“AKU akan menunggu sebentar. Kalau tidak segera ada pemberitahuan dari induk pasukanmu yang sedang bertempur itu, aku akan menyusul mereka. Mungkin mereka memerlukan bantuan.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipersilahkannya anak muda itu singgah sebentar di padukuhan itu sambil menunggu berita dari padukuhan induk tentang pertempuran untuk merebut kembali daerah yang telah dirampas oleh Sidanti.
Tetapi akhirnya anak muda itu tidak telaten. Setelah ia duduk termenung sejenak, maka ia pun kemudian berdiri dan mencari pemimpin pengawal yang sedang sabuk dengan para korban.
“Aku akan pergi ke padukuhan induk,” berkata anak muda itu.
“Baiklah,” pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi kehadiran orang yang tidak dikenal di medan pertempuran mudah menumbuhkan salah sangka.”
“Aku sudah memperhitungkannya seperti pada saat aku datang kemari.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah kau memerlukan seekor kuda?”
“Ya, aku memerlukannya. Jangan takut, aku akan mengembalikan kuda itu pada saatnya.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Kalau kau tidak membantu kami, maka kami tidak akan memberikan kuda itu.”
Anak muda itu tersenyum. Kemudian diterimanya seekor kuda dari salah seorang pengawal. Sambil meloncat ke punggung kuda itu ia berkata, “Hati-hatilah. Mungkin masih ada orang-orang yang berkeliaran di daerah ini.”
“Terima kasih,” jawab pengawal itu.
Anak muda yang bersenjata tombak pendek itu pun segera memacu kudanya meninggalkan padukuhan kecil.
Sejenak para pengawal memandangi debu putih yang terlontar dari kaki-kaki kuda itu, namun kemudian kuda itu pun seakan-akan hilang ditelan ujung rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu.
Kehadiran anak muda di atas punggung kuda itu di daerah peperangan agaknya telah mengejutkan para pengawal yang sedang menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai. Karena itu, beberapa orang dari mereka segera berloncatan ke tengah jalan dengan senjata-senjata telanjang di tangan masing-masing.
Salah seorang dari mereka mengangkat senjatanya sambil berteriak, “Berhenti!”
Anak muda di atas punggung kuda itu pun menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah dari pengawal yang menghentikannya.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin pengawal itu.
Anak muda itu tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi katanya kemudian, “Aku akan bertemu dengan Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya, “Apakah keperluanmu?”
“Aku mempunyai keperluan yang tidak boleh diketahui oleh orang lain, selain Ki Argapati, gembala tua beserta kedua anaknya yang bernama Gupita dan Gupala, serta dua orang prajurit yang telah membantu kalian dalam pertempuran ini, Hanggapati dan Dipasanga.”
Pengawal itu termangu-mangu sejenak, sementara anak muda itu menilai bekas-bekas pertempuran iang baru saja berlangsung. Katanya di dalam hati, “Agaknya pasukan Ki Argapati sudah berhasil memasuki padukuhan induk.”
Anak muda di atas punggung kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali ia menatap wajah-wajah para pengawal yang masih termangu-mangu. Sejenak beberapa orang di antara mereka saling memandang, tetapi wajah-wajah itu masih saja memancarkan keragu-raguan,
“Mudah-mudahan mereka adalah para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” desis anak muda itu. “Kalau penilaianku keliru, dan orang-orang ini adalah anak buah Sidanti, maka aku terpaksa lari terbirit-birit.”
Baru sejenak kemudian salah seorang pengawal berkata, “Hanya orang-orang yang sudah kami kenal sajalah yang boleh memasuki daerah ini.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak terkejut, dan bahkan sudah diduganya lebih dahulu. Namun ia harus dapat meyakinkan pengawal-pengawal itu, bahwa ia tidak bermaksud jahat. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak, aku mempunyai keperluan yang khusus. Karena itu, aku minta ijin untuk menemuinya.”
“Ki Argapati masih dalam keadaan sakit,” jawab pengawal itu.
“Kalau begitu, aku akan bertemu dengan ayah Gupita, atau anak itu sendiri.”
“Siapa kau?”
“Bawa aku kepadanya. Aku juga seorang gembala.”
Tetapi pengawal itu mengerutkan keningnya, “Pakaianmu bukan pakaian seorang gembala.”
Anak muda itu memandangi pakaiannya sejenak. Pakaian itu sudah lusuh dan kotor. Tetapi memang pakaian itu bukan pakaian seorang gembala, sehingga anak muda itu justru tersenyum sendiri.
“Tolonglah,” katanya, “aku ingin bertamu dengan salah seorang dari mereka.”
“Kami mencurigai setiap orang yang tidak kami kenal.”
“Tetapi ada yang sudah mengenal kami,” sahut anak muda itu. “Bawa kami kepadanya.”
“Serahkan senjatamu.”
“Ah,” desahnya, “jangan berlebih-lebihan. Aku hanya seorang diri. Meskipun aku bersenjata apa pun, tetapi aku tidak akan dapat berbuat apa-apa di dalam lingkunganmu yang padat dengan ujung-ujung tombak dan pedang. Aku hanya sekedar ingin bertemu dengan salah seorang dari anak-anak muda atau kedua prajurit itu.”
Dan tiba-tiba salah seorang pengawal bertanya, “Apakah kau juga seorang prajurit Pajang?”
Anak muda itu tersenyum, tetapi ia tidak menyahut.
Para pengawal itu pun kemudan berunding sejenak. Sekali-sekali ditatapnya wajah anak muda yang jernih itu. Salah seorang dari mereka berdesis, “Wajahnya bersih. Aku tidak mencurigainya.”
“Jangan mudah terkecoh. Marilah, kita antar saja ia menghadap saalah seorang pemimpin kita, atau anak-anak muda yang mereka sebut namanya itu.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, sehingga mereka pun bersepakat untuk mengantar anak muda itu, langsung kepada orang-orang yang dicarinya.
“Baiklah,” berkata salah seorang pengawal kemudian. “Tetapi kau harus mengikuti ketentuan kami.”
“Apakah ketentuan itu? Menyerahkan senjataku?”
“Yang pertama, turunlah dari kudamu. Kemudian berjalan bersama kami.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis, “Maaf. Aku agak tergesa-gesa sehingga aku lupa turun dari punggung kuda.” Ia berhenti sebentar, lalu, “Apakah kalian tidak mengenal kuda ini?”
Para pengawal itu terdiam sejenak. Ketika anak muda itu kemudian meloncat turun, maka mereka pun melihat kuda itu seutuhnya. Tetapi mereka menggelengkan kepala sambil berguman, “Aku belum pernah melihatnya.”
“Baklah,” berkata anak muda itu, “mungkin kalian bukan pasukan berkuda, atau tidak tertarik kepada kuda.”
“Kami memang bukan pasukan berkuda,” jawab salah seorang pengawal.
Kemudian anak muda itu pun harus berjalan mengikuti seorang pengawal yang berjalan di depan. Di belakangnya dua orang pengawal mengikutinya dengan senjata telanjang.
“Mereka cukup berhati-hati,” berkata anak muda itu di dalam hatinya. “Apalagi di sepanjang jalan, para pengawal yang sedang berjaga-jaga selalu siap menghadapi kemungkinan.”
Dua anak muda yang menuntun seekor kuda itu sendiri memang sangat menarik perhatian. Beberapa orang bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan ada yang saling berbisik di antara mereka.
Ketika mereka sampai di regol halaman banjar yang agak luas, maka disuruhnya ia menunggu. Seseorang pergi mendahului untuk memberitahukan, bahwa seseorang sedang mencari Ki Argapati, atau salah seorang dan tamu-tamunya yang telah membantu melepaskan padukuhan induk ini dari tangan Ki Tambak Wedi.
“Siapakah namanya,” bertanya gembala tua yang menerima pemberitahuan tentang kehadiran anak muda itu.
“Anak itu tidak menyebut namanya. Tetapi ia membawa sebatang tombak pendek.”
“O, anak itu. Baiklah, bawalah ia kemari.”
Dengan demikian, maka anak muda bersenjata tombak pendek itu pun kemudian dibawa oleh para pengawal ke rumah Kepala Tanah Perdikan yang baru saja direbutnya.
“Aku terlalu lama tersiksa di gubug itu,” desis anak muda itu ketika ia bertemu dengan gembala tua itu.
“Duduklah,” desis gembala itu sambil tersenyum.
“Aku sudah menghabiskan seluruh ketela puhung dan tiga ekor kambingnya.”
“Tiga ekor?” gembala itu terbelalak.
Anak muda itu mengangguk sambil tersenyum.
“Dan perut Anakmas tidak menjadi sakit karenanya?”
Anak muda itu menggelengkan kepalanya. “Aku pilih yang masih muda-muda.”
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Sekali-sekali ia mengangguk-angguk, sehingga anak muda itu tersenyum sambil meraba-raba perutnya.”
“Lalu sekarang di manakah sisa kambing itu?” bertanya gembala itu.
“Aku simpan di dalam kandang.”
“Tanpa rumput?”
“Terpaksa aku menyabit rumput dahulu sebelum aku datang kemari.”
Gembala itu mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih. Jadi Angger mengetahui bahwa pertahanan Ki Tambak Wedi sudah pecah.”
“Tidak. Aku pagi tadi datang ke pengungsian.”
“O,” desis gembala itu, “dan para pengawal memberitahukan kepada Anakmas?”
“Mereka belum tahu, bahwa pertempuran sudah selesai.”
“Mungkin. Baru saja kami mengirimkan utusan, seorang penghubung.”
“Tetapi ternyata kalian lengah,” berkata anak muda itu kemudian.
“Kenapa?”
Dan anak muda itu pun kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya di tempat pengungsian itu.
“O,” gembala itu mengerutkan keningnya, “memang. Kami telah membuat kesalahan yang besar. Mereka pasti orang-orang yang lari dari peperangan ini.”
Anak muda itu tidak menjawab. Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Diam-diam anak muda itu mencari-cari. Tetapi yang dicarinya tidak seorang pun yang tampak. Gupita, Gupala, maupun Hanggapati atau Dipasanga. Sehingga akhirnya ia terpaksa bertanya, “Kemanakah anak-anak Kiai itu?”
“O,” gembala itu mengangkat wajahnya, “mereka sedang bertugas. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun sedang bertugas pula.”
“Maksud Kiai?”
“Tidak ada orang-orang yang dapat dipercaya untuk mengawasi Sidanti dan Argajaya kecuali keempat orang itu.”
“Maksud Kiai, Sdianti dan Argajaya tertangkap hidup?”
Orang tua itu mengangguk.
“Mengherankan,” desis anak muda itu.
“Kenapa mengherankan?”
“Apakah mereka menyerah?”
“Tidak. Kami harus berjuang mati-matian untuk menangkap mereka hidup-hidup. Dan kami berhasil setelah membuat mereka pingsan.”
Anak muda itu mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Di manakah mereka sekarang disimpan?”
“Di ruang belakang rumah ini. Sidanti ditunggui oleh Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga bersama beberapa orang pengawal, sedang Argajaya dijaga oleh Gupita dan Gupala.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Lalu, bagaimana dengan Ki Argapati?”
“Lukanya agak parah. Ia masih harus banyak beristirahat. Untunglah bahwa ia dapat tidur sekarang, sehingga penderitaannya agak berkurang.”
“Tetapi bukankah Kiai sudah mengobatinya?”
“Ya.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki Hanggapati dan Dipasanga. Aku sudah terlampau lama pergi. Ayahanda pasti sudah menunggu.”
“Maksud Angger, Ayahanda Pemanahan atau Ayahanda Adiwijaya dari Pajang?”
“Ayah Pemanahan. Kami tidak dapat menunggu lebih lama lagi penyerahan resmi Tanah Mentaok. Aku kira ayah sudah mulai membuka hutan itu.”
Apakah dengan demikian tidak dicemaskan timbulnya perasoalan antara Pajang dan Ki Gede Pemanahan?”
Anak muda itu mengangkat pundaknya, dan gembala itu pun meneruskan, “Persoalan dengan Pajang bukan persoalan anak-anak, Ngger.”
“Ayah sudah memperhitungkan.”
“Jadi, Ki Gede Pemanahan sudah memperhitungkan segala akibatnya?”
“Jangan meninjau persoalan ini terlampau jauh, Kiai.”
Orang tua itu mengangguk-angguk pula. “Tentu sudah sejauh itu, bukan? Sebab, kalau tidak, kenapa Angger datang ke Menoreh?”
“Penglihatan Kiai memang tajam sekali,” anak muda itu tersenyum. “Apa boleh buat.”
“Sama sekali bukan penglihatanku yang tajam. Secara tidak langsung Angger sendiri yang memberitahukannya kepadaku, sejak kita bertemu di Tanah Perdikan.”
“Mungkin. Dan Ayahanda Pemanahan tidak akan dapat melangkah surut. Kami tidak mau ketinggalan terlampau jauh dari Pati.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, mungkin aku tidak akan dapat terlalu lama menunggu.”
“Tunggulah sehari dua hari. Mungkin Angger berkesempatan berbicara dengan Ki. Argapati.” Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian, “Apakah Angger akan bertemu dengan Sidanti atau Argajaya?”
“Tidak. Tidak ada gunanya. Hal itu akan membangkitkan sakit hati saja pada mereka.”
“Kalau begitu tinggallah di sini. Aku dapat mengatur penjagaan agar Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat menemui Angger sekarang.”
“Tidak perlu sekarang. Tetapi hari ini.”
“Baiklah, Angger tinggal di sini.”
Orang tua itu pun kemudan meninggalkan anak muda bertombak pendek itu seorang diri, setelah diberitahukannya kepada para pengawal di halaman itu, bahwa anak muda itu adalah tamunya.
Sementara orang tua itu pergi, Samekta dan Kerti sempat menemui anak muda itu sejenak. Tetapi seperti kepada para pengawal yang lain, anak muda itu tidak pernah menyebat nama yang sebenamya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah kawan Gupita dan Gupala yang datang ke atas Tanah Perdikan ini bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.
Dalam pada itu Sidanti duduk di dalam ruang yang sempit sambil menghentak-hentakkan kakinya. Berkali-kali ia berjalan hilir-mudik. Kadang-kadang ia mencoba melihat ke luar dari sela-sela dinding. Tetapi ia tidak dapat melihat apa pun, selain bintik-bintik cahaya matahari.
Anak muda itu sadar, bahwa di luar biliknya, beberapa orang sedang berjaga-jaga.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Dirabamya dinding biliknya, justru di sebelah dalam. Ia kenal benar ruangan demi ruangan di rumah itu, sehingga ia pun tahu benar, bahwa di sebelah dinding itu adalah ruang belakang dari rumah yang didiaminya semasa kecil ini. Kemudian sebuah longkangan kecil. Dan di sebelah longkangan kecil yang dibatasi oleh gandok-gandok sebelah-menyebelah itu, adalah bilik ayah dan ibunya, bilik yang paling kanan dari tiga buah bilik yang berjajar. Ia sendiri kadang-kadang tidur di sentong tengah, tetapi kadang-kadang di amben besar yang terhampar di ruang tengah rumahnya. Bahkan kadang-kadang bersama pamannya, Argajaya yang tidak diketahui lagi nasibnya kini.
“Aku tidak akan dapat lari ke luar, ke halaman belakang,” berkata anak muda itu di dalam hatinya. “Tetapi bagaimana kalau aku justru memecah dinding ini.”
Sidanti mencoba menimbang-nimbang. Tetapi karena tidak dilandasi oleh ketenangan pikiran yang wajar, maka ia pun segera dicengkam oleh nafsunya untuk memberontak terhadap keadaan. Ia sama sekali sudah tidak memperhitungkan lagi kemungkinan yang paling jelek yang dapat terjadi atasnya. Mati bukanlah sesuatu yang wajib dipertimbangkan, karena mati adalah jalan yang lebih baik baginya untuk mengakhiri persoalannya.
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Diraba-rabanya dinding itu berulang kali. Dan dicobanya untuk mendengarkan desis orang-orang yang berada di ruang dalam.
“Penjagaan yang kuat pasti, berada di luar,” desisnya. “Aku tidak mendengar gemeramang orang di ruang tengah. Ini suatu kelengahan.”
Sejenak kemudian Sidanti mencoba mengorek sela-sela anyaman dinding bambu yang kasar berlapis kepang. Ternyata dugaannya benar. Ia hanya melihat dua orang yang duduk terkantuk-kantuk sambil memeluk senjatanya.
Tiba-tiba darah Sidanti yang menggelegak sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan hati-hati ia pergi ke sudut bilik itu. Dengan tangannya yang kuat ia mencoba memutuskan tali-tali pengikat dinding.
Akhirnya satu demi satu tali itu terputus. Perlahan-lahan ia berhasil membuka sudut biliknya, justru ke ruang belakang yang menghadap ke longkangan dalam.
“Mudah-mudahan tidak banyak orang, selain kedua penjaga itu,” desisnya di dalam hati.
Ketika dinding itu sudah terbuka agak lebar, ia dapat melihat batas-batas gandok dan dapur. Ternyata tidak seorang pun berada di longkangan. Dan dapur pun agaknya masih sepi. Sedang kedua pengawal yang duduk memeluk senjata-senjata mereka itu pun masih duduk di tempatnya. Oleh kelelahan yang sangat, mereka menjadi lengah. Semalam suntuk mereka tidak tidur, bahkan telah memeras tenaga, bertempur melawan orang-orang Ki Tambak Wedi.
Sejenak Sidanti menilai keadaan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata, “Aku tidak dapat menerobos gandok, baik gandok kanan mau pun gandok kiri. Para pengawal yang sedang beristirahat pasti berada di sana selain berada di banjar.”
Kemudan dilayangkannya pandangan matanya ke pintu yang justru masuk ke ruang tengah. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku kira ruangan itu pun kosong. Mudah-mudahan setan tua dengan kedua anak-anaknya itu tidak berada di dalam.”
Akhirnya Sidanti mengambil kesimpulan, justru ia akan lari lewat ruang dalam. kemudaan menerobos pringgitan dan lari melintas pendapa, meloncat dinding justru di depan rumah ini.
Menurut perhitungan Sidanti, karena ia di tempatkan di ruang belakang, maka justru bagian belakanglah yang diperkuat dengan orang-orang yang penting untuk mengawasinya. Adalah sedikit sekali kemungkinan seorang tawanan justru lari lewat ruang dalam dan pendapa.
“Kalau tidak ada iblis-iblis pendatang itu, aku pasti dapat keluar dari halaman ini. Aku kira mereka justru berada di belakang rumah kecuali dukun tua itu. Aku harap ia berada di bilik Argapati yang terluka bersama Pandan Wangi.”
Setelah perhitungannya dianggap masak, meskipun dalam kegelisahan dan kekisruhan, Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya dia menyibakkan dinding bambu biliknya. Kemudian perlahan-lahan ia merangkak ke luar justru masuk ke ruang belakang.
Ketika kedua penjaga itu mendengar suara gemerisik, mereka pun berpaling. Tetapi terlambat. Sisi telapak tangan Sidanti telah menyentuh tengkuk mereka sehingga mereka pun terpelanting. Meskipun demikian, salah seorang dari mereka masih sempat berteriak, “Sidanti ………” tetapi suaranya terputus karena kaki Sidanti telah memginjak lehemya.
Di halaman belakang, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga duduk di atas sehelai tikar, menghadapi mangkuk air panas, gula kelapa dan beberapa potong pondoh beras. Ternyata mereka mendengar teriakan penjaga di ruang belakang yang terputus itu. Serentak mereka terloncat berdiri. Dengan serta-merta mereka mendorong pintu bilik itu. Tetapi mereka tidak menjumpai seorang pun. Yang mereka temukan adalah dinding yang terbuka di pojok bilik.
“Sidanti lari,” desis Hanggapati.
“Justru ia masuk ke ruang belakang,” sahut Dipasanga.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian mereka menyadari, bahwa Sidanti adalah anak muda yang berbahaya. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Mereka tidak sempat berlari lewat pintu dan melingkari rumah belakang itu untuk masuk ke longkangan. Karena itu, dinding yang memang sudah terbuka itu pun dihentakkannya dengan kaki sehingga dinding itu berderak dan terbuka semakin lebar.
Ketika mereka memasuki ruang belakang, beberapa orang berloncatan pula dari gandok sebelah-menyebelah masuk ke longkangan. Tetapi mereka tidak menjumpai apa pun lagi. Sidanti telah meninggalkan longkangan itu justru masuk ke ruang dalam.
Ruang itu memang kosong. Tidak seorang pun berada di ruang dalam. Sekilas Sidanti melihat pintu bilik kanan terbuka. Ia yakin bahwa Ki Argapati sudah dibawa masuk ke dalam bilik itu. Tetapi menurut dugaannya, gembala tua itu berada di sana pula. Karena itu, maka tidak ada niatnya sama sekali untuk menjenguk bilik itu.
Dengan cepatnya Sidanti berlari ke pringgitan. Pringgitan yang kotor itu pun masih kosong pula. Bahkan di sana-sini masih berhamburan sampah yang dilontarkan oleh orang-orangnya semalam. Agaknya para pengawal masih segan untuk berada di dalam ruangan yang kotor. Agaknya masih belum semua ruangan sempat dibersihkan, sebersih bilik Ki Argapati.
Sidanti menahan dirinya sejenak. Sekilas ia memperhitungkan keadaan. Kalau ia melangkahi pintu pringgitan, ia akan sampai ke pendapa. Jika di pendapa itu ada beberapa orang pengawal itu tidak akan banyak berarti. Tetapi kalau di pendapa ada anak-anak muda yang bersenjata cambuk, maka ia harus bertempur.
“Lebih baik mati daripada menjadi pangewan-ewan,” katanya di dalam hati.
Karena itu, maka ia pun sudah berketetapan untuk berlari ke luar. Dengan tergesa-gesa tangannya mendorong pintu pringgitan, sehingga sekaligus pintu itu terbuka lebar.
Dalam sekilas pula, ia tidak melihat seorang pengawal pun yang berada di pendapa. Beberapa orang pengawal berkeliaran di halaman dan di regol.
“Tetapi aku tidak akan lewat regol itu,” geramnya, “aku akan meloncati dinding dan lari kemana pun sebelum aku sempat kembali untuk melepaskan dendam di hati ini.”
Ketika Sidanti mendengar keributan di ruang dalam, maka ia menyadari bahwa para pengawal mulai mengejarnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke luar pintu.
Namun langkahnya tiba-tiba tertegun, ketika seseorang yang duduk seorang diri di pojok pendapa menghadapi hidangan yang masih hangat, memanggilnya, “Sidanti?”
Hanya sekejap Sidanti kehilangan waktu pada saat ia berpaling dan tertegun. Namun anak muda yang memanggilnya itu ternyata cekatan sekali. Dalam sekejap itu ia telah berhasil melompat dan berdiri di hadapannya dengan tombak pendeknya.
“Apakah kau akan melarikan diri, Sidanti?” anak muda itu bertanya.
Sebuah getaran yang dahsyat mengetuk dada Sidanti. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu ada di rumah itu pula. Bahkan ia tidak menyangka, bahwa anak muda itu ada di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti tidak sempat bertanya. Ia sadar, bahwa sebentar lagi para pengawal akan segera mengepungnya kalau ia masih berada di halaman itu. Kalau kemudian datang para pemimpinnya pula, maka ia akan kehilangan setiap kesempatan. Karena itu, maka sebelum ia menjawab, tangannya telah lebih dahulu mengayunkan senjata yang dirampasnya dari penjaga di ruang belakang.
Serangan Sidanti benar-benar tidak diduga. Cepat, dan langsung mengarah ke tempat yang berbahaya.
Terapi lawannya ternyata seorang yang lincah pula. Secepat ayunan senjatanya, anak muda itu berhasil menghindar. Bahkan kemudian tombak pendeknya segera mematuk membalas serangan Sidanti yang sudah kehilangan akal.
Perkelahian pun segera terjadi di atas pendapa. Keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan cekatan. Keduanya mempunyai beberapa kelebihan. Namun Sidanti kali ini hampir tidak dapat mempergunakan otaknya sama sekali, sedang lawannya adalah seorang anak muda yang mempunyai kecerdasan berpikir yang luar biasa, selain tempaan jasmaniah yang matang.
Dalam kegelapan hati, Sidanti menyerang sejadi-jadinya. Namun dengan demikian, lawannya yang mempunyai perhitungan yang tajam itu segera mengetahui kelemahannya. Apalagi ketika beberapa orang pengawal mulai berdatangan mengelilingi keributan itu.
Ternyata perkelahian itu tidak terjadi terlampau lama. Dengan perhitungan yang masak, anak muda itu berhasi1 mengungkit senjata Sidanti, sehingga terlepas dari tangannya. Kemudian sebuah ayunan tangkai tombak pendeknya berhasil mengenai kaki Sidanti, sehingga Sidanti terdorong beberapa langkah kemudian jatuh berguling di lantai.
Ketika Sidanti siap untuk meloncat, ternyata ujung tombak pendek lawannya telah melekat di dadanya. Dengan gerak naluriah Sidanti menahan drinya dan membeku untuk sesaat.
Semua mata kemudian berpaling ketika mereka mendengar seseorang berteriak, “Jangan! Jangan kau bunuh.”
Anak muda yang bersenjata tombak itu pun berpaling. Matanya meredup ketika ia melihat seorang gadis berdiri termangu-mangu dengan sepasang pedang di lambungnya.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Namun sesaat kemudian gadis itu melangkah maju sambil berkata kepada Sidanti, “Kenapa kau berada di sini, Kakang?”
Sidanti tidak menjawab.
“Jangan berusaha untuk melakukan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atasmu. Aku menjadi jaminan.”
Sidanti yang masih terbaring itu memandangi adiknya yang melangkah semakin mendekat. Ia melihat kepahitan yang membayang di wajah gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian berhenti beberapa langkah dari kakaknya. Ditatapnya wajah anak muda yang memegang tombak pendek itu berganti-ganti dengan wajah Sidanti yang tegang.
“Apakah kau melukainya?” bertanya Pandan Wangi.
“Ia berusaha untuk melarikan diri,” jawab anak muda itu.
“Siapakah kau?” bertanya Pandan Wangi pula. “Apakah kau berhak untuk ikut campur dalam persoalan kami?”
Anak muda itu menjadi heran. Dan tiba-tiba saja ia bertanya kepada gadis itu, “Siapa kau?”
“Aku adalah puteri dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Kakang Sidanti adalah kakakku.”
Anak muda itu menjadi bingung sejenak. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia merasa bahwa ia mencoba untuk membantu mencegah larinya Sidanti. Tetapi tiba-tiba, gadis puteri kepala Tanah Perdikan ini marah-marah kepadanya.
“Gadis ini adik Sidanti,” katanya di dalam hati. “Keduanya adalah putera dan puteri Ki Argapati.”
“Serahkan persoalan Kakang Sidanti kepada kami,” berkata Pandan Wangi selanjutnya.
Awak muda yang masih mengacungkan senjatanya itu mundur setapak. Kemudian katanya, “Baik. Aku tidak akan mencampuri persoalan kalian. Aku minta maaf.”
Jawaban itu pun tidak diduga-duga sama sekali oleh Pandan Wangi. Dengan serta-merta anak muda itu telah minta maaf kepadanya. Karena itu, Pandan Wangi justru termenung sejenak.
Dengan demikian maka ruangan itu seolah-olah jadi membeku. Setiap orang berdiri tegak seperti tiang-tiang di pendapa. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar bersahut-sahutan
Kebekuan itu ternyata telah merangsang hati Sidanti. Ketika ia melihat ujung tombak anak muda itu berkisar dari dadanya, maka tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan satu hentakkan sekuat-kuat tenaganya, ia berhasil merebut tombak pendek itu dari tangan pemiliknya.
Perbuatan Sidanti itu benar-benar telah mengguncang setiap jantung. Dengan demikian maka sejenak setiap orang justru membeku di tempatnya, oleh pesona yang tidak disangka-sangka.
Dengan tangkasnya Sidanti meloncat surut, kemudian mengangkat ujung tombak itu setinggi dada, siap mematuk anak muda yang memilikinya.
Tetapi adalah di luar dugaan pula, bahwa anak muda itu memang tangkas dan berhati dingin. Ia tidak menjadi gugup dan kehilangan akal. Secepat kilat ia meloncat merebut sebilah pedang seorang pengawal yang berdiri beberapa langkah dari padanya.
Ternyata anak muda itu tidak terlambat. Sekejap kemudian Sidanti telah meloncat sambil menjulurkan tombak pendek itu langsung ke arah jantung. Namun anak muda itu sudah menggenggam pedang di tangannya, sehingga dengan tangkasnya ia berhasil memukul ujung tombak itu ke samping, sehingga sama sekali tidak menyentuhnya.
Tetapi anak muda itu tidak sempat membalas serangan Sidanti. Ketika ia sudah siap untuk mengayunkan pedangnya, maka sepasang tangan telah merenggut Sidanti. Suatu hentakkan kecil telah membuat tangan Sidanti tidak berhasil mempertahankan tombak pendek itu. Kemudian disusul oleh sentuhan jari-jari di tengkuknya.
Sidanti merasa bahwa seluruh tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya, seperti pada saat ia berada di peperangan. Pandangannya menjadi kabur. Dan sejenak kemudian Sidanti telah terbaring diam di tengah-tengah pendapa dikelilingi oleh para pengawal.
“Kiai, kau telah membunuhnya?” Pandan Wangi hampir berteriak.
“Tidak, Ngger,” jawab gembala tua yang kini berjongkok di sisi tubuh Sidanti. “Aku membuatnya sekedar beristirahat, agar perasaannya tidak selalu dikejar-kejar oleh nafsu yang tidak juga dapat mengendap.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju mendekati kakaknya dan berjongkok pula di sisinya.
“Tidak seorang pun boleh menyakitinya, meskipun ia seorang tawanan,” berkata Pandan Wangi dengan lantang.
Gembala tua itu menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak seorang pun yang berhak berbuat sesuatu atasnya.”
“Tetapi anak muda itu lelah melakukannya. Kalau aku tidak mencegahnya, ia telah membunuh Kakang Sidanti.”
“Aku sama sekali tidak berhasrat untuk membunuhnya,” sahut anak muda tang kini telah memungut tombaknya kembali.
“Kalau begitu kau hanya sekedar menunjukkan kemampuanmu yang melebihi Kakang Sidanti?”
“Aku tidak ingin berbuat apa pun. Seperti yang aku katakan, aku hanya sekedar ingin mencegah Sdanti melarikan diri.”
“Kau tidak berhak,” Pandan Wangi menyahut. Kemudian, “Kenapa kau berada di sini?”
“Anak muda itu tamuku, Ngger,” sahut gembala tua itu. “Ia mencari aku, anak-anakku, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sedang anak muda itu pun terdiam sejenak. Dibiarkannya orang tua itu memberikan penjelasan. Betapapun hatinya bergejolak, tetapi ia tidak ingin membuat persoalan dengan orang-orang Menoreh, apalagi orang-orang penting seperti Pandan Wangi, karena perhitungan kemungkinan di masa mendatang bagi Alas Mentaok.
“Tetapi ia sudah langsung mencampuri persoalan yang berkembang di atas Tanah Perdikan ini.”
“Tentu bukan maksudnya. Ia sebenarnya ingin menjemput kami apabila kami memang sudah tidak diperlukan lagi.”
Terasa sesuatu berdesir di dada Pandan Wangi. Dipandanginya orang tua itu sejenak. Namun kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam.
“Ia memerlukan kami, Ngger, karena anak muda ini pun sedang mencoba memperjuangkan haknya atas Alas Mentaok.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia mengerutkan wajahnya, namun wajah itu pun segera tertunduk kembali.
Sejenak pendapa itu dicengkam oleh kediaman yang tegang. Masing-masing berdiri kaku di tempatnya. Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri dan melangkah menjauh. Ketika ia melihat Samekta berdiri membeku di tempatnya, dadanya berdesir. Apalagi ketika tatapan matanya menyentuh wajah Kerti yang tegang.
Tiba-tiba Pandan Wangi berlari kepada orang tua itu. Seperti anak-anak, ia menyembunyikan wajahnya di dada pemomongnya. Betapa pun ia bertahan, tetapi ia tidak dapat membendung air matanya yang meleleh ke pipinya.
Di antara isaknya yang tersendat-sendat terdengar suaranya, “Paman, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal gadis itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak gadis itu masih kanak-kanak. Karena itu, Pandan Wangi sudah tidak ubahnya seperti anaknya sendiri. Apalagi tugasnya kemudian adalah menjadi pemomongnya. Setiap gadis itu pergi berburu, pergi melihat-lihat bukit-bukit padas dan goa-goa di lereng-lereng Bukit Menoreh, dan hampir kemana pun perginya, ia selalu menyertainya.
Gembala tua yang masih berjongkok di samping tubuh Sidanti yang terbaring diam itu pun kemudian berdiri. Perlahan-lahan ia berkata, “Maafkan aku, Ngger. Bukan maksudku menyinggung perasaan Angger.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Sedang dada gembala tua itu diamuk oleh penyesalan atas keterlanjurannya. Ia sadar, bahwa kata-katanya memang terlampau tajam bagi seorang gadis.
“Maksudku,” ia mencoba unuk menenteramkan hati gadis itu, “maksudku, tamuku ini akan segera menemui Ki Argapati apabila keadaan memungkinkan. Artinya, apabila kesehatannya sudah menjadi baik. Dan anak muda ini memang akan berbicara tentang Alas Mentaok. Hanya itu.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Tetapi ia masih menahan isaknya yang menyesak dada.
Persoalan yang kini membelit di hatinya bukan sekedar persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang sekarang menjadi tawanan ayahnya itu adalah kakaknya sendiri. Kakaknya yang baik sekali kepadanya sejak kanak-kanak, dan bahkan setelah Sidanti menyatakan drinya berdiri berseberangan dengan ayahnya, Sidanti telah membebaskannya dari bencana yang paling dahsyat dalam hidupnya sebagai seorang gadis.
Kini semua orang memusuhinya. Semua orang memandang Sidanti yang baik baginya itu sebagai seorang pengkhianat. Bahkan orang asing yang tidak dikenal pun telah ikut campur pula.
Dalam kerisauan itu, tiba-tiba ia berpaling. Sambil menunjuk kepada anak muda yang bersenjata tombak pendek itu ia bertanya kepada gembala tua, “Siapakah tamumu ini, Kiai?”
Gembala tua itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi sebaiknya ia memang berterus terang supaya persoalannya tidak semakin berlarut-larut. Kalau orang-orang Menoreh tidak mengenal anak muda itu, maka salah paham akan mungkin menjadi semakin meluas.
Karena itu, maka tanpa minta pertimbangan yang berkepentingan, orang tua itu menjawab, “Memang sebaiknya Angger Pandan Wangi mengetahui, sapakah anak muda itu. Ia adalah, kawan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga. Kalau Angger ingin lebih mengenalnya lagi, anak muda itu adalah putera Ki Gede Pemanahan yang bernama Raden Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Kiai,” anak muda bertombak pendek itu memotong. Tetapi namanya sudah terucapkan, dan bahkan orang tua itu berkata seterusnya, “Ia adalah Putera angkat dari Adipati di Pajang, yang kini bergelar Sultan setelah Demak tidak mungkin bangkit lagi, dan adipati-adipati putera dan menantu yang lain tidak ada yang dapat mewarisi takhta.”
Jawaban itu benar-benar mengejutkan, seperti meledaknya guruh di atas pendapa itu. Sejenak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan membeku di tempatnya. Dan bahkan Pandan Wangi merasa seakan-akan darahnya berhenti mengalir.
Namun orang tua itu berkata selanjutnya, “Tetapi jangan hiraukan itu. Meskipun ia adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia adalah seorang anak muda yang baik. Ia dapat mengerti apa yang telah dan baru saja terjadi.” Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata, “Angger Pandan Wangi. Hal ini jangan menambah kerisauan hatimu. Kami semua tahu, apa yang telah mengguncangkan perasaanmu.
Mungkin sepatah dua patah kataku memang terdorong agak jauh. Tetapi pada dasarnya, kami mengetahui, bahwa kau tidak sekedar menghadapi lawan seperti orang-orang lain. Kau mempunyai persoalan pribadi yang rumit, seperti juga Ki Argapati. Ia menghadapi lawan yang sekaligus anak dan adiknya, seperti kau menghadapi kakak dan pamanmu. Tetapi kami sudah bertekad untuk menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Kepada yang berhak di atas Tanah Perdikan ini. Ki Argapati. Karena itulah maka kami berusaha untuk menangkap Angger Sidanti dan Argajaya hidup-hidup.”
Ketika orang tua itu terdiam, maka suasana menjadi hening. Namun di sana-sini masih juga terdengar gemerisik para pengawal saling berbisik. Mereka menatap wajah anak muda yang bersenjata tombak pendek itu dengan tajamnya, seolah-olah ingin mengenal setiap lekuk dan garis-garis.
Pandan Wangi sendiri masih juga berdiri di tempatnya. Kejutan perasaannya serasa masih belum mengendap. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah putera Panglima Wira Tamtama di Pajang yang pernah didengar namanya.
Tetapi sejenak kemudian justru Pandan Wangi berhasil menguasai dirinya. Ia berbasil mengatur perasaannya, tidak saja sebagai seorang gadis, tetapi juga sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, dengan nada yang berbeda ia kemudian berkata setelah air matanya kering, “Aku minta maaf, Tuan, karena sambutanku yang mungkin tidak menyenangkan. Tetapi hal itu terjadi karena aku belum mengenal Tuan sama sekali.”
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah gembala tua yang masih termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Tidak ada yang bersalah apa pun kali ini. Karena itu jangan minta maaf. Karena hal ini memang sudah aku sengaja. Sebenarnya aku lebih senang tidak disebut namaku.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab, maka terdengar suara Samekta dalam, “Jika demikian, sebaiknya kami persilahkan Anakmas masuk ke ruang dalam. Meskipun ruangan itu masih terlalu kotor, namun akan lebih baik daripada Anakmas berada di pendapa.”
“Terima kasih. Aku akan tetap di sini.”
“Anakmas, kami mengharap, bahwa Anakmas tidak menolak.”
Sutawijaya tidak dapat berbuat lain daripada menerimanya. Karena itu, maka ia pun kemudian dibawa oleh Kerti dan Pandan Wangi masuk melewati pringgitan langsung ke ruang dalam.
“Marilah, Kiai,” Samekta merapersilahkan gembala tua itu pula.
“Silahkan lebih dahulu. Aku akan menempatkan Angger Sidanti.”
Samekta mengerutkan keninginya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Marilah, kita usahakan tempat yang sebaik-baiknya.”
“Apakah tidak sebaiknya justru kita tempatkan di salah satu dari ketiga bilik di dalam?” berkata gembala tua itu. “Dengan demikian maka kita telah menempatkannya di tempat yang baik, sesuai dengan keinginan Angger Pandan Wangi, namun kita maih memerlukan persetujuannya.”
Samekta berpikir sejenak. Kemudian, kepalanya pun terangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Agaknya pengawasannya pun menjadi lebih baik.”
“Jadi, apakah hal ini dapat disetujui?”
“Aku setuju, tetapi baiklah hal ini aku beritahukan Angger Pandan Wangi lebih dahuilu.”
Samekia pun kemudian masuk sejenak ke ruang tengah, untuk menemui Pandan Wangi yang sedang mempersilahkan Sutawijaya duduk.
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Pandan Wangi.
“Tetapi bagaimana pendapat Angger.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku sependapat.”
“Gembala tua itu dapat langsung mengawasinya sambil duduk di ruang ini.”
Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian maka Sidanti yang masih belum sadar sepenuhnya itu langsung dibawa masuk ke ruang dalam. Setelah dibersihkan, maka ia pun di tempatkan di bilik sebelah kiri. Bilik yang tidak begitu luas, tetapi agak lebih baik dari bilik yang telah ditinggalkannya di bagian belakang rumah itu. Namun dengan demikian kesempatan untuk lolos pun menjadi semakin sempit pula.
Dengan tertib Samekta mengatur pengawasan longkangan belakang. Pengalaman yang baru saja terjadi merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi para pengawal, sehingga mereka pasti tidak akan lengah lagi. Betapa pun lelah mencengkam tubuh masing-masing, tetapi mereka tidak mau bernasib seperti kedua kawannya yang sama sekali tidak sempat melawan ketika Sidanti tiba-tiba saja telah menyerang mereka.
Ketika semuamya sudah dianggap cukup, barulah Samekta dan gembala tua itu turut duduk pula di ruang tengah bersama Sutawijaya.
Namun selama ini agaknya Sutawijaya sama sekali tidak membicarakan apa pun tentang Alas Mentaok dengan segala kemungkinannya. Agaknya ia hanya sekedar berceritera, kenapa ia berada di Tanah Perdikan ini. Dan ceriteranya itu pun sama sekali tidak lengkap seperti apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku hanya sekedar ingin melihat Tanah ini,” katanya, “dan lebih-lebih lagi, aku ingin mencari kawan-kawanku yang menurut pendengaranku sudah lebih dahulu berada di sini.”
Tidak seorang pun yang tidak mempercayainya. Pandan Wangi, Kerti, dan kemudian juga Samekta hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Tetapi bagaimana, dengan Mentaok seperti yang dikatakan oleh gembala tua ini?” bertanya Samekta kemudian.
“Ah, itu bukan persoalan lagi.” Sutawijaya berhenti sejenak. “Aku hanya ingin berbicara sedikit dengan Ki Argapati sendiri apabila kesehatannya sudah memungkinkan.”
Semuaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hal itu adalah wajar sekali, karena Kepala Tanah Perdikan ini adalah Ki Argapati.
“Tetapi bagaimana kalau pembicaraan itu tidak memungkinkan karena Ki Argapati tidak segera dapat melayani Anakmas,” bertanya Samekta.
“Aku tidak tergesa-gesa dan pembicaraan itu pun tidak begitu penting.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ternyata penibicaraan mengenai Ki Argapati itu, telah memperingatkan Pandan Wangi kepada ayahnya yang sedang sakit. Karena itu maka katanya kemudian, “Tuan kami persilahkan duduk bersama Paman Samekta dan Paman Kerti. Aku akan menunggui ayah yang masih terbaring di biliknya.”
“O, silahkan,” jawab Sutawijaya.
Dan sejenak kemudian Pandan Wangi pun telah memasuki bilik di ujung kanan yang dipergunakan oleh Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka Sutawijaya pun memanggil Hanggapati dan Dipasanga mendekat. Perlahan-lahan ia bertanya, “Bagaimana dengan kalian?”
“Baik, Kami tidak mengalami kesulitan apa pun.”
Sutawijaya menganggukkan kepalanya, kemudian katanya kepada Samekta dan Kerti, “Kedua prajurit ini adalah orang-orang yang menjadi kepercayaanku.”
Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Kami sudah menduga bahwa keduanya adalah prajurit-prajurit dari Pajang.”
“Bukan dari Pajang,” Sutawijaya memotong.
Samekta dan Kerti mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian mereka memandang wajah Sutawijaya dengan sorot mata yang bertanya-tanya, meskipun tidak terucapkan.
“Memang, mereka bukan prajurit-prajurit Pajang,” Sutawijaya menegaskan, seakan-akan ia dapat membaca isi hati kedua orang-orang tua itu.
“Jadi, prajurit manakah keduanya?”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia tersenyum. “Baiklah, sebut saja ia memang bekas prajurit Pajang.”
“Dan sekarang tidak lagi?”
Sutawijaya menggeleng. “Keduanya sedang melakukan tugas yang tidak kalah pentingnya dengan tugas keprajuritan Pajang.”
Kedua orang-orang tua itu menjadi semakin bingung. Namun mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa mengerti maksud pembicaraan Sutawijaya.
“Mungkin banyak hal-hal yang tidak jelas bagi kalian,” Sutawijaya itu berkata. “Memang mungkin harus demikan untuk saat ini.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Begitulah.”
Samekta masih mengangguk-angguk dan Kerti menggaruk-garuk keningnya.
“Tetapi kenapa kita berbicara tentang hal-hal yang sulit,” potong gembala tua itu, “kenapa kita tidak berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan. Katakanlah, bahwa kita telah menyelesaikan sebagian besar dari tugas kita. Bukankah begitu?”
Samekta dan Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, seharusnya kita mulai membicarakan, kapan kita merayakan kemenangan ini.”
“Ah,” jawab Kerti, “kita masih belum tahu, kapan Ki Argapati sembuh.”
“O, ya,” gembala itu mengangguk-angguk. “Nah, kalau begitu, kita berbicara tentang Tanah ini. Apakah kekalahan pasukan Sidanti di padukuhan induk ini sudah berarti kekuatan mereka patah sama sekali?”
“Tidak, Kiai,” Samekta menggeleng, “mungkin masih ada sisa-sisa pengikutnya yang membuat kubu-kubu kecil untuk mempertahankan diri karena mereka masih mempunyai pengharapan atas mimpi mereka yang dibiuskan oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, atau justru karena putus asa.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun banyak bertanya tentang padukuhan-padukuhan kecil yang mungkin dipergunakan oleh sisa-sisa pasukan Sidanti.
Sementara itu, Guipita dan Gupala duduk termenung di ruang ujung belakang gandok kanan. Di dalam ruangan itu tersimpan Ki Argajaya yang duduk merenungi nasibnya.
Katanya kemudian, “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling menjemukan. Aku kira lebih baik tinggal di dalam ruangan itu daripada berjaga-jaga di sini.”
“Hus,” desis Gupita, “apakah kau lebih baik ditahan daripada menjaga tahanan ini.”
“Tentu,” jawab Gupala, “kalau aku yang ditahan, maka apa pun dapat aku lakukan di dalam ruangan itu. Tetapi kita tidak. Kita tidak dapat tidur betapa kantuknya. Sedang Argajaya dapat saja tidur kapan saja ia kehendaki tanpa menghiraukan kita? Tetapi kita tidak dapat. Kita harus menjaga jangan sampai ia lari. Namun Ki Argajaya tidak peduli apakah kita akan melarikan diri ke mana pun.”
“Tetapi dari segi lain.”
“Apa misalnya.”
“Kita dapat melihat udara di luar bilik itu.”
“Hanya sekedar melihat. Tetapi kita terikat juga pada bilik itu.”
“Ah, jangan mengigau. Apa pun yang kau katakan, tetapi kau tidak akan mau bertukar keadaan dengan Ki Argajaya sekarang.”
Kemudian mereka terdiam untuk sejenak. Mereka juga mendengarkan hiruk-pikuk yang terjadi di pendapa rumah itu. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan tugas mereka.
Mereka mengetahui apa yang terjadi dari beberapa orang pengawal yang membantu mereka menjaga Ki Argajaya di luar sudut-sudut bilik itu. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan tanggung jawab mereka. Meskipun ada beberapa orang prajurit yang ikut dalam penjagaan itu, tetapi keduanya tidak dapat mempercayakan penjagaan atas Argajaya itu kepada pengawal yang kemampuannya jauh ketinggalan dari Ki Argajaya. Apalagi setelah mereka mendengar, bahwa Sidanti telah berusaha untuk melarikan diri.
“Anak itu memang keras kepala,” desis Gupita.
“Untunglah bahwa niat itu urung karena di pendapa ada seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek.”
“Ia tidak sabar lagi menunggu kita.”
Gupala tertawa. Katanya, “Menunggu, adalah pekerjaan yang paling menjemukan.”
Keduanya pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seperti tugas yang kini sedang mereka lakukan.. Menunggu. Sampai kapan?
Sementara itu Argajaya sendiri duduk termenung di dalam bilik yang pengap. Tanpa sesadarnya ia telah melihat semua peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Berurutan seperti gambar-gambar yang tersusun rapi. Sejak ia meninggalkan Menoreh menuju ke Padepokan Tambak Wedi.
Bukan, bukan hanya sejak keberangkatannya. Tegapi justru jauh sebelum itu. Sejak ia masih kanak-kanak. Kanak-kanak yang manja, dengan seorang kakaknya yang tekun.
“Kakang Argapati adalah seorang kakak yang baik,” anggapan itu tumbuh sejak ia menyadari, apa yang telah dilakukan oleh Arya Teja atasnya.
Terbayang kemudian saat-saat terakhir ia berada di atas Tanah ini sebelum ia pergi menengok Sidanti. Kakaknya masih tetap bersikap baik kepadanya.
Argajaya menarik nafas dalam. Perlahan-lahan ia dapat melihat apa yang terjadi itu dengan hati yang tenang. Memang kadang-kadang harga dirinya masih melonjak mengatasi kesadarannya yang mulai timbul. Tetapi karena suasana ruangan yang sepi, kesendirian yang mencengkam, maka perasaan segera dapat diendapkannya kembali.
Sekali-sekali Argajaya itu berdesah. Bahkan kemudian ia dapat menemukan bintik-bintik terang di dalam hatinya.
Seperti seseorang yang terbangun dari tidurnya dengan sebuah mimpi yang dahsyat, Argajaya mengusap dadanya. Apa yang telah terjadi atas dirinya ternyata adalah noda-noda yang paling hitam bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Baru sekarang ia bertanya, “Kenapa selama ini aku berada di pihak Sidanti?”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri. Ia tidak dapat menyembunyikan diri dari pengakuan, bahwa ternyata ia telah didorong pamrih-pamrih pribadi yang tidak terkendali.
Argajaya yang tunduk itu menjadi semakin tunduk. Meskipun di dalam ruangan itu tidak ada seorang pun selain dirinya sendiri, namun justru penglihatan dari dalam dirinya itu telah membuatnya menyesal sampai ke dasar hatinya.
Penyesalan itulah yang kemudian telah membuat dirinya pasrah. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai niat apa pun lagi. Ia akan menerima nasib apa pun yang akan ditentukan oleh kakaknya atas dirinya.
Perlahan-lahan Argajaya menengadahkan wajahnya. Kini seleret kecerahan membayang di matanya. Ia telah berhasil menyingkirkan kegelisahannya menghadapi masa-masa mendatang. Sehingga dengan demikian, Argajaya yang tidak mengenal menyerah itu kini sama sekali tidak berusaha untuk berbuat apa pun. Kali ini ia telah pasrah. Betapapun keras hatinya, namun penglihatannya yang bening atas semua peristiwa yang dialaminya, telah membuatnya luluh.
Berbeda sekali dengan Sidanti. Ia sama sekali tidak melihat kesalahan yang melekat pada dirinya. Kesadarannya tentang dirinya, bahwa ia bukan anak Argapati, telah membuatnya menjadi tidak terkekang.
Meskipun ia telah gagal untuk melarikan dirinya, namun ia sama sekali tidak mau melihat kenyataan itu.
Ketika perlahan-lahan kekuatannya telah pulih kembali, maka ia pun mulai menilai ruangan yang melingkunginya. Diraba-rabanya dinding yang membatasi ruangan itu. Dari satu sudut ke sudut lain. Dicobanya untuk melihat kelemahan-elemahannya yang mungkin dapat dipergunakannya untuk melepaskan diri.
“Mati dirampok orang dalam perlawanan adalah lebih baik daripada digantung dengan tangan terikat,” katanya di dalam hati. Dengan demikian, maka bagi Sidanti, melarikan diri adalah jalan yang paling baik untuk mati.
Meskipun demikian, ia masih mencoba membuat perhitungan. Ia tidak mau mengalami nasib yang lebih jelek daripada digantung.
Kalau ia melarikan diri dan jatuh di tangan para prajurit kebanyakan, maka ia memang dapat mengalami nasib yang jelek. Mungkin ia tidak akan mati terbunuh, tetapi justru menjadi pengewan-ewan.
Dengan demikian, Sidanti masih juga mempergunakan sedikit perhitungan dengan pikirannya yang sudah kisruh.
Di ruang dalam, Sutawijaya kini duduk dikawani oleh gembala tua itu di samping Dipasanga dan Hanggapati. Samekta dan Kerti telah minta diri untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Dengan demikian, maka pembicaraan Sutawijaya kini telah berkisar pada kepentingannya sendiri.
“Kita sudah terlalu lama meninggalkan Ayah Ki Gede Pemanahan di Hutan Mentaok,” berkata Sutawijaya.
Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu kita harus segera kembali.”
“Ya,” jawab Hanggapati. “Mungkin Ki Gede Pemanahan memang memerlukan Anakmas.”
“Meskipun demikian, mumpung aku sudah berada di atas Tanah Perdikan ini, aku ingin berbcara dengan Ki Argapati.” Kemudian kepada gembala tua itu ia bertanya, “Apakah mungkin hari ini aku berbicara dengan Ki Gede Menoreh?”
“Aku belum yakin,” jawab orang tua itu, “tetapi baiklah aku akan mengusahakannya.”
“Terima kasih,” berkata Sutawijaya. “Tetapi sebelum aku mengatakannya kepada Ki Argapati, aku memang akan menemui Kiai sendiri. Aku kira sudah sampai waktunya aku mengutarakannya sekarang.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kini tampaklah kesungguhan membayang di wajahnya.
“Aku memang sudah menduga Anakmas, bahwa pada suatu ketika aku dan kedua anak-anakku itu pasti akan terlibat dalam persoalan Anakmas.”
“Apaboleh buat, Kiai. Aku memerlukannya.”
“Bukankah Angger telah mempunyai beberapa orang senapati yang mumpuni?”
“Ayah Pemanahan?”
“Ya, dan selain itu Ada angger sendiri dan Pamanda Mandaraka yang bijaksana itu?”
“Ya, Kiai. Tetapi aku memerlukan orang yang langsung cakap menangani prajurit di peperangan. Paman Mandaraka adalah orang yang mempunyai pandangan yang tajam sekali. Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan Pajang, dalam kenyataan tempur, aku kira Paman Mandaraka tidak akan dapat turun langsung ke medan. Aku juga tidak yakin bahwa Ayahanda Pemanahan dapat melakukannya sendiri.”
“Dengan demikian akulah yang harus jadi banten. Aku harus melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh Ki Juru Mertani dan Ki Gede Pemanahan itu. Mereka tidak akan sampai hati melawan langsung berhadapan di medan perang dengan para senapati Pajang, tetapi aku harus menyingkirkan perasaan itu?”
Sutawijaya terkejut mendengar jawaban itu. Ia kemudian merasa bahwa ia telah terdorong kata sehingga agaknya telah menyinggung perasaan orang tua itu.
Namun anak muda yang cerdas itu kemudian tersenyum. Katanya, “Maafkan, Kiai. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Tetapi aku agaknya telah keliru, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan aku berhasrat menempatkan Kiai pada tempat yang sulit, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.” Sutawijaya berhenti sejenak. Kemudikan dilanjutkannya, “Tetapi baiklah aku tidak mengatakannya dengan kalimat-kalimatku sendiri supaya aku tidak keliru lagi. Sebenarnya ayahlah yang berpesan kepadaku. Kalau aku bertemu dengan seorang tua yang bersenjata cambuk, serta mempunyai kecakapan dalam hal obat-obatan, maka aku harus mengatakannya, bahwa ayah memerlukan.”
“Apakah hanya ada seorang, aku saja, yang menguasai ilmu obat-obatan.”
“Tidak hanya ilmu obat-obatan Kiai, tetapi yang mempunyai ciri senjata cambuk.”
“Itu pun tidak hanya seorang.”
“Mungkin kalau aku ketemukan yang lain, aku pun akan mengatakannya demikian kepadanya. Tetapi seluruh Pajang pernah aku jelajahi. Yang aku ketemukan adalah Kiai seorang saja.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Siapakah nama orang itu? Apakah ayahanda Ki Gede Pemanahan tidak menyebut namanya?”
“Ya, ayah memang menyebut namanya.”
“Nah, apakah nama itu namaku?”
“Siapakah mama Kiai sebenarnya?”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum. “Hem,” desahnya, “Anakmas memang seorang yang mapan berbicara.”
Sutawijaya pun tersenyum pula. Katanya kemudian, “Ayah memang menyebut nama itu. Sorotomo, Danumurti, Ragapati, dan masih ada dua nama lagi yang aku terlupa.”
Orang tua itu mengangkat wajahnya. “Nama-nama yang menarik.”
Sutawijaya memperhatikan kesan yang tersirat di wajah orang tua itu dengan seksama. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Orang tua itu benar-benar seorang yang mampu menguasai perasaannya, sehingga sama sekali tidak ada kesan apa pun yang tersirat di wajah yang telah berkerut-merut itu.
“Nama-nama yang baik,” desisnya. “Tetapi Anakmas mengatakan bahwa laki-laki tua yang bersenjata cambuk itu hanya seorang. Sedang Angger menyebut beberapa nama sekaligus.”
“Itulah yang aneh, Kiai,” jawab Sutawijaya. “Karena itu, apakah artinya sebuah nama bagi seseorang seperti laki-laki bersenjata cambuk itu? Ia dapat menyebut dirinya dengan seribu nama. Sorotomo ataukah Danumurti atau Ragapati atau Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau seorang gembala tidak bernama atau ………….”
“Kenapa Angger sampai ke nama-nama itu,” potong gembala tua itu.
“Misalnya, Kiai. Hanya sekedar missal,” sahut anak muda itu. “Aku tidak mengatakan bahwa Sorotomo itu juga bernama Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau yang lain.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Anak muda itu kemudian melanjutkan, “Aku belum selesai, Kiai. Ayah berpesan agar aku menyampaikan pula, bahwa ayah minta pertolongan Kiai untuk membantu menegakkan sebuah daerah baru. Alas Mentaok harus menjadi sebuah negeri.”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Menurut ayah, Mentaok akan sangat memerlukannya. Eh, maksudku memerlukan Kiai. Apalagi salah seorang muridnya adalah putera Demang Sangkal Putung.”
Orang tua itu tersenyum, Jawabnya, “Itulah yang penting. Letak Sangkal Putung sangat menguntungkan bagi daerah baru itu untuk menghadapi Pajang. Garis yang menjelujur dari Alas Mentaok, Prambanan, kemudian Sangkal Putung adalah lapis-lapis pertahanan yang pasti tidak tertembus.”
“Ah,” anak muda itu mengerutkan keningnya, “adakah seorang gembala di seluruh Pajang yang begitu cepat menanggapi keadaan medan seperti Kiai.”
“Hem,” gembala itu berdesah.
“Itulah agaknya maka ayahanda telah meminta Kiai untuk datang ke Alas Mentaok.”
Gembala itu tidak segera menjawab.
“Ayah sangat mengharap kedatangan Kiai. Apakah ternyata kemudian ayah keliru, atau akulah yang keliru, terserahlah. Atau barangkali Kiai telah keliru atau lupa menyebut nama sendiri,” anak muda itu pun tertawa.
“Ah, kau ini, Ngger.”
Dan anak muda itu berkata seterusnya, “Tetapi ayah juga berpesan, bahwa apa yang dilakukan ayah sekarang ini tidak sekedar terdorong oleh suara yang pernah didengar dari puncak sebatang pohon kelapa yang hanya berbuah sebutir oleh Ki Ageng Giring. Apakah Kiai sudah mendengar dongeng itu?”
“Belum, Ngger,” namun orang tua itu tertawa sehingga Sutawijaya menyahut, “Ah, Kiai mencoba untuk menyembunyikan diri.”
“Kenapa?” gembala itu mengerutkan keningnya.
“Kiai pasti sudah mendengarnya karena Kiai tertawa.” Kemudian dengan bersungguh-sungguh Sutawijaiya bertanya, “Apakah Kiai percaya bahwa siapa yang minum air kelapa itu dan menghabiskannya sekaligus akan menurunkan raja?”
“Sebaiknya kita percaya,” jawab gembala itu sambil tersenyum. “Jika kemudian ternyata demikian, maka keturunan Ki Pemanahan itu akan menjadi raja.”
“Ah,” Sutawijaya berdesah, “bukan itu soalnya.”
Tetapi gembala tua itu tertawa. Katanya, “Angger memang seorang pemikir yang cemerlang. Sebelum Alas Mentaok itu benar-benar menjadi sebuah negeri, Angger sudah membentengi dengan ketat. Sangkal Pulung, Jati Anom, dan Menoreh adalah suatu lingkaran yang rapat. Sudah tentu Angger akan menghubungi Mangir dan sekitarnya.”
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi redup. Sejenak ditatapnya Hanggapati dan Dipasanga yang terkantuk-kantuk. Mereka merasa lelah sekali, karena semalaman mereka tidak beristirahat sama sekali, dan bahkan telah memeras tenaga di dalam peperangan.
“Kalian lelah sekali,” desis Sutawijaya.
Keduanya tersenyum. “Ya. Tetapi biarlah kami duduk di sini.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada gembala tua itu hampir berbisik, “Tetapi Kiai, jalan ke Selatan itu tidak begitu menggembirakan. Kepala Tanah Perdikan Mangir agaknya mempunyai sikap sendiri.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. “Apa katanya?”
“Mereka merasa, bahwa mereka lebih tua dari Tanah Mentaok yang sedang dibuka itu. Bagi mereka, Mentaok dapat menjadi perintang atas perkembangan Tanah Perdikan itu.”
“Kalau begitu, mereka akan berusaha merintangi perkembangan Alas Mentaok. Bahkan mungkin bekerja bersama dengan Pajang.”
“Dengan Pajang tentu tidak. Tetapi hasrat untuk besar dan berdiri sendiri itulah yang akan dapat menjadi perintang.”
“Apakah hal itu merupakan persoalan yang dapat dianggap bersungguh-sungguh bagi Mentaok?”
“Tetapi sampai saat ini kami masih berusaha untuk membatasi persoalannya, Kiai. Kami seolah-olah tidak mempedulikannya lagi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mangir tidak mengganggu kami.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran masa depan yang suram bagi Pajang. Meskipun ia tidak mendasarkan penglihatannya atas perkembangan pusat pemerintahan itu pada peristiwa-peristiwa ajaib, seperti kelapa, yang dipetik oleh Ki Ageng Giring, yang tanpa disengaja airnya telah terminum oleh Ki Gede Pemanahan karena ia kehausan itulah, namun ia memang melihat, bahwa kekuasaan Pajang tidak akan mampu bertahan terlampau lama. Pimpinan pemerintahan di Pajang, yang menggemparkan di masa mudanya itu kemudian tenggelam di dalam kesenangan pribadi yang berlebih-lebihan. Sejak muda Mas Karebet telah menyimpan cacat pada pribadinya, di samping kecemerlangannya yang tidak ada duanya. Di samping kemampuannya sebagai seorang Wira Tamtama, penjelajahannya yang sulit dilakukan oleh orang lain sampai ke tempat-tempat yang terpencil, dan kemudian mencapai puncak kedahsyatannya dengan mengalahkan Kebo Danu dari Banyu Biru, meskipun hal itu telah diatur lebih dahulu. Karebet memberi harapan bagi Pajang yang diambilnya dari Demak. Tetapi cacat yang dibawanya sejak muda, kegemarannya melibatkan diri dengan perempuan justru menonjol ketika ia menjadi Adipati di Pajang. Ratu Kalinyamat telah berhasil memancingnya ke dalam suatu bentrokan yang tidak terhindar lagi melawan Jipang, dengan menjanjikan dua orang gadis cantik kepadanya.
“Sekali tepuk dua lalat terbunuh,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Sepeninggal Arya Penangsang, tahta tersedia buat Adipati Pajang, sekaligus ia mendapat hadiah dari Ratu Kalinyamat itu.”
Tetapi yang akan disesali oleh Sultan Pajang itu adalah kelalaiannya memberikan Tanah yang sudah disanggupkannya kepada Ki Gede Pemanahan.
Karena ia dibayangi oleh hadiah dua orang gadis cantik itulah, maka tanpa berpikir panjang ia bersedia menyerahkan tanah Pati dan Mentaok kepada mereka yang berhasil membunuh langsung Arya Penangsang dari Jipang.
Kini semuanya itu sudah terlanjur. Hubungan antara Sultan dan Ki Gede Pemanahan yang selama ini menjadi Panglimanya, bagaikan telur yang retak kulitnya. Tidak akan dapat dipulihkannya kembali. Apalagi Ki Gede Pemanahan sudah mulai membuka Alas Mentaok meskipun mungkin hal itu tidak dikehendaki oleh Sultan Pajang.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Memang persoalan-persoalan selama kita masih hidup ini tidak akan ada selesainya. Persoalan Menoreh agaknya sudah semakin terang. Yang tinggal adalah masalah Sidanti dan Argajaya, meskipun persoalan itu akan merupakan persoalan yang sangat rumit bagi Ki Argapati. Apalagi menurut pendengaranku yang belum jelas, baik diucapkan oleh Ki Tambak Wedi maupun Sidanti sendiri, anak itu bukan putera Ki Airgapati.” Orang tua itu mengangguk-angguk sendri, kemudian ia masih berkata kepada diri sendiri, “Dan, sekarang, telah terbuka lagi masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Alas Mentaok. Meskipun sebenamya aku masih dapat menghindarkan diri. Tetapi persoalan ini akan langsung bersangkutan dengan Kademangan Sangkal Putung, Prambanan, dan Tanah Perdikan ini.”
Namun lebih daripada itu, agaknya Ki Gede Pemanahan mempunyai perhitungan tersendiri, kenapa ia dengan sengaja berusaha melibatkan gembala tua itu dalam persoalannya.
“Aku harap Kiai memikirkannya sebaik-baiknya,” tiba-tiba gembala tua itu dikejutkan oleh kata-kata Sutawijaya.
“Aku akan berpikir, Anakmas.”
“Memang barangkali Kiai sama sekali sudah tidak mempunyai pamrih apa pun. Tetapi murid-murid Kiai itu adalah anak-anak muda yang masih menginginkan masa depan yang panjang.”
Orang itua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah lebih baik, kalau Kiai dapat pergi bersamaku ke Mentaok.”
“O, tentu tidak, Ngger. Kecuali kalau Angger tidak tergesa-gesa kembali.”
“Aku harus segera berada di Mentaok, Kiai.”
“Kalau begitu Angger dapat pergi lebih dahulu,” berkata gembala tua itu. “Tetapi bukankah Angger akan bertemu dengan Ki Argapati?”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu terkilas suatu persoalan yang pasti akan menjadi sangat rumit baginya, apalagi bagi murid-muridnya. Kalau benar-benar terjadi persoalan antara Pajang dan Alas Mentaok, kemudian ia berpihak kepada Sutawijaya bersama kedua murid-muridnya, maka ada kemungkinan mereka akan berhadapan dengan Senapati Pajang di sisi Selatan, Untara.
Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia ingin mengusir persoalan yang melintas dengan tiba-tiba dikepalanya itu. Namun yang terbayaug justru Untara sendiri berdiri tegak degan pedang di tangan.
“Hem,” orang tua itu berdesah. Namun ia terkejut ketika ia mendengar Sutawijaya bertanya, “Kenapa Kiai?”
Gembala itu tergagap. Namun kemudian ia melihat sesuatu telah melonjak di dada orang tua itu. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya itu tidak bertanya lagi.
“Anakmas,” berkata orang tua itu kemudian, “sebaiknya Anakmas memberi kesempatan kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga untuk beristirahat. Bahkan Angger sendiri dapat beristirahat pula di gandok belakang. Atau di ruang yang baru saja ditinggalkan oleh Sidanti. Biarlah aku yang menunggui Anakmas Sidanti di sini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Hanggapati dan Dipasanga berganti-ganti.
“Aku dapat beristirahat di mana-mana, Kiai. Kalau memang tidak ada persoalan lagi, barlah aku berada di longkangan di belakang bilik ini. Aku kira di sana ada beberapa helai tikar. Aku dapat beristirahat di antara beberapa orang prajurit yeng bertugas, sekaligus mengawasi bilik Sidanti dari belakang,” sahut Hanggapati.
“Dan Angger Sutawijaya?”
“Aku di sini saja, Kiai.”
“Baiklah. Silahkan Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga ke longkangan. Di sana kalian berdua mungkin masih dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Keduanya pun kemudian meninggalkan ruangan dalam pergi ke longkangan di belakang bilik tempat menyimpan Sidanti. Kedua nya pun kemudian berada di antara para pengawal yang terpilih untuk mengawasi Sidanti.
“Kita dapat beristirahat bergantian,” berkata Ki Hanggapati. “Dengan demikian kita dapat beristirahat dengan tidak digelisahkan oleh apa pun.”
“Baiklah,” jawab Dipasanga, “tetapi siapa yang dahulu? Kita tidak tahu, berapa lama kita dapat beristirahat di sini. Mungkin ada sesuatu yang memaksa kita untuk segera berbuat sesuatu.”
“Kau dulu sajalah. Aku masih ingin minum wedang serbat dahulu.”
Ki Dipasanga tersenyum. Ia masih melihat, seorang pengawal yang tergopoh-gopoh menyorongkan mangkuk kepada Ki Hanggapati sambil berkata, “Silahkan. Silahkan.”
Ki Hanggapati tersenyum, sedang Ki Dipasanga pun kemudian pergi menepi. Kemudian berbaring di sebelah tiang bambu yang dilekati oleh sarang laba-laba yang sudah kehitam-hitaman.
Di ruang tengah Sutawijaya duduk bersama gembala tua. Namun kemudian gembala itu masuk ke dalam bilik Ki Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya.
“Kau sudah terlanjur berada di sini, Ngger,” berkata gembala tua itu. “Aku titip, kalau-kalau Angger Sidanti polah lagi. Jangan biarkan ia pergi, tetapi jangan lukai anak itu.”
“Aku sudah kapok Kai,” jawab Sutawijaya, “nanti aku pula yang disalahkannya.”
“Biar sajalah. Anggap saja itu lagu yang paling merdu seorang gadis dari Bukit Menoreh.”
“Tetapi, Kai sendiri tersinggung karenanya.”
“Aku memang sudah pikun. Aku menyesal sekali.” Orang tua itu berhenti sebentar. “Tetapi aku titip pintu itu.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia hanya tersenyum saja.
Gembala itu pun kemudian masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Pandan Wangi berpaling ketika ia mendengar derit pintu terbuka. “Marilah Kiai,” desis Pandan Wangi. “Ayah sudah agak tenang.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Syukurlah,” jawabnya, “mudah-mudahan segera menjadi baik.”
“Tetapi, bagaimana dengan Raden Sutawijaya itu?”
“Ia masih duduk di ruang tengah.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa disangka-sangkanya, terdengar suara Argapati berat perlahan-lahan, “Kau sebut nama Raden Sutawijaya, Wangi.”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ya, Ayah.”
“Kenapa dengan Raden Sutawijaya?”
“Ia berada di ruang tengah.”
Jawaban itu agaknya telah mengejutkan Ki Argapati sehingga perlahan-lahan matanya yang selalu terpejam itu terbuka. “Ia berada di sini?”
“Ya, Ki Gede,” gembala tua itulah yang menyahut. “Tetapi jangan hiraukan kehadirannya. Anak nakal itu hanya sekedar ingin tahu. Seperti ayah angkatnya Sultan Pajang yang sekarang, Angger Sutawijaya senang menjelajahi sudut-sudut kerajaan ini.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. “Dan Raden Sutawijaya itu sudi singgah di rumah ini?”
“Beristirahatlah, Ki Gede. Anakmas Sutawijaya akan bermalam di rumah ini. Besok atau kapan saja Ki Gede masih sempat menemuinya apabila keadaan Ki Gede sudah menjadi semakin baik.”
“Raden Sutawijaya akan bermalam di sini?” suaranya agak meninggi.
“Ya.”
“O, di mana kami akan mempersilahkannya. Di sini tidak ada perlengkapan apa pun yang dapat kita pergunakan dengan pantas untuk menerimanya.”
“Jangan hiraukan,” berkata gembala tua itu. “Di Sangkal Putung Anakmas Sutawijaya tidur di gubug, di tengah sawah. Ketika ia memasuki Alas Mentaok untuk melihat-lihat, ia tidur di atas cabang sebatang pohon. Bagi seorang perantau, rumah ini sudah cukup memberikan tempat yang baik,” jawab gembala itu pula.
Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah kekecewaan membayang di wajahnya yang pucat. Apalagi ia sendiri masih belum dapat bangkit dan menerima Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putera angkat Sultan Pajang itu.
Ki Argapati mengangguk lemah. “Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan Anakmas Sutawijaya tidak kecewa melihat keadaan ini.”
“Tentu tidak. Sekarang Ki Gede sebaiknya beristirahat dan berusaha untuk menenteramkan hati.”
“Ya,” desisnya.
“Tidurlah sebanyak-banyaknya.”
“Ya.”
Orang tua itu pun mengangguk-angguk. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati yang sudah mulai hangat, kemudaan tengkuknya dan keningnya.
“Mudah-mudahan Ki Gede segera menjadi baik kembali, meskipun agaknya Ki Gede memerlukan waktu untuk memulihkan kekuatan.”
“Ya,” jawabnya, “mudah-mudahan.”
Gembala tua itu pun kemudian duduk di atas dingklik kayu di sudut bilik itu, sedang Pandan Wang duduk di amben pembaringan Ki Argapati di bagian bawah.
Sementara itu, Samekta dan Kerti telah memasuki ruangan dalam kembali. Ketika mereka berdua telah duduk bersama Sutawijaya, maka anak muda yang sudah jemu duduk berdiam diri itu segera berkata, “Aku menjadi lelah duduk di sini saja.”
“Apakah Anakmas akan berbaring? Mungkin memerlukan ruangan tersendiri?”
“Tidak.” Sutawijaya termenung sejenak. Kemudian ia bertanya, “Di mana Gupita dan Gupala?”
“Di belakang. Mereka mengawasi Ki Argajaya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian karena ia sadar bahwa kedua anak-anak muda itu tidak datang menemuinya karena tugasnya, maka ia pun kemudian berkata, “Aku akan menemui mereka.”
“O, silahkan. Silahkan.”
“Tetapi di sini aku sedang menerima titipan?”
“Apa?” Samekta dan Kerti menjadi heran.
“Pintu itu.”
“Kenapa dengan pitu itu?”
“Bukankah di dalamnya ada Sidanti? Gembala itu menitipkan kepadaku untuk mengawasi kalau-kalau Sidanti kambuh lagi. Nah, sekarang pintu itu aku titipkan kepada kalian berdua. Awasi. Kalau kalian memerlukan sesuatu, Kiai Gringsing berada di ruang itu.”
“Kiai Gringsing?” Samekta bertanya dan Kerti terheran-heran.
“Eh, maksudku gembala tua itu. Ia ada di dalam bilik Ki Argapati untuk melihat luka-lukanya. Kalau ia kembali dan bertanya tentang aku, katakan, aku sedang menemui Gupita dan Gupala.
“Baiklah. Kami berdua akan mengawasi pintu itu.”
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Seperti petunjuk Samekta, maka ia pun pergi ke bilik tempat Argajaya ditahan untuk menemui Gupita dan Gupala.
Pembicaraan mereka kemudian adalah pembicaraan anak-anak muda. Sutawijaya segera berceritera tentang Alas Mentaok. Usahanya untuk membuatnya menjadi sebuah negeri.
“Tetapi dengan demikian Sultan Pajang akan tersinggung karenanya.”
“Mudah-mudahan tidak. Apa salahnya kalau daerah itu nanti akan berkembang? Kami tidak akan mengganggu Pajang. Kecuali kalau perkembangan keadaan jadi lain, dan haal-hal yang tidak kita harapkan itu harus terjadi.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah tentu, bahwa seandainya Ayahanda Sultan Pajang tidak senang melihat perkembangan Alas Mentaok, kami terpaksa tidak dapat mematuhinya. Kami sudah bertekad. Mentaok tidak boleh kalah dari Pati yang sudah lebih dahulu terbuka.
“Jadi bukankah sekarang Ki Gede Pemanahan sudah membuka hutan itu?”
“Tentu sudah.” Kemudian suaranya jadi menurun, “Jangan kau katakan kepada gurumu, Mentaok sudah menjadi suatu desa yang ramai. Banyak orang-orang di padukuhan di sekitarnya kini telah membuka hubungan dengan daerah baru itu.”
Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya.
“Kami telah mengumpulkan anak-anak muda yang akan kami persiapkan untuk menjadi pengawal daerah kami yang baru itu. Latihan-latihan yang teratur telah kami adakan hampir di setiap hari.”
“Siapakah yang melatih mereka?”
“Beberapa orang prajurit dari Pajang telah membantu kami membuka hutan itu.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jika demikian, langkah Ki Gede Pemanahan sudah terlalu jauh,” desis Gupita.
Sutawijaya tertawa. Katanya, “Ayah harus mengejar ketinggalannya dari Pati.”
“Kenapa mesti berkejar-kejaran?” bertanya Gupala.
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu memang tidak disangka-sangkanya. Namun akhirnya ia menjawab, “Bukan maksudnya. Tetapi usaha membangun daerah itu adalah usaha yang baik. Sebenarnya Pajang justru harus membantu.”
“Apakah Pajang menghalang-halangi sampai sekarang?” bertanya Gupita.
Sekali lagi Sutawijaya dihadapkan pada pertanyaan yang tidak segera dapat dijawab.
Namun hal itu bagi Gupita adalah pertanda bahwa sebenarnya pihak Ki Gede Pemanahan sendiri diam-diam sudah menyusun kekuatan. Mungkin karena prasangka yang berlebih-lebihan, orang-orang Alas Mentaok itu merasa bahwa Pajang akan segera memusuhinya.
Namun tanpa menjawab pertanyaan Gupita, Sutawijaya berkata, “Aku memerlukan beberapa orang senapati yang mumpuni. Nah, kalian pasti bersedia membantu aku seandainya terjadi sesuatu kelak.”
Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Tampak sesuatu memancar di sorot mata masing-masing. Tetapi ternyata tanggapan mereka justru berbeda.
Sejenak kemudian Sutawijaya mendesak, “Bagaimana?
Gupala mengerutkan keningnya. Meskipun ragu-ragu namun ia menjawab, “Apa salahnya?”
“Bagus,” desis Sutawijaya, “kalian pasti akan membantu kami. Aku memang sudah menyangka.”
Namun Gupita masih tetap berdiam diri.
“Nah,” berkata Sutawijaya, “bagaimana dengan kau Gupita. Aku tahu, bahwa kau selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Tetapi kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah mampu melakukan banyak tindakan di dalam peperangan. Bukankah kau pada suatu ketika, seperti yang terjadi di peperangan, harus mengambil keputusan dengan cepat? Nah, kau harus mengambil pengalaman. Kau dapat melakukan kalau kau mau.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku, harus mengatakannya kepada guru.”
“Aku tahu bahwa kau akan bersikap demikian. Tetapi agaknya gurumu pun akan ikut serta bersama kami. Ayah Ki Gede Pemanahan sendiri telah berpesan untuk memintanya datang ke Alas Mentaok.”
“Apakah Ki Gede Pemanahan mengenal guru?”
Sutawijaya tertawa. “Tidak seorang pun yang mengenal gurumu dengan pasti. Ayah pun tidak. Ki Argapati agaknya juga tidak yakin atau bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Ki Tambak Wedi dan semua orang yang berhubungan dengan gurumu menganggapnya ia orang yang lain dari nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Satu-satunya ciri yang dapat dipakai sebagai pancadan untuk menduga-duga adalah cambuknya itu. Meskipun gurumu sendiri berkata bahwa banyak sekali orang bersenjata cambuk.”
Gupita mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Sekarang, ciri itu tambah lagi. Bersenjata cambuk dan mempunyai dua orang murid. Yang seorang bulat seperti kelapa, dan yang lain bertubuh sedang.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam, sedang Gupala tersenyum sambil meraba-raba perutnya.
“Kalau memang guru sudah setuju, aku pun tidak berkeberatan,” berkata Gupita kemudian. “Tetapi untuk mengambil keputusan serupa itu, sebagai seorang murid yang masih berada langsung di bawah pengawasan gurunya, aku tidak dapat bertindak sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah sebaiknya,” desisnya. Tetapi Sutawijaya sendiri adalah anak yang nakal. Kadang-kadang ia melanggar peraturan ayahnya sekaligus gurunya, atau melakukan sesuatu tanpa setahu ayahnya itu.
“Dan selanjutnya keputusan terakhir ada pada guru,” sambung Gupita.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, “Meskipun sebagian Senapati Pajang ikut dengan ayah, tetapi yang sebagian itu terlampau kecil dibanding dengan kekuatan Pajang seluruhnya. Mudah-mudahan kami akan segera meningkatkan kekuatan para pengawal daerah baru itu.”
Gupita mengerutkan keningnya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata, “Itu sudah merupakan persiapan perang.”
Sutawijaya terkejut mendengar tanggapan Gupita. Dengan serta-merta ia berkata, “Tidak, sama sekali tidak. Bukan maksud kami mengadakan persiapan perang.”
Gupita menggigit bibirnya.
“Kami hanya sekedar mengadakan persiapan untuk menjaga diri apabila sesuatu terjadi atas daerah kami yang baru bangkit itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Gupala masih meraba-raba perutnya. Namun tiba-tiba ia berkata, “Memang setiap orang perlu menjaga diri. Juga daerah-daerah baru yang baru lahir seperti Alas Mentaok yang akan menjadi sebuah negeri. Seandainya Pajang tidak berbuat apa-apa, mungkin justru daerah di sekitamya merasa iri. Mungkin Tanah Perdikan Mangir, mungkin Menoreh, atau daerah-daerah lain.”
“Bagaimana dengan Sangkal Putung?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Sangkal Putung tidak terlampau dekat. Tetapi Sangkal Putung tidak akan berkeberatan apa pun atas perkembangan Alas Mentaok. Kalau Alas Mentaok menjadi ramai, perdagangan antara Pajang dan daerah baru itu berkembang, maka Sangkal Putung akan menjadi jalur yang menentukan. Itu akan bermanfaat bagi Sangkal Putung.”
Sutawijaya memandang Gupala dengan sorot mata yang aneh. Sesaat kemudian ia berkata, “Hem, kau memandang persoalan ini dari sudut yang luas. Meskipun tampaknya kau hanya dapat berkelahi dan tertawa-tawa tanpa arti, ternyata pandanganmu cukup tajam.”
Gupala hanya tertawa saja.
“Tetapi bagaimana kalau terjadi sebaliknya?”
“Apa?” anak yang gemuk itu bertanya.
“Kalau yang lewat itu bukan serombongan pedagang, tetapi sepasukan prajurit dari Pajang menuju ke Alas Mentaok.”
Gupala berpikir sejenak. Dan jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sutawijaya maupun oleh Gupita. Katanya, “Kalau yang lewat sepasukan prajurit, aku harus bersembunyi atau mengungsi.”
Ketiganya tidak dapat menahan hati. Sutawijaya tertawa meledak, meskipun segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sedang Gupita tersenyum kecut.
“Sudahlah,” berkata Sutawijaya kemudian, “aku akan pergi ke ruang tengah. Kalau gurumu sudah selesai dengan Ki Argapati, ia akan mencari aku. Aku masih harus menemui Ki Argapati dalam kesempatan ini.”
“Juga mempersoalkan dibukanya Alas Mentaok?” bertanya Gupala.
“Ya.”
“Mudah-mudahan tidak ada kesulitan dari mana pun,” berkata Gupita perlahan-lahan.
“Tentu. Kami mengharap demikian. Tetapi seandainya ada banjir, kami sudah membuat tanggul.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia merasa bahwa soalnya bukan sekedar membuat tanggul. Namun demikian ia tidak berkata sesuatu lagi. Ia menyerahkan persoalannya kepada gurunya. Apa pun yang harus dilakukannya, ia tidak akan menolak.
Ketika kemudian Sutawijaya masuk kembali ke ruang tengah, yang ditemuinya adalah Samekta dan Kerti yang masih duduk di tempatnya, sehingga anak muda itu bertanya, “Apakah gembala itu masih berada di dalam bilik Ki Argapati?”
Samekta menggelengkan kepalanya. “Tidak. Baru saja ia pergi ke luar.”
“Aku berada di luar.”
“Tetapi ia pergi ke luar lewat pintu butulan. Agaknya Anakmas diharap duduk di sini sebentar.”
Sutawijaya mengangguk-angguk pula. “Baiklah, aku akan menunggunya di sini.”
Sementara itu gembala tua itu pergi kepada kedua muridnya. Ditemuinya Gupala sedang berbaring di atas anyaman daun kelapa, sedang Gupita duduk memeluk lututnya. Beberapa langkah dari mereka, seorang penjaga berjalan helir-mudik dengan tombak di tangan.
“Apakah kalian lelah?” bertanya gurunya.
Gupala segera bangkit. Dengan serta-merta ia bertanya, “Apa kami sudah boleh tidur?”
“Kenapa tidak?”
Gupala menjadi bingung. “Lalu bagaimana dengan tawanan yang berada di dalam bilik itu.”
“Biar saja ia di situ. Kalian berdua dapat tidur berganti-ganti. Tetapi aku kira kalian yang masih muda-muda ini akan dapat bertahan tiga hari tiga malam.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Menurut pendengaranku, waktu Mahapatih Gajah Mada menyelamatkan rajanya, tujuh hari tujuh malam ia sama sekali tidak beristirahat. Apalagi tidur,” desis gembala itu. “Baru setelah ia mendapat jalan untuk membawa raja itu kembali ke kota, Gajah Mada mau beristirahat.”
Gupita tersenyum, sedang Gupala bersungut-sungut. Katanya, “Kelak, apabila aku menjadi Maha Patih, aku pun akan berjaga-jaga tujuh hari tujuh malam.”
Gupita tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Apa yang akan kau lakukan selama tujuh hari tujuh malam itu?”
“Makan.”
Ketiganya tertawa. Namun Gupala pun segera merebahkan dirinya lagi di atas anyaman daun kelapa itu sambil berdesis, “Memang suatu cara yang baik. Bergantian tidur. Kenapa baru sekarang kita ingat akan hal itu? Sekarang aku tidur, kau bangun Kakang Gupita. Nanti, pada saatnya kau bangun, aku tidur.”
“Bagus. Tetapi kalau nasi masak, aku tidak mau membangunkan kau.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi sambil menggaruk-garuk perutnya ia berkata, “Kalau begitu aku pun tidak akan dapat tidur.”
Gurunya tersenyum. Namun kemudian ia berkata, “Aku harus segera kembali ke ruang tengah menunggui Sidanti. Sebentar lagi, apabila semua persiapan sudah selesai, para pemimpin Menoreh akan melepaskan jenazah mereka yang gugur di peperangan ini. Kalau Angger Sutawijaya bersedia tetap berada di ruang tengah, aku akan dapat ikut bersama Samekta dan Kerti.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah kalian sudah bertemu dengan Raden Sutawijaya?”
“Sudah, Guru,” jawab Gupita, “baru saja ia datang kemari.”
“Apa katanya?”
“Tentang Alas mentaok itu lagi,” jawab Gupita.
“Kami diminta untuk membantunya,” sahut Gupala. “Agaknya Raden Suitawijaya memerlukan beberapa orang untuk itu.”
“Beberapa orang yang bersedia untuk berkelahi,” gumam gurunya. “Tetapi apa katamu berdua?”
“Aku bersedia,” jawab Gupala dengan serta-merta. “Aku tidak dapat berdiri tidak berpihak, sementara kedua pasukan Mentaok dan Pajang akan saling berhadapan.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengarti pendirian Gupala. Sangkal Putung seolah-olah terletak di garis yang menghubungkan kedua daerah itu. Kalau anak yang gemuk itu sama sekali tidak menentukan sikap, maka mungkin sekali daerahnya akan tergilas oeh kedua belah pihak.
“Apakah kau sudah menjawab?” bertanya gurunya.
“Sudah guru,” jawab Gupala.
“Dan kau?” bertanya gurunya kepada Gupita.
“Aku menyerahkan persoalannya kepada Guru,” jawab Gupita. “Menurut Riaden Sutawijaya Guru sudah bersedia.”
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Persoalan yang dihadapi oleh Gupala memang tidak terlampau rumit. Ia harus berpihak. Berpihak kepada yang memberinya harapan. Apalagi Sutawijaya telah dikenalnya baik-baik sejak lama.
Tetapi soalnya akan berbeda bagi Gupita. Sekali lagi terlintas di dalam angan-angannya, Senapati Pajang di bagian Selatan yang bernama Untara itulah nanti yang akan memegang peranan. Ki Gede Pemanahan sendiri sudah tidak ada di Pajang. Ki Penjawi sudah berada di Pati pula. Maka selain Ki Patih dan Sultan Pajang sendiri, maka Senapati Pajang tidak ada lagi yang mumpuni.
“Apakah mungkin bahwa Angger Agung Sedayu akan berhadapan dengan Angger Untara?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Tetapi ia masih tetap menyimpan pertanyaan itu di dalam hati. Agaknya Gupita sama sekali masih belum teringat untuk memperhitungkannya hal itu.
“Apakah guru benar-benar telah menyetujuinya?” tiba-tiba Gupita bertanya.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku memang sedang mempertimbangkan. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Sutawijaya memang sudah menyampaikan pesan Ki Pemanahan kepadaku.”
“Aku kira kita tidak akan keberatan,” sahut Gupala. “Dengan demikian kita telah membantu bangkitnya suatu daerah baru. Sudah tentu, kita mengharap bahwa tidak akan terjadi apa pun di antara semua pihak. Alas Mentaok, Pajang, Mangir, dan Menoreh. Apalagi Prambanan dan Sangkal Putung.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya melontar ke titik-titik yang sangat jauh.
Wajah orang tua itu tampak menjadi murung. Hampir tidak pernah kedua muridnya melihat gurunya begitu dalam merenungi sesuatu. Sehingga dengan demikian kedua murid-muridnya itu pun untuk sejenak berdiam diri.
Sebenarnyalah berbagai persoalan telah berkecamuk di dalam dada orang tua itu. Masalah Tanah Perdikan Menoreh memang sudah hampir selesai, tetapi masalah-masalah lain telah menunggunya. Tanpa sesadarnya orang tua itu mengamati lukisan di pergelangan tangannya. Sebuah cambuk yang di ujungnya tersangkut selingkar cakra bergerigi sembilan.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Terngiang pertanyaan Ki Argapati tentang lukisan di pergelangan tangannya itu, “Kiai, gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati.”
Tiba-tiba gembala tua itu menggelengkan kepalanya. Namun suara Ki Argapati masih terdengar di telinganya, “Aku mengenal seorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk dan yang senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau, karena pada saat itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Sekali lagi gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba ia tersadar bahwa kedua murid-muridnya sedang memandangnya dengan heran. Sehingga kemudian ia pun berdesis, “Ternyata aku pun lelah sekali. Tempat ini memberikan kesejukan, sehingga aku pun menjadi kantuk karenanya.”
Gupala menarik nafas pula. Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang bertanya-tanya.
“Baiklah,” berkata gembala tua itu, “aku akan ke ruang tengah sejenak. Kalau Angger Sutawijaya bersedia, menunggui Sidanti sebentar bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang berada di longkangan belakang, aku akan ikut melihat upacara pemakamam.”
“Apakah kami dapat ikut?” bertanya Gupala.
“Tidak usah. Kau punya tugas sendiri.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Tetapi itu pun aku masih belum tahu, kapan persiapan pemakaman itu selesai. Bahkan mungkin malam nanti. Kini baru dipersiapkan lubang-lubang yang cukup banyak.”
“Dari manakah jenazah-jenazah itu diberangkatkan?”
“Sudah jelas tidak dari rumah ini.”
“Dari banjar?”
“Ya, dari Banjar.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi matanya sudah menjadi semakin redup oleh kantuk yang seakan-akan semakin mencengkamnya. Apalagi karema silirnya angin dan bunyi burung tekukur di kejauhan.
“Nah, tinggallah kalian di sini. Hati-hatilah supaya bantuan yang sudah kita berikan selama ini kepada Tanlah ini tetap berkesan baik sampai rampung.”
Kedua muridnya menganggukkan kepala mereka sambil menjawab, “Baik, Guru.”
Di sepanjang langkahnya, gembala tua itu menundukkan kepalanya sambil merenung dirinya sendiri. Kalau pada suatu saat ia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, maka pertanyaan Ki Gede Menoreh itu pun pasti akan diulang lagi meskipun dengan nada yang berbeda.
Gembala tua itu tanpa disengaja telah mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai persoalan hilir-mudik di kepalanya.
“Seharusnya masa-masa itu sudah dilupakan orang,” katanya di dalam hati. “Aku pun ingin melupakannya.”
Orang tua itu tertegun sejenak. Ia melihat beberapa orang pengawal memasuki halaman. Sejenak mereka bercakap-cakap dengan pengawal yang sedang bertugas. Kemudian seorang pengawal dengan tergesa-gesa memasuki pendapa langsung keruang tengah.
Gembala itu pun kemudian pergi ke pendapa. Ia melihat Samekta dan Kerti keluar melintasi pendapa itu turun ke halaman. Ketika mereka melihat orang tua itu, mereka pun berhenti.
“Kiai,” berkata Samekta, “persiapan itu sudah hampir selesai. Kalau Kiai ingin menghadirinya, sebentar lagi Kiai supaya pergi ke Banjar bersama Pandan Wangi. Ia ingin melihat juga upacara itu.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan pergi.”
Ketika Samekta dan Kerti kemudian pergi bersama pengawal itu, ia pun segera masuk ke dalam. Ditemuinya Sutawijaya duduk sendiri sambil mengunyah pondoh beras.
“Ha, aku akan minta tolong kau lagi, Anakmas,” berkata gembala tua itu.
“Apa lagi Kiai?”
“Aku akan melihat upacara pemakaman korban peperangan ini. Aku minta Anakmas sementara tetap tinggal di sini menunggui pintu itu. Di belakang sudah ada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
“Sendiri?” bertanya Sutawijaya.
“Apakah Angger takut?”
“Soalnya bukan takut. Tetapi bagaimana kalau tiba-tiba aku ingin pergi ke sungai?”
Orang tua itu menarik nafas. Tetapi ia kemudian mengangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata orang tua itu, “aku akan minta seorang dua orang pengawal untuk menemani Anakmas di sini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berbisik, “He, siapakah sebenarnya pimpinan tertinggi yang mewakili Ki Argapati di bidang keprajuritan?”
“Kenapa?”
“Apakah Kiai barangkali?”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku sudah terlanjur terlibat Anakmas. Memang tidak pantas aku mengatur dan menangani persoalan di Tanah ini terlampau banyak. Tetapi tanpa Ki Argapati mereka masih memerlukan banyak sekali bimbingan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Pada suatu saat, Mentaok memerlukan pula, Kiai.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Laris juga tenaga tua ini agaknya.”
Sutawijaya tertawa pendek. Katanya, “Suatu kehormatan bagi Kiai.”
Orang tua itu pun menyahut, “Sebenarnya Mentaok tidak memerlukan siapa pun lagi. Mentaok sudah cukup memiliki senapati-senapati yang mumpuni. Ki Gede Pemanahan sendiri adalah seorang panglima yang tidak ada tandingnya. Kenapa orang tua-tua yang tidak berarti seperti aku ini akan dibawanya pula?”
Sutawijaya masih tertawa. Katanya, “Tentu ada sebabnya. Dan Kiai pun aku kira sudah mengetahui pula.”
“Belum,” berkata orang tua itu.
“Apa saja dapat Kiai katakan kepadaku, karena aku memang baru mengenal Kiai sejak di Sangkal Putung. Tetapi mungkin ayah akan berkata lain.”
Gembala itu mengangkat alisnya.
“Ayah memang selalu bertanya tentang Kiai. Tentang seorang yang bersenjata cambuk.”
“Baik, baik,” sahut gembala tua itu, “sekarang aku akan pergi sejenak bersama Angger Pandan Wangi.”
Sutawijaya masih saja tersenyum. Dipandanginya saja orang tua yang masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Kemudian sejenak ia tinggal di dalam sebelum orang tua itu keluar lagi dari bilik itu bersama Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak berkeberatan, apabila Pandan Wangi pergi sejenak atas namanya menghadiri pemakaman korban-korban peperangan yang telah berjatuhan.
“Dua orang prajurit akan mengawani Angger di sini,” berkata gembala itu kepada Sutawijaya.
Sebenarnyalah bahwa kemudian dua orang prajurit datang dan duduk bersama anak muda itu, sedang dua orang yang lain langsung masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Di sepanjang jalan menuju ke banjar, baik Pandan Wangi maupun gembala tua itu tidak terlampau banyak berbicara. Dalam angan-angan masing-masing bergejolak masalah-masalah yang berbeda-beda. Pandan Wangi masih merenungi abu Tanah Perdikannya yang telah dibakar oleh api peperangan di antara keluarga sendiri, yang digelitik oleh ketamakan Ki Tambak Wedi. Sedangkan gembala itu sedang merenungkan sikap Sutawijaya. Mungkin ayahnya, Ki Gede Pemanahan memang selalu bertanya tentang seorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi apakah pesan Ki Pemanahan ini benar-benar sampai pada suatu kepastian, ia memerlukannya, atau hanya sekedar karena akal Sutawijaya itu sendiri.
Menilik ceritera Sutawijaya sendiri, ayahnya masih meragukannya. Apakah dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Pemanahan sudah dapat mengambil suatu sikap.
“Tetapi aku sendiri memang perlu menemuinya,” desis orang tua itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, mereka pun segera sampai ke banjar pula. Sejenak kemudian maka jenazah-jenazah yang berada di banjar itu pun segera diberangkatkan ke pekuburan.
Beberapa orang keluarga mereka yang berhasil dihubungi, telah menitikkan air matanya. Seperti darah yang tertumpah, maka air mata mereka itu pun telah membasahi Tanah Kelahiran mereka.
Sebuah barisan yang panjang telah mengiringi korban-korban peperangan itu. Pandan Wangi, Samekta, Kerti, dan beberapa pemimpin yang lain berjalan di paling depan. Di belakang mereka, gembala tua yang telah ikut menentukan akhir dari peperangan itu pun berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ia telah turut mengambil bagian dari peperangan yang telah membunuh sekian banyak kawan dan lawan.
Namun terbayang pertentangan yang pasti akan lebih dahsyat berkecamuk apabila Mentaok dan Pajang tidak dapat mengendalikan diri masing-masing. Di dalamnya tidak hanya terdapat seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Tetapi di dalamnya terdapat berpuluh-puluh Sidanti dan berpuluh-puluh Argajaya.
Senapati-senapati perang yang pilih tanding akan turun ke medan. Prajurit-prajurit yang tangguh dan panglima-panglimanya yang tidak ada taranya.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Yang terutama menjadi pusat kecemasannya adalah Untara. Senapati muda yang memiliki kemampuan yang besar, yang justru diserahi daerah di sisi Selatan. Apalagi kalau Widura masih juga berada di Sangkal Putung bersama beberapa bagian dari pasukan Pajang.
Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kalau pertentangan jasmaniah harus terjadi, maka masalahnya akan sangat rumit bagi murid-muridnya, terutama Gupita.
Oleh angan-angannya itu, maka gembala tua itu hampir tidak memperhatikan lagi, ketika satu demi satu jenazah-jenazah itu diturun kan ke lubang pembaringannya untuk yang terakhir kali.
Namun salah seorang dari mereka memang telah menarik perhatiannya. Pandan Wangi yang menyandang sepasang pedang di lambungnya itu maju mendekati pekuburan yang bau saja ditimbun dengan tanah yang merah.
Perlahan-lahan ia berdesis, “Jasamu tidak akan terlupakan, Wrahasta.”
Sejenak kemudian tangannya yang halus meraih segenggam bunga tabur. Ketika bunga itu berjatuhan di atas gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya pun menitik. Dikenangnya anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dikenangnya betapa anak muda itu mencoba menyentuh perasaannya yang kosong pada waktu itu.
Kepala Pandan Wangi pun menunduk dalam-dalam. Beberapa lama ia berdiri di samping makam Wrahasta. Sekilas terbayang pula pada saat-saat terakhir dari hidupnya. Masih juga anak muda itu bertanya kepadanya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ikhlas atau tidak ikhlas ia pernah menganggukkan kepalanya, mengiakan permintaan Wrahasta untuk memperisterikannya. Sekejap sebelum ia melepaskan nafasnya yang terakhir.
Dan kini Wrahasta itu telah dikuburkan di antara para pengawal yang telah gugur dalam menunaikan tugas mereka untuk Tanah Kelahiran.
Satelah semuanya selesai, maka orang-orang yang mengantar jenazah-jenazah itu pun satu-satu meninggalkan pekuburan. Dengan hati yang berat mereka melangkah semakin jauh, meninggalkan orang-orang yang pernah ada di antara mereka. Pernah bergurau dan bertengkar dalam satu lingkungan.
Di jalan kembali Pandan Wangi menjadi semakin diam. Gembala tua yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak diacuhkannya. Sekali-sekali ia masih mengusap matanya yang basah.
Ketika Pandan Wangi masuk ke halaman rumahnya, ia tertegun sejenak. Di antara para pengawal yang berjaga-jaga di depan regol dilihatnya seorang anak muda yang gemuk berdiri sambil menyilangkan tangannya.
“Apakah semuanya sudah selesai,” Gupala bertanya sambil melangkah maju.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. “Ya, semuanya sudah selesai.”
Gupala kemudian berjalan di samping gadis itu, sebelah-menyebelah dengan gurunya.
“Di mana Gupita” gurumya bertanya, “dan kenapa kau berada di situ?”
“Kakang Gupita masih menunggui Ki Argajaya. Aku tidak tahan untuk duduk saja di bawah pohon keluwih itu.”
“Kau tinggalkan Gupita sendiri?”
“Tidak sendiri. Ada beberapa orang pengawal yang menemaninya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Gupala yang masih ingin berbicara menjadi kecewa. Pandan Wangi terlampau murung dan hampir tidak memperhatikan orang-orang lain sama sekali. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi gadis itu langsung naik ke pendapa dan masuk ke dalam rumahnya yang kotor.
Gupala berhenti di bawah tangga pendapa. Ditatapnya saja langkah Pandan Wangi sampai hilang di balik pintu pringgitan.
“Kembalilah ke tempatmu,” gurunya berdesis.
“O,” Gupala tergagap, “baiklah. Aku akan kembali ke bawah pohon keluwih. Mudah-mudahan tidak ada sebuah pun yang akan menjatuhi kepalaku yang lagi pening ini.”
Gurunya tidak menjawab. Dengan langkah yang gontai Gupala berjalan ke tempatnya kembali. Namun masih terdengar ia bergumam, “Apakah aku harus menungguinya sampai tua?”
Ternyata hari itu baik Gupita dan Gupala, maupun Ki Hanggapati dan Dipasanga, masih harus tetap berada di tempat masing-masing. Ki Argapati masih belum dapat berbuat sesuatu karena luka-lukanya, sehingga masih belum dapat mengambil suatu sikap bagi Sidanti dan Argajaya. Bahkan Ki Argapati masih juga belum dapat menerima Sutawijaya yang akan menemuinya.
“Kiai,” berkata Sutawjaya, “kalau besok Ki Argapati masih belum dapat menerima seseorang, maka aku kira lebih baik aku kembali ke Mentaok. Ayah pasti sudah terlampau lama menunggu. Bahkan mungkin perkembangan terakhir Mentaok sudah menjadi semakin sibuk, sehingga tenagaku sudah sangat diperlukannya.”
“Lalu, apakah Angger tidak ingin berbicara dengan Ki Argapati?”
“Aku tidak dapat menunggu tanpa batas. Sebaiknya aku berpesan saja kepada Kiai.”
“Tunggulah sampai besok.”
Sutawijaya merenung sejenak. Katanya, “Ya, aku memang akan menunggu sampai besok.”
Malam itu gembala tua itu pun berusaha dengan segenap kepandaian yang ada padanya untuk memperingan penderitaan Ki Argapati. Semalam suntuk gembala tun itu tidak tdur. Juga Pandan Wangi yang menunggui ayahnya hampir tidak dapat memejamkan matanya sama sekali. Hanya kadang-kadang sambil bersandar dinding Pandan Wangi terlena sejenak. Namun kemudian ia segera terbangun kembali.
Di malam hari luka-luka Ki Gede yang parah itu terasa betapa pedihnya, sehingga meskipun ia memiliki daya tahan yang luar biasa kuatnya, namun terdengar sekali-sekali ia berdesis tertahan. Apalagi karena obat-obat yang dipergunakan oleh gembala itu pun menambah nyeri pada luka-luka itu.
Semalaman gembala tua itu duduk dengan tegangnya. Tidak kalah tegang dari pertempuran yang dialaminya semalam. Sekali-sekali ia harus berusaha untuk menahan panas tubuh Ki Argapati yang menanjak, dengan minuman reramuan obat yang dibuatnya.
Ketika ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, barulah gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Argayati dapat tertidur sejenak. Namun tidur yang sejenak itu akan sangat membantunya.
“Tidurlah, Ngger,” berkata gembala tua itu kepada Pandan Wangi, “mumpung Ki Argapati juga lagi tidur.”
Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia tidak mengambil tikar dan berbaring dilantai. Ia masih saja duduk sambi bersandar dinding. “Aku tidur di sini saja Kiai.”
“Nanti kau terjerembab.”
Pandan Wangi menggeleng. “Tidak.”
Gembala tua itu pun kemudian keluar dari bilik Ki Argapati. Dilihatnya Sutawijaya tidak ada di ruang tengah. Yang ada adalah dua orang pengawal yang menunggui pintu bilik Sidanti.
“Di mana Anakmas Sutawijaya?” bertanya gembala tua itu.
“Ia akan tidur bersama Gupita dan Gupala.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang pintu bilik Sidanti. Pintu itu masih tertutup rapat. Selaraknya pun masih terpancang kuat-kuat.
“Anak itu akan tetap merupakan masalah bagi Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam bati. “Aku tidak dapat membayangkan bagaimana Ki Argapati akan menyelesaikannya.
Sambil mengangguk-angguk di luar sadarnya gembala tua itu pun kemudian duduk di samping kedun pengawal yang sedang bertugas menunggui pintu bilik Sidanti itu.
Sejenak kemudian maka cahaya yang merah telah membayang di halaman. Semakin lama semakin terang. Para pengawal yang berkesempaan tidur di gandok kanan dan kiri, di ruang-ruang belakang, di pendapa dan di banjar, satu demi satu telah terbangun.
Gembala tua yang belum mendapat kesempatan untuk tidur itu pun telah bangkit pula. Perlahan-lahan ia masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Ketika dilihatnya Ki Argapati masih tidur, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Agaknya aku berhasil mengobatinya,” desisnya di dalam hati.
Gembala tua itu tersenyum pula ketika melihat Pandan Wangi pun masih tidur bersandar dinding. Rambutnya yang panjang terurai ke bahunya, sedang kedua tangannya bersilang di dada. Gadis itu sama sekali tidak berkeempatan untuk mengurus dirinya sendiri seperti kebanyakan gadis-gadis di masa usia remaja. Pandan Wangi selama ini hanya bergulat dengan pedang dan dengan ayahnya yang terluka.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan kakaknya di atas Tanah Perdikan ini justru membuat hatinya pedih. Gadis yang seharusnya sedang dibuai oleh usianya itu, kini seakan-akan telah meloncati satu lapisan dalam urut-urutan hidupnya.
“Mudah-mudahan selanjutnya Tanah ini menjadi tenang,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka gembala tua itu berpengharapan, bahwa hari itu Ki Argapati sudah menjadi jauh lebih baik dari keadaan sehari sebelumnya, sehingga ia dapat menerima Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri, setelah membersihkan dirinya, segera masuk ke ruang tengah. Ditemuinya gembala itu duduk di antara dua orang pengawal yang ditinggalkannya semalam.
“Bagaimana Kiai, apakah hari ini aku dapat bertemu dengan Ki Argapati?”
“Mungkin, Ngger. Agaknya Ki Argapati sudah menjadi semakin baik. Tetapi sudah tentu tidak sepagi ini. Siang nanti, aku harap Ki Argapati sudah berkesempatan untuk berbicara.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku menunggu hari ini.
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan telah menunggu dengan cemas kedatangan puteranya yang sedang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi di sana.
Dan Sutawijaya masih harus menunggu satu hari lagi.
Ketika Ki Argapati kemudian terbangun dari tidurmya, ia merasakan bahwa keadaan badannya telah menjadi jauh lebih baik. Lukanya sudah tidak terlampau pedih, dan kepalanya sudah tidak lagi memberati. Meskipun ia masih pening dan terlalu lemah, namun kesadarannya telah sepenuhnya dikuasainya.
Saat itulah yang ditunggu-tunggu oleh gembala tua itu. Ketika Ki Argapati telah dibersihkannya, maka katanya, “Angger Sutawijaya ingin bertemu dengan Ki Gede hari ini. Tetapi lebih baik setelah tengah hari. Keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik.”
“Apakah ada keperluan yang penting?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. “Sebenarnya tidak begitu penting Ki Gede. Tetapi karena ya sudah berada di atas Tanah ini, maka ia memerlukan untuk menemui Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Badannya yang terasa semakin segar membuat pikirannya menjadi segar pula.
Ternyata hari itu Ki Gede sudah dapat menelan makanan sedikit demi sedikit, sehingga badannya tidak terasa sangat lesu. Dengan telaten Pandan Wangi membantu ayahnya menyuapkan makanannya.
Agaknya Pandan Wangi pun menjadi sangat bersyukur bahwa ayahnya sudah menjadi semakin baik.
Pada siang harinya, Sutawijaya benar-benar mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Ki Gede, meskipun Ki Gede masih berada di pembaringannya. Tetapi sebelum Sutawijaya memasuki bilik Ki Argapati gembala tua itu sudah berpesan, “Katakan yang paling penting saja Anakmas. Jangan terlampau berkepanjangan, karena Ki Argapati masih belum seharusnya memikirkan masalah-masalah yang berat.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Kemudian desisnya, “Kalau begitu, kenapa aku harus menunggu sampai hari ini? Bukankah aku dapat meninggalkan pesan saja.”
“Kau masih terlampau muda untuk mengerti perasaan orang tua-tua. Meskipun akhirnya kau meninggalkan masalah itu kepada orang lain, tetapi bahwa kau sendiri sudah memerlukan datang menemuinya, bagi orang tua, itu akan banyak memberikan arti. Kau sudah menyatakan kesungguhan hatimu, dengan datang menemuinya sendiri.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya.
Kemudian dengan diantar oleh gembala tua itu, Sutawijaya memasuki bilik Ki Argapati.
“Maafkan, Anakmas,” berkata Ki Argapati ketika ia melihat Sutawijaya, “aku tidak dapat menemui Anakmas sebagaimana sebarusnya aku menerima.”
Sutawijaya tersenyum. Sekilas dipandanginya wajah Pandan Wangi yang buram oleh kelelahan yang sangat. Kemudian jawabnya, “Aku tahu apa yang sedang terjadi Ki Gede. Karena itu, silahkan. Ki Gede sedang terluka.”
Sutawijaya dan gembala tua itu pun kemudian duduk di sebuah dingklik kayu di samping pembaringan.
Sementara itu Pandan Wangi duduk di sudut ruangan. Seolah-olah ia selalu ingin menunggui dan mengawasi ayahnya yang baru sakit itu.
Sejenak kemudian maka Sutawijaya pun mulai mengatakan maksudnya dengan hati-hati. Ternyata Sutawijaya adalah anak muda yang memang cerdas. Sebelum ia sampai pada persoalannya, maka katanya, “Ki Argapati, yang pertama-tama, aku ingin menyampaikan salam dari ayah Ki Gede Pemanahan untuk Ki Argapati.”
Ki Argapati tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Terima kasih. Terima kasih, Anakmas. Nanti apabila Anakmas kembali, aku pun menyampaikan salam kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah Ki Gede. Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”
Ki Argapati yang menemui Sutawijaya sambil berbaring di pembaringannya itu pun kemudian berkata, “Sayang, Anakmas, aku tidak dapat menerima Anakmas sewajarnya. Keadaanku dan keadaan rumah ini sama sekali tidak pantas bagi Anakmas.”
“O,” Sutawijaya menyahut, “aku menyadari keadaan ini Ki Gede. Ki Gede tidak usah menganggap kedatanganku ini sebagai suatu kunjungan yang penting.”
“Bagaimana pun juga, Anakmas adalah orang penting bagi Pajang.”
Sutawijaya tersenyum, dan sebelum ia menjawab Ki Argapati berkata, “Selain salam buat ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku juga menyampaikan baktiku kepada Ayahanda Sultan Pajang.”
Sutawijaya kini mengerutkan keningnya. Senyumnya tiba-tiba seperti tersapu dari bibirnya. Namun sejenak kemudian ia memperbaiki kesan di wajahnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya Ki Gede, apabila aku menghadap Ayahanda Sultan, maka aku akan menyampaikannya.” Sutawijaya terdiam sejenak. Namun hal itu justru dapat dijadikannya pancadan untuk menyampaikan maksudnya.
Maka anak muda itu pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Gede, kesempatanku untuk bertemu dengan Ayahanda Sultan kini terlampau jarang.”
Argapati terperanjat. “Kenapa?” ia bertanya.
“Aku sekarang berada di Mentaok.”
“Alas Mentaok?”
“Ya, Ki Gede. Kami telah membukanya. Desa di pinggir Alas Mentaok sampai ke Pliridan telah kami jadikan modal. Dan kini daerah tersebut menjadi semakin ramai.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Sutawijaya pun berkata selanjutnya, “Kini untuk sementara aku berada bersama Ayahanda Pemanahan.”
Ki Argapati tidak segera menyahut. Tetapi tampaklah sesuatu sedang bergetar di dalam hatinya.
“Ki Gede,” berkata Sutawijaya kemudian, “karena itu pulalah aku datang kemari atas nama ayah Ki Gede Pemanahan.”
Ki Argapati yang mempunyai tangkapan yang tajam itu pun segera mengerti, meskipun Sutawijaya baru mulai menyebut tentang tanah yang baru dibukanya itu. Meskipun demikian Ki Argapati masih tetap berdiam diri dan memberi kesempatan kepada Sutawijaya untuk mengatakannya.
Demikianlah Sutawijaya pun kemudian berceritera tentang Alas Mentaok. Tentang janji Sultan Hadiwjaya atas Tanah Mentaok dan Pati. Tentang Ki Gede Pemanahan yang menganggap bahwa Sultan Pajang telah berkisar dari sifat-sifatnya semula.
Meskipun Sutawjaya selalu mengingat pesan gembala tua untuk tidak mengatakan semua persoalannya, namun ternyata Ki Argapati sendiri langsung dapat menangkap maksud Sutawijaya seluruhnya.
Tetapi Sutawijaya memang seorang anak muda yang bijaksana. Ketika ia hampir mengakhiri keterangannya mengenai Alas Mentaok ia pun berkata, “Tetapi Ki Gede jangan dicengkam oleh masalah yang sebenamya tidak begitu penting ini. Sebaiknya Ki Gede memusatkan perhatian Ki Gede pada Tanah Perdikan yang kini sedang luka parah seperti Ki Gede sendiri yang terluka.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang duduk di sudut ruangan itu dengan wajah yang tegang. Agaknya gadis itu pun mengikuti pembicaraan ayahnya dengan saksama.
Dalam pada itu Sutawijaya berkata pula, “Anggaplah bahwa kedatanganku ini hanya sekedar memberitahukan, bahwa aku akan segera menjadi tetangga Tanah Perdikan ini. Ki Gede dan aku nanti akan dapat membuat jembatan yang melangkahi Sungai Praga, sehingga hubungan kami akan menjadi semakin baik.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih terlalu lemah, tetapi nalarnya telah mampu mengungkap semua pembicaraan Sutawijaya, sehingga kemudian Ki Argapati itu berkata dalam nada yang datar, “Maaf, Anakmas Sutawijaya. Mungkin aku mendahului Anakmas. Tetapi sebaiknya aku memang mengatakannya supaya tidak menjadi teka-teki yang tidak terjawab nanti, apabila Angger telah meninggalkan Tanah Perdikan ini.”
Ketika Ki Argapati berhenti sejenak, Sutawijaya menjadi berdebar-debar.
“Anakmas, kalau aku tidak salah menanggapi pembicaraan Anakmas, maka di seberang Kali Praga akan segera tumbuh suatu padukuhan baru. Padukuhan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan dan puteranya, pasti bukan sekedar padukuhan yang kecil. Tetapi aku yakin bahwa padukuhan itu akan segera berkembang.” Ki Argapati berhenti sejenak, namun kemudian dilanjutkannya setelah menarik nafas panjang-panjang, “Bagiku Anakmas, perkembangan daerah baru itu akan memberikan banyak keuntungan. Setidak-tidaknya kami akan dapat membuka hubungan yang saling menguntungkan. Apa yang tidak kami punyai di sini, sedangkan yang tidak kami punyai itu ada berlebih-lebihan di tempat Anakmas, maka pasti bahwa Anakmas tidak berkeberatan untuk memberikannya kepada kami, dan sebaliknya. Tetapi yang menjadi pertanyaan kami, apakah Ki Gede Pemanahan sudah mendapat ijin, maksudku ijin yang sebenarnya ijin dari Ayahanda Sultan Hadiwijaya?”
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dibiarkannya Ki Argapati untuk berkata selanjutnya, “Menilik ceritera Anakmas, agaknya Ki Gede Pemanahan telah menyatakan sikapnya tanpa menghiraukan Sultan Pajang lagi. Apakah dengan demikian masalahnya tidak akan berkepanjangan?”
Namun tiba-tiba Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Banyak masalah yang dapat kami persoalkan Ki Gede. Tetapi aku tidak ingin mengganggu Ki Gede saat ini. Biarlah apa yang aku katakan sekedar merupakan bahan pembicaraan Ki Gede beserta para pemimpin Tanah Perdikan ini.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah, Anakmas. Kami memang tidak akan mampu berbuat banyak saat ini, selagi masalah kami sendiri masih belum selesai. Aku sudah mendapat laporan, bahwa Sidanti dan Argajaya menunggu penyelesaian. Para pengungsi yang harus kembali ke tempatnya masing-masing, dan masih banyak lagi.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa untuk sementara persoalan yang dikemukakan kepada Ki Argapati yang terluka itu sudah cukup. Meskipun masih ada masalah yang penting biarlah disampaikan oleh gembala tua itu. Karena itu maka ia pun berkata, “Ki Gede, meskipun belum semua masalah dapat aku katakan, namun aku merasa beruntung sekali mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Gede. Apa yang sudah aku katakan akan menjadi bahan pertimbangan Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-angguk pula. “Baiklah anakmas.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun tiba-tiba dipandanginya gembala tua yang duduk terangguk-angguk sambil berkata, “Anakmas, apakah Ki Gede Pemanahan tidak pernah menyebut perguruan Windu Jati dalam hubungannya dengan usahanya membuka alas Mentaok.”
Pertanyaan itu telah mengejutkan gembala tua itu. Namun kesan itu hanya melintas sekejap di wajahnya.
Sutawijaya sendiri hanya termangu-mangu saja. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Argapati. Ki Argapati yang terluka itu sempat tersenyum, katanya, “Mungkin Anakmas belum pernah mengenal Padepokan Windu Jati. Padepokan yang selalu diliputi oleh teka-teki.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, Ki Gede, aku memang belum mengenal Padepokan Windu Jati.”
“Sudahlah, Anakmas,” berkata Ki Argapati kemudian, “jangan hiraukan padepokan itu. Mungkin Ayahanda Ki Gede Pemanahan sudah memperhitungkannya.”
“Kini,” berkata Sutawijaya kemudian, “aku minta diri.”
Meskipun Ki Argapati mencoba menahanmya untuk satu dua hari, namun Sutawijaya berkeras untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya Ki Argapati harus melepaskannya.
Pada hari itu juga Sutawijaya benar-benar meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, selelah ia minta diri pula kepada Gupita dan Gupala. Sekali lagi Sutawijaya memperingatkan bahwa sebentar lagi alas Mentaok akan menjadi sebuah negeri yang tidak akan kalah ramainya dari Pati.
Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun ikut bersama Sutawijaya kembali ke Alas Mentaok. Dengan demikian pengawasan terhadap Sidanti kini dilakukan oleh sekelompok pengawal pilihan, langsung di bawah pengamatan gembala tua itu.
Sementara itu Gupala yang duduk bersandar tiang di ujung belakang gandok bersungut-sungut, Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga telah bebas dari pekerjaan yang menjemukan ini. “Seandainya diperkenankan oleh guru aku akan mengikutinya sekarang. Aku sudah jemu sekali disiksa oleh tugas ini.”
Gupita berpaling. Dipandanginya wajah adik seperguruannya itu. Kemudian katanya, “Apakah kau sudah mencoba mengatakannya kepada guru?”
“Aku yakin, bahwa kita pasti masih harus berada di tempat ini sampai waktu yang tidak terbatas.”
Gupita mengerutkan keningnya sejenak. Kemudian katanya, “Apakah kau sudah benar-benar ingin meninggalkan tempat ini. Kalau kau memang sudah tidak kerasan di sini, biarlah aku yang minta ijin kepada guru. Aku masih mengharap bahwa kita akan diijinkannnya mengusul Sutawijaya.”
Gupala tidak segera menyahut.
“Biarlah guru tinggal di sini sementara.”
Gupala masih berdiam diri.
“Bagaimana? Bagiku tidak ada yang mengikat di atas Tanah ini. Kau juga agaknya tidak ada sesuatu yang dapat menarik perhatianmu.”
Gupala yang bersungut-sungut itu menjadi semakin muram. Namun tiba-tiba ia tersenyum, “Ah, kau.”
“Jadi bagaimana?”
“Biarlah aku di sini untuk sementara.”
Gupita pun tertawa pula. Ia tahu apa yang tergetar di dalam hati Gupala meskipun ia tidak tapat menyembunyikan kepada diri sendiri, getaran-getaran yang serupa. Namun Gupita adalah seseorang yang sudah biasa mengendalikan dirinya. Bahkan agak berlebih-lebihan.
Sementara itu, Alas Mentaok memang sudah menjadi semakin ramai. Hubungan dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya menjadi semakin luas. Namun perkembangan Alas Mentaok itu tidak lepas dari pengamatan Pajang. Meskipun daerah itu akhirnya diserahkan dengan resmi kepada Ki Gede Pemanahan, namun persoalan pada tingkat pertama dalam hubungannya dengan tanah itu, sama sekali kurang menguntungkan, sehingga seakan-akan ada sepucuk duri yang tajam membatasi antara Pajang dan Alas Mentaok.
Seperti yang dicemaskan oleh guru Gupita dan Gupala, maka sebenarnyalah pimpinan prajurit di Pajang telah memerintahkan seorang senopati yang bernama Untara untuk mengamati perkembangan daerah baru itu.
Dalam pada itu terbersit pula kecemasan di dada senapati muda itu. Adiknya, Agung Sedayu yang pergi ke daerah Barat melintasi hutan Mentaok dan menyeberangi sungai Praga bersama Swandaru dan gurunya, Kiai Gringsing, masih belum kembali. Apabila dalam perjalanan mereka kembali, mereka menentukan Alas Mentaok sudah menjadi kota yang ramai, mereka pasti akan tertahan di sana. Tetapi Untara tidak berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menunggu dalam kecemasan.
Sementara itu, para pengawal di tanah Perdikan Menoreh masih sibuk membersihkan dirinya. Di sana-sini kadang-kadang masih terjadi benturan-benturan kecil. Tapi pada umumnya mereka yang selama ini telah tersesat mempercayai seruan pengampunan Ki Gede Menoreh.
Argajaya yang dikenal berhati sekeras batu-batu padas, ternyata mulai memandang ke dalam dirinya sendiri. Tanah Perdikan Menoreh kini seakan-akan telah menjadi abu, dibakar oleh api pertentangan di antara keluarga sendiri, sehingga untuk membangun Menoreh, diperlukan semua kemampuan, yang ada di atas Tanah Perdikan itu. Harta, benda, tenaga maupun pikiran.
Gembala tua yang masih berada di Tanah Perdikan Menoreh itu pun menjadi heran ketika ia melihat perubahan sikap Argajaya. Pada suatu kesempatan, atas permintaan Ki Argapati, gembala tua itu menemui Ki Argajaya.
Meskipun perasaan tinggi hati masih juga nampak pada sikapnya, namun Argajaya sudah mulai bersikap lain.
“Ki Argapati masih terluka,” berkata gembala tua itu, “sehingga ia masih belum sempat mengunjungimu.”
“Aku tidak mengharap kunjungan siapa pun,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,” berkata gembala tua itu, “tetapi adalah wajar sekali, bahwa Ki Argapati selalu memperhatikan kau. Kau adalah saudara muda daripadanya.”
Argajaya tidak menyahut. Kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
“Aku memang mendapat pesan dari Ki Argapati untuk menemui dan menyampaikan kepadamu akan hal itu.”
Ki Argajaya masih betdiam diri. Tetapi dari sikapnya, gembala tua itu dapat meraba, bahwa Argajaya yang keras hati itu sudah mulai melihat kesalahan sendiri.
Ketika Ki Argajaya kemudian mengangkat wajahnya, gembala tua itu menunggu, apakah yang akan dikatakannya.
“Kiai,” berkata Ki Argajaya itu kemudian, “apakah yang dikatakan oleh Kakang Argapati?”
“Ki Argapati pernah berkata kepadaku bahwa semua tenaga dan kekuatan oang yang masih ada harus dikerahkan untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Kakang Argapati benar-benar berkata demikian. Tetapi itu tidak ditujukan kepadaku. Kakang Argapati pasti lebih menghargai Kiai dan murid-murid Kiai itu, meskipun mereka orang asing bagi kami di sini.”
“Tidak. Bukan begitu. Semua tenaga yang masih mungkin dipergunakan harus dipergunakan. Apalagi tenaga putra-putra Menoreh sendiri.”
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya lebih ditujukan kepada diri sendiri, “Tetapi tidak untuk aku.”
“Kenapa?” bertanya gembala tua itu. “Kalau kau sudah melihat kesalahan sendiri, kemudian bersedia untuk memperbaiki, apakah salahnya?”
“Apakah aku pernah bersalah?”
“Kepada Tanah Perdikan ini dan kepada Ki Argapati?”
Sekali lagi Argajaya menundukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Ya. Aku ikut membakar Tanah ini. Itu semata-mata karena kebodohanku dan keragu-raguan Kakang Argapati sendiri. Kalau ia tidak membiarkan kami dicengkam oleh kegelisahan karena permusuhan dengan orang-orang Pajang, maka kami tidak akan berbuat begitu bodoh.”
“Tetapi perhitungan siapakah yang benar? Orang-orang Pajang pun tidak akan begitu bodoh menyeberangi sungai Praga tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam di seberang. Apalagi Pajang yang belum sempat tegak benar itu sudah mulai goyah kembali.”
Ki Argajaya tidak segera menjawab.
“Ternyata Ki Argapatti adalah seorang yang berpandangan sangat tajam. Dan kau harus berbangga karenanya, bahwa kau mempunyai seorang kakak seperti itu.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku tahu, Kakang Argapati adalah seorang yang berpijak pada ketentuan yang sudah digariskannya. Dan itu akan berlaku bagi siapa pun, meskipun bagi adiknya sendiri. Siapa yang bersalah akan menerima hukuman. Aku pun pasti akan dihukumnya.” Argajaya berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi aku tidak akan ingkar. Aku akan menjalaninya dengan dada tengadah. Itu sudah menjadi akibat yang aku perhitungkan.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya sikap Argajaya di ujung Gunung Baka, di tepian Kali Opak. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi ujung tombak Sutawijaya, meskipun tombaknya sendiri sudah terlepas dari tangannya. Ia masih berani menantang agar anak muda itu membunuhnya. Baginya memang lebih baik mati daripada mengaku kalah.
Sikap itu kini masih juga terasa, meskipun nadanya sudah lain. Kini ia melihat kesalahan itu ada di dalam dirinya. Tetapi dengan jantan ia bertanggung jawab atas kesalahannya.
“Ki Argajaya,” berkata gembala itu, “pada suatu saat Ki Argapati akan memanggilmu. Ia ingin berbicara langsung dengan kau sendiri.”
“Ia akan memberitahukan hukuman apakah yang dipilihnya untukku.” Ki Argajaya berhenti sejenak. Setelah menelan ludahnya ia meneruskan, “Kiai, akulah yang telah melakukan kesalahan ini. Karena itu, aku minta tolong kepadamu apabila Kiai masih sempat untuk menemukan anakku. Ia masih terlampau muda. Mungkin Kakang Argapati mau memaafkannya. Ia hanya sekedar hanyut saja ke dalam arus yang tidak dimengertinya.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baik. Baiklah. Aku akan mencarinya. Mungkin orang-orang lain akan berusaha pula. Aku sendiri akan mengatakannya kepada Ki Argapati permintaan itu, agar anak itu tidak dipersalahkannya pula. Aku yakin bahwa Ki Argapati tidak akan berkeberatan. Bahkan secara umum Ki Argapati sudah menyerukan pengampunan bagi mereka yang menyerah. Tetapi bagi mereka yang melanjutkan perlawanan karena sikap putus asa, mereka akan benar-benar dihancurkan.”
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kakang Argapati menyerukan pengampunan umum bagi mereka yang melawannya selama ini?”
“Ya.”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam.
“Ki Argapati tidak akan dapat membuat berates-ratus tiang gantungan di alun-alun,” berkata gembala itu. “Tetapi ada nilai yang lebih tinggi dari kesulitan tiang gantungan itu. Ki Argapati memang memiliki jiwa besar. Ia melihat masa depan Tanah ini sebagai suatu kenyataan. Tetapi ia pun dapat bertindak tegas terhadap mereka yang mencoba merintangi usahanya.”
Argajaya masih tetap berdiam diri. Pandangan matanya jauh menyusup pintu yang tidak tertutup rapat. Sudah agak lama ia tersekap di dalam bilik yang sempit. Sepi dan sendiri. Sudah agak lama ia mendapat kesempatan mempertimbangkan keadaannya, apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan.
Dan karena Argajaya tidak segera menjawab, maka gembala itu pun berkata selanjutnya, “Ki Argajaya, sebenarnyalah bahwa Ki Argapati ingin mengetahui sikapmu sekarang, setelah kau merenung beberapa saat lamanya.”
Bagaimana pun juga, ternyata Ki Argajaya tetap seorang yang tinggi hati. Meskipun ia mengakui di dalam hatinya sampai ke segenap relung, namun ia menjawab, “Aku akan mengatakannya kepada Ki Argapati. Baik ia sebagai kakakku mau pun ia sebagai Kepala Tanah Perdikan yang telah mampu mempertahankan diri dari sebuah guncangan yang dahsyat. Aku akan mengatakan sikapku kepadanya. Tidak kepada siapa pun. Tidak kepadamu, Kiai. Karena kau bukan apa-apa di sini. Kau bukan pemimpin dan bukan tetua Tanah ini.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya.
“Jangan kau kira,” berkata Argajaya, “bahwa, tanpa kau, persoalan Tanah ini tidak akan dapat selesai. Kau sama sekali tidak kami perlukan di sini.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian tersenyum. “Ya. Ya. Kau memang tidak memerlukan aku, kecuali untuk sekedar mencari anakmu yamg hilang. Tetapi aku tidak akan ingkar atas tugas kemanusiaan itu. Kalau aku dapat menemukannya, aku akan berusaha menolongnya. Menariknya dari arus yang telah kau sediakan sendiri untuk menyeret anakmu yang tidak bersalah itu.”
Wajah Argajaya menegang sejenak. Tiba-tiba tubuhnya serasa menjadi lemah. Kepalanya perlahan-lahan menunduk. Tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
“Baiklah, Ki Argajaya,” berkata gembala itu, “aku akan menyampaikan semua pesanmu, semua jawabanmu dan semua yang aku ketahui kepada Ki Argapati.”
Argajaya masih tetap berdiam diri.
“Apakah kau masih mempunyai pesan?”
Argajaya seakan-akan acuh tidak acuh saja, meskipun tampak di wajahnya kekecewaan dan kegelisahan.
“Jadi, bagaimana?” bertanya gembala itu.
Ki Argajaya tetap tidak menjawab.
“Baiklah. Baiklah. Aku minta diri.”
Argajaya sama sekali tidak bergerak. Kepalanya pun tidak. Dibiarkannya saja gembala tua itu berjalan ke pintu yang tidak tertutup rapat.
Namun ketika tangan orang tua itu telah meraih daun pintu lereg, terdengar ia berkata, “Kiai. Aku tidak akan minta apa pun kepadamu, selain pesan tentang anakku.”
Gembala itu berbalik. Sebuah senyum membayang di wajahnya. “Aku akan berusaha.”
“Leherku sudah aku siapkan buat umpan tiang gantungan. Tetapi aku harap anak laki-laki itu tidak.”
“Aku akan berusaha.”
“Hem,” Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia menggeram, “Kau terlampau berkuasa di sini Kiai. Sebenarnya kau harus menyingkir. Kau terlampau banyak ikut campur dalam persoalan kami.”
“Bukan maksudku, Ki Argajaya,” jawab orang tua itu, “tetapi aku justru telah mengorbankan diriku untuk menjadi pesuruh lengkap dari Ki Argapati. Dari mengobati lukanya sampai masalah-masalah keluarga seperti ini.”
“Bohong! Apakah yang telah kau tuntut daripadanya? Separuh dari Tanah Perdikan ini? Sepertiga atau kau ingin salah seorang muridmu menjadi menantunya yang dengan demikian akan menjadi pewaris Tanah ini?”
“He?” gembala tua itu justtru berdiri tegak dengan penuh keheranan. Sama sekali tidak terlintas di kepalanya tuntutan serupa itu. Separuh Tanah ini atau menantu? Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Pertanyaanmu aneh. Kau pasti pernah mendengar, apa yang aku dapatkan dari Pajang setelah aku dan murid-muridku membantu memecahkan padepokan Tambak Wedi? Kami mempertaruhkan nyawa kami tanpa pamrih.”
“Bohong!” . “Kau anggap kau berkelahi tanpa pamrih? Jangan kau kira aku tidak tahu Kiai. Kau ingin menyelamatkan Kademangan Sangkal Putung, kademangan ayah dari salah seorang muridmu. Kau ingin menyingkirkan Angger Sidanti dari Sekar Mirah, seorang gadis yang diinginkan oleh muridmu yang lain. Tanah dan Perempuan adalah lambang perjuangan laki-laki jantan. Katakan sekarang bahwa kau tidak mempunyai pamrih apa pun. Juga atas Tanah Perdikan ini? Aku yakin kau mempunyai pamrih serupa.”
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Kepalanya digeleng- gelengkannya, seolah-olah ia ingin meyakinkan dirinya sendiri atas kata-kata Argajaya itu.
“Eh, begitu bodoh aku ini,” katanya. “Sebagian memang benar. Tetapi terlampau murah untuk menilai seluruh perjuangan kami atas dasar itu, tanpa menilai sikap orang-orang yang bersembunyi di balik dinding padepokan Tambak Wedi.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “Apakah kau dapat menyebut pembebasan Sangkal Putung dan Sekar Mirah itu suatu pamrih?”
Argajaya terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan gembala itu. Apakah perjuangan untuk membebaskan Sangkal Putung dari ancaman Tambak Wedi dan pembebasan Sekar Mirah itu pamrih atau memang tujuan perjuangan mereka.
“Aku pun menjadi sangat bodoh,” desisnya di dalam hati.
“Sudahlah, sebaiknya kita tidak berbantah tentang lelucon-lelucon yang tidak kita pahami. Sekarang, aku akan menghadap Ki Argapati untuk melihat lukanya dan menyampaikan laporan.”
“Kiai,” tiba-tiba suara Argajaya merendah, “bagaimana dengan keadaan Sidanti sekarang?”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaannya itu Argajaya masih juga sempat bertanya tentang keadaan Sidanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gembala itu menjawab, “Baik. Keadaannya cukup baik, meskipun ia harus tetap berada di tempatnya.”
Argajaya menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi.
“Apakah Ki Argajaya masih mempunyai pesan tentang apa pun?”
Ki Argajaya menggeleng, tetapi tidak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.
“Baiklah. Aku akan minta diri. Kalau Ki Argajaya memerlukan sesuatu, di luar ada beberapa orang yang dapat kau panggil.”
“Aku sudah tahu,” tiba-tiba Argajaya menjawab lantang, “aku sudah tahu kalau seseorang yang ditahan pasti dijaga oleh beberapa orang. Mereka sama sekali tidak berada di situ, menyediakan diri melayani aku apabila aku memerlukan mereka. Tetapi mereka mengawasi kalau-kalau aku akan lari.”
Gembala itu menarik nafas. Katanya, “Ya, begitulah kira-kira.”
“Kalau Kiai mau meninggalkan ruangan ini silahkanlah. Jangan mengatakan lelucon-lelucon yang tidak perlu lagi bagiku.”
Gembala itu mengangguk-angguk. “Baik. Baik. Aku memang terlampau banyak berbicara.”
Maka gembala itu pun kemudian meninggalkan ruangan yang suram itu. Ketika pintu kemudian ditutup dan di selarak, sekali lagi gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Yang berada di dalam ruangan itu adalah adik Kepala Tanah Perdikan ini sendiri.
“Tetapi apa boleh buat. Semakin tinggi kedudukan seseorang, apabila ia berniat jahat, ia menjadi semakin berbahaya,” berkata gembala itu di dalam hatinya.
Ketika kemudian gembala itu menemui Argapati, selain untuk mengobati luka-lukanya, maka dikatakannya pula apa yang telah dibicarakannya dengan Argajaya. Seperti yang dipesankan Argajaya, gembala tua itu menyinggung pula tentang anak laki-laki yang mohon diampunkan segala kesalahannya.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia selama ini tidak pernah membeda-bedakan sikap kepada siapa pun yang bersalah, tetapi ketika yang bersalah itu adalah adiknya sendiri, maka dadanya pun serasa diguncang-guncang. Apalagi dada itu masih terasa pedih karena luka yang masih cukup parah.
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Argapati, “betapa pun beratnya, adalah kuwajibanku untuk menyelesaikannya.”
“Kemudaan juga masalah Sidanti, Ki Gede,” berkata gembala itu.
Ki Argapati terdiam sejenak. Tatapan matanya yang lurus ke atas, serasa akan menembus langit-langit yang terbentang di atas pembaringannya.
“Temuilah anak itu, Kiai,” berkata Ki Argapati tiba-tiba. “Aku minta tolong. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya.”
Belum lagi gembala itu menjawab, terdengar Pandan Wangi menyahut, “Aku dapat melakukannya, Ayah.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau memang dapat melakukannya, Pandan Wangi. Tetapi kita belum dapat menjajagi perasaan Sidanti sekarang.”
“Biarlah aku menemuinya.”
“Kau dapat menemuinya kemudian.”
“Biarlah aku yang pertama-tama menemuinya, Ayah. Sebelum orang lain. Aku benharap bahwa Kakang Sidanti dapat mengatakan isi hatinya kepadaku. Karena aku adalah adiknya.”
Sesuatu terasa berdesir di dada orang tua itu. Pandan Wangi, satu-satunya anak yang diharapkan mewarisi Tanah Perdikan ini memang adik Sidanti. Tetapi, setelah Sidanti membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu, semakin terasa olehnya, jarak yang terbentang di antara mereka.”
“Bagainyana, Ayah? Apakah Ayah lebih percaya kepada orang lain daripada kepadaku?”
Ki Argapati tidak mancegahnya lagi. Meskipun demikian ia berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Kau dapat mengunjunginya. Tetapi untuk kebaikanmu sendiri, biarlah gembala itu mengikutimu.”
“Apakah gunanya?”
“Tidak apa-apa. Itu hanya sekedar sikap hati-hati.”
“Kakang Sidanti tidak akan berbuat apa-apa kepadaku. Aku yakin.”
“Tetapi apakah salahnya orang itu menyaksikan pertemuanmu dengan Sidanti.”
Pandan Wangi merenung sejenak. Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Apa boleh buat, apabila ayah menghendaki.”
Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya sejenak untuk menemui kakaknya, Sidanti, yang berada di ujung lain dari ruangan tengah itu.
“Tolong, Kiai, amatilah anak-anak itu.”
Gembala itu mengangguk, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan mengamati mereka. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, karena tampaknya mereka sangat baik.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Itulah yang membuat kepalaku selama ini menjadi semakin pening.”
Gembala tua itu pun kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati pula mengikuti Pandan Wangi. Ia masih melihat Pandan Wangi berbicara dengan para pengawal yang bertugas menjaga Sidanti.
“Apakah Ki Argapati sudah mengijinkan?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Tentu. Aku mendapat perintah dari ayah untuk menemuinya.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Silahkan.”
“Aku juga,” sela gembala tua yang sudah berdiri di belakang para pengawal itu.
Pandan Wangi pun kemudian membuka selarak pintu bilik itu. Tetapi tanpa disangka-sangka, pintu itu tiba-tiba telah terbuka. Sidanti sudah siap menyerang siapa saja yang berada di muka pintu. Seperti seekor harimau lapar ia meloncat menerkam Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak menyangka, bahwa Sidanti akan berbuat demikian, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak bersiap menghadapinya.
Meskipun demikian Pandan Wangi telah terlalih lahir dan batinnya menghadapi setiap persoalan. Meskipun ia tidak bersiap sama sekali, namun gerak naluriahnya telah melemparkannya selangkah ke samping secepat terkaman Sidanti. Namun demikian, tangan Sidanti masih berhasil mengenai pundaknya, sehingga gadis itu terdorong beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia berusaha, untuk tetap tegak dan menguasai keseimbangannya.
Para pengawal yang melihat peristiwa itu pun segera berloncatan memencar dengan senjata masing-masing. Mereka sadar bahwa Sidanti adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Namun ternyata Sidanti tidak dapat berbuat terlampau banyak. Ketika ia akan menyerang para pengawal, maka terasa sebuah telapak tangan melekat di tengkuknya. Dengan tangkasnya ia merendahkan dirinya, berputar pada lututnya sambil memukul tangan yang sudah mencengkam tengkuknya itu. Namun ia tidak berhasil. Tiba-tiba saja terasa seakan-akan seluruh sendi-sendinya terlepas, dan Sidanti itu pun kehilangan tenaganya.
“Jangan terlampau bernafsu, Ngger,” desis gembala tua itu.
Sidanti masih mencoba untuk tetap berdiri di atas kedua kakinya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Apakah kau masih tidak puas dengan segala campur tanganmu di mana pun, he tua bangka?”
Gembala tua itu tidak menjawab. Dibimbingnya Sidanti untuk kembali ke dalam biliknya. Kemudian diletakkannya ia di pembaringannya.
“Pergi, pergi kau!” anak muda itu membentak.
Tetapi gembala tua itu masih tetap berdiri di tempatnya.
“Pergi kataku!” Sidanti berteriak.
“Tenanglah, Ngger. Sebaiknya Angger mencoba menenangkan diri sejenak. Adikmu, Angger Pandan Wangi ingin bertemu.”
Sdanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi pintu, ia melihat Pandan Wangi berdiri tegak dengan kaki renggang dan sepasang pedang di lambungnya.
“Kau akan membunuh aku?” bertanya Sidanti dengan kasar.
Tampaklah wajah gadis itu menjadi terlampau muram. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah sambutan kakaknya atas kedatangannya.
Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Kakang. Aku sekedar ingin melihat keadaan Kakang di sini.”
“Sambil menengadahkan dada menyorakkan kemenangan-mu?”
“Sama sekadi tidak, Kakang. Sama sekali tidak. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah di antara kita berdua. Bagaimana pun akhirnya, kita tinggal menemukan Tanah Perdikan ini yang telah menjadi abu.”
“Dan kau akan menyalahkan aku? Kau akan menuduh akulah yang menyebabkan Tanah Perdikan ini kini menjadi hancur? Kau akan menunjuk hidungku sambil berkata, bahwa aku adalah seorang pengkhianat.”
Pandan Wangi menggeleng. Tetapi tampak keragu-raguan membayang di wajahnya, meskipun mulutnya berkata, “Tidak, Kakang.”
“Bohong! Jangan mencoba menipu aku. Meskipun kau menggeleng dan mulutmu berkata ‘tidak,’ tetapi sorot matamu tidak dapat kau pungkiri.
Pandan Wangi menjadi bingung. Bagaimana ia menghadapi kakaknya yang kini seakan-akan menjadi sangat asing, baginya.
“Kakang,” Pandan Wangi mencoba membujuknya, “marilah kita melupakan apa yang sudah terjadi. Aku akan minta agar ayah pun mau melupakannya. Marilah kita menghadapi masa depan dengan tekad baru. Reruntuhan ini seharusnya kita tegakkan kembali.”
“Huh,” Sidanti mencibirkar bibirnya, “aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk dengan sepotong gula kelapa.” Tiba-tiba Sidanti berteriak, “Ayo, katakan kepada Argapati, kepada ayahmu itu. Kalau ia akan membunuh aku, cepatlah dikerjakan. Aku sudah siap.”
“Jangan berpikir begitu, Kakang. Ayah tidak akan melakukannya.”
“Omong kosong! Ayah itu adalah ayahmu. Bukan ayahku. Ia tidak akan memperlakukan kau seperti memperlakukan aku. Lihat, aku sudah dikurungnya seperti kambing di dalam kandang yang kotor pengap ini.”
“Tetapi bukan maksudnya. Ruangan rumah ini tidak ada yang tidak kotor, Kakang. Semua bilik-biliknya seperti bilik hantu.”
“Dan akulah yang mengotorinya, setelah rumah ini aku duduki beberapa lama. Begitu maksudmu?”
Pandan Wangi menarik nafas. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan Sidanti yang lain sama sekali dari Sidanti yang dikenalnya.
“Benar juga kata ayah,” berkata gadis itu di dalam hatinya, “dan benar juga gembala tua itu. Kalau ia tidak mengawani aku, mungkin Kakang Sidanti telah berbuat sesuatu di luar dugaan. Setidak-tidaknya ia akan berusaha melarikan dirinya kembali.”
Pandan Wangi terperanjat ketika tiba-tiba Sidanti berkata lantang, “Tinggalkan aku sendiri.”
“Kakang,” berkata Pandan Wangi. Ia masih berusaha untuk yang terakhir kalinya, “Orang lain pun akan diampuni. Apalagi kau. Tanah ini memerlukan apa saja yang dapat membantu menegakkannya kembali. Apalagi tenagamu, Kakang.”
“Diam! Diam kau perempuan celaka. Kau selalu berbicara tentang ayahmu. Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kami, yang kalian anggap tawanan itu akan kalian pekerjakan seperti sapi dan lembu? Aku tidak mau. Lebih baik aku dibunuh daripada aku harus merangkak menarik bajak.”
“Kau keliru, Kakang.”
“Pergi! Pergi kau dari sini! Pergi! Kau juga tua bangka. Aku tidak memerlukan kalian sama sekali.” Tiba-tiba Sidanti berusaha untuk bangkit, sambil mengepalkan tinjunya. Tetapi ia terduduk kembali. Ternyata kekuatannya masih belum pulih sama sekali, sehingga hanya matanya sajalah yang seakan-akan menyala membakar seluruh ruangan.
Pandan Wangi dan gembala tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Kini mereka benar-benar dihadapkan pada kekerasan hati Sidanti. Ia sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya, yang justru semuanya itu telah membuat hatinya menjadi semakin gelap.
Bayangan-bayangan yang hitam selalu merupakan kabut yang menghantuinya. Ia sama sekali tidak dapat melihat, apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Karena itulah maka Sidanti itu berbuat berlebih-lebihan di dalam kelam.
Pandan Wangi akhirnya merasa, bahwa saatnya masih tidak tepat untuk dapat berbicara dengan baik. Hati Sidanti sama sekali masih belum terbuka. Karena itu, ketika Sidanti sekali lagi berteriak mengusirnya, ia berkata, “Baik, Kakang. Aku akan pergi.”
Bersama gembala tua itu, akhirnya Pandan Wangi meninggalkan bilik Sidanti. Sementara kemudian Sidanti mendengar slarak pintu bergerit di luar.
Suara itu tiba-tiba saja telah membangkitkan kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia meloncat tertatih-tatih ke arah pintu yang tertutup rapat. Dengan sisa-sisa tenaganya ia memukul pintu itu sekuat-kuatnya. Tetapi kekuatannya memang belum pulih kembali. Karena itu luapan perasaan yang tidak terkendali itu telah membuatnya seakan-akan kehilangan kesadaran.
Ketika ia menghentakkan dirinya, menghantam pintu itu sekali lagi, maka seluruh sisa-sisa kekuatannya yang memang belum pulih itu seakan-akan telah terkuras habis, sehingga perlahan-lahan Sidanti terjatuh di muka pintu. Meskipun tangannya mencoba meraih dan berpegangan uger-uger, tetapi akhirnya dengan lemahnya ia terduduk bersandar dinding.
“Dukun gila. Ia telah menyihir aku, sehingga aku kehilangan sebagian dari kekuatanku,” ia menggeram.
Dalam pada itu, gembala tua itu masih berdiri di luar pintu. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengar usaha Sidanti untuk memecah pintu. Bahkan para pengawal pun telah siap dengan senjata masing-masing, sedang Pandan Wangi berdiri dengan penuh kebimbangan beberapa langkah dari pintu yang berderak-derak itu. Namun setiap kali perasaan seorang gadis telah menyentuh-nyentuh jantungnya. Yang berada di dalam bilik yang kotor pengap itu adalah kakaknya. Kakak yang baik baginya sejak kanak-kanak. Tetapi keadaan dan jalan yang bersimpangan telah membuat mereka berhadapan.
Ketika bilik itu seakan-akan sudah menjadi tenang, maka gembala tua itu pun berdesis, “Sudahlah, Ngger, tinggalkan bilik ini. Kembalilah kepada Ki Argapati. Mungkin Ki Argapati memerlukan minum atau pelayanan apa pun.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. “Baik, Kiai.”
“Biarlah aku untuk sementara tinggal di sini,” berkata gembala tua itu.
Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan pintu bilik itu dengan kepala tunduk. Perlahan-lahan ia berjalan di ruang tengah, menuju ke bilik ayahnya. Kini ia melihat, bahwa ayahnya memang bersikap hati-hati. Bukan sekedar didorong oleh kemarahannya kepada Sidanti sajalah ia membatasi dan mengawasi anak itu dengan sangat ketat. Tetapi Sidanti memang berbahaya.
Demikian ia memasuki bilik ayahnya, terdengar ayahnya bertanya, “Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menjadi heran mendengar pertanyaan itu, seolah-olah ayahnya melihat apa yang baru saja terjadi.
Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Ki Argapati melanjutkannya, “Aku mendengar lamat-lamat suara Sidanti berteriak-teriak. Apakah ia marah karena kunjunganmu yang dianggapnya menghina?”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia semakin yakin, bahwa ayahnya mengenal Sidanti lebih baik daripadanya.
Perlahan-lahan maka ia pun menjawab, “Ya, Ayah.”
“Aku sudah menduga. Itulah sebabnya, aku semula mencegahmu untuk menemuinya.”
Kepala Pandan Wangi pun menjadi semakin menunduk.
“Anak yang keras dan tinggi hati itu tidak akan dapat mengerti perasaanmu. Kau pasti disangkanya datang untuk mengatakan bahwa kau telah menang, dan Sidanti telah kalah. Atau bahkan lebih daripada itu, kau dianggapnya akan berbuat sewenang-wenang saja atasnya.”
“Ya, Ayah,” desis Pandan Wangi hampir tidak terdengar.
Ayahnya yang sedang sakit itu ternyata dapat membaca perasaan kedua kakak-beradik itu meskipun tidak tepat benar.
“Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati kemudian, “kalian berdua memang terlampau dilibat oleh perasaan kalian, sehingga suasana yang terjadi justru sebaliknya dari yang kalian harapkan. Kau selalu dicengkam oleh perasaan seorang adik yang baik, yang merasa berhutang budi dan barangkali kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah seorang adik. Sementara itu Sidanti dibayangi oleh kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Kematian orang-orang terdekat dan justru perasaan bersalah di dasar hatinya. Tetapi ia ingin meniadakan perasaan-perasaan itu, sehingga ledakan-ledakan yang demikian akan terjadi.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil.
“Kalau aku sudah berangsur baik, Wangi,” berkata Ki Argapati, “aku akan memanggil pamanmu Argajaya dan Sidanti berganti-ganti. Aku ingin berbicara langsung dengan mereka satu-persatu. Apakah aku masih dapat mengharapkan mereka, atau tidak sama sekali. Kalau aku masih dapat berharap tentang mereka, biarlah mereka mendapat kesempatan untuk ikut membangun kembali reruntuhan Tanah Perdikan yang parah ini. Tetapi kalau tidak, apa boleh buat. Mereka tidak boleh justru menjadi penghalang yang selalu mengganggu kerja kita saja.”
“Jika demikian, apakah yang akan Ayah lakukan atas mereka? Apakah mereka akan dihukum mati?”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku belum memikirkannya sampai begitu jauh. Tetapi setidak-tidaknya mereka harus dikurung dalam sangkar yang kuat untuk waktu yang tidak terbatas. Sebab kami yakin, bahwa kami tidak akan dapat mempergunakan tenaga Gupala dan Gupita terus-menerus. Pada suatu saat mereka pasti akan meninggalkan Tanah Perdikan ini.”
———-oOo———-
(bersambung ke Episode 048)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar