dan bersembunyi di balik gerumbul seperti mereka.”
“Maksudmu?”
“Marilah, Ki Juru. Barangkali kita dapat berunding sejenak.”
Ki Juru Martani termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ki Waskita dengan sorot mata yang mengandung berbagai macam pertanyaan.
“Kita turun sejenak, Ki Juru,” berkata Ki Waskita kemudian.
Ki Juru menjadi semakin heran. Katanya kemudian, “Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan waktu lebih banyak lagi.”
“Mungkin kita dapat mengatasi kesulitan ini dengan tidak usah bertempur. Dengan demikian kita akan dapat mempersingkat waktu.”
Ki Juru masih bimbang, tetapi ketika Ki Waskita meloncat turun, Ki Juru pun segera turun pula.
“Marilah kita bersembunyi, Ki Juru,” ajak Ki Waskita.
“Tetapi mereka tentu sudah melihat kita.”
“Apa salahnya?”
Ki Juru Martani menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak membantah lagi. Diikutinya Ki Waskita menuntun kudanya dan kemudian berlindung di balik gerumbul-gerumbul liar.
“Maaf, Ki Juru, sebaiknya payung itu pun ditundukkan sedikit agar tidak dapat dilihat oleh orang-orang itu.”
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi payung itu pun ditundukkannya di balik sebatang pohon perdu.
“Nah, marilah kita mulai bermain-main dengan orang-orang itu, Ki Juru.”
“Maksud Ki Waskita?”
Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap dengan ilmunya. Karena itu, sejenak kemudian maka seekor kuda yang tegar berlari kencang dari balik gerumbul itu melintas tanah persawahan.
Ki Juru terkejut melihat bentuk itu seolah-olah dirinya sendirilah yang melarikan diri di atas kudanya sambil membawa payung pemberian Kanjeng Sultan. Namun sejenak kemudian Ki Juru itu dapat menguasai dirinya. Ia pun segera menyadari bahwa Ki Waskita sedang bermain-main dengan bentuk semunya.
Seperti Kiai Gringsing, sebenarnyalah Ki Juru mempunyai kemampuan yang mampu membedakan antara bentuk semu dan bentuk sebenarnya. Karena itulah maka ia pun segera melihat, bagaimana dirinya sendiri memacu kudanya di dalam lumpur, sambil tersenyum. Kudanya yang tegar seolah-olah mendapat kesulitan karena kakinya yang terbenam. Namun kuda itu dapat berlari cukup kencang.
Ki Juru Martani tertawa tertahan ketika ia menyadari maksud Ki Waskita sebenarnya. Karena sejenak kemudian ia melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun berlari-larian mengejar kuda yang berlari-lari di tengah-tengah sawah itu.
“Jangan sampai lolos,” teriak pemimpin kelompok prajurit yang mencegatnya itu.
Beberapa di antara mereka pun memburu dengan senjata telanjang. Mereka berlari-larian di pematang sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Kuda yang berlari di dalam lumpur itu nampaknya memang mendapat kesulitan. Tetapi kuda itu dapat juga berlari cukup cepat.
Ki Juru yang tertawa melihat permainan itu pun kemudian menyadari, bahwa kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Ketika ia mencoba menghitung orang-orang yang mengejar kuda yang berlari di tengah sawah itu. Ia melihat beberapa orang yang sudah dikenalnya. Di antara mereka adalah lurah prajurit itu sendiri.
“Hem, jadi merekalah yang telah mencoba mengacaukan hubungan antara Mataram dan Pajang,” desisnya.
Orang-orang yang mengejar kuda yang berlari di tengah sawah itu menjadi semakin lama semakin jauh. Akhirnya mereka telah melintasi beberapa kotak sawah dengan nafas terengah-engah. Sedang kuda yang berlari itu masih belum dapat berlari terlampau kencang, sehingga orang-orang itu masih mengharap dapat menangkap penunggangnya.
Beberapa orang berusaha mendahului melalui pematang dan tanggul-tanggul parit, kemudian melingkar mencegatnya.
Dalam pada itu, ternyata masih ada beberapa orang yang tinggal. Lurah prajurit itu memerintahkan tiga orang untuk tinggal dan menangkap pengawal Ki Juru yang tidak ikut berlari ketengah-tengah sawah.
Ketiga orang itu pun perlahan-lahan mencoba merunduk. Menurut perhitungan mereka, pengawal Ki Juru masih bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul liar. Karena itu, maka mereka pun merayap dengan senjata teracu, siap untuk membunuh.
Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, tanpa mereka sadari, terasa tengkuk mereka tersentuh sisi telapak tangan Ki Juru Martani. Dua orang dari mereka pingsan. Sedang orang ketiga tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, karena sebilah keris telah melekat di lambungnya.
Ki Juru Martani dan Ki Waskita tidak menunggu lebih lama lagi. Ki Waskita kemudian melepaskan bentuk semunya yang sudah terkepung. Dengan serta-merta maka Ki Juru dan Ki Waskita segera meloncat ke punggung kudanya sambil membawa seorang tawanan bersama mereka, yang harus berkuda bersama dengan Ki Waskita.
Ketika kedua ekor kuda itu berpacu, maka bentuk yang sudah terkepung itu mulai menjadi kabur dan kemudian bahkan lenyap seperti asap ditiup angin.
Orang-orang yang mengepung Ki Juru yang lenyap itu tertegun diam. Mereka bagaikan dicengkam oleh pesona yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Bahkan beberapa orang di antara mereka telah menggosok-gosok matanya.
“Apakah kita sudah gila,” teriak lurah prajurit itu.
Prajurit-prajurit yang lain masih berdiri mematung. Mereka memandang dengan mata tanpa berkedip ketempat bekas seekor kuda dan penunggangnya berdiri tegak setelah terkepung rapat. Namun tiba-tiba kuda dan penunggangnya itu lenyap begitu saja.
Dalam pada itu, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar kuda berderap. Ketika mereka berpaling, mereka melihat dua ekor kuda berpacu dengan penunggangnya masing-masing.
“Itulah Ki Juru Martani dan pengawalnya,” teriak seorang prajurit.
Yang lain diam membeku. Bahkan lurah prajurit itu berkata, “Di siang hari begini kita bertemu dengan hantu. Tentu bukan sekedar hantu-hantuan seperti yang pernah kita dengar di Alas Mentaok. Tetapi yang kita lihat sebenarnya adalah hantu jadi-jadian.”
“Apakah ini tuah Ki Gede Pemanahan yang meninggal itu?”
Terasa bulu tengkuk mereka meremang. Jika benar yang mereka alami adalah karena tuah Ki Gede Pemanahan, maka untuk seterusnya mereka akan selalu dikejar oleh hantu-hantuan serupa itu tidak henti-hentinya.
Selagi para prajurit itu kebingungan, maka pemimpinya pun berkata, “Marilah kita lihat kawan-kawan kita yang tinggal.”
Para prajurit itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada kawan-kawan mereka. Namun mereka menjadi semakin gelisah, bahwa dua di antara mereka pingsan dan yang seorang telah hilang.
“Aku tidak tahu apakah yang sedang kita alami ini di percaya oleh pemimpin-pemimpin kita nanti,” berkata lurah prajurit itu. “Agaknya Ki Legawa akan menjadi sangat marah. Jika seorang kawan kita yang dibawa oleh pengawal Ki Juru tadi dapat diperas, maka persoalannya tentu akan berkepanjangan.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nama kita akan disebutnya dan terlebih-lebih lagi Ki Legawa, karena orang yang tertangkap dan dibawa oleh Ki Juru itu tahu pasti bahwa kita mendapat perintah dari Ki Legawa,” berkata lurah prajurit itu.
Dengan demikian, maka mereka pun menjadi sangat gelisah. Mereka sadar, bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah tugas mereka yang sewajarnya. Mereka adalah orang-orang yang membenci perkembangan Mataram, bukan karena persoalan yang sebenarnya dapat tumbuh antara Mataram dan Pajang, tetapi karena mereka mempunyai pamrih pribadi. Apalagi upah  yang langsung mereka terima di dalam tugas-tugas seperti itu dan janji-janji yang menggairahkan di masa depan yang gemilang bagi Pajang setelah Mataram runtuh.
“Tetapi tanggung jawab terbesar tidak terletak kepada kami,” berkata lurah prajurit itu. “Memang mungkin kita akan dihukum. Tetapi Ki Legawa dan senapati-senapati yang lebih tinggilah yang akan memikul tanggung jawab terbesar.”
Prajurit-prajuritnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Siapakah yang akan mengusut persoalan ini lebih jauh? Kita adalah prajurit-prajurit Pajang. Apakah orang-orang Mataram dapat menangkap prajurit Pajang.”
“Kau sangat bodoh,” sahut lurahnya, “bukan orang-orang Mataram. Tetapi orang-orang Pajang sendiri.”
“Apakah para senapati dan pemimpin Pajang tidak justru akan melindungi kami?” bertanya seorang prajurit.
“Pemimpin di Pajang tidak bulat pendapatnya mengenai Mataram. Ada pemimpin-pemimpin yang tidak berkeberatan melihat kenyataan Mataram berkembang. Tetapi ada yang berkeberatan. Dan kita adalah prajurit-prajurit yang berkeberatan melihat  Mataram berkembang. Pajang akan menjadi susut, dan barangkali akan musna sama sekali. Kita hanya akan dapat mengenang kebesaran Pajang dan tugas-tugas kita sebagai prajurit. Itulah sebabnya aku bersedia bekerja di bawah perintah Ki Legawa.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka tidak dapat menyisihkan perasaan gelisah.
Bahkan kemudian seorang prajurit yang lain berkata, “Apalagi Kanjeng Sultan Pajang. Kasihnya kepada Raden Sutawijaya membuatnya sangat lemah menghadapi perkembangan daerah baru itu.”
“Persetan semuanya,” lurah prajurit itu akhirnya menggeram, “kita akan kembali dan melaporkannya kepada Ki Legawa.”
“Bagaimana dengan kedua kawan kita yang pingsan?”
“Mereka sudah sadar,” sahut yang lain.
Keduanya memang sudah sadar meskipun rasa-rasanya masih sangat lemah. Namun keduanya telah dapat bangkit berdiri dan kemudian berjalan tertatih-tatih bersama kawan-kawannya kembali ke kota.
“Kita harus memencar seperti saat kita berangkat,” perintah Lurahnya.
Demikianlah mereka membagi diri ke dalam kelompok-kelompok yang kecil. Mereka bertiga atau berdua menuju ke kota sambil menyembunyikan senjata-senjata mereka di bawah kain panjang.
Namun perasaan mereka masih saja selalu dibebani oleh kecemasan, bahwa akan datang utusan dari Mataram dan mengusut peristiwa itu. Bahkan mungkin juga peristiwa terbunuhnya Ki Gede Mataram.
“Jika Raden Sutawijaya sendiri datang menghadap Kanjeng Sultan, maka persoalannya akan menjadi semakin pahit bagi kita.”
“Ia tidak berbuat demikian meskipun ada beberapa orang yang tertangkap pula saat Ki Gede Pemanahan dicegat di pinggir Kali Opak. Bahkan Untara pun dapat menawan beberapa orang dari mereka yang berusaha membunuh Ki Gede.”
“Tetapi jalur itu terputus. Tidak ada di antara mereka yang dapat menghubungkan jalur ke atas.”
Prajurit yang sedang berbicara itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah pada waktu itu, mereka yang mencegat Ki Gede Pemanahan berada di bawah perintah empat orang bersaudara yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Jika pada saat itu Untara tidak datang dan kemudian disusul dengan kehadiran Sutawijaya, maka Ki Gede Pemanahan tentu sudah binasa.
Orang-orang yang kemudian tertangkap, tidak mengetahui urutan yang lain, kecuali keempat bersaudara itu, sehingga bagaimana pun mereka diperas, namun tidak akan ada seorang pun yang dapat menyebut nama pemimpin-pemimpin di Pajang.
“Berbeda dengan keadaan yang baru saja terjadi itu,” berkata prajurit-prajurit itu di dalam hati.
Dalam pada itu, maka Ki Juru Martani dan Ki Waskita yang berhasil menawan seorang prajurit Pajang, semakin lama menjadi semakin jauh. Mereka tidak lagi berpaling karena mereka yakin, bahwa orang-orang yang mencegat mereka tidak akan dapat mengejarnya.
Namun demikian kemungkinan itu masih dapat terjadi. Jika orang-orang yang kehilangan seorang kawannya itu merasa perlu untuk menghilangkan jejak, maka mereka tentu akan berusaha untuk merebut kawannya yang dibawa oleh Ki Waskita.
“Tetapi jarak yang sudah ada cukup panjang,” berkata Ki Juru kepada diri sendiri, “orang-orang itu tentu akan kembali terlebih dahulu ke Pajang untuk mengambil beberapa ekor kuda. Barulah mereka akan mengejar sementara itu aku sudah menjadi jauh sekali dan tidak mungkin dapat dikejarnya lagi meskipun seekor dari kuda-kuda kami harus membawa beban dua orang.”
Namun beban yang terlampau berat itu mempengaruhi laju kuda Ki Waskita. Meskipun kadang-kadang tawanan itu harus berpindah ke kuda yang dipergunakan oleh Ki Juru, tetapi perjalanan mereka menjadi semakin lama.
“Kita meminjam kuda di perjalanan,” berkata Ki Waskita.
“Apakah ada orang yang sudah kau kenal?” bertanya Ki Juru.
“Barangkali justru Ki Juru yang mempunyai banyak sahabat di sepanjang jalan antara Pajang dan Mataram.”
“Ki Waskita,” berkata Ki Juru, “sekarang amat sulit untuk memilih sahabat yang manakah yang sebenarnya bersedia membantu kita setulus hati. Jika aku singgah di rumah yang salah, karena sikapnya yang tidak sesuai dengan sikap kita terutama tentang Mataram, maka perjalanan kita justru akan semakin terganggu.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Kita justru singgah di rumah orang yang sama sekali belum kita kenal, kita meminjam seekor kuda.”
“Mereka akan berkeberatan.”
“Kita meninggalkan sesuatu kepada mereka, Ki Juru. Aku mempunyai sesuatu yang bernilai lebih dari seekor kuda. Kita titipkan barang itu kepadanya dan kita meminjam kudanya barang tiga hari. Besok kita dapat mengembalikannya jika pemakaman Ki Gede sudah selesai.”
“Apakah yang dapat Ki Waskita titipkan?”
“Cincin ini,” sahut Ki Waskita sambil menunjukkan cincin emas yang melingkar di jarinya.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Kenapa Ki Juru?”
Ki Juru menggeleng. Disela-sela senyumnya ia menjawab, “cincin itu adalah cincin sebenarnya.”
“Tentu, Ki Juru. Bukan sekedar sebuah permainan dari ilmu kebohongan itu. Aku tidak akan dapat berbuat demikian kepada seseorang yang tidak mempunyai sangkut paut apa pun.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi mungkin mereka masih tetap berkeberatan, karena kuda bagi seseorang kadang-kadang mempunyai nilai lebih dari nilai kuda itu sendiri. Seekor kuda kadang-kadang dapat dianggap sebagai sahabat yang akrab dan baik.”
“Bukankah Ki Juru membawa payung itu? Setiap orang tentu akan menghargainya.”
Ki Juru merenung sejenak. Lalu, “Baiklah. Kita akan mencoba. Justru kepada orang yang belum kita kenal sama sekali.”
Dan ternyata bahwa usaha yang mereka lakukan itu berhasil. Mereka memperoleh seekor kuda yang cukup. Tetapi mereka harus menunggu sejenak di rumah orang itu selama kuda itu dipersiapkan.
Dalam pada itu, seperti yang sudah diperhitungkan oleh Ki Juru dan Ki Waskita, ketika laporan mengenai kegagalan para prajurit yang mencegat Ki Juru itu sampai ke telinga Ki Legawa, maka wajahnya pun menjadi merah padam. Kegagalan itu dan sekaligus bahwa seorang anak buahnya dapat ditangkap membuatnya menjadi sangat marah dan lebih-lebih lagi menjadi cemas.
“Kau tahu akibat dari kebodohanmu itu?” bertanya Ki Legawa kepada Lurah prajurit.
“Yang terjadi adalah di luar kemampuan kami Ki Legawa. Kami dihadapkan pada permainan yang tidak kami mengerti.”
Tetapi ketika Lurah prajurit itu berceritera, maka Ki Legawa membentak, “Bohong. Kalian ingin melindungi kebodohanmu. Aku tidak peduli kepada ceriteramu itu. Sekarang kita harus mengejar mereka. Merebut seorang yang tertawan itu dan membunuh keduanya. Kuda mereka tentu tidak akan dapat berlari cepat, karena yang seekor harus dibebani oleh dua orang bersama-sama.”
Prajurrit-prajuritnya tidak membantah lagi. Mereka pun segera mempersiapkan kuda masing-masing meskipun harapan untuk menyusul Ki Juru agaknya sangat tipis.
Prajurit-prajurit itu tidak dapat lagi membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil. Yang dapat mereka lakukan hanyalah memilih jalan yang paling sepi dan jauh dari padukuhan-padukuhan yang ramai.
Sebenarnyalah ketika sekelompok prajurit memacu kudanya di antara padukuhan-padukuhan kecil yang sepi, maka orang-orang di padukuhan itu menjadi saling bertanya-tanya. Apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Namun seorang tua di antara mereka berkata, “Prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram.”
“Kenapa?”
“Ki Gede Pemanahan telah meninggal. Mereka tentu akan pergi untuk memberikan penghormatan yang terakhir.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa mereka tidak melalui jalan raya?”
“Mereka mencari jalan memintas. Ki Juru agaknya telah mendahului kembali ke Mataram.”
Yang lain sekali lagi mengangguk-angguk. Dan mereka tidak bertanya apa pun lagi.
Sementara itu, sekelompok orang-orang berkuda itu memacu kudanya semakin cepat. Mereka harus dapat menyusul Ki Juru Martani sebelum Ki Juru memasuki daerah yang ramai, daerah yang akan dapat mengenal apa yang telah mereka lakukan.
“Jika kita dapat menyusulnya di Sangkal Putung, kita harus membawa keluar dari daerah itu lebih dahulu,” berkata Lurah Prajurit itu.
Demikianlah mereka berpacu semakin cepat. Di luar kota mereka berbelok dan menuju ke jalan raya satu-satunya yang menghubungkan Pajang dan Mataram. Selain jalan itu, adalah jalan yang sekedar dapat dilalui. Sempit, jelek dan barangkali terputus.
Dengan kecemasan yang mendera di dalam hati setiap prajurit itu, mereka pun telah mendera kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin cepat. Beberapa ratus langkah lagi mereka akan segera sampai di jalan raya. Di jalan itu mereka tidak akan kehilangan jejak Ki Juru Martani.
Tetapi ketika mereka mendekati jalan raya, tiba-tiba lurah prajutir itu terkejut. Di kejauhan mereka melihat beberapa orang berkuda di dalam iring-iringan.
“Siapakah mereka?” bertanya lurah itu.
Seorang prajurit di sebelahnya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Kita tidak memerlukan mereka. Kita lampaui saja iring-iringan itu.”
Namun semakin dekat mereka dengan jalan raya semakin jelas pada mereka, bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan beberapa orang pemimpin, bahkan Senapati Pajang.
“Gila. Ke manakah mereka akan pergi?” geram Lurah prajurit itu.
Setiap orang di dalam kelompok prajurit berkuda itu menjadi berdebar-debar. Ternyata di hadapan mereka, di jalan raya, beberapa orang pemimpin dari Pajang sedang menuju ke Mataram dalam iring-iringan.
“Ki Lurah,” berkata seorang prajurit, “agaknya mereka pun akan memberikan penghormatan terakhir.”
“Selain mereka siapa lagi, he?” bentak lurah prajurit itu.
“Maksudku, maksudku mereka akan pergi ke Mataram.”
“Setan alas,” lurah prajurit itu menggeram. Ia terpaksa memperlambat lari kudanya. Agaknya para pemimpin yang sedang berkuda ke Mataram itu sudah melihat prajurit-prajurit itu pula. Tetapi mereka tidak begitu menghiraukannya. Agaknya mereka juga mengira bahwa prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan.
“Lalu, apakah kita akan mendahului mereka, Ki Lurah?” bertanya seorang prajurit.
“Tidak mungkin.”
“Kita akan mencari jalan lain?”
“Juga tidak mungkin. Jika kita mencari jalan lain, maka perjalanan kita akan menjadi sangat lama dan panjang. Tentu kita akan terlambat. Ki Juru tentu sudah berlalu.”
“Jadi?”
Lurah prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggeram, “Yang harus kita lakukan, teryata ada di luar kemampuan kita. Sekarang aku baru sadar, bahwa kita memang tidak mampu melakukan tugas ini. He, apakah kau ingat ceritera tentang Panembahan Agung yang dapat dikalahkan oleh orang-orang Mataram dan Menoreh?”
“Kenapa?”
“Panembahan Agung dapat membuat ujud yang sebenarnya tidak ada. Bukankah kita mengalaminya?”
“Maksud Ki Lurah?”
“Kuda yang seakan-akan berlari-larian di tengah sawah dengan Ki Juru Martani di punggungnya itu? Ternyata ujud itu adalah ujud yang semu. Seperti ujud yang diciptakan oleh Panembahan Agung. Dan bukankah yang sampai ke telinga kita, orang-orang Mataram dan Menoreh memiliki ilmu seperti itu pula.”
Prajurit-prajuritnya mengangguk-angguk. Namun akhirnya salah seorang dari mereka bertanya pula, “Lalu, apa yang akan kita kerjakan sekarang?”
“Kembali kepada Ki Legawa dan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kita tidak akan dapat merebut seorang kawan kita yang tertawan itu. Keadaannyalah yang tidak mengijinkannya.”
Prajurit-prajurit itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun segera berbalik dan memacu kuda mereka kembali ke barak untuk melaporkan semua peristiwa yang mereka alami itu kepada Ki Legawa.
Namun prajurit-prajurit itu tidak menyadari, bahwa sepasang mata selalu mengikuti perjalanan mereka. Dan sepasang mata itu pun segera dapat mengerti, bahwa perjalanan itu telah gagal justru karena di depan mereka sebuah iring-iringan pemimpin-pemimpin dan senapati-senapati Pajang sahabat-sahabat Ki Gede Pemanahan sedang lewat.
“Kegagalan yang jauh lebih berbahaya dari kegagalan yang pernah terjadi atas Ki Gede Pemanahan,” desis orang itu.
Karena itu, maka ia pun segera berpacu secepat-cepatnya kembali menghadap orang yang disebutnya Kakang Panji.
“Jadi tidak ada cara lain untuk merebut orang itu?” bertanya orang yang di sebut Kakang Panji.
Senapati yang mengamati perjalanan kembali prajurit-prajurit yang gagal itu menggeleng. Katanya, “Mereka kembali dengan tangan hampa.”
Pemimpinnya mengerutkan keningnya. Kemudian dengan suara parau ia berkata, “Jalur itu harus diputuskan. Jika tidak semua rencana kita akan gagal.”
Senapati yang diajak berbicara itu mengerti. Perintah itu adalah perintah yang juga tidak boleh gagal agar jalur itu terputus. Jika ia gagal memutuskan jalur itu, maka ia sendirilah yang harus dilepaskan dari jalur itu pula.
“Baiklah, Kakang Panji,” berkata senapati itu, “aku minta diri.”
“Kau tidak usah pergi ke mana-mana. Legawa akan mencarimu dan melaporkan semua kegagalannya,” jawab pemimpinnya. “Ki Juru tidak akan segera sempat memeras keterangannya dari kawannya itu.”
“Tetapi bagaimana jika Ki Legawa menyadari keadaannya, dan segera menghilang?”
Orang yang disebut Kakang Panji itu pun mengangguk-angguk. Lalu, “Baiklah. Pergilah menurut perhitunganmu. Yang penting adalah jalur ini dapat diputuskan.”
Senapati itu pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke tempat Ki Legawa menunggu orang-orangnya. Ketika ia sampai di tempat itu ternyata prajurit-prajuritnya sudah berada di tempat itu dan pemimpinnya sedang melaporkan apa yang terjadi.
“O,” berkata senapati itu, “silahkan, barangkali aku mengganggu. Lebih baik aku berada di luar. Jika yang sedang kalian bicarakan adalah rahasia.”
Ki Legawa mengerutkan keningnya. Lalu, “Tidak apa-apa. Silahkan.”
“Tidak. Silahkan menyelesaikan. Aku menunggu. Kedatanganku sama sekali tidak ada persoalan yang penting.”
Ki Legawa termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menyadari bahwa seharusnya senapati itu tidak langsung dikenal oleh prajurit-prajuritnya. Sehingga karena itu, maka dipersilahkannya senapati itu menunggu di luar.
“Apakah senapati itu mengetahui rencana kita?” bertanya lurah prajurit kepada Ki legawa.
Ki Legawa menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Tidak ada orang yang mengetahuinya selain orang tertinggi dari jalur perintah ini. Orang yang akan dapat menempatkan dirinya sejajar dengan Ki Gede Pemanahan.”
Prajurit-prajurit itu tidak bertanya lagi. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengetahui lebih banyak dari yang sudah mereka ketahui.
“Tidak ada seorang pun yang tahu, siapakah sebenarnya orang itu,” berkata Ki Legawa, “aku pun tidak. Dan kita memang tidak memerlukan lebih banyak dari meyakini cita-citanya yang luhur.”
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk.
Ketika laporan itu dianggap sudah selesai, maka Ki Lurah itu pun segera meninggalkan Ki Legawa yang bukan saja marah, tetapi juga cemas dan gelisah. Tetapi ia masih ingin mendengar sikap dan pendapat senapati yang datang kepadanya itu.
“Aku telah gagal,” berkata Ki Legawa, “aku menyadari bahwa hal ini akan dapat berakibat buruk bagiku.”
“Maksudmu?”
“Kau dapat menjadi lantaran untuk memutuskan jalur yang melalui aku, karena ada seorang yang sudah tertawan.”
“Aku tidak mengerti,” desis senapati itu. Tetapi ia sudah menjadi gelisah. Jika Ki Legawa menyadari kedudukannya dan bersiap di tengah-tengah anak buahnya, maka ia akan mendapat banyak kesulitan karenanya.
“Kau jangan pura-pura bodoh,” desis Ki Legawa.
Senapati itu termenung sejenak, lalu, “Ki Legawa. Kita harus bertindak cepat. Aku tidak mengerti bagaimana tanggapanmu. Tetapi kita harus pergi ke Mataram. Mungkin tidak ada orang lain yang pantas untuk pergi selain aku. Jika kau bersedia, kita akan pergi bersama dengan seorang lagi yang dapat kau tunjuk di antara orang-orangmu.”
“Maksudmu?”
“Kita menyusul mereka yang sedang melayat. Jika kita sudah ada di Mataram, maka tawanan itu harus kita ambil atau kita bungkam untuk selamanya. Tugas ini memang tugas yang berat, yang bahkan akan dapat berakibat mati. Tetapi apa boleh buat.”
Ki Legawa termangu-mangu.
“Jika kau merasa kurang yakin, bawalah dua orang pengawal yang terpercaya.”
Ki Legawa masih merenungi tawaran itu. Lalu, “Jadi apakah kita akan pergi.”
“Secepatnya. Kita masih harus singgah sebentar kerumah Kakang Senapati Sanggabumi. Ia memiliki jarum-jarum beracun yang dapat kita pergunakan untuk membunuh dari jarak yang agak jauh. Aku sudah diajarinya mempergunakan jarum-jarum yang sudah dirancang dalam warangan keris itu.”
Ki Legawa termenung sejenak. Ia masih tetap bercuriga meskipun nampaknya senapati itu bersungguh-sungguh. Bahkan senapati itu sudah menawarkan kepadanya untuk membawa dua orang pengawal.
“Nah, jika kau sependapat, bersiaplah. Kaulah yang tahu pasti yang manakah orangmu yang tertangkap itu.”
Ki Legawa mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, “Jadi kita bergabung dengan orang-orang yang melayat itu?”
“Ya. Dengan demikian tidak akan ada kecurigaan apa pun atas kehadiran kita di Mataram. Tentu Ki Juru Martani belum sempat bertanya apa pun kepada tawanan itu, karena ia harus menyelenggarakan pemakaman Ki Gede Pemanahan. Dan barangkali Ki Juru pun tidak akan mengira bahwa kita akan segera menyusulnya.”
Ki Legawa merenung sejenak. Kemudian, “Baiklah. Aku akan membawa dua orang pengawal. Aku akan pergi mendahului, bergabung dengan para pemimpin dan senapati yang pergi ke Mataram. Kau sajalah singgah di rumah Kakang Senapati Sanggabumi. Kemudian kau menyusul aku pula ke Mataram. Kita akan bertemu di perjalanan, karena orang-orang yang melayat itu tentu tidak akan berpacu secepat kau dan aku.”
Senapati itu menegang sejenak. Agaknya ia menemui kesulitan untuk melenyapkan Ki Legawa, karena agaknya Ki Legawa sudah mengerti apa yang dapat terjadi atasnya karena kegagalannya.
Tetapi senapati itu masih mencoba membujuknya, “Apakah kita tidak sebaiknya pergi bersama-sama?”
“Aku akan pergi lebih dahulu.”
Senapati itu berpikir sejenak. Agaknya ia masih mempunyai harapan untuk membinasakan Ki Legawa di perjalanan, atau sesudah mereka memasuki daerah Mataram di antara sibuknya orang yang menyelenggarakan pemakaman itu.
Karena itu maka senapati itu pun berkata, “Baiklah, Ki Legawa. Jika demikian, aku akan mendahului menghadap Kakang Senapati Sanggabumi.”
Ki Legawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jangan terlampau lama. Aku menunggu kau di perjalanan.”
Senapati itu menjadi tergesa-gesa. Ia harus segera meninggalkan rumah itu dan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia tidak dapat pergi seorang diri. Apalagi Ki Legawa dengan demikian akan mendapat kesempatan tidak hanya membawa dua atau tiga pengawal. Tetapi lebih daripada itu.
“Tentu tidak terlalu banyak,” berkata Senapati itu di dalam hati. “Jika ia membawa pengawal lebih dari tiga orang, maka ia pasti akan dicurigai,” berkata Senapati itu di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun segera minta diri. Ia akan membawa senapati yang bernama Sanggabumi dan beberapa orang petugas sandi yang terpisah-pisah. Ki Legawa harus dibungkam untuk selama-lamanya agar dalam suatu saat ia tidak menyebut-nyebut nama para senapati yang terlibat di dalam usaha pembunuhan Ki Juru Martani yang gagal itu, yang tentu akan segera dihubungkan dengan usaha pembunuhan Ki Gede Pemanahan beberapa waktu yang lampau.
“Baiklah, Ki Legawa,” berkata Senapati itu, “segera sajalah bersiap. Aku juga akan segera berangkat setelah aku mendapatkan jarum-jarum beracun itu.”
Ki Legawa tidak menjawab. Ia mengantarkan senapati itu sampai ke pintu.
Tetapi ketika senapati itu melangkahkan kakinya melewati tlundak pintu, maka terasa bajunya ditarik dari dalam. Senapati itu terkejut. Dengan serta-merta ia berpaling. Yang dilihatnya adalah wajah Ki Legawa. Tetapi wajah itu bukanlah wajah KI Legawa yang cemas dan menyesal oleh kegagalannya, dan ketakutan atas kemungkinan buruk yang akan terjadi atasnya. Namun wajah itu bagaikan wajah hantu yang siap menerkam sesosok mayat yang baru saja diletakkan di dalam kubur.
“Ki Legawa,” senapati itu menggeram.
Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan. Yang terasa adalah sengatan nyeri yang tiada taranya pada lambungnya.
Ketika matanya menjadi kabur, ia masih sempat melihat tangannya yang basah oleh darah yang menyembur dari luka di lambungnya itu.
“Pengecut,” senapati itu mencoba membelalakkan matanya. Tanpa disadarinya tangannya meraba hulu kerisnya.
Tetapi ia tidak sempat berbuat apa pun juga. Matanya menjadi semakin kabur dan lambungnya terasa menjadi semakin nyeri.
Akhirnya Senapati itu jatuh terjerembab di lantai. Sekilas ia masih sempat melihat wajah Ki Legawa yang bagaikan hantu itu. Namun sejenak kemudian, maka ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Ki Legawa berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba saja tubuhnya terasa menjadi gemetar. Ternyata ia telah melakukan sesuatu di luar sadarnya. Oleh ketakutan dan kecemasan yang sangat akan nasib buruk yang menimpanya karena kegagalannya, maka ia telah berbuat terlebih dahulu atas senapati itu yang diyakininya akan membunuhnya di suatu saat.
Sejenak Ki Legawa mematung. Namun kemudian ia pun dengan tergesa-gesa memanggil prajurit-prajurit kepercayaannya.
Lurah prajurit yang memimpin penyergapan yang gagal itu pun menjadi heran. Tetapi sebelum ia bertanya Ki Legawa berkata, “Singkirkan. Jangan ada orang yang mengetahuinya.”
Ki Lurah termangu-mangu. Tetapi Ki Legawa membentak, “Cepat. Jangan bertanya sekarang. Nanti aku jelaskan semuanya.”
Lurah prajurit itu masih termangu-mangu. Ketegangan yang sangat telah membayang di wajahnya. Dengan suara yang dalam ia bertanya, “Bukankah yang terbunuh itu seorang senapati?”
“Ya,” bentak Ki Legawa, “carilah akal untuk menyingkirkan tanpa diketahui oleh siapa pun selain kalian. Ingat. Kedatangam senapati ini ada hubungannya dengan kebodohan kalian karena kalian gagal membunuh Ki Juru Martani. Ia sudah memanggil kalian untuk menjatuhkan hukuman mati karena kegagalan itu agar kalian tidak membuka mulut. Kawan kalian yang tertangkap itu dapat membahayakan kedudukan kalian, aku dan senapati itu. Karena itu ia akan membunuh semua yang terlibat.”
Ki Lurah termangu-mangu sejenak.
“Cepat!”
Para prajurit itu tidak sempat berpikir. Mereka pun kemudian mencari akal untuk menyingkirkan mayat itu.
“Kita sembunyikan saja dahulu sampai malam hari. Nanti malam baru kita bawa keluar kota dan kita kuburkan di mana saja.”
“Sekarang?”
“Kita masukkan ke dalam kolong amben yang besar itu. Kita bungkus dengan tikar dan kita ikat seperti seonggok kayu bakar.”
Para prajurit itu pun kemudian mencari selembar tikar yang besar. Setelah senapati yang terbunuh itu dibungkus dan diikat, maka mayat itu pun kemudian disembunyikannya di bawah kolong. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian membersihkan darah yang memercik di lantai dan di tlundak pintu.
Namun peristiwa itu membuat setiap hati dari oranng-orang yang terlibat menjadi cemas. Tentu akan ada peristiwa- peristiwa berikutnya yang dapat berakibat buruk bagi mereka.
“Aku harus meninggalkan tempat ini,” berkata Ki Legawa kepada diri sendiri. “Aku akan pergi ke Mataram dan pasrah diri kepada Raden Sutawijaya.”
Namun ia menjadi ragu-ragu. Seorang senapati telah dibunuhnya. Senapati yang dikenalnya sebagai seorang penghubung dengan pimpinan tertinggi yang disebut Kakang Panji. Tetapi Ki Legawa sendiri tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang bernama Panji itu. Mungkin ia telah mengenal orangnya, atau bahkan bergaul setiap hari. Tetapi ia tidak tahu bahwa orang itulah yang menyebut dirinya Panji dan dipanggil oleh kawan-kawannya Kakang, sebagai pertanda bahwa ia adalah orang tertua dari kelompok itu.
“Apakah yang dapat aku katakan kepada Raden Sutawijaya tentang orang-orang tertentu yang telah melakukan pengkhianatan terhadap Ki Juru Martani? Orang yang tertangkap itu tentu akan menyebut nama lurah prajurit itu dan tentu namaku pula. Jika aku tidak dapat mengatakan nama orang yang lebih tinggi tatarannya di dalam tugas ini, maka aku tentu akan dicurigai. Atau bahkan mungkin akulah yang harus mengalami akibatnya.”
Ki Legawa yang menjadi bingung itu akhirnya memutuskan di dalam hatinya, “Apa pun yang akan aku lakukan, tetapi aku harus melarikan diri dari tempat ini. Kemana pun.”
Ki Legawa pun kemudian berkemas di dalam biliknya. Barang-barang yang dianggapnya penting dibawanya serta. Sebilah keris pusakanya diselipkan di punggungnya, sedang sebilah lagi dianggarnya di lambung, tergantung pada ikat pinggangnya. Selain kedua kerisnya, ia telah mempersiapkan sebuah pedang yang akan digantungkan pada kudanya.
“Tidak ada seorang pun yang boleh mengetahui,” berkata Ki Legawa di dalam hatinya. “Dan aku tidak perlu menunggu sampai gelap. Semuanya tentu sedang berlangsung sekarang ini, seperti roda yang berputar perlahan-lahan akan menggilas tubuhku.”
Karena itu, setelah semuanya siap, maka Ki Legawa pun keluar dari biliknya. Ia harus menyiapkan kudanya. Anak buahnya pun tidak boleh mempunyai kesan bahwa ia akan meninggalkan Pajang untuk waktu yang tidak ditentukan.
Lurah prajurit yang melihatnya mendekatinya sambil bertanya, “Apakah yang harus kita lakukan setelah mayat itu dikubur?”
Ki Legawa termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku akan menghubungi beberapa orang kawanku. Mungkin mereka akan dapat memberikan jalan, bagaimana kita harus menghindarkan diri dari pemimpin-pemimpin kita yang kecewa atas kegagalan itu.”
“Kenapa kita yang harus melakukannya sehingga kita sekarang mendapat kesulitan?” bertanya lurah prajurit itu.
“Itu adalah akibat yang wajar karena kita sudah memilih pihak. Tetapi dalam keadaan yang gawat adalah wajar pula bahwa kita mencari jalan keluar.”
Lurah itu mengangguk-angguk.
“Jagalah anak buahmu baik-baik. Mayat itu masih berada di bawah kolong. Sebaiknya aku berusaha untuk kepentingan kalian. Aku mempunyai banyak kawan di Pajang ini.”
Ternyata Ki Legawa telah menemukan kesempatan untuk menyiapkan kudanya di muka pintu. Ia pun kemudian masuk ke dalam biliknya sejenak untuk mengambil bekal yang sudah disiapkan. Dengan tanpa menumbuhkan kecurigaan, ia pun kemudian meloncat ke punggung kuda dan sesaat kemudian kuda itu sudah berpacu.
Ki lurah termangu-mangu di antara beberapa orang prajurit. Apalagi ketika seorang dari prajurit-prajuritnya bertanya, “Ki Legawa membawa dua bilah keris pusakanya, sebuah pedang dan pakaian rangkap.”
“Maksudmu?”
“Pakaian yang dikenakan bukan hanya selembar.”
Lurah prajurit itu termangu-mangu. Ia mulai curiga terhadap kepergian Ki Legawa. Karena itu maka ia mulai mempertimbangkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Apalagi ketika salah seorang prajuritnya berkata, “Ki Lurah, aku melihat sebuah kampil tergantung diikat pinggang Ki Legawa.”
“Kampil?” bertanya Lurah prajurit itu.
“Tentu kampil uang,” jawab prajurit itu.
“Jadi apa artinya?”
Prajurit-prajuritnya saling berdiam diri.
“Apakah Ki Legawa melarikan diri dan meninggalkan kita dalam keadaan yang tidak menentu?”
Beberapa wajah menjadi tegang. Dan seorang prajurit berkata, “Memang mungkin sekali.”
Lurah prajurit itu menggeram. Tiba-tiba ia berkata, “Siapkan kudaku. Kita bertiga akan pergi mencarinya.”
“Bertiga dengan siapa?”
Ki Lurah segera menunjuk dua orang prajurit yang terbaik. Kemudian setelah kuda mereka siap, maka mereka pun segera meloncat ke punggung kuda itu.
“Tunggulah di sini. Aku tidak akan lari seperti Ki Legawa. Apa pun yang dapat terjadi atas kita semua, akan kita alami bersama. Aku akan mencari Ki Legawa dan membawanya kembali hidup atau mati.”
Sejenak kemudian ketiga orang itu pun segera berpacu meninggalkan kawan-kawannya yang termangu-mangu.
“Apakah mereka juga akan lari seperti Ki Legawa?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Tidak. Menurut perhitunganku, Ki Lurah tidak akan meninggalkan kita. Jika ia harus lari, maka ia akan lari bersama-sama dengan kita.”
Demikianlah Ki Lurah itu pun dengan kemarahan yang memuncak berusaha untuk menyusul Ki Legawa. Namun, ketika ia sampai di jalan simpang, seorang pengawalnya bertanya, “Kita akan pergi ke mana?”
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jalan lari yang terbaik adalah ke Mataram. Berkhianat dan mencari perlindungan.”
“Tetapi apakah ia tidak akan ditangkap justru karena salah seorang kawan kita yang tertawan akan menyebut namanya?”
“Ia akan pasrah diri dan menyebut nama-nama lain yang harus mempertanggung-jawabkan semua rencana ini. Ia akan bebas dari segala pertanggungan jawab. Sedang kitalah yang akan dibebani oleh kegagalan yang baru saja terjadi. Mungkin kita akan ditangkap dan diserahkan kepada Mataram atau akan dihukum oleh pemimpin Pajang yang tidak berkeberatan melihat perkembangan Tanah Mataram.”
“Jika demikian Ki Legawa harus tertangkap,” desis seorang prajuritnya.
“Mungkin ia akan menggabungkan diri dengan orang-orang yang akan melayat ke Mataram,” desis lurah prajurit itu.
“Marilah kita lihat.”
“Apakah kita tidak akan dicurigai?”
“Untuk sementara tentu tidak. Tetapi jika tidak kita jumpai Ki Legawa di antara mereka kita akan kembali. Ia tentu masih bersembunyi di kota ini.”
Prajurit-prajuritnya tidak menyahut. Mereka pun berpacu semakin kencang. Orang-orang yang pergi ke Mataram itu tentu sudah menjadi semakin jauh. Tetapi agaknya mereka tidak berkuda terlampau cepat.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Legawa akan mencoba untuk pergi ke Mataram. Ia mempunyai beberapa rencana. Jika ia berhasil, ia akan membunuh saja tawanan itu. Tetapi pekerjaan itu tentu pekerjaan yang sangat sulit. Ia harus mencari di mana tawanan itu disimpan. Sedangkan Mataram merupakan daerah yang asing baginya.
“Tetapi jika aku gagal, maka aku akan menyerah. Atau barangkali aku akan mengambil keputusan lain. Yang penting aku harus lolos dari orang-orang gila itu,” berkata Ki Legawa di dalam hatinya. Lalu, “Meskipun aku barangkali tidak dapat menyebut orang-orang yang memegang peranan terpenting di dalam usaha memecah Mataram dan Pajang, sehingga akibatnya akan menenggelamkan Mataram, aku dapat menyebut salah seorang di antara mereka. Penting atau tidak penting. Senapati yang bernama Sanggabumi itu.”
Dengan demikian maka Ki Legawa pun berpacu terus. Ia pun ingin menyusul para pemimpin Pajang yang akan melayat ke Mataram dan bergabung bersama mereka. Dengan demikian untuk sementara perjalanannya akan menjadi aman.
Tetapi tiba-tiba saja ia terkejut. Ditikungan dilihat seorang yang duduk di punggung kudanya. Agaknya dengan sengaja kuda itu menyilang jalan yang akan dilaluinya.
Ki Legawa menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak berhenti. Ia ingin meyakinkan, siapakah yang melintang di tengah jalan itu. Namun hampir di luar sadarnya, sebelah tangannya telah meraba hulu kerisnya yang tergantung di lambung.
Beberapa langkah dari kuda yang menyilang itu, Ki Legawa berhenti. Dengan kerut-merut di kening ia bertanya, “Apakah Ki Sanak sengaja menghentikan perjalananku?”
“Ya, Ki Legawa.”
“Apa maksudmu?”
“Bukan aku, tetapi orang di belakangmu itulah yang berkepentingan denganmu.”
Ki Legawa termangu-mangu. Dan orang itu berkata seterusnya, “Kenapa kau tidak mau berpaling. Apakah kau kira aku akan berbuat sesuatu atasmu selagi kau berpaling?”
Ki Legawa menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu mengerti keragu-raguannya. Namun demikian Ki Legawa masih belum berpaling karena sebenarnyalah bahwa ia mencurigai orang yang belum dikenalnya itu.
“Ki Legawa,” berkata orang yang menyilangkan kudanya itu, “apakah Ki Legawa menganggap bahwa aku berniat buruk dan dengan curang akan menyerang selagi kau lengah? Tidak, Ki Legawa. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Tugasku hanya menghentikan perjalananmu sekarang. Persoalan seterusnya ada di tangan orang yang berdiri di belakangmu itu.”
“Sebut, siapakah yang berdiri di belakangku?”
“Berpalinglah. Jika kau takut aku menyerangmu, maka aku akan mengangkat kedua tanganku dengan jari-jari yang terkembang.”
Ki Legawa masih berdiam diri. Tetapi orang itu benar-benar mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari yang terkembang.
“Jika aku ingin membunuhmu selagi kau lengah, maka aku telah menyerangmu tanpa menghentikanmu lebih dahulu. Aku dapat melemparkan sebuah tombak pendek, atau melepaskan sebuah anak panah atau cara lain.”
Ki Legawa menarik nafas. Alasan orang itu dapat dimengertinya sehingga ia pun kemudian berpaling meskipun ia tidak melepaskan kewaspadaan.
Namun dalam pada itu, ketika ia melihat orang yang berdiri di belakangnya, darahnya serasa berhenti mengalir. Orang itu sudah dikenalinya meskipun secara pribadi belum terlampau akrab.
“Sanggabumi,” Ki Legawa berdesis.
“Ya. Aku adalah Senapati Sanggabumi,” orang itu menyahut.
“Apa maksudmu menghentikan perjalananku?”
“Ki Legawa,” suara Sanggabumi datar, “aku tidak mempunyai banyak kepentingan dengan kau. Tetapi aku hanya ingin bertanya barang sedikit.”
“Apa yang ingin kau ketahui?”
“Ki Legawa, dimanakah senapati yang datang kepadamu hari ini?”
Terasa dada Ki Legawa terguncang. Namun ia masih berusaha menahan perasaannya. Dengan hati-hati ia berkata, “Ia datang kepadaku dan memaksa aku untuk pergi ke Mataram. Sekarang aku sedang memenuhi perintahnya.”
“Maksudku, di manakah orang itu sekarang?”
Ki Legawa menjadi semakin berdebar-debar. Jawabnya, “Tentu aku tidak tahu, Ki Sanggabumi. Aku dengan tergesa-gesa mengemas diri dan berangkat.”
“Apakah Senapati itu pergi lebih dahulu dari kau?”
Ki Legawa menjadi bingung. Jawabnya, “Tidak. Aku pergi lebih dahulu.”
“Jadi ia masih menunggui barakmu?” Ki Sanggabumi maju selangkah, “Bukankah itu mustahil bahwa tamumu kau tinggal sendiri di barakmu, sedang kau pergi ke Mataram.”
“Aku tidak pergi ke Mataram atas kehendakku sendiri. Tetapi aku pergi ke Mataram atas perintahnya. Ia sengaja tinggal beberapa saat lamanya agar tidak menumbuhkan kecurigaan. Aku tidak tahu, siapakah yang akan mencurigainya.”
“Ki Legawa,” berkata Ki Sanggabumi, “kau jangan menganggap aku anak-anak yang baru pandai bertanya tentang oleh-oleh jika ibu pergi ke pasar. Aku adalah orang yang mempunyai pengalaman yang cukup seperti kau, Ki Legawa. Kau ternyata seorang yang memiliki pengamatan yang tajam dan memiliki kecepatan berpikir. Kau agaknya telah bertindak lebih cepat dari senapati yang ragu-ragu itu.”
“Aku tidak tahu maksudmu.”
“Baiklah aku jelaskan,” Ki Sanggabumi menarik nafas dalam-dalam, “aku adalah senapati yang dekat dengan Kakang Panji. Ketika Kakang Panji memerintahkan senapati untuk membunuhmu, Kakang Panji sudah ragu-ragu. Aku mendapat perintah untuk mengamati apa yang terjadi. Dan aku mengambil kesimpulan bahwa sebelum kau dibunuhnya, kau sudah membunuhnya lebih dahulu. Kemudian kau akan pergi ke Mataram atau ke mana pun juga untuk menghilangkan jejak dan mencari perlindungan.”
Wajah Ki Legawa menjadi tegang. Namun ia berusaha untuk menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia masih dapat berkata, “Ki Sanggabumi. Aku tidak mengerti, kenapa kau segera menarik kesimpulan buruk.”
“Ki Legawa. Aku tidak tahu apakah kesimpulanku itu benar atau salah. Sebaiknya marilah kita pergi menghadap Kakang Panji. Kau akan mendapat kehormatan untuk mengenalnya. Mungkin kau diperlukan sebagai ganti senapati yang kau bunuh itu, atau katakanlah, jika hal itu tidak benar, senapati yang hilang itu.”
Ki Legawa termangu-mangu sejenak. Namun seperti terhadap senapati yang datang kepadanya, ia tetap bercuriga terhadap Sanggabumi.
Karena itu, maka Ki Legawa pun segera mencari jalan keluar. Ia sadar bahwa jalan di sebelah-menyebelah telah tertutup. Tetapi ia tidak percaya bahwa apabila ia menghadap orang yang disebutnya Kakang Panji itu ia akan dapat keluar lagi dengan selamat.
Tetapi ternyata Ki Legawa masih dapat mengatasi gejolak perasaannya dengan bertanya, “Di manakah rumah Kakang Panji itu.”
“Marilah, ikutlah bersamaku.”
“Kau hanya berjalan kaki?”
“Kudaku ada di belakang gerumbul itu.”
Ki Legawa mengangguk-angguk. Desisnya, “Apakah kau dapat aku percaya?”
“Kenapa? Kau memang selalu diliputi oleh kecurigaan dan prasangka. Ki Legawa, jika demikian maka kau sepanjang umurmu tidak akan dapat hidup tenang.”
Ki Legawa termangu-mangu sejenak. Sekilas ia memandang orang berkuda yang melintang di tengah jalan. Wajahnya yang gelap dan tatapan matanya yang garang.
“Aku belum pernah mengenalnya,” berkata Ki Legawa di dalam hatinya. “Jika ia orang Pajang, tentu aku sudah pernah melihatnya. Atau setidak-tidaknya aku mengenal ujud dan coraknya. Tetapi agaknya orang ini mempunyai ciri orang asing di daerah ini.”
Dengan demikian kecurigaan Ki Legawa menjadi semakin tumbuh. Tetapi ia masih tetap diam di atas punggung kudanya.
“Kenapa kau termangu-mangu?” bertanya Senapai yang bernama Ki Sanggabumi.
Ki Legawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah. Tetapi kau harus menjamin bahwa orang yang kau namakan Kakang Panji itu tidak boleh berbuat apa pun atasku.”
“Aku berjanji.”
Ki Legawa mengangguk-angguk pula.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja kaki Ki Legawa menghentak perut kudanya. Selangkah kudanya melonjak, kemudian meloncat berlari ke arah Ki Sanggabumi.
Ki Sanggabumi terkejut bukan buatan. Dengan gerak naluriah ia meloncat menghindari terkaman kaki kuda yang terkejut dan berlari seperti didera hantu. Namun karena loncatan yang tergesa-gesa dan di luar pertimbangan, maka Ki Sanggabumi pun terdorong beberapa langkah dan terperosok ke dalam parit.
Hanya karena ia seorang yang memiliki ilmu yang cukup sajalah ia mampu menjaga keseimbangannya, sehingga ia tidak jatuh terlentang.
Namun demikian orang berkuda yang terkejut pula, segera meloncat berlari mendekatinya.
“Bagaimana, Ki Senapati?” ia bertanya.
“Bodoh. Cepat kejar orang itu.”
Orang itu pun segera berlari dan meloncat kembali ke punggung kuda. Sejenak kemudian kudanya pun berpacu mengejar kuda Ki Legawa.
Ketika Ki Legawa muncul dari sudut padukuhan, dan berlari di tengah bulak panjang, ia melihat beberapa ekor kuda berlari ke arahnya. Sejenak Ki Legawa termangu-mangu. Namun kemudian ia memutuskan untuk memacu kudanya terus. Jika ia kembali, ia akan berhadapan dengan Ki Sanggabumi dan kawannya. Bahkan mungkin tidak hanya dua orang itu.
Ketika kuda-kuda di bulak itu menjadi semakin dekat, maka Ki Legawa pun segera mengenal, bawa mereka adalah prajurit-prajuritnya. Karena itu, maka serasa setitik embun telah membasahi jantungnya yang sudah menjadi kering.
Dalam jarak yang masih agak jauh, Ki Legawa sudah memberikan isyarat kepada ketiga orang prajuritnya. Diangkatnya tangannya tinggi-tinggi.
Dalam pada itu, Ki Lurah dan kedua orang prajuritnya yang juga sudah melihat Ki Legawa menjadi heran. Karena pada dasarnya mereka sudah bercuriga, maka mereka pun selalu berhati-hati menghadapi kedatangan Ki Legawa yang agaknya tergesa-gesa.
Ketika mereka bertemu, maka kuda-kuda itu pun berhenti berhadapan beberapa langkah. Ki Legawa-lah yang pertama-tama bertanya, “Kemanakah kalian?”
Lurah prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia pun berkata berterus terang. “Ki Legawa. Sebenarnya kami memerlukan penjelasan. Kemanakah sebenarnya Ki Legawa akan pergi? Kami melihat sesuatu yang kurang wajar pada Ki Legawa.”
“Aku akan pergi ke Mataram.”
“Meninggalkan kami begitu saja?”
“Tentu tidak. Aku harus mengambil kawan kita yang tertawan itu. Besok sebelum fajar, aku harus sudah kembali ke barak kita. Aku membawa uang yang aku tabung bertahun-tahun, apabila perlu untuk mempermudah usahaku. Aku tidak yakin bahwa orang-orang Mataram tidak mau menerima uang.”
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun ia pun tidak segera percaya kepada keterangan itu sehingga ia bertanya pula, “Tetapi kenapa Ki Legawa tidak berterus terang kepada kami?”
“Sebenarnyalah bahwa aku selalu dibayangi oleh kecurigaan. Siapa tahu di antara kalian ada orang yang akan melaporkan kepergianku. Entah kepada Ki Sanggabumi atau kepada orang-orang yang berpihak kepada Mataram.”
Lurah prajurit itu menarik nafas. Tetapi sebelum ia bertanya lagi, maka Ki Legawa sudah berkata, “Lihatlah orang berpacu itu. Ia mengejar aku. Orang itu adalah anak buah Sanggabumi. Mereka benar-benar berusaha membunuh kita semua. Kali ini aku, mungkin besok atau bahkan nanti kau dan prajurit-prajurit yang terlibat.”
Lurah prajurit itu mengerutkan keningnya.
“Sebentar lagi Sanggabumi pun tentu akan datang. Kita tidak akan dapat terus-menerus lari.”
“Maksud Ki Legawa.”
“Kita binasakan saja Ki Sanggabumi.”
Lurah prajurit itu bimbang sejenak, lalu, “Apakah hal itu tidak justru menambah kesulitan saja.”
“Kita memang sudah berdiri di atas seribu macam kesulitan. Kita bunuh Sanggabumi, kemudian kita kubur diam-diam di tengah pategalan yang rimbun itu.”
“Lalu, bagaimana dengan kita?”
“Aku tetap akan mengambil tawanan itu. Hidup atau mati.”
Mereka tidak sempat berbincang lebih lama lagi. Kuda yang menyusul Ki Legawa itu sudah semakin dekat. Tetapi Ki Legawa tidak lagi berpacu melarikan diri. Justru ialah yang kemudian melintangkan kudanya di tengah jalan.
Dalam pada itu Lurah prajurit yang semula mengejar Ki Legawa dengan penuh kecurigaan itu menjadi termangu-mangu. Sejenak ia memandang kedua prajuritnya berganti-ganti. Tetapi pada wajah prajurit-prajurit itu, ia pun melihat kebimbangan seperti di hatinya sendiri.
“Jangan bingung menghadapi keadaan seperti ini,” berkata Ki Legawa, “kita harus mengambil sikap.”
Lurah prajurit itu tidak menjawab. Tetapi ia mengambil sikap, bahwa ia akan berpihak Ki Legawa untuk sementara. Jika ada perkembangan keadaan, ia akan mengambil sikap lain.
Dalam pada itu, orang yang berpacu mengejar Ki Legawa sudah menjadi semakin dekat, dan kemudian berhenti beberapa langkah di hadapannya.
“Kau tidak lari terus?” bertanya orang itu.
“Tidak,” jawab Ki Legawa, “aku memang menunggu kau berdua. Di mana Ki Sanggabumi?”
Tetapi orang itu tidak perlu menjawab. Mereka segera mendengar derap kaki kuda mendekat. Ternyata Ki Sanggabumi telah menjadi semakin dekat pula.
“Bagus,” berkata Ki Legawa kemudian, “sekarang kita harus saling berterus terang. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki dari kami.”
“Bertanyalah kepada Ki Sanggabumi.”
Ki Legawa mengerutkan keningnya. Ia menunggu sejenak sehingga Ki Sanggabumi sudah menjadi semakin dekat dan berhenti di samping kawannya.
“Ki Legawa,” berkata Ki Sanggabumi dengan suara bergetar karena getar jantungnya yang menjadi semakin cepat, “kenapa kau lari?”
“Aku tidak lari. Seperti yang kau lihat, aku berhenti di sini.”
“Tetapi bukankah pembicaraan kita belum selesai.”
“O,” Ki Legawa mengangguk-angguk, “baiklah. Jika demikian apakah kita akan menyelesaikannya sekarang.”
“Tentu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Kakang Panji memerlukan kedatanganmu?”
Ki Legawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, aku berterus terang Ki Sanggabumi. Aku tidak dapat mempercayaimu. Kau tentu tidak ubahnya seperti kawan-kawanmu yang ingin memutus jalur yang menghubungkan orangku yang tertawan dengan orang yang kau sebut Kakang Panji itu.”
“Kau terlampau berprasangka.”
“Dalam keadaan seperti aku sekarang ini, maka aku harus berwaspada.”
“Kau keliru, Ki Legawa.”
“Tidak. Aku tidak keliru.” Ki Legawa berhenti sejenak, lalu, “Ki Sanggabumi, sebaiknya kau tidak usah menghiraukan aku lagi. Aku tetap bertanggung jawab atas orangku yang hilang itu. Jika kau memang bermaksud baik, biarlah aku pergi ke Mataram mengurus orangku yang tertawan itu. Aku akan mengambilnya hidup atau mati. Jika kau ingin memutuskan jalur itu, aku pun demikian. Tetapi tentu saja bahwa aku tidak ingin jalur yang terputus itu adalah pada diriku. Bagiku lebih baik membunuh tawanan itu dengan cara apa pun dari pada aku sendiri yang harus mati.”
Ki Sanggabumi mengerutkan keningnya. Ia melihat kecurigaan yang memuncak pada tatapan mata Ki Legawa. Karena itu, maka ia tidak membuang waktu lebih lama lagi. Katanya berterus terang, “Baiklah, Ki Legawa. Agaknya kau memang sudah tidak dapat diajak berbicara. Jika kau mencurigai kami sampai ke ujung ubun-ubun, maka aku pun wajib mencurigamu sampai ke pusat jantung. Jika kau akan pergi ke Mataram, tentu bukan untuk mengambil tawanan itu. Tetapi  kau tentu akan mencari perlindungan. Kau tentu akan menyebut namaku dan Kakang Panji meskipun kau belum mengetahui siapakah Kakang Panji itu sebenarnya. Tetapi bahwa ada di antara Senapati Pajang yang disebut Kakang Panji, tentu akan kau katakan untuk kepentingan keselamatanmu sendiri. Kau tidak akan segan-segan berkhianat atas kami semuanya.”
“Terserahlah penilaianmu, Ki Sanggabumi,” berkata Ki Legawa, “tetapi aku akan berusaha untuk keselamatanku dan orang-orangku. Jika aku berhasil membunuhnya, maka aku dan anak buahku yang lain akan selamat. Sebenarnya kau pun akan selamat pula.”
“Itu bagi kami merupakan sebuah dongeng ngayawara. Bagi kami, kau tentu hanya sekedar akan melarikan diri setelah kau membunuh seorang senapati yang bertugas memanggilmu dengan niat yang baik.”
“Omong kosong!”
“Jika demikian, maka di antara kita tidak ada lagi yang dapat dibicarakan. Yang dapat dicari persesuaiannya. Kau teguh pada sikap curiga dan prasangka. Sedang aku mencoba untuk menemukan jalan keluar yang sebaik-baiknya.”
“Ki Sanggabumi. Hanya ada satu pilihan bagiku. Pergi ke Mataram untuk menyalamatkan anak buahku. Jika karena itu aku akan ditangkap dan digantung oleh orang-orang Mataram atas ijin Kanjeng Sultan Pajang, aku tidak peduli.”
Wajah Ki Sanggabumi menjadi merah padam. Katanya, “Jangan menjadi besar kepala. Kau kira bahwa tiga orang anak buahmu itu dapat menggetarkan dadaku. Ki Legawa, aku tahu bahwa kau adalah seorang prajurit pilihan. Tetapi aku adalah Sanggabumi dan kawanku yang seorang ini adalah tamuku dari pesisir Utara yang di kenal dengan sebutan Angin Laut. Sedang sebenarnya namanya adalah Kuda Pradapa. Kami adalah saudara seperguruan. Karena itu Ki Legawa, kalian berempat tidak akan banyak berarti bagi kami berdua.”
Sebelum Ki Legawa menyahut, tiba-tiba Ki Lurah berkata, “Ki Legawa. Aku kira kami bukan empat ekor tikus yang bertemu dengan dua ekor kucing.”
Mendengar jawaban lurah prajurit itu, Ki Legawa menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat menangkap makna yang tersirat. Dengan demikian lurah prajurit itu akan berpihak kepadanya.
Meskipun demikian, Ki Legawa yang sedang diliputi oleh kecemasan dan kecurigaan itu tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh prajurit-prajuritnya setelah pertengkaran dengan Ki Sanggabumi selesai.
Namun dalam pada itu, jawaban lurah prajurit itu membuat Ki Sanggabumi menjadi semakin marah. Katanya, “Kalian seharusnya mengerti siapa Senapati Sanggabumi. Seterusnya terserah kepada kalian.”
“Hampir setiap prajurit mengerti siapakah Sanggabumi. Tetapi juga setiap prajurit tidak akan membiarkan kepalanya dipenggal tanpa berbuat apa pun juga. Selebihnya, aku adalah seorang lurah prajurit yang dalam keadaan tanpa pilihan. Karena itu,  sebaiknya aku mempertahankan diriku. Jika aku dapat tetap hidup, meskipun Ki Legawa tidak ada ke mana pun ia pergi, aku akan dapat mengatakan, bahwa orang yang lebih tinggi kedudakannya di dalam hubungan antara prajurit, yang menghendaki runtuhnya Mataram adalah Ki Sanggabumi, seorang senapati linuwih.”
“Persetan,” geram Sanggabumi. Lalu katanya kepada kawannya, “Kuda Pradapa, kita akan membagi tugas. Biarlah aku mengurus Ki Legawa. Jika prajurit-prajurit itu akan membantunya, aku tidak berkeberatan. Kau bungkam saja mulut lurah itu untuk selamanya, agar ia tidak lagi dapat menyebut namaku di hadapan orang Pajang atau orang Mataram.”
Orang yang bernama Kuda Pradapa itu menganggukkan kepalanya. Katanya, “Aku memang sudah muak mendengarnya. Meskipun aku baru mengenalnya hari ini, tetapi benciku kepadanya melampaui benciku kepada musuh bebuyutan.”
“Bagus,” sahut Ki Lurah, “agar kita dapat bertempur bersungguh-sungguh, maka kita harus saling membenci sampai ke ujung ubun-ubun.”
Kuda Pradapa sama sekali tidak menjawab. Tetapi gejolak perasaannya sudah tidak terkendali lagi. Dengan serta-merta ia pun langsung menyerbu lurah prajurit yang dianggapnya terlampau sombong itu.
Tetapi lurah prajurit itu memang sudah bersiap. Dalam sekejap ia sudah menggenggam senjata. Ketika serangan itu tiba, ia menggerakkan kendali kudanya dan siap untuk melawan.
Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kuda mereka berlari-larian melingkar di jalan yang terlampau sempit bagi pertempuran di atas punggung kuda. Karena itu, maka kuda-kuda itu pun segera turun ke sawah yang sedang kering.
Dua orang prajurit yang mengawal Ki Lurah itu tidak membiarkan pimpinannya bertempur seorang diri. Mereka pun segera terjun ke dalam arena, sehingga empat orang berkuda berkejar-kejaran dengan senjata telanjang di tangan.
Dalam pada itu Ki Legawa pun sudah siap pula menghadapi Ki Sanggabumi. Ki Legawa sadar sepenuhnya, bahwa orang yang bernama Sanggabumi itu memiliki kemampuan yang luar biasa. Tetapi Ki Legawa sendiri yakin akan dirinya. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, “Aku baru mendengar nama dan kelebihannya dari mulut ke mulut. Tetapi aku belum pernah melihatnya di medan perang.”
Sejenak kemudian Ki Sanggabumi yang sudah sampai ke puncak kemarahannya itu pun mendekat. Dengan wajah yang merah ia berkata, “Ki Legawa. Sebutlah nama ibu bapamu untuk yang terakhir. Sebentar lagi, yang tinggal hanyalah namamu saja. Ki Legawa. Seorang yang tidak pernah berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.”
Ki Legawa mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia mendera kudanya sehingga kudanya meloncat maju
Sebentar kemudian keduanya pun telah bertempur pula dengan sengitnya. Seperti Ki Lurah yang bertempur bersama kedua pengawalnya melawan Kuda Pradapa di tengah-tengah sawah, maka kuda Ki Legawa dan Sanggabumi pun telah menginjak-injak tanaman palawija yang sedang tumbuh.
Kedua belah pihak di dua lingkaran pertempuran itu pun mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri masing-masing. Apalagi ketika mereka menyadari, bahwa ternyata ada satu dua orang yang melihat dari kejauhan perkelahian berkuda di tengah-tengah sawah tanpa menghiraukan tanaman yang rusak.
Tetapi kedua belah pihak tidak mau melepaskan kesempatan untuk keluar dari arena dengan selamat. Ki Sanggabumi yang merasa dirinya seorang senapati pilihan menjadi heran, bahwa ternyata Ki Legawa adalah seorang yang memiliki pengalaman yang luas di dalam perang tanding. Ia adalah seorang penunggang kuda yang baik. Senjatanya berputaran dan sekali-sekali mematuk dengan cepatnya.
Karena itu Sanggabumi tidak lagi menganggap dirinya seorang senapati yang memiliki kemampuan jauh di atas lawannya. Semakin lama terasa olehnya, bahwa jika Ki Legawa berani menentang dan melawannya langsung berhadapan, adalah karena Ki Legawa memang memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya.
Sementara itu, Kuda Pradapa pun bertempur dengan gigihnya. Ki Lurah adalah seorang yang kasar, kuat dan kadang-kadang tidak dapat diduga tata geraknya. Dibantu oleh dua orang prajuritnya, menjadikannya seorang yang berbahaya. Karena itu, Kuda Pradapa yang memiliki gelar di Pasisir Utara Angin Laut itu ternyata harus memeras segenap kemampuannya untuk melawan tiga orang yang dapat bergerak dengan cepat, kasar, dan bahkan mengejutkan sama sekali.
Tetapi orang yang bergelar Angin Laut itu memiliki pengalaman yang luas pula seperti Sanggabumi dan Ki Legawa.
Bahkan, ia mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan sehingga ia disebut Angin Laut. Angin yang kencang dan dapat menimbulkan prahara di lautan. Jika Angin Laut mengerahkan segenap kemampuannya, maka lautan pun bagaikan diaduk dan batu-batu karang menjadi retak dan pecah berguguran.
Orang yang bernama Angin Laut itu menjadi heran melihat lawan-lawannya. Ia adalah seorang lurah prajurit yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar dan hanya mempunyai sekedar kemampuan membela diri di peperangan apabila diperlukan harus bertempur seorang lawan seorang. Tetapi lurah prajurit Pajang ini mempunyai kemampuan perang tanding yang luar biasa. Kekasarannya kadang-kadang dapat menumbuhkan kecemasan di hati lawannya. Apalagi sekali-sekali lurah itu berteriak nyaring sambil mengayunkan senjatanya.
Pertempuran itu memang menarik perhatian orang yang melihat dari kejauhan. Beberapa orang menjadi ketakutan. Tetapi yang lain justru memanggil kawan-kawannya.
“Sawah Ki Panut menjadi debu. Tanamannya hancur,” berkata seorang petani kepada kawannya.
“Panggil Ki Panut.”
“Tidak ada gunanya. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Siapakah yang bertempur itu?”
“Tidak tahu. Di antaranya ada prajurit Pajang.”
“Mungkin prajurit Pajang sedang mengejar penjahat.”
Tetapi mereka tidak dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka melihat perkelahian itu dari kejauhan. Mereka tidak melihat, bahwa prajurit Pajang ada di kedua belah pihak yang sedang bertempur itu.
Demikian besar usaha mereka untuk saling membunuh, maka mereka pun telah mengerahkan segenap tenaga yang ada. Segenap kemampuan dan ilmu.
Ki Legawa yang mempunyai ilmu yang tangguh, berusaha untuk dapat mengimbangi kemarahan Ki Sanggabumi. Seorang senapati yang pilih tanding.
Tetapi Ki Sanggabumi tidak mengetahui, bahwa sebenarnyalah Ki Legawa telah membawa bekal yang cukup ketika ia harus melakukan pendadaran. Ki Legawa tidak perlu menunjukkan separuh dari kemampuannya untuk dapat mencapai batas kemampuan yang harus dimiliki oleh calon prajurit. Kemudian kedudukannya dengan cepat meloncat.
Namun akhirnya ia terperosok ke dalam lingkungan para prajurit yang mempunyai sikap tersendiri. Kebenciannya kepada Mataram dan ketamakannya atas kemungkinan yang berlebihan di masa datang, telah menyeretnya ke dalam lingkungan orang-orang seperti Ki Sanggabumi. Kemampuannya yang tinggi itulah yang membuatnya mendapat kepercayaan dari senapati penghubung yang telah dibunuhnya dan disimpannya di kolong amben.
Dan kini Ki Legawa itu berhadapan dengan Ki Sanggabumi sendiri dalam perang tanding di atas punggung kuda.
Dan perang tanding itu adalah perang tanding yang sangat sengit. Masing-masing telah memeras kemampuan mereka mengendalikan kuda masing-masing, selain mengerahkan segala macam ilmu yang pernah mereka pelajari. Ilmu ketangkasan, olah kanuragan dan senjata. Tetapi juga akal dan kepandaian memperhitungkan waktu. Sekejap pun akan dapat berarti maut di dalam perang tanding yang demikian.
Ki Sanggabumi yang menganggap bahwa membunuh Ki legawa bukan suatu tugas yang berat, menjadi sangat marah ketika ia melihat kenyataan bahwa Ki Legawa mampu mempertahankan dirinya untuk waktu yang lama. Bahkan sampai saat terakhir masih belum ada tanda-tanda bahwa ia akan mampu membinasakan orang yang menjadi salah satu mata rantai yang dapat menghubungkan nama orang yang tertawan dengan orang yang disebut Kakang Panji.

Karena itu, Ki Sanggabumi menjadi tidak sabar lagi. Ia harus dapat membunuh Ki Legawa dengan cara apa pun juga.
Karena itu, maka Ki Sanggabumi pun menjadi semakin garang. Segenap tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya segera dikerahkannya, sehingga tandangnya menjadi semakin cepat dan garang.
Tetapi ternyata bahwa Ki Legawa pun berbuat serupa. Tenaga cadangan dan ilmu pamungkas yang dibawanya dari perguruannya sejak ia memasuki lingkungan keprajuritan telah dikerahkannya pula untuk melawan kedahsyatan ilmu Ki Sanggabumi.
Dalam pada itu, saudara seperguruan Ki Sanggabumi pun harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan lurah prajurit bersama kedua kawannya. Mereka bertempur bersama dengan dahsyatnya. Semakin lama menjadi semakin kasar dan bahkan menjadi agak buas.
Kuda Pradapa yang juga disebut Angin Laut itu pun harus berbuat seperti saudara seperguruannya. Ia harus mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya. Namun ketiga lawannya ternyata memiliki ilmu yang tangguh. Setiap kali Kuda Pradapa mendesak salah seorang lawannya, maka yang lain pun segera mengisi kelemahan itu dengan serangan yang sengit. Sehingga dengan demikian, Kuda Pradapa tidak sempat untuk membinasakan salah seorang pun dari ketiganya.
“Aku harus membinasakan mereka bersama-sama,” geram Kuda Pradapa di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Jika ia tidak berhasil maka ia tidak akan dapat segera menyelesaikan perkelahian itu. Apalagi ketika ia sadar, orang yang melihat perkelahian itu semakin lama menjadi semakin banyak meskipun dari kejauhan.
“Pada suatu saat, maka prajurit-prajurit Pajang akan mendapat laporan dan segera akan mengepung kami semuanya,” berkata Kuda Pradapa di dalam hatinya. Seperti juga lurah dan kedua prajuritnya bergumam di dalam diri masing-masing.
Dengan demikian mereka pun bersama-sama telah mengerahkan kemampuan yang ada di dalam diri mereka masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin dahsyat.
Namun karena itu maka kemampuan mereka pun bersama-sama meningkat, sehingga pertempuran itu masih tetap seimbang.
Ki Kuda Pradapa tidak dapat membiarkan dirinya terlibat terlampau lama dalam peperangan itu. Ia tidak mau menjadi seorang tawanan prajurit Pajang karena terlibat dalam persolan yang tidak menyangkut dirinya dan perjuangan bagi dirinya sendiri, selain karena permintaan saudara seperguruannya.
Karena itu, maka Kuda Pradapa pun mempersiapkan senjata pamungkasnya. Seperti saudara seperguruannya, Ki Sanggabumi, maka Kuda Pradapa pun mempunyai senjata yang aneh. Ia mempunyai semacam pisau kecil beracun. Dalam keadaan yang genting ia dapat mempergunakan senjata itu.
Kuda Pradapa merasa bahwa keadaannya memang sudah sangat gawat baginya. Setiap saat prajurit Pajang akan segera datang. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia mengambil pisau kecil itu dari ikat pinggangnya.
Ki Lurah masih sempat melihat ikat pinggang Kuda Pradapa yang dipenuhi dengan pisau-pisau kecil yang berjajar melingkar sepanjang ikat pinggangnya. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan berbuat apa pun juga. Memang sekilas ia teringat kata-kata Ki Legawa bahwa Ki Sanggabumi mempunyai semacam jarum beracun. Agaknya pisau-pisau kecil itulah yang dimaksud.
Belum lagi ia sempat menentukan sikap, ia melihat seperti kilat meloncat di langit, tangan Kuda Pradapa itu terjulur ke arahnya. Ia merasa sesuatu menyentuh dadanya. Namun kemudan ia sadar, bahwa yang menyentuh dadanya itu adalah sebilah pisau kecil.
Agaknya kedua prajuritnya pun melihat hal itu. Tetapi ternyata mereka masih mempunyai kesempatan. Selagi Kuda Pradapa melemparkan pisau itu maka mereka sempat mendera kuda mereka dan berlari menjauh ke arah yang berbeda.
Kuda Pradapa tidak segera mengejar mereka. Ia masih bersiap menghadapi sikap terakhir dari Ki Lurah itu.
Ternyata Ki Lurah masih berusaha untuk menyerangnya dengan senjata teracu. Tetapi racun yang bekerja di dalam tubuhnya adalah racun yang sangat tajam, sehingga dalam beberapa saat yang pendek, Ki Lurah sudah kehilangan tenaganya. Karena kudanya masih saja berlari, tubuh Ki Lurah yang menjadi lemah itu seolah-olah tertunduk dan menelungkup di punggung kudanya.
Dalam pada itu, Ki Legawa melihat senjata yang dipergunakan oleh Kuda Pradapa. Sekilas ia teringat bahwa Ki Sanggabumi pun tentu memiliki senjata yang serupa. Sehingga karena itu, maka ia pun segera memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sanggabumi.
Tidak mustahil bahwa Ki Sanggabumi pun akan segera menyerangnya dengan senjata beracun itu.
Apa yang diduga oleh Ki Legawa agaknya benar-benar akan dilakukan. Karena itu, Ki Legawa tidak mau melepaskan ketempatan untuk membela diri pada saat terakhir. Dengan cepatnya ia mencabut kerisnya. Ia tidak menyerang dengan mendera kudanya maju mendekat, karena dengan demikian ia akan kehilangan waktu.
Yang dilakukannya kemudian adalah menyerang Ki Sanggabumi dengan kerisnya dari jarak yang agak jauh. Keris pusakanya itu telah dilontarkannya dengan sekuat tenaganya.
Namun bersamaan dengan itu, ternyata sebelah pisau telah meluncur pula dari tangan Ki Sanggabumi. Seperti Ki Legawa, Ki Sanggabumi pun terkejut melihat senjata yang dengan kecepatan yang tak terelakan telah menyambarnya.
Hampir pada saat yang bersamaan, terdengar keluhan tertahan dari kedua belah pihak. Pada saat yang hampir bersamaan kedua senjata yang melayang di udara itu telah menyambar sasaran masing-masing. Keris Ki Legawa menghunjam di dadanya Ki Sanggabumi hampir mengenai jantungnya, sedang pisau Ki Sanggabumi telah menancap di bahu kiri Ki Legawa
Meskipun pisau kecil itu sebenarnya tidak menusuk tempat yang berbahaya, tetapi racunnyalah yang telah merambat ke segenap urat nadi Ki Legawa seperti juga warangan di kerisnya yang seakan-akan telah membekukan darah Ki Sanggabumi.
Keduanya masih sempat berpandangan sesaat. Betapa kemarahan nampak memancar dari mata masing-masing. Namun sejenak kemudian mereka pun tidak lagi dapat bertahan. Perlahan-lahan mereka menjadi lemah, dan akhirnya terjatuh dari punggung kuda masing-masing.
Kuda Pradapa melihat keduanya menghembuskan nafas terakhir seperti juga lurah prajurit yang dikenalnya. Sekilas ia melihat dua orang prajurit berkuda yang memandanginya dengan penuh kebencian.
Tetapi agaknya kedua prajurit itu hanya memandanginya saja dari kejauhan. Setelah lurahnya terbunuh, mereka tidak lagi berniat untuk melanjutkan pertempuran. Apalagi mereka pun sadar, bahwa pisau-pisau kecil itu pun akan dapat membunuh mereka seperti membunuh lurahnya yang lengah itu.
Kuda Pradapa masih berada di tempatnya. Di atas punggung kuda di tengah sawah yang ditanami palawija. Tetapi tanaman itu sudah berserakkan seperti di bajak lagi.
Tiba-tiba saja Kuda Pradapa melihat debu mengepul di kejauhan. Ia pun segera sadar, bahwa tentu ada seseorang yang telah melaporkan pertempuran itu. Karena itulah maka ia tidak berpikir terlampau panjang lagi. Segera ia mendera kuda yang meloncat dan berlari kencang seperti sedang berpacu dengan hantu, meninggalkan mayat lawannya dan mayat saudara seperguruannya.
Namun demikian Kuda Pradapa itu rasa-rasanya masih saja seperti bermimpi, bahwa saudara tua seperguruannya, Ki Sanggabumi tiba-tiba saja sudah mendahuluinya. Baru beberapa saat lamanya, saudara seperguruannya itu mengajaknya menunggu Ki Legawa lewat. Kini ia sudah tidak lagi dapat berbuat apa pun juga.
“Aku datang untuk menengoknya. Sudah lama aku tidak pernah bertemu. Baru sehari aku di sini, ia sudah meninggalkan aku dalam perkelahian yang seru. Agaknya Ki Legawa itu pun seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi,” katanya di dalam hati.
Dalam pada itu kudanya masih berpacu terus. Ia tidak tahu dengan pasti, kemana ia pergi. Tetapi ia tidak menghiraukannya lagi. Ia harus menjauhi arena pertempuran sebelum para prajurit di Pajang mengepung dan menangkapnya.
Ketika ia berpaling, ternyata tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Jaraknya memang terlampau jauh. Karena itu maka ia tidak perlu berpacu secepat-cepatnya lagi.
“Apakah kedua prajurit itu tidak melarikan diri?” bertanya Kuda Pradapa di dalam hatinya.
Sebenarnyalah kedua prajurit yang bertempur melawan Kuda Pradapa itu tidak melarikan diri. Mereka tidak dapat ingkar lagi bahwa pada suatu saat mereka akan dapat tertangkap. Karena itu, daripada mereka harus bersembunyi dan hidup dalam ketakutan, lebih baik menyerahkan diri.
“Kami bukan orang yang bertanggung jawab,” berkata salah seorang dari kedua prajurit itu kepada kawannya, “karena itu biar sajalah kami menyerah.”
Yang lain menganggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sependapat. Tidak ada gunanya lagi untuk bersembunyi. Mudah-mudahan pimpinan prajurit di Pajang mengerti duduk persoalannya.”
“Kita dapat memberikan penjelasan.”
Dengan demikian maka keduanya sudah sependapat bahwa mereka akan menyerah saja kepada sekelompok prajurit berkuda yang datang.
Prajurit-prajurit yang datang itu pun terkejut ketika mereka melihat dua sosok mayat yang tergolek di tanah. Mereka sudah mengenal keduanya dengan baik.
“Dua orang senapati pilihan,” desis lurah prajurit berkuda yang memimpin kelompok itu.
“Ya, Ki Legawa dan Ki Sanggabumi.”
Prajurit-prajurit berkuda itu pun kemudaan melihat mayat yang lain. Lurah prajurit yang mereka kenal juga.
Lurah yang memimpin pasukan berkuda itu pun kemudian memandang kedua orang prajurit yang sudah turun dari kudanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Siapakah yang telah membunuh mereka?”
Salah seorang prajurit itu berkata, “Kedua Senapati itu saling berbunuhan. Mereka telah mati sampyuh dalam petang tanding.”
“Dan lurahmu itu.”
“Seorang yang bernama Kuda Pradapa telah membunuhnya.”
“Siapa Kuda Pradapa?”
“Menurut keterangan yang aku dengar sebelum kami berkelahi, Kuda Pradapa adalah saudara seperguruan Ki Sanggabumi.”
“Apakah sebabnya kalian berkelahi?”
Kedua prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka pun berkata berterus terang apa yang sebenarnya sudah terjadi. Sejak mereka mendapat tugas untuk mencegat Ki Juru Martani. Kemudian perselisihan antara Ki Legawa dengan seorang senapati yang memberikan perintah kepadanya, sehingga Ki Legawa telah membunuhnya. Akhirnya sampyuh dengan Ki Sanggabumi dan lurahnya terbunuh oleh Kuda Pradapa.
Prajurit itu menceriterakan segala-galanya sehingga lurah yang memimpin kelompok prajurit berkuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bukan main,” berkata Lurah prajurit itu, “suatu usaha pembunuhan yang tidak terduga-duga sama sekali. Ternyata bahwa usaha pembunuhan yang dilakukan atas Ki Gede Pemanahan beberapa saat yang lalu masih juga ada ekornya. Ternyata di Pajang memang ada sekelompok prajurit yang benar-benar tidak mau melihat Mataram tumbuh dan berkembang.”
“Ya.”
“Maaf, Ki Sanak,” berkata lurah itu, “kalian berdua terpaksa kami tangkap. Mungkin tidak terlalu lama. Setelah kalian memberikan keterangan seperlunya, kalian akan dibebaskan lagi.”
“Atau digantung di alun-alun,” desis salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah prajurit berkuda yang datang kemudian mengangkat bahunya.
“Semuanya akan diputuskan oleh yang berwenang,” berkata Lurah itu.
Demikianlah, maka kedua prajurit itu dengan tanpa berbuat apa pun telah menyerahkan diri. Sementara Ki Lurah yang menangkapnya telah memerintahkan beberapa orang penghubung untuk melaporkan kematian senapati yang di bunuh oleh Ki Legawa.
“Mayat senapati itu ada di dalam barak. Karena itu harus diusahakan agar dapat diambil tanpa salah paham. Biarlah orang yang berkepentingan menghubungi pimpinan yang masih ada di dalam barak itu,” berkata Ki Lurah kepada penghubung yang diperintahkannya untuk melaporkan peristiwa itu.
Namun dalam pada itu, kematian Ki Legawa dan Ki Sanggabumi itu telah sampai pula ke telinga orang yang disebut Kakang Panji itu.
Dengan kemarahan yang memuncak, orang yang disebut Kakang Panji itu berjalan hilir-mudik di dalam biliknya. Ia telah kehilangan dua orang pembantu setia sekaligus pada hari yang sama. Bahkan seakan-akan mereka terbunuh dalam keadaan yang tidak berarti sama sekali.
“Keduanya gila dan bodoh,” geram orang yang disebut Kakang Panji itu, “kenapa mereka harus mengorbankan diri hanya oleh seekor kelinci gila yang bernama Legawa itu.”
Seorang pembantunya yang ada di dalam bilik itu hanya menundukkan kepalanya saja.
“He, Adi Dadap Wereng. Kau pun seorang senapati pilihan seperti Sanggabumi. Tetapi kau jangan lengah dan ragu-ragu. Akibatnya sudah dapat kau lihat.”
Orang bernama Dadap Wereng itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagiku kematian mereka tidak perlu disesali.”
“Mereka adalah tenaga yang baik bagiku dan dapat dipercaya. Dari mulut mereka tidak akan dapat keluar rahasia apa pun juga. Kini kita tinggal bertiga dengan Sorohpati. Pada suatu saat kita akan kehabisan tenaga.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya, “Kakang Panji tidak perlu cemas. Bukankah kita dapat mengangkat kawan-kawan baru. Bukankah masih ada Ki Taksini, Ki Reksanata yang kadang-kadang disebut Kiai Bandotan.”
“Aku belum meyakini kesetiaan mereka di dalam hubungan sehidup semati di antara kita.”
“Kita tidak tergesa-gesa. Yang penting, kali ini kita sudah diselamatkan oleh kematian Ki Legawa. Memang sayang sekali bahwa kedua kawan kita itu mati. Tetapi apa boleh buat. Mungkin besok atau lusa akulah yang akan mati atau Sorohpati. Tetapi kita sudah menyadari bahwa semua itu adalah akibat langsung dari cita-cita kita untuk menenggelamkan Mataram, kemudian  meringkihkan Pajang. Dengan demikian maka adalah wajar jika ada korban yang harus diberikan. Memang aku berharap agar korban itu bukan aku, sehingga aku dapat menikmati kamukten yang bakal kita dapatkan.”
“Kau gila.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya, “Bukankah Kakang Panji juga berharap akan dapat hidup sampai saat Pajang jatuh? Bahkan kemudian menjadi seorang pemimpin tertinggi? Barangkali Kakang Panji memang tidak ingin menjadi raja karena seorang raja memerlukan banyak pertimbangan. Tetapi bagaimana dengan guru Kakang Panji yang menurut ceritera adalah keturunan langsung dari Majapahit itu?
“Kau jangan mengigau. Jangan pula kau sebut-sebut guru.”
“Kenapa? Bukankah Kakang Panji yang mengatakan bahwa guru Kakang Panji itu putera Pangeran Banjarpati, seorang Pangeran dari Majapahit?”
Orang yang disebut Kakang Panji itu mengerutkan keningnya. Tetapi kepalanya terangguk-angguk lemah.
“Dan bukankah Kakang Panji yang mengatakan bahwa guru Kakang Panji itu kini hidup sebagai pertapa yang terasing dan sama sekali tidak menunjukkan derajadnya yang sebenarnya?”
“Ya. Tetapi ia tetap berhak menuntut warisan nenek moyangnya.”
Dadap Wereng mengangguk pula. Katanya, “Barangkali ia memang lebih berhak dari Karebet. Apalagi anak Pemanahan yang kini berkuasa di Mataram sepeninggal ayahnya. Kenapa guru Kakang Panji itu tidak menyatakan dirinya saja sebagai Banjarpati Kedua sehingga dengan demikian ia akan segera mendapat dukungan dari orang-orang yang masih merindukan kebesaran Majapahit?”
“Bukankah keturunan Majapahit telah tersingkir?”
“Orang akan menyadari bahwa akhirnya mereka memerlukannya. Apa yang dapat diberikan oleh Karebet bagi Pajang sekarang ini selain kehidupan yang mewah bagi dirinya sendiri. Isteri yang berlimpah jumlahnya. Tetapi tanpa usaha yang nyata bagi kebesaran Pajang?”
Orang yang disebut Kakang Panji itu tidak segera menyahut.
“Kakang Panji, saatnya sudah tiba. Sebaiknya Kakang Panji menghadap Putera Pangeran Banjarpati itu. Ia tentu menyadari betapa gawat saat sekarang ini. Sebelum terlambat maka kita wajib segera bertindak.”
Tetapi orang yang disebut Kakang Panji menggeleng. Katanya, “Kita tetap dalam rencana. Pajang dan Mataram pada suatu saat akan berbenturan. Barulah kita akan mulai dengan perjuangan yang sebenarnya.”
“Kakang. Tetapi Kakang harus ingat, bahwa sudah ada orang yang mampu mengalahkan Panembahan Agung. Bukankah menurut perhitungan kita, Panembahan Agung hanya dapat dihancurkan oleh guru Kakang Panji itu?”
“Semua sudah diperhitungkan. Meskipun demikian, aku akan menghadap. Setelah Ki Gede Pemanahan dimakamkan, kita akan melihat ke arah manakah Mataram akan berkembang di bawah pimpinan Sutawijaya.”
“Disampingnya ada Ki Juru Martani. Dan meskipun tidak menentukan, tetapi orang bercambuk itu sangat memuakkan. Selebihnya kekuatan yang telah menghancurkan Panembahan Agung harus diperhitungkan sebaik-baiknya.”
“Aku mengerti. Aku menunggu sampai satu dua pekan lagi setelah Ki Gede Pemanahan dimakamkan. Siapakah yang akan memegang peranan di Mataram. Ki Juru Martani atau orang bercambuk itu.”
Dadap Wereng mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hampir tidak sabar lagi. Tetapi Kakang Panji-lah yang memegang pimpinan di sini.”
Orang yang disebut Kakang Panji itu tidak menyahut. Ia berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya. Bermacam-macam bayangan berganti-ganti nampak di rongga matanya.
“Guru memang sudah sangat tua,” katanya di dalam hati, “ia harus ada di pusat kerajaan sebelum umurnya merenggut hidupnya. Kemudian aku adalah satu-satunya muridnya dan guru memang tidak mempunyai anak keturunan, sehingga apabila  benar-benar guru mendapat dukungan untuk memegang kekuasaan karena derajat keturunannya dari Majapahit, maka semuanya tentu akan mengalir kepadaku.”
“Apa yang sedang kau renungkan?” bertanya Dadap Wereng.
“Sutawijaya,” jawab Panji itu, “ia tidak akan berkuasa lebih dari Alas Mentaok sekarang.”
Dadap Wereng mengangguk-angguk.
“Dadap Wereng,” berkata orang yang disebut Kakang Panji itu, “kau harus membicarakan perkembangan keadaan ini dengan Sorohpati. Mungkin aku akan bertemu dengan Ki Reksanata, tetapi tidak dalam kedudukanku ini. Aku ingin menjajagi pendapatnya lebih dahulu. Aku memang lebih tertarik kepada Reksanata daripada Taksini yang tamak.”
“Terserahlah kepada Kakang Panji. Tetapi bagiku Taksini adalah orang yang bodoh dan keras hati.”
“Aku akan melihatnya kelak. Sekarang, meskipun Legawa dan bahkan kedua senapati kita sudah mati, kau harus tetap berhati-hati. Awasilah perkembangan keadaan.”
“Aku akan melihat, apakah yang akan dilakukan oleh prajurit-prajurit Pajang atas mayat-mayat itu. Mungkin mereka akan menangkap anak buah lurah yang terbunuh itu.”
“Mereka akan menyerahkan kepadamu. Kau sebagai seorang senapati yang langsung bertanggung jawab atas kelompok prajurit yang mendapat tugas pengamanan kota hari ini.”
Dadap Wereng tertawa. Katanya, “Mungkin sudah ada satu dua orang yang menunggu aku di gardu induk. Tetapi Adi Surapada ada di gardu. Ia akan mengambil kebijaksanaan selama aku tidak ada. Ia adalah seorang perwira yang cekatan. Aku mempercayainya sehingga aku tidak perlu gelisah.”
Orang yang disebut Kakang Panji itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba saja ia bertanya, “Bagaimana dengan Surapada itu?
“Ia seorang perwira yang baik. Tangkas. Tetapi ia adalah seorang prajurit yang baik. Tidak mudah untuk berbicara dengan dia tentang pendirian kita.”
“Selain kedua Senapati yang terbunuh, kita memerlukan orang yang dapat menggantikan kedudukan Daksina. Seorang yang dengan cekatan berpetualang di luar kota Pajang dan bahkan sampai ke sekitar tanah yang sedang berkembang itu. Ia adalah seorang pembantu Panembahan Agung yang baik, tetapi juga pengawas yang teliti.”
Dadap Wereng mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Sulit bagi kita untuk menemukan orang seperti Daksina. Tetapi aku akan berusaha.”
“Perhatian Mataram harus terpecah. Jika mereka hanya sekedar menatap ke Pajang, apalagi Sultan Pajang masih tetap bersikap memanjakan Sutawijaya, maka kita akan segera dapat diketahuinya. Karena itu, Mataram harus memperhatikan gangguan-gangguan lain di luar Pajang.”
Dadap Wereng menarik nafas panjang sekali. Katanya, “Ah, lain kali sajalah kita berbicara tentang pengganti Daksina. Sekarang aku akan melihat, apa yang sudah dilakukan oleh prajurit-prajuritku atas orang-orang yang terbunuh itu. Sikap apakah yang sudah diambil oleh Surapada.”
Orang yang disebut Kakang Panji tidak menahannya lagi. Dibiarkannya Dadap Wereng kembali ke tugasnya. Tetapi semuanya sudah ditangani oleh pembantunya, Ki Surapada. Mayat-mayat yang ada di tengah sawah, dan bahkan yang ada di barak Ki Legawa pun sudah diambil tanpa terjadi sesuatu
Meskipun demikian, ketegangan telah memuncak ketika sekelompok prajurit datang mendekati barak tempat senapati yang terbunuh oleh Ki Legawa itu disembunyikan. Baru ketika para prajurit di dalam barak itu mendapat penjelasan bahwa mereka hanya akan mengambil mayat yang disembunyikan di bawah kolong di dalam bilik Ki Legawa, mereka tidak berbuat apa-apa, meskipun prajurit yang ada di dalam barak itu telah menyisipkan senjata masing-masing.
Dengan bijaksana, Suradapa sendiri yang memimpin prajuritnya mengambil mayat itu menjelaskan bahwa tidak akan ada tindakan apa-apa, karena tanggung jawab atas kematian senapati itu ada pada Ki Legawa.
Tetapi Suradapa masih harus bekerja dengan tekun. Ia harus mencari sebab kematian senapati itu. Kemudian kematian Legawa yang bertengkar dengan Sanggabumi.
“Apakah mereka mempunyai persoalan pribadi?” bertanya Suradapa kepada diri sendiri. Sedang orang yang kemudian akan diajaknya memperbincangkannya adalah senapati atasannya langsung yang bernama Dadap Wereng.
Karena itu, maka semua penyelidikan menjadi sangat sulit. Apalagi Dadap Wereng agaknya mengambil kesimpulan yang sangat mudah seperti dugaannya semula, “Tentu ada perselisihan pribadi. Apalagi ternyata bahwa Sanggabumi telah membawa seorang saudara seperguruannya yang bernama Kuda Pradapa, dan Legawa membawa tiga orang prajurit seteleh ia membunuh seorang senapati di baraknya. Senapati itu tentu sahabat Sanggabumi.”
Suradapa tidak puas dengan kesimpulan itu. Tetapi untuk sementara ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan laporan sementara kepada pimpinan prajurit Pajang pun berbunyi demikian.
Tetapi Suradapa bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimanakah jika prajurit-prajurit itu kelak mulai memberikan keterangan?”
Ternyata keterangan-keterangan yang kemudian diterimanya dari para prajurit, terutama dua orang prajurit yang bertempur dengan Kuda Pradapa memberikan sedikit petunjuk, apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka menyebut pula bahwa seorang kawan mereka telah ditangkap oleh Ki Juru Martani. Dan mereka memberikan gambaran bahwa Legawa terpaksa melakukan hal itu untuk membela diri.
Suradapa mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata kepada diri sendiri, “Ternyata kematian Ki Legawa dan Sanggabumi telah memutuskan jalur penyelidikan selanjutnya.”
Ketika Dadap Wereng mendapat laporan tentang keterangan yang dapat disadapnya dari prajurit, ia terkejut. Lalu katanya, “Jika demikian, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di Pajang ada sekelompok prajurit yang ingin berkhianat. Mereka ingin mengeruhkan hubungan antara Pajang dan Mataram. Agaknya mereka juga yang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beberapa waktu yang lalu.”
“Aku belum sampai pada pertanyaan tentang itu,” jawab Ki Suradapa.
“Baiklah,” berkata Dadap Wereng, “prajurit-prajurit itu harus tetap ditahan. Aku sendiri akan memeras keterangan dari mereka.”
Ki Suradapa mengangguk-angguk. Tetapi terlintas di kepalanya bahwa nasib prajurit-prajurit itu akan sangat buruk di tangan Dadap Wereng.
“Ki Dadap Wereng tentu marah sekali mendengar pengkhianatan serupa itu,” berkata Ki Suradapa di dalam hatinya, “dan agaknya kekasarannya akan membuat prajurit-prajurit itu menderita.”
Tetapi Suradapa tidak dapat berbuat apa-apa, karena Dadap Wereng adalah atasannya.
Dalam pada itu, Dadap Wereng sama sekali tidak merasa cemas lagi terhadap keterangan yang dapat diberikan oleh prajurit-prajurit itu. Yang mereka ketahui tidak lebih dari Ki Legawa. Kemudian prajurit-prajurit itu sekedar menduga, bahwa Sanggabumi pun agaknya terlibat pula. Ki Legawa dan Sanggabumi berusaha untuk saling melenyapkan. Tetapi selebihnya dari Sanggabumi yang telah mati mereka tidak tahu siapa pun juga. Menduga pun tidak akan mampu.
Dengan demikian maka Dadap Wereng pun tidak segan-segan lagi bertindak seperti yang biasa dilakukannya terhadap anak buahnya yang berbuat salah. Dan setiap keterangan yang keluar dari mulut prajurit itu, membuat mereka menjadi semakin terdesak untuk mengatakan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Namun apa pun yang mereka katakan, mereka tidak akan pernah mengetahui bahwa Dadap Wereng itu sendiri sebenarnya salah seorang dari para senapati yang telah menggerakkan mereka dari balik tirai.
Sementara itu, selagi orang-orang di Pajang sibuk membicarakan perkelahian yang tidak mereka ketahui ujung pangkalnya, maka orang-orang Mataram menyambut kedatangan Ki Juru Martani di ujung malam dengan berbagai pertanyaan. Kecuali kedatangannya membawa seorang yang mencurigakan, juga karena Ki Juru membawa sebuah payung yang ditutup dengan selongsong putih.
“Pamanda,” bertanya Sutawijaya, “apakah yang telah terjadi?”
“Perjalanan ayahandamu akan terulang kembali atasku Sutawijaya,” jawab Ki Juru Martani.
“Maksud Pamanda, perjalanan Pamanda juga dicegat oleh beberapa orang di pinggir Kali Opak?”
“Tidak di pinggir kali Opak. Aku baru saja meninggalkan kota. Salah seorang dari mereka berhasil aku tangkap. Ki Waskita-lah yang membuat sebuah permainan yang menarik.”
Wajah Sutawijaya menjadi merah. Tetapi Ki Juru berkata, “Jangan digoncangkan oleh perasaan semata-mata. Kita masih akan menyelenggarakan pemakaman ayahandamu. Biarlah orang ini ditawan dan dijaga sebaik-baiknya. Kita akan mengurus jenazah ayahmu.” Ki Juru Martani berhenti sejenak, lalu, “Bagaimana dengan keluarga yang lain? Apakah semuanya sudah terkumpul?”
“Sudah, Pamanda. Keluarga dari Sela sudah datang seluruhnya.”
“Jika demikian semuanya akan dapat berlangsung sesuai dengan rencana.”
“Ya, Pamanda,” sahut Sutawijaya. Tetapi ia pun tidak dapat menahan keinginannya untuk mengetahui, payung apakah yang telah dibawa oleh Ki Juru Martani dan Ki Waskita itu.
“Apakah aku boleh mengetahui serba sedikit?”
“Ini adalah songsong hadiah dari Kanjeng Sultan Pajang.”
“Maksudnya?”
Ki Juru tersenyum. Sambil berpaling kepada Ki Waskita ia berkata, “Ah, sebaiknya setelah ayahandamu dimakamkan, aku akan berceritera tentang perjalananku. Untunglah aku membawa seorang pengawal yang luar biasa.”
“Ah,” desis Ki Waskta.
Sutawijaya menyadari bahwa mereka sedang disibukkan oleh acara pemakaman ayahandanya. Jenazah Ki Gede masih akan bermalam semalam lagi. Dan agaknya Ki Juru sudah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Ketika Ki Juru menginjakkan kakinya di pendapa, langit menjadi semakin kelam, dan gelap yang pekat menyelubungi Tanah Mataram.
Betapa pun keinginan orang-orang yang ada di pendapa itu untuk mendengar ceriteranya, tetapi mereka terpaksa menahan sampai kesempatan yang lain. Orang-orang tua yang menyambut kedatangannya, kemudian mempersilahkannya membersihkan diri terlebih dahulu bersama Ki Waskita, sebelum mereka di persilahkan makan malam, karena yang lain telah mendahuluinya.
Ki Juru Martani dan Ki Waskita pun kemudian pergi ke ruang belakang. Setelah mereka masing-masing mandi di pakiwan, maka mereka pun duduk menghadapi makan malam yang sudah dingin. Tetapi orang-orang di dapur sempat memanaskan sayur asam yang pedas dan pecel lele.
Ternyata bahwa selama keduanya bersiap untuk makan, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung ikut duduk pula bersama mereka, meskipun ketiganya telah makan lebih dahulu.
“Silahkan, Ki Juru,” berkata Kiai Gringsing.
“Sebentar lagi tentu akan datang tamu-tamu dari Pajang. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan. Aku kira sebelum tengah malam mereka sudah akan datang.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Siapa sajakah di antara mereka?”
“Sudah barang tentu sahabat-sahabat Ki Gede. Para senapati dan pemimpin pemerintahan. Sayang Kanjeng Sultan sendiri tidak dapat hadir.”
Kai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Sumangkar bertanya, “Jadi, orang-orang yang tidak senang melihat perkembangan Mataram masih saja mencoba mengganggu? Untunglah Ki Juru dan Ki Waskita sempat melepaskan diri dari mereka.”
“Agaknya mereka juga tergesa-gesa,” berkata Ki Waskita, “sehingga mereka sekedar berpegangan kepada jumlah orang yang banyak. Ada seorang pemimpinnya yang mungkin memiliki kemampuan yang dapat dipercaya. Namun kami dapat melepaskan diri, bahkan menangkap salah seorang dari mereka.”
“Dengan sedikit permainan,” Ki Juru Martani menyahut sambil tersenyum.
Kiai Gringsing pun tersenyum. Dan Ki Demang Sangkal Putung menyambung, “Agaknya jaring-jaring itu benar-benar sudah mempunyai akar yang kuat di Pajang. Apakah kira-kira tawanan itu dapat memberikan petunjuk tentang usaha pembunuhan itu? Terutama nama pemimpinnya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi aku kira sulit untuk menyadap keterangan daripadanya. Meskipun demikian orang itu mungkin akan ada artinya.”
Yang mendengarkannya mengangguk-angguk dengan hati yang berdebar-debar. Namun kemudian Kiai Gringsing mempersilahkan Ki Juru Martani dan Ki Waskita yang masih belum juga mulai untuk makan malam.
Meskipun kemudian mereka menyenduk nasi ke dalam mangkuk dan kemudian mulai menyuapi mulut mereka, namun Ki Sumangkar masih juga bertanya, “Bagaimana dengan payung itu?”
Ki Juru Martani ragu-ragu sejenak. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya. Katanya, “Aku akan mengatakannya kepada Raden Sutawijaya pada kesempatan yang paling baik.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebelumnya, aku tidak berkeberatan mengatakan kepada orang-orang tua yang ada di dalam ruangan ini. Tetapi khusus dan tidak akan sampai kepada siapa pun.”
Ki Sumangkar menarik nafas. Dan Ki Juru Martani berkata, “Maaf, bahwa aku telah memberikan pesan seperti kepada anak-anak. Tetapi bukan maksudku untuk berbuat demikian.”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa, Ki Juru. Semuanya itu didorong oleh maksud baik, Ki Juru.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Kemudian sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Katanya kemudian sambil memandang Ki Waskita, “Ki Waskita sajalah yang berceritera.”
“Ah,” desah Ki Waskita, “aku lebih baik makan saja, Ki Juru.”
Ki Juru tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku sudah biasa makan sambil berceritera. Tetapi tentu ceriteraku menjadi lamban.”
Yang mendengar kata-kata itu pun tersenyum pula. Tetapi mereka tidak menyahut.
Namun agaknya Ki Juru tidak segera mengatakan apa yang dilihatnya di Pajang dan yang dialaminya di sepanjang jalan. Baru setelah suap yang terakhir masuk ke dalam mulutnya dan setelah ia meneguk minumannya dari mangkuk mulailah ia menceriterakan serba sedikit tentang perjalanannya. Yang terpenting bagi orang tua-tua itu adalah payung yang dibawanya. Payung berselongsong putih itu.
“Payung itu berwarna kuning seluruhnya,” berkata Ki Juru, “payung yang melambangkan keagungan tertinggi seperti warna payung Kanjeng Sultan sendiri.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada pesan?”
“Angger Sutawijaya diwisuda di luar kehadirannya menjadi Senapati Ing Ngalaga di Mataram.”
Yang mendengarkan keterangan itu terdiam sejenak. Jabatan itu pada dasarnya adalah jabatan di dalam lingkungan keprajuritan. Tetapi di balik jabatan itu, Sutawijaya telah disahkan mendapat kekuasaan tertinggi di Mataram. Bahkan dengan songsong berwarna kuning emas itu, agaknya Kanjeng Sultan telah memberikan perlambang bahwa Sutawijaya yang kemudian bergelar Senapati Ing Ngalaga itu akan mendapat kekuasaan yang lebih besar lagi. Bukan saja di Mataram, tetapi di seluruh daerah Pajang.
Namun agaknya masih terlampau pagi untuk mempersoalkan maksud yang sebenarnya dari Kanjeng Sultan karena Kanjeng Sultan sendiri mempunyai seorang putera laki-laki. Meskipun Pangeran Benawa bukan seorang Pangeran yang kuat hatinya meskipun sebagai seorang putera Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan Pajang, ia memiliki kemampuan ilmu yang tinggi, namun masih banyak yang harus dipersoalkan antara putera angkatnya dan puteranya sendiri itu.
Dengan keterangan Ki Juru Martani tentang songsong dan pesan Kanjeng Sultan, maka mereka yang mendengarkan ceritera itu mempunyai berbagai macam tanggapan. Namun mereka masih menyimpannya di dalam hati karena semuanya masih tetap suram bagi mereka, bahkan bagi Ki Juru Martani sendiri.
Dalam pada itu, setelah Ki Juru dan Ki Waskita selesai dengan makan malam, maka Ki Juru pun kemudian berkata, “Kita masih akan mendapat tamu-tamu dari Pajang. Sebaiknya kita bersiap menerima mereka dan mempersiapkan tempat bagi mereka, karena jika ada di antara mereka yang lelah dan ingin beristirahat, kita sebaiknya menyediakan satu dua bilik di gandok sebelah-menyebelah.”
“Siapa saja di antara sahabat-sahabat Ki Gede itu, Ki Juru?” bertanya Ki Sumangkar.
“Aku tidak tahu dengan pasti. Tetapi sahabat-sahabat Ki Gede itu benar-benar ingin memberikan penghormatan yang tulus di saat terakhir.”
Demikianlah maka mereka pun kemudian meninggalkan ruang belakang itu. Ki Juru pun kemudian minta agar Sutawijaya memerintahkan mempersiapkan beberapa ruangan dan mempersiapkan jamuan bagi tamu-tamu yang masih akan datang.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Juru, maka tamu-tamu yang dikatakan itu benar-benar datang menjelang tengah malam. Raden Sutawjaya dan beberapa orang pengawal serta Agung Sedayu dan Swandaru sibuk menerima kuda-kuda mereka dan menambatkannya di pinggir halaman. Sedang orang-orang tua mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Kedatangan mereka ke Mataram membuat keluarga Ki Gede Pemanahan menjadi berbesar hati. Meskipun mereka sudah tidak berada di pusat pemerintahan lagi, namun kawan-kawan dan sahabat-sahabatnya masih juga datang di saat terakhir kali.
Dan di antara para tamu yang datang melayat itu terdapat seorang senopati yang berwajah tampan dengan sikap rendah hati dan penuh pengertian atas kesusahan yang telah menimpa keluarga Ki Gede Pemanahan, sehingga wajah yang tampan itu nampak muram dan sedih seperti wajah langit yang dibayang oleh mendung yang tipis.
“Mengejutkan sekali,” berkata senapati itu kepada Ki Juru Martani, “aku sama sekali tidak menyangka. Karena itu aku menyampaikan perasaan berduka cita yang sedalam-dalamnya.”
“Terima kasih,” berkata Ki Juru dengan tulus. Kemudian dipersilahkan senapati itu duduk pula di pendapa bersama dengan tamu-tamu yang lain. Ia sama sekali tidak menaruh prasangka apa pun terhadap senapati yang ramah-tamah di dalam pergaulan sehari-hari. Penuh pengertian dan bersahabat dengan setiap orang itu.
Senapati itu adalah senapati pilihan. Tandangnya di peperangan agak berlawanan dengan sikapnya sehari-hari, karena di peperangan, senapati itu oleh kawan-kawannya sering disebut Pencabut Nyawa.
Dan nama senapati itu adalah Sorohpati.
Tidak ada seorang pun yaag pernah menyangka bahwa Sorohpati sebenarnya adalah tangan kanan orang yang sering disebut Kakang Panji. Ia adalah kawan yang baik dari Dadap Wereng dan Sanggabumi yang telah terbunuh. Tetapi sikap Sorohpati agak berbeda dengan sikap Dadap Wereng yang kasar. Ia adalah seorang senapati yang sangat menarik perhatian. Ia selalu tersenyum dan tertawa. Kadang-kadang justru merendah dan sama sekali tidak mengagung-agungkan pangkat senapatinya.
Namun di balik itu semua, ia benar-benar seorang pencabut nyawa yang tidak ada duanya di Pajang. Bukan saja di peperangan. Tetapi di mana pun ia kehendak.
Kedatangannya di Mataram bersama-sama dengan para pemimpin dan senapati yang melayat adalah dalam rangka tugas yang diberikan oleh kelompoknya di bawah pimpinan orang yang disebutnya Kakang Panji. Ia tahu bahwa ada seorang prajurit yang tertangkap. Dan ia tahu bahwa Ki Juru telah membawa sebuah payung berselongsong putih dari dalam istana. Tetapi ia tidak tahu bahwa Sanggabumi telah terbunuh oleh Ki Legawa meskipun Dadap Wereng kemudian telah memerintahkan seorang penghubung untuk memberikan berita itu kepadanya dan perintah-perintah selanjutnya dari orang yang disebut Kakang Panji. Tetapi penghubung itu masih belum berhasil menghubungnya dan menyampaikan semuanya itu kepadanya, meskipun ia berhasil sampai pula ke Mataram dengan selamat.
Sorohpati yang berada di Mataram itu mendapat tugas untuk mengetahui, apakah arti payung itu bagi Ki Gede yang telah meninggal atau bagi Sutawijaya. Kemudian ia harus mengetahui pula kekuatan dan kemampuan yang sebenarnya tersimpan di Mataram.
Untuk menghormati Ki Gede Pemanahan yang akan dimakamkan dengan segala kehormatan itu, maka sebagian besar kekuatan di Mataram akan nampak. Senapati-senapati tertinggi dan pengawal-pengawalnya yang terpilih akan dapat dikira meskipun hanya sepintas dan dalam bentuk dan ujud kasarnya saja.
Malam itu, para tamu setelah mendapat jamuan sekedarnya dipersilahkan beristirahat di bilik-bilik yang sudah disediakan. Besok mereka akan ikut serta memberikan penghormatan pada saat Ki Gede dimakamkan.
Dalam biliknya, beberapa orang pemimpin dari Pajang itu masih sempat menilai sikap Raden Sutawijaya. Berbeda dengan yang mereka gambarkan, bahwa Sutawijaya menjadi sombong dan angkuh tanpa bersedia datang menghadap lagi ke Pajang. Tetapi ternyata Sutawjaya masih tetap Sutawijaya yang dahulu. Bahkan ia masih dengan rendah hati menerima kedatangan para pemimpin dari Pajang, bahkan menerima kuda-kuda mereka.
“Sikapnya tidak mudah dimengerti,” desis seorang dari mereka.
Sorohpati mendengar pembicaraan itu dengan acuh tak acuh. Ia bahkan berbaring di sebuah pembaringan yang disediakan untuknya bersama-sama dengan beberapa orang senapati yang lain, seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu sama sekali. Namun dengan demikian, ia dapat menjajagi tanggapan para pemimpin Pajang sendiri terhadap Raden Sutawijaya.
“Apakah arti payung yang dibawa oleh Ki Juru?” tiba-tiba saja seorang dari mereka bertanya di antara kawan-kawannya.
Yang lain menggeleng. Dan seorang senapati yang sudah separo baya berkata, “Tidak ada seorang pun yang tahu. Tetapi, kita tidak dapat mengabaikan ceritera-ceritera yang pernah aku dengar. Meskipun ceritera itu sekedar desas-desus.”
“Tentang apa?”
“Raden Sutawijaya,” sahut senapati itu, “tetapi aku tidak berani mengatakannya semasa hidup Ki Gede Pemanahan. Aku adalah orang yang sangat hormat dan kagum kepadanya. Baik ia sebagai manusia maupun pada saat Ki Gede menjadi panglima di Pajang.”
“Apa?” yang lain ingin mendengar,
“Tentu di antara kalian ada yang pernah mendengar, siapa sebenarnya Raden Sutawijaya itu.”
“Ah,” tiba-tiba seorang perwira yang bertubuh tinggi berdesis, “ceritera khayalan yang tidak masuk akal.”
“Kau sudah mendengar?” bertanya yang lain.
“Ya, Aku pernah mendengar dongengan tentang Raden Sutawijaya. Pada saat Raden Sutawjaya lahir, Kanjeng Sultan secara kebetulan mengunjunginya. Itulah sumber dari dongeng ngayawara itu.”
Perwira yang sudah separo baya itu tersenyum. Seolah-olah ia yakin bahwa ia mengetahui lebih banyak dari ceritera tentang secara kebetulan itu.
“Apa yang kau dengar?”seorang senapati yang lain mendesak.
“Kau masih terlalu muda untuk mengetahui,” perwira yang lain lagi menyahut, “aku juga sudah mendengar. Tetapi aku pun menganggap bahwa ceritera itu tidak benar.”
“Tetapi bukankah kalian juga mengetahui bahwa saat ini tombak Kanjeng Kiai Pleret ada di Mataram? Dan kalian juga melihat songsong yang dibawa oleh Ki Juru Martani itu?”
“Tetapi kita belum melihat warna payung itu.”
Perwira yang separo baya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita belum melihat.”
Seorang senapati yang masih muda menunggu ceritera yang akan dikatakan oleh perwira yang lebih tua itu. Tetapi ternyata ia masih tetap berdiam diri.
Tidak ada orang yang menanyakan lagi kepadanya. Agaknya mereka ragu-ragu untuk membicarakannya. Bahkan beberapa orang pun kemudian bergeser dan duduk di antara mereka, membicarakan masalah-masalah yang lain.
Tetapi perwira yang sudah separo baya itu agaknya tidak merasa lelah dan mengantuk sama sekali, meskipun tengah malam sudah lewat. Bahkan ia pun kemudian berdiri di depan pintu butulan memandang ke dalam kegelapan di luar sinar obor yang ada di regol nampak memerah pada dedaunan. Dan sekali-sekali ia masih melihat beberapa orang yang masih saja sibuk menyiapkan pemakaman Ki Gede Pemanahan besok.
Namun agaknya udara yang panas telah mendorongnya untuk melangkah keluar pintu. Sambil mengibaskan bajunya perwira itu merasakan udara yang agak sejuk di luar.
Tetapi di luar dugaannya, senapati muda yang menunggu ceriteranya itu pun mengikutinya. Bahkan kemudian sambil menggamitnya ia bertanya, “Ceriteramu agaknya sangat menarik.”
“Ceritera tentang apa?”
“Raden Sutawijaya.”
“Ah, hanya desas-desus.”
“Ya, desas-desus itu. Aku benar-benar belum pernah mendengar.”
Perwira itu melayangkan tatapan matanya ke sekelilingnya.
“Tidak ada orang lain.”
Perwira yang sudah separo baya itu tertawa pendek. Katanya, “Kenapa kau begitu bernafsu untuk mengetahui?”
“Tidak apa-apa.”
Perwira yang sudah separo baya itu tidak segera mengatakan apa-apa. Apalagi ketika datang seorang senapati yang agaknya merasa kepanasan pula di dalam ruangan.
Sambil membungkuk dengan ramahnya, senapati itu berkata, “Ah, Kakang ada di sini pula.”
“Ya. Udara serasa membakar kulit.”
Senapati yang menyusul itu pun tersenyum. Katanya, “Ya, Kakang. Memang udara terasa sangat panas. Apakah Kakang akan mandi?”
“Ah,” desis perwira yang masih muda, “kita dapat menjadi sakit jika kita mandi di dalam udara yang panas begini, apalagi di malam hari.”
“Memang tidak begitu baik untuk mandi”
Senapati muda itu menjadi gelisah. Jika ada orang lain maka perwira separo baya itu tentu tidak mau mengatakannya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya kepada senapati yang menyusul kemudian, “Apakah Kakang akan berjalan-jalan?”
“O, tidak.”
“Di regol masih banyak pengawal yang berjaga-jaga. Barangkali asyik juga berbicara dengan mereka.”
Senapati yang datang kemudian itu tersenyum. Sikapnya memang terlampau ramah, “Tidak, Adi. Ah, agaknya aku lebih senang berada di sini. Apakah Adi berkeberatan?”
Senapati muda itu menjadi bingung. Katanya, “Tentu tidak. Tetapi ….?” Senapati itu tidak melanjutkannya.
Perwira yang baru datang itu tertawa. Katanya, “Maaf, Adi. Aku tidak ingin mengganggu. Sama sekali tidak.”
Senapati yang masih muda itu termangu-mangu. Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan dapat menyuruh orang lain itu pergi hanya karena ia ingin mendengarkan sebuah ceritera.
Apalagi kemudian perwira yang baru datang itu tertawa sambil berkata, “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku juga ingin mendengar dongeng itu.”
“Dongeng apa?” Senapati muda itu bertanya.
“Maaf, Adi,” perwira itu menunduk sejenak, lalu, “aku menduga bahwa Adi memang menyusul Kakang Senapati untuk mendengarkan desas-desus itu. Tiba-tiba saja timbul pula keinginanku. Dan sudah tentu Kakang Senapati tidak akan menolak. Pada dasarnya Kakang Senapati sudah mengatakan, bahwa itu hanya sekedar desas-desus yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan dibebankan kepada siapa pun.”
Perwira yang sudah separo baya itu pun tertawa. Katanya, “Adi Sorohpati. Apakah kau juga tertarik kepada sebuah dongeng saja?”
Perwira yang tidak lain adalah Sorohpati itu tersenyum pula. Katanya, “Untuk melengkapi khayal menjelang tidur, apakah salahnya mendengarkan sebuah dongeng tentang desas-desus yang mana pun juga. Apalagi desas-desus tentang orang besar.”
Dan perwira yang separo baya itu berkata, “Aku tidak berkeberatan untuk mengatakan. Apa salahnya? Seperti yang kau katakan, Adi Sorohpati, tidak ada yang dapat dibebani tanggung jawab tentang desas-desus serupa ini.”
Senapati yang masih muda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika Kakang tidak berkeberatan.”
Perwira yang sudah agak lanjut itu pun berkata, “Aku memang tidak berkeberatan. Tetapi memang sebaiknya desas-desus semacam ini tidak usah dikembangkan lebih luas lagi.”
“Baik, Kakang. Aku berjanji,” berkata perwira yang masih muda.
Tetapi Sorohpati berkata, “Bukankah Kakang juga mendengar pesan itu ketika ada orang yang menceriterakannya kepada Kakang.”
Senapati yang sudah separo baya itu justru tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang begitulah agaknya. Tetapi aku masih ingat betul, siapakah yang mengatakan kepadaku. Jika pada suatu saat ada tuntutan pertanggungan jawab dan ditelusur siapakah sumber ceritera itu, aku masih akan dapat menunjukkan siapakah orangnya. Tetapi barangkali lebih aman bagiku jika apabila salah seorang dari kalian menunjuk aku yang telah menceriterakan kepada kalian, maka aku akan ingkar. Dan kalian aku tuduh telah memfitnah aku.”
Sorohpati tertawa, dan senapati yang masih muda itu pun tersenyum masam.
“Sekarang, sebaiknya Kakang berceritera saja,” berkata Sorohpati. “Sebentar lagi malam sudah akan menjelang dini hari. Jika masih sempat, aku ingin berbaring lagi barang sejenak.”
“Bukankah Adi Sorohpati seorang senapati yang gemblengan? Yang biasa di medan perang tanpa tidur tiga hari tiga malam bahkan lebih.”
“Di peperangan, Kakang. Tetapi jika disediakan pembaringan, rasa-rasanya ingin juga memejamkan mata.”
Perwira itu tertawa lagi. Katanya kemudian, “Baiklah. Dengarlah. Aku ingin menceriterakan desas-desus tentang Raden Sutawijaya.”
“Bahwa Raden Sutawijaya akan mewarisi kerajaan karena ayahnya minum kelapa muda yang dipetik oleh Kiai Ageng Giring?”
Perwira yang sudah separo baya itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Ya. Itu sebagian. Memang Raden Sutawijaya mempunyai harapan terbesar untuk merajai tanah ini. Bukankah sudah takdir harus berlaku demikian? Kiai Ageng Giring-lah yang mendengar suara dari batang kelapa yang hanya berbuah satu butir sepanjang hidupnya, yang mengatakan bahwa barang siapa yang dapat meneguk air kelapa muda itu sampai habis sekaligus, ia akan dapat menurunkan raja-raja terbesar di tanah ini. Kiai Ageng Giring dengan serta-merta memetik buah itu dan menyimpannya di rumah. Ia pergi untuk menghauskan diri dengan bekerja di sawah setelah berpesan, tidak seorang pun boleh mengambil kelapa muda itu. Tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuan manusia untuk menolaknya. Kiai Ageng Pemanahan-lah yang kemudian datang dari perjalanan yang panjang. Betapa hausnya sehingga tanpa minta ijin ia telah meneguk kelapa muda itu sekaligus sampai tuntas.”
“O,” senapati yang muda itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Betapa marahnya Kiai Ageng Giring kepada Ki Gede Pemanahan.”
“Tentu,” Sorohpati tersenyum, “marah sekali. Jika ia mampu, Ki Gede tentu dibunuhnya. Juga Nyai Ageng Giring sendiri.”
“He, kenapa Nyai Ageng Giring?”
Sorohpati tertawa. Tetapi perwira yang sudah separo baya itu mendahului, “Ia sudah memberikan kelapa muda itu. Atau setidak-tidaknya tidak mempertahankannya sebaik-baiknya.”
“Kenapa Kakang Sorohpati tertawa?” bertanya perwira muda itu.
“Tidak apa-apa. Bukankah itu suatu kepahitan?”
“Tetapi kenapa harus ditertawakan?”
“Kau sangka bahwa hal itu terjadi sebenarnya atas sebutir kelapa muda?”
“He.”
“Ya,” perwira yang sudah separo baya itu memotong, “itu terjadi sebenarnya atas sebutir kelapa muda. Kiai Ageng Giring pun mendengar sebenarnya suara itu. Jangan mencari arti yang lain yang dapat memburamkan kejadian yang sebenarnya itu.”
Sorohpati masih tertawa. Meskipun tidak terlalu keras, namun nada tertawanya mengandung arti yang tersendiri. Apalagi kemudian ia berkata, “Adi. Itulah orang yang bernama Ki Gede Pemanahan yang sekarang meninggal dunia. Yang telah berhasil membuka hutan Mentaok.”
“Ah,” perwira yang sudah separo baya itu memotong, “aku sudah mengatakan, jangan mencari arti yang lain dari sebutir kelapa muda itu sendiri.”
Sorohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tertawa pula. Nadanya semakin tinggi di antara kata-katanya, “Apa salahnya kita mempunyai gambaran yang sebenarnya tentang Ki Gede Pemanahan? Ia bukan orang yang sepi dari kesalahan. Dan ia sudah membuat kesalahan seperti anaknya yang membuat kesalahan serupa atas gadis dari Kalinyamat itu.”
Tiba-tiba saja sebelum Sorohpati selesai berbicara, perwira muda itu meloncat maju sambil menggeram, “Kakang Sorohpati. Kau menghina Ki Gede Pemanahan. Justru pada saat ia akan dimakamkan hari ini. Kita datang untuk menghormatinya. Tidak menghinanya. Kau dapat berkata apa pun juga terhadap Raden Sutawijaya. Tetapi tidak terhadap Ki Gede Pemanahan.”
Sorohpati memandang perwira muda itu dengan tajamnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Ah maaf, Adi. Bukan maksudku demikian. Kadang-kadang aku hanyut dalam sikap yang barangkali tidak baik dipandang. Tetapi itu semata-mata didorong oleh sikap batinku. Sebagai seorang kesatria Pajang aku menghormati trapsila dan sopan santun. Aku memang tidak senang melihat siapa pun yang menodai dirinya sendiri dengan perbuatan serupa itu. Tetapi itu bukan berarti aku tidak menghormatinya. Aku sadar, bahwa itu adalah suatu kekhilafan. Dan orang yang melakukannya telah mendapat hukuman dari penyesalan mereka sendiri.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Sekali lagi aku minta maaf bahwa aku sudah terdorong kata. Sama sekali bukan maksudku untuk menghinanya.”
Perwira yang masih muda itu masih berdiri tegang. Namun kemudian perwira yang sudah separo baya itu menggamitnya sambil berkata, “Jangan bertengkar. Bukankah kita sudah bersiap untuk mendengarkan desas-desus. Terserahlah kepada kita masing-masing. Apakah kita masing-masing percaya atau tidak.”
Perwira yang masih muda itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Sorobpati pun membungkuk dalam-dalam sambil berkata, “Aku tidak sengaja mengatakannya.”
“Sudahlah. Sebentar lagi ayam jantan akan berkokok.”
“Tetapi,” perwira yang masih muda itu memotong, “Kakang belum mengatakan apa-apa.”
Perwira itu tersenyum. Lalu, “Jika aku mengatakannya, bukan maksudku menghina Ki Gede Pemanahan. Tetapi semata-mata mengatakan bahwa desas-desus itu ada.”
“Ya.”
“Tentang Raden Sutawijaya. Kenapa ia bernama Sutawijaya?”
“Ya, kenapa? Bukankah nama itu wajar.”
“Ia adalah putera Hadiwijaya,” desis Sorohpati.
“Tentu tidak harus berarti demikian,” sahut perwira yang masih muda itu. “Jika artinya demikian apa salahnya karena sejak lahir ia sudah diangkat menjadi putera Sultan Pajang.”
Perwira yang sudah separo baya itu pun tertawa pula. Katanya, “Sudah aku katakan. Kita masing-masing dapat percaya atau tidak. Tetapi agaknya Adi Sorohpati sudah mendengar desas-desus itu.”
“Jika yang dimaksud adalah bahwa Sutawijaya itu putera Sultan Pajang, aku sudah mendengar, Kakang. Aku kira ada desas-desus lain yang lebih menarik.”
Perwira yang masih muda itu menjadi tegang. Lalu, “Kenapa desas-desus itu timbul?”
“Pada saat Ki Gede Pemanahan bertapa, maka sahabatnya seperguruan yang merayap menjadi orang besar di Pajang selalu mengunjungi padukuhannya. Tentu ia tidak sampai hati melihat Nyai Gede Pemanahan yang saat itu masih muda dan cantik menjadi kesepian.”
“Bohong,” desis perwira yang masih muda itu, “itu fitnah.”
“Ah, sudahlah. Aku sudah tidak ingin menceriterakannya. Tetapi kau memaksa,” jawab perwira yang sudah separo baya itu, “dan bukankah sudah aku katakan bahwa yang aku katakan itu sekedar desas-desus. Dan desas-desus ini dikuatkan oleh saat kelahiran Raden Sutawijaya. Bayi itu tidak segera mau lahir. Ibunya mengalami kesulitan. Tetapi ketika Sultan Pajang datang dan mengusap kepala Nyai Gede Pemanahan, maka bayi itu pun lahir.”
“Bukan sekedar mengusap,” sahut Sorohpati, “tetapi kepala ibu yang sedang melahirkan itu dipangkunya. Dan bayi itu pun segera lahir.”
“Bohong, bohong kau,” wajah perwira muda itu menjadi merah.
“Tunggu,” perwira yang sudah separo baya itu menyabarkannya. “Seribu kali aku katakan. Itu hanya sekedar desas-desus. Hanya itu. Dan karena itulah maka Kanjeng Sultan sangat mengasihi Raden Sutawijaya. Tentu songsong yang dibawa Ki Juru Martani itu pun songsong kebesaran pula.”
“Kalian tidak mau berpikir,” bantah perwira muda itu, “desas-desus itu saling bertentangan. Jika benar Ki Gede Pemanahan mengambil kelapa muda, apa pun artinya dan yang kelak akan menurunkan raja yang berkuasa di tanah ini maka tentu bukan Raden Sutawijaya-lah yang akan menjadi besar dan memerintah Mataram sebagai pancadan kekuasaannya kelak. Dan bukan Sutawijaya-lah yang menerima songsong kebesaran itu seandainya benar, karena menurut desas-desus yang kemudian Raden Sutawijaya adalah putera Kanjeng Sultan Pajang. Itu berarti, bahwa ia bukan keturunan Ki Gede Pemanahan.”
Perwira yang sudah separo baya itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Sorohpati yang termangu-mangu pula. Sementara itu senapati muda itu masih berkata, “Nah, apakah yang dapat kita yakini dari desas-desus itu? Bukankah sama sekali tidak masuk akal?”
Perwira yang sudah separo baya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Agaknya memang demikian. Jika Sutawijaya itu bukan putera Pemanahan sendiri, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelapa muda itu, karena menurut suara yang didengar oleh Kiai Ageng Giring, mereka yang dapat meneguk air kelapa itu sekaligus, ia akan menurunkan raja-raja yang akan berkuasa di tanah ini.”
Tetapi tiba-tiba Sorohpati tertawa. Katanya, “Kenapa kita risaukan desas-desus itu. Namanya memang desas-desus. Mungkin sumber desas-desus itu pun bukan hanya seorang. Mungkin dua atau tiga, yang masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri dan mungkin juga beberapa tambahan yang tidak meyakinkan.”
“Maksudmu?” bertanya Senapati muda itu.
“Mungkin juga Ki Gede Pemanahan singgah dirumah Kiai Ageng Giring pada saat Kiai Ageng Giring tidak ada. Kemudian timbul desas-desus tentang kelapa muda yang dapat menurunkan raja-raja itu. Itulah yang barangkali tidak dapat kita percaya.”
“Tentang kelapa muda itu?”
“Ya. Tetapi peristiwa yang terjadi di balik pintu rumah Kiai Ageng Giring tidak dapat diketahui oleh siapa pun.”
“Bohong. Kau telah mereka-reka. Kau pandang segalanya dari sudut yang buram.”
Sorohpati tertawa pula. Katanya, “Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya mengatakan bahwa yang terjadi tidak seorang pun yang mengetahuinya.” Senapati itu berhenti sejenak, lalu, “Kemudian tentang Raden Sutawijaya. Jika itu merupakan hukum balas-berbalas, maka yang dilakukan oleh Sultan Pajang itu adalah buah dari pekerjaan sendiri yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan. Sudah barang tentu tidak ada hubungannnya, siapakah yang sebenarnya akan menurunkan raja-raja di tanah ini.”
“Kau bohong. Kau mengigau,” Senapati muda itu meloncat ke hadapan Sorohpati dengan wajah yang merah padam. Sambil mengacungkan tangannya ke hadapan wajah Sorohpati ia berkata, “Kau sudah memberikan arti yang buruk dari desas-desus itu. Aku tidak menolak ceritera yang dikatakan oleh Kakang Senapati. Ia benar-benar menceritakan sebuah desas-desus. Tetapi ia tidak memberikan arti tersendiri seperti kau.”
Sorohpati mengerutkan keningnya. Ia tidak senang melihat sikap senapati muda itu. Tetapi ia justru surut selangkah sambil membungkuk dalam-dalam. “Aku minta maaf, Adi. Bukan maksudku berbuat demikian. Mungkin aku dapat kau anggap mempunyai maksud buruk. Tetapi sebenarnya tidak sama sekali, karena yang aku katakan itu pun sekedar yang aku dengar. Desas-desus itu sudah dilengkapi dengan ceritera tentang hubungan yang masih disamarkan itu.”
“Persetan,” bentak senapati yang masih muda itu, “seharusnya Kakang Sorohpati tidak menceriterakan kepada siapa pun. Aku yakin bahwa ceritera itu mempunyai tujuan tertentu untuk menjatuhkan nama Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya.”
“Adi,” Sorohpati nampaknya masih sareh, “kenapa kau hanya marah kepadaku saja. Bukankah Kakang Senapati juga mengatakan desas-desus itu? Coba, apa yang dapat dikatakan tentang Raden Sutawijaya. Apa hubungannya dengan saat kelahirannya? Nah, tentu arah ceriteranya juga akan ke sana.”
Perwira yang sudah separo baya itu kemudian berkata dengan hati-hati, “Sudahlah. Sebaiknya kita tidak meributkan suara yang tidak berujung pangkal itu. Sejak semula aku sudah mengatakan bahwa itu hanya sekedar desas-desus. Kita dapat percaya  dan dapat tidak. Aku memang tidak bermaksud menghubungkan kedua macam desas-desus itu. Tetapi sudahlah. Kita jangan membicarakannya lagi. Sebaiknya kita sekarang beristirahat. Besok kita akan memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan. Karena itu marilah kita tidak mengotori angan-angan kita dengan desas-desus yang tidak dapat diyakini kebenarannya.”
“Bukan tidak dapat diyakini kebenarannya. Tetapi aku yakin bahwa ceritera itu bohong.”
“Nah, lebih baik begitu. Kita harus mempunyai sikap terhadap sebuah desas-desus. Karena itulah sebenarnya aku ragu-ragu mengatakannya di hadapan orang banyak. Aku takut jika akan timbul pertengkaran karena mereka mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap desas-desus itu.”
Senapati yang masih muda itu tidak menyahut lagi, sedangkan Sorohpati tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Marilah kita pergunakan waktu yang sedikit ini untuk beristirahat. Besok kita akan memberikan penghormatan terakhir. Kemudian kita akan kembali ke Pajang.”
“Mungkin lusa,” berkata perwira yang sudah separo baya itu.
“Ya, mungkin lusa,” sahut Sorohpati. Dan di dalam hatinya ia berkata, “Sebaiknya memang lusa. Aku masih ingin banyak melihat dan mendengar di Mataram ini. Lebih baik jika aku sempat menemukan tempat anak buah Legawa di tahan. Mungkin aku dapat memotong jalur itu langsung di ujungnya, sebelum persoalannya menjalar ke mana-mana. Meskipun barangkali Legawa sudah dimusnakan pula.”
Demikianlah senopati-senopati itu pun kemudian masuk kembali ke dalam biliknya. Namun senopati muda itu masih saja dipengaruhi oleh desas-desus yang didengarnya. Rasa-rasanya sikap Sorohpati memang agak lain dengan perwira yang sudah separo baya itu.
Bagi Senopati muda itu, perwira yang sudah separo baya itu menceriterakan desas-desus yang didengarnya sebagaimana ia berceritera tanpa tujuan dan maksud tertentu. Tetapi bagi senopati muda itu, sikap Sorohpati memang berbeda. Sorohpati dengan sengaja telah mengambil kesimpulan yang buram dari desas-desus itu.
Tetapi senopati muda ttu tidak tahu maksudnya. Apakah senopati yang bernama Sorohpati itu dengan sengaja ingin menyuramkan nama Ki Gede Pemanahan, atau memang ia seorang yang senang menilai orang lain dengan caranya.
Ketika senopati muda itu kemudian mengangkat kepalanya, dilihatnya Sorohpati sudah berbaring di pembaringannya. Bahkan agaknya ia sudah tertidur dengan nyenyaknya, seolah-olah tidak ada lagi yang dipikirkannya.
Senopati muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian ia melihat senopati yang sudah separo baya itu pun tertidur pula di antara kawan-kawannya yang lain, maka ia pun berkata kepada diri sendiri, “Agaknya aku memang terlampau tajam menanggapi desas-desus itu. Sorohpati agaknya sama sekali tidak menghiraukannya lagi.”
Ia pun kemudian berbaring pula di pembaringannya. Tetapi untuk beberapa saat lamanya ia tidak dapat tertidur juga. Ia masih mendengar beberapa orang hilir-mudik di luar dan di longkangan. Bahkan kemudian ia mendengar suara seseorang yang berdri di muka pintu bilik itu.
“Tentu keluarga KI Gede Pemanahan yang sibuk menyiapkan upacara pemakaman besok pagi,” pikir senopati muda itu.
Baru sesaat menjelang pagi, senopati muda itu dapat tertidur barang sesaat.
Tetapi yang sesaat itu telah memberi kesempatan kepada Sorohpati untuk mendengarkan isyarat sandi di luar pintu. Seolah-olah seseorang yang berbicara di antara orang-orang yang sedang sibuk. Tetapi orang itu hanyalah seorang diri.
Beberapa kali hal itu terjadi, tetapi Sorohpati tidak berbuat sesuatu. Baru setelah ia yakin, bahwa orang-orang lain telah tertidur nyenyak, barulah ia pergi ke luar pintu.
Di luar pintu ia melihat seseorang yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan bertanya, “He, siapa kau?”
Orang itu menengadahkan kepalanya dan berkata, “Aku, Ki Sorohpati.”
“Kau siapa?”
“Aku mendapat perintah dan Ki Rambatan.”
Sorohpati mengangguk-angguk. Lalu, “Apakah kau sudah mengenal aku?”
“Tentu sudah, Ki sorohpati. Aku adalah seorang prajurit yang banyak mengenal senopati perang, yang apalagi memiliki kelebihan seperti Ki Sorohpati.”
“Kau mendapat pesan khusus dari Ki Rambatan.”
“Ya. Aku mendapat pesan khusus dari Ki Rambatan.”
“Pesan apa?” bertanya Ki Sorohpati, “dan dari mana kau tahu bahwa kau harus berbicara dengan dirimu sendiri untuk memberikan isyarat agar aku mengenalmu?”
“Ki Rambatan telah berpesan demikian.”
“Aku tidak kenal dengan Ki Rambatan,” bentak Sorohpati meskipun tidak terlalu keras, “tetapi pesan apakah yang kau bawa?”
Orang itu menjadi heran. Bahkan ia bertanya, “Kenapa Ki Sorohpati tidak kenal dengan Ki Rambatan.”
“Aku memang mengenalnya. Tetapi sekedar menganggukkan kepala jika berjumpa di tengah jalan. Tetapi aku belum mengenalnya secara pribadi,” sahut Sorohpati. “Nah, katakan. Apakah pesannya?”
“Aku harus memberitahukan bahwa Ki Legawa telah meninggal.”
“Ki Legawa? Kenapa?”
Prajurit itu pun segera menceriterakan apa yamg sudah terjadi dengan Ki Legawa. Tetapi yang dapat diceriterakannya hanyalah sekedar yang nampak. Bahwa K Legawa dan seorang lurah prajurit meninggal sampyuh dengan Ki Sanggabumi.
Sejenak Ki Sorohpati menegang. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Berita yang menyedihkan bagi Pajang. Tetapi aku tidak tahu, kenapa aku harus mendapat pesan khusus tentang hal itu. Terima kasih. Apakah aku harus menyampaikan kabar ini kepada senopati yang lain?”
Prajurit itu menjadi bingung. Tetapi ia menjawab, “Aku tidak mengerti. Aku hanya mendapat pesan khusus bagi Ki Sorohpati.”
“Baiklah. Terima kasih. Apakah ada pesan lain?”
Prajurit itu termangu-mangu sejenak, lalu, “Ki Sorohpati. Meskipun aku tidak mendapat pesan tersendiri tentang sifat perjalananku, tetapi rasa-rasanya perjalananku adalah perjalanan rahasia. Aku tidak boleh menemui siapa pun selain Ki Sorohpati. Aku mendapat petunjuk bagaimana sikapku agar aku segera dapat dikenal. Tetapi agaknya Ki Sorohpati menerima pesanku seolah-olah bukan persoalan yang harus dirahasiakan.”
“Apa yang harus dirahasiakan?” bertanya Sorohpati, “bukankah banyak orang yang melihat apa yang telah terjadi. Legawa dan Sanggabumi mati di tengah sawah. Manakah yang dapat dirahasiakan.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebenarnyalah bahwa ia tidak mengerti, bahwa berita itu memberitahukan kepada Sorohpati, bahwa kematian Ki Legawa dan Sanggabumi telah memutuskan jalur penghubung antara tawanan yang ada di Mataram dengan pimpinan kelompoknya yang disebutnya Kakang Panji.
“Tetapi orang yang disebut Rambatan tentu sebuah saluran baru yang setiap saat perlu diputuskan pula,” katanya di dalam hati.
Tetapi Sorohpati percaya kepada Dadap Wereng dan orang yang disebutnya Kakang Panji. Mereka tidak akan memilih sembarang orang. Dan sebenarnyalah bahwa Sorohpati memang sudah mengenal Ki Rambatan. Tetapi ia tidak boleh terlampau percaya kepadanya dan kepada orang yang membawa berita itu.
“Setelah pesan ini sampai kepadaku, apakah yang harus kau lakukan?”
“Kembali secepatnya ke Pajang.”
Ki Sorohpati mengangguk-angguk. Lalu, “Hati-hatilah. Jika kau menarik perhatian dengan sikap bodohmu, maka kau tentu akan ditangkap.”
“Apakah yang dapat menarik perhatian?”
“Berita yang kau anggap rahasia itu. Tetapi jika demikian, maka kau benar-benar harus merahasiakan. Aku tidak tahu, apakah kepentingan Ki Rambatan dengan rahasia itu.” Sorohpati berhenti sejenak, lalu, “Tetapi jika ia memang menganggap rahasia, maka  kau harus merahasiakannya, agar kau tidak melanggar perintahnya. Karena kau dapat jatuh ke dua tangan dengan akibat yang sama. Ditangkap oleh orang-orang Mataram, atau oleh Ki Rambatan sendiri. Akibatnya, kepalamu akan dipenggal.”
Orang itu menjadi semakin bingung. Katanya, “Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa Ki Rambatan dapat menangkap aku.”
“Jika kau melanggar pesannya,”
“Bagaimana jika Ki Sorohpati yang melanggar?”
Ki Sorohpati mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya, “Aku bukan kanak-kanak. Percayalah. Tetapi kau memang harus berhati-hati. Apakah ada pesan lain?”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu.
“Kenapa kau ragu-ragu. Cepat katakan dan cepat kembali ke Pajang. Kau orang tidak dikenal di sini. Dan kau tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Tetapi jika kau mengenakan pakaian keprajuritan pun kau akan tetap dicurigai, karena hanya pengawal yang resmi dibawa oleh para senapati sajalah yang ada di sini,” namun tiba-tiba Ki Sorohpati berbisik, “tetapi tentu ada di antara mereka yang mengenalmu.”
Orang itu menjadi semakin bingung. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah, Ki Sorohpati. Aku akan keluar segera dari Mataram. Tetapi sesudah matahari terbit. Justru tidak akan menimbulkan kecurigaan apa-apa, seperti orang yang bepergian atau sekedar lewat daerah ini.”
“Bagus.”
“Tetapi masih ada satu pesan lagi.”
“Apa?”
“Songsong yang dibawa oleh Ki Juru Martani ternyata songsong yang berwarna kuning seutuhnya. Dan songsong itulah yang akan menjadi pertanda kebesaran Sutawijaya.”
“He.”
“Nama songsong itu adalah Kiai Mendung.”
Wajah Sorohpati menjadi tegang. Dengan suara yang sendat ia berkata, “Kau katakan bahwa songsong itu Kanjeng Kiai Mendung?”
“Ya.”
“Bohong. Bohong.”
Prajurit itu menjadi bingung. Namun katanya kemudian, “Aku tidak tahu pasti. Tetapi demikianlah yang aku dengar dari Ki Rambatan.”
———-oOo———-
(bersambung ke Episode 084)

1 komentar:

  1. Emperor Casino: 100% up to € 500 + 200 FS
    You can 샌즈카지노 get 100% up 바카라 사이트 to € 제왕 카지노 500 + 200 FS from a minimum deposit of 500€ + 200 FS. Claim free spins, free casino bonuses,

    BalasHapus

S1-E91 Kiai Jalawaja Tewas, Tombak Kiai Pleret Tercium Keberadaannya

KETIKA  malam menjadi semakin dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai keadaan. Kiai Kalasa Sawit ya...