S1-E48 Sekar Mirah Bertempur Dengan Pandan Wangi Karena Cemburu

PANDAN WANGI menundukkan kepalanya. Sudah terbayang di pelupuk matanya, ayahnya membangun sebuah penjara khusus bagi pamannya Argajaya dan kakaknya Sidanti. Bangunan yang kuat, dipagari oleh papan-papan yang tebal dan deriji-deriji kayu yang besar. Sepasukan pengawal pilihan yang akan mengawasinya siang dan malam, siap dengan senjata masing-masing.
“Sampai kapan?” ia berdesis di dalam hatinya. Ketika terkilas wajah ayahnya yang pucat, maka terbayanglah penderitaan batin orang tua itu, di masa mudanya, pada saat Arya Teja yang baru saja memasuki jenjang perkawinan dengan Rara Wulan. Namun kemudian ternyata bahwa semua impiannya telah buyar, karena merasa telah dikhianati oleh perempuan itu. Dan perempuan itu kemudiam melahirkan Sidanti.
Kepala Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. “Wajar sekali apabila ayah sangat membenci Ki Tambak Wedi dan mungkin juga Kakang Sidanti,” katanya pula di dalam hatinya.
“Wangi,” Pandan Wangi terkejut ketika ayahnya menyebut namanya, “sudahlah. Jangan tercengkam oleh keadaan Sidanti itu. Kau akan kehilangan waktu, tenaga dan pikiran yang justru kini sangat diperlukan oleh Tanah Perdikan ini.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. “Ya, Ayah. Aku mengerti.”
“Nah, karena itu, aku percayakan saja pamanmu dan kakakmu kepada mereka yang mendapat beban untuk itu. Lakukanlah tugas-tugasmu yang lain bersama pamanmu Samekta dan Kerti yang barangkali kini masih nganglang membersihkan seluruh Tanah Perdikan ini dari mereka yang berkeras hati dan berkeras kepala, bahkan mereka yang berputus asa. Kita harus membersihkan diri dahulu, dan barulah kita mulai membangun Tanah.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. “Ya, Ayah.”
“Aku pun sudah menjadi semakin baik, Wangi. Kau tidak usah menunggui aku seperti kemarin. Mintalah dua orang pengawal yang dapat dipercaya, dan suruhlah ia berada di sini. Mungkin aku memerlukan minum atau makan atau keperluan-keperluan apa pun.”
“Baik, Ayah.”
“Kau dapat keluar dari ruangan ini, melihat reruntuhan Tanah Perdikanmu. Dengan demikiam mungkin dapat tumbuh gagasan-gagasan yang akan sangat bermanfaat bagi Tanah ini. Tetapi di dalam ruangan ini angan-anganmu seakan-akan terkunci oleh dinding-dinding yang mati.”
Pandan Wangi mengangguk pula dan menjawab, “Ya, Ayah.”
“Nah, pergilah ke luar untuk melihat-lihat,” berkata ayahnya pula. “Kalau kau selalu berada di ruangan ini kau tidak ubahnya seperti pamanmu Argajaya dan kakakmu Sidanti. Mungkin kau akan segera jemu, meskipun tanpa kau sadari, sehingga kau pun dapat berangan-angan jauh ke dunia yang asing, Kadang-kadang ada baiknya, tetapi kadang-kadang memang dapat menumbuhkan keinginan yang kurang pada tempatnya.”
“Baik, Ayah.”
“Jangan lupa, suruhlah dua orang pengawal mengawani.”
“Baik, Ayah.”
“Sementara Samekta dan Kerti masih sibuk, dalam masalah yang penting, kau dapat berbicara dengan gembala tua itu.”
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. “Baik, ayah.
Pandan Wangi pun kemudian melangkah ke luar. Dua pengawal terpilih yang memang sudah disiapkannya, disuruhnya. memasuki bilik ayahnya, untuk menjaga dan melayaninya.
“Kemana Ngger?” bertanya gembala tua yang melihatnya keluar ruang dalam.
“Aku akan sekedar melepaskan ketegangan, Kiai.”
“Bagus. Bagus. Itu perlu sekali bagi Angger, yang selama ini seakan-akan selalu dicengkam oleh suasana yang tidak menentu. Sekali-sekali Angger Pandan Wangi memang harus melihat cerahnya matahari, hijaunya dedaunan dan silir angin di bawah pepohonan.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil melanjutkan langkahnya ia menjawab, “Ya, Kyai, supaya jantungku tidak mledak karenanya.”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia sadar, bahwa Pandan Wangi selalu diganggu oleh kekesalan hati selama ini. Karena itu maka ia pun kemudian kembali duduk di antara para pengawal yang mengawasi pintu bilik Sidanti di bagian dalam.
Di ujung gandok, Gupala berbaring sambil mendendangkan lagu macapat. Lamat-lamat. Suaranya memang tidak begitu baik, tetapi ungkapannya berhasil menyentuh perasaasn pendengarnya. Beberapa orang pengawal yang mendengar suara tembangnya itu pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Bahkan ada di antara mereka yang bergumam, “Ah, anak muda yang gemuk itu membuat aku mengantuk.”
Tetapi Gupala berlagu terus perlahan-lahan. Di sampingnya Gupita duduk sambil menggosok tangkai cambuknya yang melilit di lambung, dengan angkup keluwih.
Langkah Pandan Wangi tertegun ketika telinganya tersentuh suara tembang di kejauhan. Lamat-lamat saja. Tanpa sesadarnya langkahnya seakan-akan dituntun oleh getaran suara Gupala yang menyusuri halaman. Satu-satu langkah Pandan Wangi membawanya berjalan di sepanjang emper gandok menyusup regol samping masuk ke dalam longkangan tengah, kemudian lewat sebuah pintu ia sampai ke ujung belakang gandok.
Pandan Wangi terhenti ketika tiba-tiba ia melihat Gupita yang duduk tepekur sambil menggosok-gosok tangkai cambuknya di samping Gupala yang berbaring sambil berdendang.
, “He,” tiba-tiba saja dendang Gupala terputus, “marilah,” sapa Gupala dengan serta-merta. “Apakah kau mendapat tugas untuk melihat tawanan kami?”
Gupita pun kemudian mengangkat wajahnya. Dilihatnya Pandan Wangi berdiri kaku sambil menundukkan kepalanya. Sementara beberapa orang pengawal yang bertebaran di halaman kebun belakang sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka duduk terkantuk-kantuk dan bahkan ada yang tidur mendekur bersandar pepohonan.
Gupala pun segera bangkit dan duduk, di samping Gupita. Sejenak dipandanginya saja wajah gadis yang tunduk itu. Sesaat kemudian ia berpaling ke arah Gupita yang masih juga berdiam diri.
Tiba-tiba suasana menjadi kaku, seperti tiang-tiang serambi gandok yang tegak tanpa bergerak sama sekali.
Demikian juga ketiga anak-anak muda itu. Gupala, Gupita, dan Pandan Wangi yang masih berdiri.
Namun kekakuan itu kemudian dipecahkan oleh suara teriakan Gupala. Sambil berdiri ia berkata, “He, kenapa tiba-tiba saja kita seperti dicekik hantu.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata, “Marilah, barangkali kau membawa perintah atau berita atau kau akan bersama-sama berdendang dengan kami di sini?”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika tampak olehnya solah anak yang gemuk itu, maka ia pun tersenyum.
“Ha, kau sudah tarsenyum,” berkata Gupala. Tetapi kata-katanya terputus karena Gupita menggamitnya.
Tetapi tanpa ragu-ragu Gupala malahan bertanya, “Kenapa? Apakah aku salah? Maksudku, aku ingin mempersilahkannya.”
“Hus,” desis Gupita, “kenapa kau? Aku tidak melarangmu.”
“Tetapi kau menggamit aku.”
Gupala mengerutkan keningnya. Dan sekali lagi ia melihat Pandan Wangi tersenyum.
“Kalau begitu,” berkata Gupala selanjutnya, “marilah. Duduklah di sini.”
Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya.
“Kita bercakap-cakap,” berkata Gupala. “Tetapi, apakah kau sedang bertugas?”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak sedang bertugas apa pun.”
“Bagus. Duduklah. Kita berbicara tentang banyak hal. Tentang yang tidak menjemukan seperti kerjaku selama aku di sini. Menunggui sangkar yang meskipun berisi, tetapi tidak pernah berkicau.”
“Hus,” sekali lagi Gupita berdesis. Dan tiba-tiba saja wajah Pandan Wangi berkerut.
Perlahan-lahan Gupita berbisik, “Bukankah orang itu pamannya.”
“O,” Gupala menjadi gelisah, “tidak. Maksudku, bukan orang ini yang berkicau. Aku memang senang sekali burung. Dan aku ingin memelihara seekor burung di dalam sangkar, supaya berkicau setiap saat.”
Mau tidak mau Pandan Wangi terpaksa tersenyum pula. Hampir tanpa disadarinya ia melangkah maju mendekati kedua anak-anak muda itu. Sekilas dilihat wajah keduanya. Gupita yang tenang datar dan Gupala yang riang dan cerah.
“Keduanya pasti bukan saudara seperti yang mereka katakan,” berkata Paadan Wangi di dalam hatinya. “Keduanya pasti bukan anak gembala yang luar biasa itu. Aku kira keduanya adalah murid-muridnya. Saudara seperguruan.”
Tetapi langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berdiri beberapa langkah dari kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba Gupala bertanya, “Ataukah kau akan melihat-lihat seluruh halaman rumah ini? Marilah aku tunjukkan, barangkali kau ingin melihat apa yang ada di seputar rumah yang sudah tidak terpelihara lagi ini.”
Tetapi sekali lagi kata-kata Gupala terputus ketika Gupita berkata, “Rumah ini rumah Ki Argapati, ayah Pandan Wangi. Kalau kau ingin melihat-lihat, Pandan Wangi-lah yang seharusnya yang mengantar kau.”
“O,” Gupala menjadi semakin gelisah, “lalu, apa yang akan aku lakukan?”
Sekali lagi Pandan Wangi harus tersenyum melihat tingkah laku Gupala. Namun dengan demikian ia menjadi semakin mengenal jiwanya. Jiwanya yang selama ini tertekan oleh berbagai masalah, kesungguhan yang berlebih-lebihan. Lingkungan keluarga yang mengecewakannya setelah ia mengetahui keadaannya yang sebenarnya, perang dan ketegangan di bilik ayahnya yang sakit, maka sikap Gupala benar-benar merupakan kelainan yang segar. Itulah sebabnya, perasaan Pandan Wangi seolah-olah terbuka. Angin yang silir telah menyusup ke pusat jantungnya. Kedua anak-anak muda itu memberikan nafas yang berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
“Atau, kalau begitu,” Gupala tergagap, “duduklah di sini. Di dalam bilik ini tersimpan Ki Argajaya. Selama ini kami mendapat tugas untuk menungguinya siang dan malam. Berganti-ganti. Kadang-kadang harus berdua. Dan Tanah Perdikan ini serasa terlampau sepi bagi kami.”
“Kenapa terlampau sepi?” tiba-tiba Pandan Wangi bertanya.
“Di sini tidak ada penari, penabuh gamelan yang cakap dan tidak ada pula tayub yang meriah.”
“Hus,” desis Gupita.
Pandan Wangi kini tertawa. Katanya, “Tentu ada. Kalau keadaan tidak sepanas ini, kau dapat melihat gadis-gadis Menoreh menari diiringi oleh para penabuh yang cakap. Tetapi ayah memang tidak suka pada tayub.”
Gupala mengangguk, “Benar. Aku juga tidak suka, ayah juga tidak suka. Bahkan melarang tayub di wilayahnya.”
“Siapakah ayahmu?” tiba-tiba Pandan Wangi bertanya, “apakah bukan gembala tua itu?”
Sekali lagi Gupala tergagap. Sejenak ia terbungkam. Namun kemudian ia tertawa, “Tentu saja, ayah memang melarang tayub di wilayahnya. Wilayah ayahku memang tidak mungkin menyelenggarakan tayub karena rakyatnya terdiri dari kambing-kambing.”
Ketiganya tidak dapat menahan tertawa lagi. Gupita, Gupala, dan bahkan Pandan Wangi. Sejenak Pandan Wangi dapat melupakan kepahitan yang selama ini tersimpan di dalam hatinya tentang berbagai masalah yang serasa bertimbun-timbun di dalam dadanya.
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi pun kemudian duduk di antara mereka. Wajahnya yang selalu suram itu menjadi cerah. Dan wajah Pandan Wangi yang cerah, adalah wajah yang menyentuh perasaan anak muda yang gemuk itu sampai ke pusat jantung.
Meskipun pembicaraan ketiga anak-anak muda itu masih belum terlampau lancar, namun pembicaraan yang berbeda dari pembicaraan yang setiap hari mencengkam perasaan Pandan Wangi itu, telah berhasil membuatnya sedikit gembira. Kadang-kadang ia tersenyum dan bahkan kadang-kadang ia tertawa.
Ternyata selingan yang demikian itu sangat dibutuhkan oleh Pandan Wangi. Terasa kesegaran merayapi dadanya. Seperti pada saat-saat ia pergi berburu bersama Kerti di hutan-hutan yang tidak terlampau lebat, selagi Tanah ini masih belum dibakar oleh api pertentangan di antara keluarga sendiri.
Dengan demikian, maka di hari-hari berikutnya Pandan Wangi kadang-kadang memerlukan menemui kedua gembala-gembala muda itu untuk sekedar berbicara tentang apa saja. Tentang Tanah Pendikan Menoreh, tentang bukit-bukit kapur, Sungai Praga dan tentang hutan perburuan yang menyenangkan.
“Apakah kau mau menunjukkan hutan itu kepadaku?” bertanya Gupala.
“Tentu,” jawab Pandan Wangi, “tetapi tidak sekarang.”
“Apakah salahnya kalau kita sekarang atau besok pergi ke sana?” bertanya Gupala.
“Tentu tidak mungkin.”
“Besok kita berangkat pagi-pagi benar, supaya sebelum tengah hari kita sudah kembali.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Aku tidak sampai hati meninggalkan Ayah yang terluka itu sekedar untuk melihat-lihat hutan perburuan.”
Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi kepalanya kemudian terangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku pun tidak dapat meninggalkan pintu sangkar batu itu.”
“Hus,” desis Gupita.
“Maksudku, pintu yang tentu tidak disukai oleh penghuni ruangan itu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Tetapi sampai kapan aku harus berada di sini?”
“Tidak terlampau lama. Ayah akan membangun ruangan-ruangan yang kuat untuk menyimpan Paman dan Kakang Sidanti.”
“Kapan?”
“Ayah ingin berbicara dahulu dengan Paman dan Kakang Sidanti. Kalau mereka bersedia membantu ayah, maka ayah tidak akan merasa perlu membangun sangkar-sangkar itu.”
“Kalau tidak?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun Gupala segera berkata, “Baiklah. Kita berbicara tentang hal lain lagi. Sudah tentu yang tidak menyangkut masalah-masalah yang tidak kau sukai.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Dan Gupala pun kemudian berusaha untuk berbicara tentang masalah-masalah yang sama sekali tidak penting, namun yang dengan demikian dapat mengurangi ketegangan hati Pandan Wangi.
Namun pertemuan yang sering terjadi itu, telah memahat hati Gupala menjadi semakin dalam. Kadang-kadang anak yang pada umumnya selalu bergembira itu menjadi perenung. Kadang-kadang ia duduk sambil memandang jauh menerawang ke ketiadaan.
Gupita segera dapat menangkap perasaan adik seperguruannya. Kali ini agaknya Gupala tidak bergurau. Ia benar-benar telah terpikat oleh gadis Tanah Perdikan Menoreh.
Kadang-kadang hati Gupita sendiri menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Sekilas membayang senyum Pandan Wangi yang tertahan-tahan di dalam kepahitan perasaan, setelah ia mengalami guncangan-guncangan yang tidak terkirakan.
Tetapi Gupita adalah seorang anak muda yang sudah terlampau biasa menahan hati. Ia merasa bahwa ia tidak berhak lagi untuk menilai kecantikan gadis Menoreh itu. Ia tidak mau ingkar pada kesediaannya untuk mengikatkan diri kepada seorang gadis yang ditinggalkannya di Sangkal Putung.
Karena itu, Gupita mencoba untuk bersikap lebih dewasa dari Gupala menghadapi persoalannya. Sehingga ia berusaha untuk menjauhkan segala kesan tentang perasaannya sendiri atas gadis itu. Itulah sebabnya, kini ia menyimpan serulingnya. Ia hampir tidak pernah lagi meniup seruling itu. Setiap nada yang dilontarkan oleh serulingnya akan dapat menimbulkan getaran-getaran hati yang paling tersembunyi sekalipun. Apalagi ia sadar, bahwa Pandan Wangi pun tertarik pula kepada nada-nada serulingnya itu.
“Kakang,” pada suatu kali Gupala berkata dengan wajah yang bersungguh-sungguh kepadanya, “apakah Kakang Gupita mau menolong aku?”
Gupita menjadi heran. Karena itu maka ia bertanya, “Apakah yang harus aku tolong?”
Gupala menelan ludahnya. Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan hendak mengusir kenangan yang tidak dikehendakinya.
“Tetapi aku tidak tahu, apakah Guru setuju atau tidak.”
“Apa?”
“Kakang,” suara Gupala menjadi semakin lambat.
“He, jangan seperti orang yang kelaparan. Aku tidak mendengar lagi suaramu.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sangat gelisah, sehingga keringat dinginnya mengalir membasahi leher dan punggungnya.
“Katakan Gupala. Kalau aku dapat membantumu, aku akan membantu.”
“Ya, ya. Aku percaya.”
“Tetapi aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan untuk membantumu. Apa kesulitanmu dan apakah keinginanmu.”
“Tetapi apakah guru tidak akan marah?”
“Kalau masalahnya masalah yang wajar, guru tentu tidak akan marah. Tetapi apa itu, katakanlah supaya aku dapat memberitahukan pertimbangan.”
“Itulah.”
“Kenapa itulah? Kau belum mengatakan apa-apa.”
Gupala menjadi semakin gugup. Kini keringatnya sudah menitik dari keningnya.
Beberapa kali bibirnya bergerak-gerak seakan-akan hendak mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya ditelannya kembali sebelum terucapkan.
Gupita melihat kegelisahan yang mencengkam adik seperguruannya itu. Meskipun ia belum pasti, tetapi ia dapat meraba apakah yang akan dikatakan oleh Gupala. Anak itu pada dasarnya tidak ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Ia berkata apa yang ingin dikatakannya, dan kadang-kadang ia melakukan apa saja yang menarik baginya tanpa pertimbangan. Tetapi tiba-tiba ia menjadi gelisah, bimbang dan seakan-akan tidak menentu lagi.
“Gupala,” berkata Gupita sareh, “tenangkan hatimu. Aku kira masalahmu adalah masalah yang penting, sehingga kau mendapat kesukaran untuk mengatakannya. Tetapi masalah yang penting itu pasti langsung menyangkut pribadimu sendiri.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, memang menyangkut pribadiku langsung.”
“Aku sudah menduga. Tetapi katakanlah. Jangan ragu-ragu.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya tersendat-sendat, “Kakang, di sini tidak ada ayah tidak ada ibu. Yang ada hanyalah Kakang dan guru. Tetapi untuk mengatakannya kepada guru, aku masih ragu-ragu. Barangkali Kakang dapat menolongku.”
“Apakah aku harus mengatakannya kepada guru.”
“Tidak, bukan itu,” potong Gupala cepat-cepat. “Maksudku, aku ingin meyakinkan dahulu, apakah aku tidak sedang bermimpi. Apabila semuanya sudah pasti, barulah aku minta Kakang menyampaikannya kepada guru.”
“Lalu apakah sekarang yang akan aku lakukan?”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan minta tolong kepadamu Kakang. Aku ingin meyakinkan, apakah aku benar-benar tidak sedang bermimpi.”
“Ya, aku yakin, kau sekarang memang tidak sedang bermimpi.”
“Bukan, bukan itu. Aku kira kau sudah tahu maksudku.”
“Mungkin. Aku tahu masalahmu. Tetapi aku tidak tahu, cara yang bagaimana yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kau.”
Gupala menelan ludahnya. Dengan suara parau ia berkata lirih, “Tolong Kakang, tanyakan kepada Pandan Wangi, apakah ia dapat mengerti perasaanku.”
Gupita mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Sesuatu yang sama sekali tidak dikehendaki. Namun dengan sekuat tenaganya perasaan itu ditekannya dalam-dalam. Dengan sadar ia menghadapi keadaannya kini. Sekali lagi ia berkesimpulan, bahwa ia sama sekali sudah tidak berhak menilai Pandan Wangi, apalagi di hadapan Gupala.
Karena itu, maka tiba-tiba Gupita yang sudah terlampau biasa mengendalikan perasaannya itu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Hem, begitulah hendaknya. Kau adalah seorang laki-laki. Kau harus berani menyatakan perasaanmu.”
“Tetapi, tetapi apakah Kakang Gupita tidak mengalami kesukaran pada masa-masa seperti ini?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Hubungannya dengan gadis Sangkal Putung itu memang agak berbeda dengan hubungan Gupala dengan Pandan Wangi. Ia tidak perlu menyatakan apa pun kepadanya. Gadis itu seakan-akan langsung mengerti perasaannya, dan bahkan gadis itu pun langsung pula membuka hatinya. Tanpa kata-kata, sikapnya memang sudah meyakinkan. Bahkan kadang-kadang berlebih-lebihan menurut perasaan Gupita.
Tetapi Pandan Wangi bersikap lain. Pandan Wangi sama sekali tidak memberikan kesan apa pun terhadap Gupala. Bahkan setiap kali Gupita mengenangkan masa-masa permulaan ia mengenal gadis itu, dadanya berdesir. Ia melihat sesuatu tersirat di mata gadis itu, seperti ia pernah melihat mata gadis Sangkal Putung itu pula. Namun gadis ini kemudian menundukkan kepalanya dan berjalan menjauh. Berbeda dengan sikap gadis Sangkal Putung itu. Ia langsung tertawa sambil mendekatinya dan berkata, “Inilah aku.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
“Kakang,” berkata Gupala kemudian, “aku minta tolong kepadamu, bukankah kau tidak berkeberatan? Kau dapat menemui Pandan Wangi di mana kau kehendaki, membawanya sendiri dan menanyakannya apakah ia dapat mengerti perasaanku.”
Gupita termenung sejenak. Tugas itu pasti akan terasa sangat berat baginya. Ia harus menyatakan perasaan seorang anak muda kepada Pandan Wangi. Tetapi anak muda itu adalah Gupala.
“Apakah kelak aku dapat membedakan, bahwa pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aku ucapkan tidak atas namaku sendiri, tetapi atas nama Gupala?” ia bertanya kepada diri sendiri di dalam hatinya. Namun kemudian terasa hatinya itu menghentak, “Aku harus menolongnya. Aku sama sekali tidak berkepentingan.”
Karena Gupita tidak segera menjawab, maka Gupala bertanya dengan cemasnya, “Apakah kau berkeberatan?”
Dengan serta-merta, Gupita menjawab, “Tidak, aku tidak berkeberatan. Tetapi bagaimana dan kapan aku mendapat kesempatan itu.”
“Kapan saja,” jawab Gupala, “kau dapat berpura-pura melihat-lihat hutan perburuan atau melihat apa yang dapat ditunjukkannya kepadamu.”
“Bersama kau?”
“Tentu tidak. Tentu tidak.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, “Tetapi jangan tergesa-gesa. Aku harus mendapatkan waktu yang paling baik.”
“Tentu tidak. Tetapi jangan terlampau lama.”
“Lalu, bagamana dengan bilik itu?”
“Serahkan kepadaku. Aku mempunyai banyak kawan. Para pengawal akan siap membantuku kalau terjadi sesuatu.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Hampir tanpa disadarinya ia berkata, “Baiklah, aku akan menanyakan kepadanya tentang hal itu. Besok atau lusa atau kapan saja aku mendapat kesempatan.”
“Terima kasih,” desis Gupala, “tetapi kau harus pandai menyusun kalimat, agar gadis itu tidak mempunyai kesempatan untuk menolaknya.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi ia sudah membayangkan kesulitan yang bakal dihadapinya. Dalam masalah yang wajar saja, ia tidak akan dapat menyatakan sesuatu dengan mudah. Apalagi dalam masalah yang sulit serupa itu, meskipun bukan untuk kepentingannya sendiri.
Namun ia merasa berkuwajiban pula untuk menolong adik seperguruannya Betapapun beratnya.
Dengan demikian, maka Gupita selalu berusaha mencari kesempatan untuk dapat berbicara kepada Pandan Wangi tanpa terganggu. Tetapi ia pun selalu berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham kepada gadis itu, tentang tingkah lakunya sendiri.
Di halaman rumah itu, Gupita sering menyingkir, apabila Pandan Wangi berkunjung ke ujung gandok. Ia hanya ikut menemuinya sebentar, kemudian dengan alasan apa pun ia berusaha menjauhkan dirinya.
Meskipun demikan Gupala tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengatakan sesuatu, sehingga ia benar-benar tergantung kepada kakak seperguruannya.
“Jangan terlampau lama,” berkata Gupala pada suatu saat kepada Gupita. “Setiap kali kau malah meninggalkan kami sehingga aku menjadi seperti orang bisu karenanya.”
Gupita menganggukanggukkan kepalanya. Ia memang harus melakukannya. Kalau ia menunda-nunda waktu, maka ia sendiri akan selalu merasa dibebani oleh kewajiban yang seakan-akan tidak akan pernah terselesaikan.
“Besok aku akan minta kepadanya untuk menunjukkan daerah-daerah yang asing bagiku. Aku akan mencari kesempatan.”
“Terima kasih, Kakang. Aku kira memang lebih mudah mengatakan masalah orang lain dari masalah diri sendiri.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah, maka ketika Pandanwangi sedang berdiri termangu-mangu di tangga pendapa rumahnya, Gupita-lah yang berjalan mendekatinya, meskipun hatinya berdebar-debar. Ia sudah mereka-reka alasan yang paling tepat untuk membawa Pandan Wangi meninggalkan padukuhan induk. Ia ingin mendapat kesempatan yang benar tidak akan terganggu. Kalau ia tidak berhasil, dan bahkan apalagi menumbuhkan salah paham, maka kesan yang membayang di wajah Pandan Wangi akan segera dapat dilihat orang lain. Kesan itu akan dapat menumbuhkan berbagai pertanyaan pada orang-orang lain yang melihatnya. Tetapi apabila mereka hanya berdua, maka ia akan mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalah pahaman itu.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita kemudian, “apakah kau pernah mendengar pesan Ki Argajaya kepada ayah?”
“Apakah pesan itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Pamanmu minta agar ayah mencari puteranya yang ikut terlibat dalam persoalan Tanah Perdikan ini. Ia minta agar Ki Argapati sudi memaafkannya.”
“Tentu, ayah tentu akan memaafkannya. Ia masih terlampau muda, sehingga sebenarnya ia masih belum tahu apa yang telah terjadi.”
“Tetapi bukankah anak itu sampai saat ini belum kita ketahui, di mana ia berada?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengharap ia berada di rumahnya.”
“Apakah kau yakin?”
“Tentu tidak. Tetapi Bibi ada di rumah. Seorang penghubung telah menemuinya, dan menyatakan pesan ayah kepadanya, bahwa bibi tidak perlu cemas. Ayah tidak menyangkutkannya dengan kesalahan paman.”
“Sudah lama?”
“Belum. Tetapi penghubung berikutnya, ternyata tidak kembali kepada ayah.”
“Kenapa?”
“Memang masih ada satu dua orang yang berkeliaran di padukuhan-padukuhan kecil. Mereka masih saja menyebarkan dendam dan kekisruhan.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Pandan Wangi, apakah tidak sebaiknya kita bertanya kepada Bibi Argajaya, apakah puteranya itu ada di rumah.”
“Ayah sudah bertanya lewat penghubung yang pertama. Tetapi bibi menjawab, bahwa anak itu belum juga pulang sejak berkobar peperangan.”
“Tetapi sekarang keadaan sudah agak tenang. Sebenarnya bahwa Ki Argapati pun minta tolong kepada ayah untuk mencarinya, dan ayah sendiri masih belum sempat meninggalkan rumah ini.”
“Kaulah yang harus mencarinya?”
“Tidak harus. Tetapi aku ingin menolong ayah dan pamanmu. Apakah kau berkeberatan?”
“Kenapa berkeberatan?”
“Maksudku, apabila kita bersama-sama pergi ke rumah pamanmu?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah anak muda itu. Tersirat suatu kenangan, pada saat ia hampir saja terperosok ke dalam bencana yang tidak terbayangkan, ketika ia berhasil melepaskan diri dari tangan beberapa laki-laki yang liar dan buas karena pertolongan kakak dan pamannya. Saat itulah ia melihat gembala ini.
Tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia berpaling ke arah ujung gandok. Tetapi ia tidak dapat melihatnya, karena pagar dan sudut pendapa yang menjorok di sebelah regol samping.
Pada saat yang mendebarkan hati itu, Pandan Wangi belum pernah melihat gembala yang seorang lagi. Yang gemuk tetapi pandai berkelakar, meskipun agak kurang hati-hati.
“Bagaimana?” desak Gupita, “mumpung masih pagi.”
“Apakah ayah akan mengijinkan?” desis Pandan Wangi.
“Kita hanya pergi sebentar. Tetapi kalau kita berhasil membawanya menghadap, ayahmu dan pamanmu akan sangat senang sekali.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang hanya sebentar apabila ia pergi berkuda. Tetapi apakah sudah tidak akan ada gangguan apa pun di perjalanan.
Sejenak gadis itu berpikir. Sekali-sekali ia berpaling, seakan-akan ia ingin meyakinkan, bahwa ayahnya tidak akan berkeberatan apabila ia pergi sejenak ke runah pamannya, untuk mencari adik sepupunya.
Dalam keragu-raguan itu, terlintas bayangan-bayangan yang menahannya. Tetapi hasrat di dasar hatinya semakin lama menjadi semakin kuat mendorongnya pergi.
“Sudah lama aku tidak melihat tlatah Menoreh,” katanya di dalarn hati. “Seandainya ada gangguan di perjalanan, aku kira aku bersama Gupita akan mempunyai waktu dan kesempatan untuk melepaskan diri. Peronda-peronda pasti akan hilir-mudik di segala jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh.”
Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ada dorongan yang lain, kecuali keinginannya untuk melihat-lihat wilayahnya dan sekedar untuk menemukan adik sepupunya.
“Baiklah,” katanya kemudian, “aku akan berkemas.”
“Aku akan memberitahukan kepada ayah. Apalagi Ki Samekta dan Ki Kerti tidak sedang berada di halaman ini.”
“Mereka tidak meronda. Mereka ada di banjar,” jawab Pandan Wangi.
“Karena itu, aku akan memberitahukannya kepada ayah, supaya ia mengerti, bahwa halaman ini sedang kosong.”
“Terserahlah. Tetapi aku tidak akan minta ijin kepada ayah. Aku kira ayah tidak akan mengijinkan. Aku hanya akan mengatakan kepada ayah, bahwa aku akan keluar sebentar, supaya tidak mencari aku.”
“Baiklah,” sahat Gupita.
Maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Menyiapkan kuda masing-masing, dan bukan hanya sekedar mempersiapkan yang tampak oleh mata tetapi terlebih-lebih lagi, Gupita sedang menyiapkan susunan kalimat-kalimat yang akan dikatakannya kepada Pandan Wangi atas nama Gupala.
Ketika Gupita sudah siap, dan Pandan Wangi sudah menunggunya di halaman. Gupala berbisik di telinga kakak seperguruannya, “Kau harus berhasil.”
Gupita menganggukkan kepalanya. Namun ia masih berpesan juga, “Hati-hatilah dengan Ki Argajaya.”
“Percayakan ia kepadaku.”
Gupita pun kemudian meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan yang sudah dihuni kembali itu, menyusur jalan padukuhan, menuju ke rumah Ki Argajaya. Sejenak kemudian mereka telah melampaui gardu peronda yang terakhir. Kepada para penjaga Pandan Wangi berpesan, bahwa ia akan melihat-lihat padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk itu.
“Apakah masih ada hubungan yang ajeg antara para pengawal di sini dan mereka yang di tempatkan di padukuhan-padukuhan lain setiap saat?” bertanya Gupita.
“Ya. Setiap kali penghubung-penghubung dan peronda-peronda hilir-mudik,” jawab Pandan Wangi.
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebenarnya ia menjadi cemas. Kalau setiap kali ia bertemu dengan para peronda dan penghubung di sepanjang jalan, apakah ia akan mendapat kesempatan untuk mengatakan maksudnya kepada Pandan Wangi?
Meskipun demikian Gupita masih tetap mengharap, bahwa ia akan dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Demikianlah maka mereka berdua berpacu dengan kencangnya menuju ke rumah paman Pandan Wangi. Mereka menyusur jalan yang berbatu-batu, namun kadang-kadang berdebu tebal. Sawah-sawah di sebelah-menyebelah jalan kelihatan sangat kurang terpelihara. Parit-parit menjadi kering, dan rerumputan tumbuh dengan liarnya.
“Keadaan ini harus segera diakhiri,” desis Pandan Wangi, “Parit-parit harus segera mengalir dan sawah-sawah harus ditanami. Kalau keadaan ini berlarut-larut, maka bahaya paceklik yang dahsyat tidak akan dapat dicegah lagi.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kecemasan yang merayap gadis itu. Sebagai anak satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang masih dapat diharap, maka Pandan Wangi sudah sewajarnya untuk langsung berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas tanahnya.
Tetapi hal itu ternyata kurang menarik perhatian Gupita. Angan-angannya selalu dipenuhi oleh kalimat-kalimat yang akan disampaikannya kepada Pandan Wangi, atas nama adik seperguruannya.
“Menoreh memang memerlukan setiap tenaga yang ada,” berkata Pandan Wangi. Dan Gupita pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya Pandan Wangi. Baginya Gupita bukannya seorang pendiam. Meskipun tidak sebanyak Gupala namun anak muda ini dapat juga berbicara tentang berbagai macam masalah. Tentang sawah, tanaman, ternak dan bahkan sampai ke jalan-jalan yang silang-menyilang di atas Tanah perdikan ini.
“Aku sedang berpikir tentang adik sepupumu,” jawab Gupita.
“Kita akan segera melihat, apakah ia ada di rumahnya.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ia masih terlampau muda.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi.
“Ia masih agak lebih muda dari Gupala.”
“Ya. Aku kira jaraknya ada beberapa tahun.”
“Ya. Apalagi Gupala sekarang. Ia sudah menjadi semakin dewasa.”
“Kenapa sekarang?” bertanya Pandan Wangi.
“Ada perubahan yang terjadi atas dirinya selama ia berada di atas Tanah Perdikan ini.”
“Apa?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendapat jalan untuk mengatakannya. Tetapi tiba-tiba saja terasa lehernya seakan-akan tersumbat.
“Perubahan apa yang sudah terjadi pada adikmu itu?” Pandan Wangi mendesak.
Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya, “Aku hanya menduga-duga saja.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia merasakan bahwa tidak seluruh perasaan Gupita dituangkannya. Sesuatu pasti masih tersimpan di dalam hatinya.
Namun Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dibiarkannya Gupita menemukan kesempatan untuk mengatakan yang masih bersisa di dalam hatinya.
Meskipun demikian terasa juga jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Betapa ia ingin mengusir getar yang menyentuh-nyentuh batinnya, namun setiap kali terasa sesuatu telah mengguncang isi dadanya.
Pandan Wangi terperanjat ketika tiba-tiba saja Gupita bertanya, “Apakah rumah pamanmu masih jauh?”
Pandan Wangi tergagap. Dengan serta-merta ia menjawab, “Ya. Masih cukup jauh.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilontarkannya pandangan matanya ke persawahan di sekitarnya. Persawahan yang tidak terpelihara.
Tetapi setiap kali ia ingin menyampaikan pesan Gupala terasa lehernya seakan-akan tersumbat. Bahkan kalimat-kalimat yang sudah disusunnya rapi, menjadi pecah berserakan seperti awan dihembus angin yang kencang.
“Kalau aku memang tidak berkepentingan apa pun, kenapa aku menjadi begitu bodoh dan pengecut,” ia mencoba memaksa dirinya untuk segera sampai pada persoalaanya. Namun mulutnya serasa benar-benar terkunci, sehingga yang dapat dilakukan hanyalah sekedar menelan ludahnya.
“Kita masih akan melampaui dua bulak panjang,” berkata Pandan Wangi.
“O,” Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dengan kuda, jarak itu tidak akan terlampau lama dilampaui.
Dalam pada itu, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ternyata aku masih belum siap benar-benar. Biarlah, nanti setelah kami kembali dari rumah Ki Argajaya.”
Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu semakin cepat. Padukuhan yang berada di depan mereka sudah menjadi semakin dekat, sehingga sejenak kemudian mereka telah sampai ke mulut lorong yang memasuki padukuhan itu.
Seorang peronda yang berada di gardu di regol padukuhan itu pun berdiri, sedang kawannya yang lain yang bertugas di luar regol sudah lebih dahulu merundukkan tombaknya.
Tetapi ketika mereka melihat bahwa yang berkuda itu adalah Pandan Wangi, maka mereka pun kemudian menepi. Meskipun demikian petugas yang berdiri di luar regol itu masih bertanya, “Kemanakah kau akan pergi?”
“Aku hanya sekedar melihat-lihat,” jawab Pandan Wangi.
“Hati-hatilah,” berkata penjaga itu, “keadaan masih belum cukup baik. Satu-dua orang dari mereka, masih saja melakukan pengacauan dalam keputus-asaan.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab, orang yang lain telah berkata, “Sebaiknya kalian singgah di sini saja. Kalian akan mendapatkan apa saja yang kalian inginkan. Degan kambil ijo, buah-buahan yang lain, sawo, duku dan salak? Di sini kalian tinggal mengambil langsung dari pohonnya.”
Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi aku akan meneruskan perjalanan.”
“Memang berbahaya. Kadang-kadang orang-orang yang tidak terduga-duga muncul dari balik gerumbul-gerumbul. Itu akan membahayakan.”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Gupita yang menegang. Namun kemudian ia berkata, “Kami akan berhati-hati. Dan kami memang tidak akan pergi terlampau jauh.”
“Kau tahu,” berkata penjaga itu, “padukuhan di seberang bulak itu adalah padukuhan Ki Argajaya. Banyak orang di sekitar rumahnya yang masih tetap setia kepadanya. Dalam keadaan sehari-hari mereka tampaknya sudah benar-benar menyerah, dan tidak akan berbuat apa pun. Namun sudah tiga orang di antara kita yang hilang. Benar-benar hilang tidak berbekas. Bahkan seorang penghubung Ki Argapati pun pernah hilang pula di sekitar padukuhan itu.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Ki Samekta pernah datang ke padukuhan itu dengan sepasukan pengawal. Tetapi kita tidak menemukan apa-apa selain rumah-rumah yang kotor dan tua, petani-petani miskin yang ketakutan dan anak-anak muda yang kehilangan pegangan.”
Pandan Wangi tidak segera menjawab.
“Nah,” berkata pengawal itu, “kalian pasti tahu, apakah artinya semua itu.”
Hampir bersamaan Gupita dan Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Terdengar suara Pandan Wangi lirih, “Mereka telah meluluhkan diri dengan rakyat yang barangkali memang tidak bersalah. Tetapi untuk menemukan mereka di antara sekian banyak orang memang merupakan pekerjaan yang sulit. Apalagi kalau tetangga-tetangga mereka tidak ada yang berani turun tangan, bahkan tidak berani melaporkannya kepada yang berkuwajiban.”
“Ya,” berkata pengawal itu, “namun dalam keadaan yang menguntungkan bagi mereka, tiba-tiba saja mereka menyergap.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menyadari benar-benar bahwa memang tidak mudah membangun Tanah Perdikan yang benar-benar sudah menjadi abu ini. Mungkin dalam waktu yang terhitung tidak terlampau lama, rumah-rumah yang rusak, regol-regol padukuhan yang terbakar, parit-parit dan sawah-sawah dapat segera diperbaiki. Tetapi keutuhan dan kebulatan hati rakyatnya, pasti akan memerlukan waktu yang lama untuk memulihkan kembali. Dendam sudah terlanjur ditaburkan karena kematian demi kematian di peperangan. Kematian sanak-kadang, adik, suami dan kekasih tidak akan mudah dilupakan. Sedang mereka mempunyai sasaran yang tepat untuk menjatuhkan tuduhan, siapakah yang sudah membunuh orang-orang yang mereka kasihi itu.
Dengan demikian sejenak Pandan Wangi berdiam diri, seakan-akan membeku di atas punggung kudanya. Tetapi darah Argapati yang mengalir di dalam dirinya, justru selalu mendorongnya untuk berjalan terus.
Sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan maka Pandan Wangi justru merasa bertanggung jawab untuk melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu. Karena itu maka ia pun bertanya, “Bukankah di padukuhan itu ada juga beberapa orang pengawal?”
“Ya, sepasukan kecil pengawal telah di tempatkan di padukuhan itu,” jawab pengawal itu.
“Nah, apa lagi yang dicemaskan.”
“Di sepanjang bulak dapat saja sesuatu terjadi dengan tiba-tiba. Mungkin di pategalan dan di padukuhan kecil di tengah-tengah bulak itu. Meskipun padukuhan itu hampir tidak pernah diperhitungkan, namun kadang-kadang justru bahaya bersembunyi di sana.”
Dada Pandan Wangi berdesir ketika ia mendengar padukuhan kecil dan pategalan di tengah bulak panjang itu. Terkenang olehnya beberapa orang laki-laki yang mencegatnya dan hampir saja menjerumuskannya ke dalam bencana yang tidak terkirakan.
Tetapi kini ia tidak seorang diri. Apalagi ia yakin, bahwa beberapa orang peronda akan selalu hilir-mudik dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.
Dengan demikian maka Pandan Wangi itu pun berkata, “Aku perhatikan peringatanmu. Tetapi kami berdua akan berjalan terus. Kami akan melihat-lihat apa yang kini ada di atas reruntuhan Tanah yang harus kita bangun kembali ini.”
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berhak melarangnya. Ia sudah mencoba memperingatkan bahaya yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan. Tetapi keduanya agaknya tetap pada pendirian mereka.
Karena itu, para pengawal hanya dapat menundukkan kepala mereka ketika kuda-kuda itu meneruskan perjalanannya.
“Kami akan berhati-hati,” berkata Pandan Wangi.
Maka keduanya pun kemudian meninggalkan regol itu, masuk ke dalam padukuhan yang sedang besarnya. Tetapi jalan itu tidak membelah padukuhan itu di tengah-tengah. Beberapa jalur jalan kecil menyusup ke setiap penjuru. Tetapi jalan induk itu segera berbelok dan meninggalkan padukuhan itu, membujur di tengah-tengah bulak yang panjang, meskipun ada juga pategalan dan sebuah padukuhan kecil yang seperti sebuah pulau menjorok di tengah-tengah lautan yang luas, beberapa puluh langkah dari jalan itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka sedang menilai jalan yang terbentang di hadapan mereka. Panjang sekali.
Memang kemungkinan seperti yang dikatakan oleh para pengawal itu dapat saja terjadi. Dari gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di pematang sawah yang tidak terpelihara, memang mungkin datang serangan-serangan yang tiba-tiba dari orang-orang yang berputus asa, yang hanya sekedar ingin melepaskan dendam tanpa tujuan. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan lagi dapat hidup di atas Tanah Perdikan ini. Seolah-olah di atas Tanah ini sudah tidak ada lagi tempat untuk berdiri.
Orang-orang yang demikianlah yang sebenarnya berbahaya. Orang-orang yang berbuat tanpa tujuan dan pertimbangan apa pun.
Karena itu, maka keduanya memang harus berhati-hati. Mereka harus memperhatikan setiap gerumbul di pinggir jalan. Mereka harus memperhatikan setiap gerak di sebelah-menyebelah di antara tanaman-tanaman yang tidak terpelihara.
Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus dengan kencangnya. Bagaimanapun juga mereka menyadari bahaya yang dapat menerkam mereka, namun keduanya adalah orang-orang yang mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Semakin lama mereka pun menjadi semakin dekat dengan padukuhan yang mereka tuju. Sekali-sekali mereka berpaling memandang debu yang mengepul di belakang kaki-kaki kuda mereka, namun jalan itu memang sepi.
“Tempat yang baik untuk melepaskan dendam,” tiba-tiba terdengar Gupita berkata.
Pandan Wangi berpaling,”Kenapa baik?” ia bertanya.
“Orang-orang yang bermaksud jahat dapat melihat, apakah ada peronda yang lewat atau tidak,” jawab Gupita. “Jalan ini terlampau panjang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang orang-orang yang bermaksud jahat dapat memperhitungkan, apakah perbuatannya akan diketahui oleh para peronda atau tidak. Apabila mereka melihat di kejauhan kepul debu, maka mereka akan segera berlari dan bersembunyi.
“Kita memang harus berhati-hati,” desis Pandan Wangi. Namun sampai pertengahan bulak yang panjang itu mereka tidak mendapat gangguan apa pun. Sebentar lagi mereka akan melampaui simpang tiga yang berbelok ke padukuhan kecil di tengah-tengah bulak yang disambung oleh sebuah pategalan. Dengan demikian mereka menjadi semakin berwaspada. Dapat saja seseorang meloncat dari dalam parit sambil mengayunkan pedangnya, kemudian berlari menghilang di padukuhan kecil itu. Mungkin orang itu akan terus masuk ke dalam pategalan dan berlari ke seberang ke padepokan adbmcadangan dotwordpress dotcom di mana api dibukit lebih membara. Tetapi mungkin juga, mereka bersembunyi di sudut-sudut yang tidak tersentuh tangan di dalam padukuhan itu, sedang orang-orang di sekitarnya tidak berani menunjukkannya karena ancaman senjata.
Tetapi keduanya kemudian melampaui simpang tiga tanpa ada kesulitan apa pun. Tidak ada seseorang yang menyerang mereka. Bahkan tidak ada tanda yang mencurigakan sama sekali.
Dengan demikian mereka memacu kuda-kuda mereka semakin cepat. Padukuhan yang mereka tuju pun menjadi semakin dekat, sehingga tanpa mereka sadari, bulak yang panjang itu telah hampir seluruhnya berada di belakang mereka.
“Kita telah sampai,” tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Gupita mengerutkan keningnya. Di hadapan mereka adalah sebuah regol padukuhan. Beberapa orang pengawal berdiri di sebelah-menyebelah jalan dengan senjata mereka masing-masing. Namun ketika mereka ketahui, bahwa yang datang itu adalah Pandan Wangi dan Gupita, maka mereka pun menarik nafas panjang-panjang.
Ketika keduanya telah berada beberapa langkah saja di depan para pengawal, maka Pandan Wangi dan Gupita segera menghentikan kuda mereka. Sambil memandang para pengawal seorang demi seorang Pandan Wangi bertanya, “Bagaimanakah keadaan padukuhan ini?”
Seorang yang memimpin para pengawal itu maju selangkah sambil menjawab, “Sampai hari ini tidak ada sesuatu yang mencemaskan.”
“Apakah penduduk padukuhan ini telah dapat ditenangkan, setelah Paman Argajaya tertangkap?”
“Sedikit demi sedikit. Tetapi masih ada saja yang tidak berhasil kami jinakkan. Kadang-kadang masih juga ada seorang pengawal yang tidak kembali ke pangkalan.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan pengawal itu bertanya, “Apakah kalian hanya berdua?”
“Ya.”
“Sangat berbahaya. Untung kalian tidak menjumpai apa pun di perjalanan.”
Pandan Wangi dan Gupita mengangguk-angguk.
“Kenapa kalian tidak membawa pengawal?”
Pertanyaan itu memang membingungkan Pandan Wangi. Dan ia pun bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa tidak membawa pengawal?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, bahwa ia memang ingin berada dalam perjalanan tanpa orang lain.
Sedang Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang sangat berkepentingan bahwa tidak ada seorang pengawal yang mengawani mereka berdua, karena ia memang mencari kesempatan untuk menyampaikan perasaan Gupala.
“Kenapa?” desak pengawal itu.
“Kami tidak sengaja sampai ke padukuhan ini,” jawab Pandan Wangi. Kami hanya sekedar melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan setelah perang selesai. Tetapi tanpa sesadar kami, kuda-kuda kami telah membawa kami sampai ke tempat ini.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya lagi, “Kemanakah kalian akan pergi kemudian?”
“Aku akan bertemu dengan bibi,” sahut Pandan Wangi.
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Sebaiknya kalian berkunjung saja ke tempat lain.”
“Kenapa?”
“Kami belum dapat membuktikannya. Tetapi sependengaran kami, kadang-kadang tempat itu dipergunakan oleh orang-orang yang kini masih saja liar itu untuk bersembunyi sehari dua hari, sebelum mereka merasa aman.”
“Apakah kalian tidak dapat mencegahnya?”
“Kami sedang mencari bahan. Tetapi kami sudah mempersiapkan perangkap bagi mereka.”
“Aku akan pergi ke rumah itu. Apakah kau tahu, bahwa putera Paman Argajaya ada di rumah?”
Pengawal itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu. Tetapi aku belum pernah melihatnya.”
“Mungkin anak itu memang bersembunyi. Biarlah aku melihatnya.”
“Itu sangat berbahaya.”
“Mungkin aku dapat mendekatinya dengan cara lain. Aku adalah saudara sepupunya.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudan ia berkata, “Ki Argajaya bukan sekedar saudara sepupu Ki Argapati, tetapi keduanya adalah kakak-beradik seayah-ibu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian niatnya sama sekali tidak mereda. Karena itu maka katanya kemudian, “Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan aku berhasil. Setidak-tidaknya aku dapat memberitahukan kepada bibi, agar ia tidak terus-menerus dicengkam oleh kecemasan dan ketakutan, justru karena pengikut paman yang putus asa itu selalu mengganggunya.”
Pengawal itu menarik nafas panjang-panjang. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku sudah mencoba mencegah. Tetapi kalau kalian tetap ingin memasuki rumah itu, aku akan menyediakan empat atau lima orang pengawal.”
“Jangan,” Pandan Wangi menolak dengan serta-merta. “Kedatangan kami bersama beberapa orang pengawal akan berkesan kurang baik. Kesan permusuhan akan membayangi pertemuan itu. Biarlah kami berdua memasuki halaman rumah paman.” Pandan Wangi berhenti sejenak, namun kemudian, “Tetapi aku tidak berkeberatan apabila kalian mengawasi keadaan di luar halaman. Meski pun demikian jangan terlampau dekat. Dan jangan menampakkan diri dalam kesiagaan, seakan-akan kalian memang mengepung rumah itu.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.”
Pandan Wangi dan Gupita pun segera melanjutkan perjalanan mereka, memasuki padukuhan itu, menuju ke rumah Argajaya. Rumah yang terletak hampir di tengah-tengah padukuhan. Rumah yang besar dan berhalaman luas, meskipun tidak sebesar rumah Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi dan Gupita, maka beberapa orang pengawal pun segera dipersiapkan. Lima orang bersama pemimpin pengawal itu sendiri, diam-diam menyelusur jalan-jalan sempit mendekati halaman rumah Ki Argajaya. Mereka tetap mencemasksn nasib Pandan Wangi dan Gupita, karena rumah itu sampai saat terakhir memang masih merupakan teka-teki yang belum terpecahkan. Meskipun sekali dua kali para pengawal pernah memasuki rumah itu dengan tiba-tiba, namun mereka sama sekali tidak menemukan apa pun, selain caci-maki dan umpatan-umpatan dari seluruh penghuninya. Bahkan Nyai Argajaya pun marah bukan kepalang. Sambil menuding-nuding pemimpin pengawal ia mengumpat tidak habis-habisnya.
Pemimpin pengawal itu mengira bahwa ada tempat-tempat persembunyian rahasia yang tidak dapat mereka ketemukan di halaman rumah itu.
Pandan Wangi dan Gupita menghentikan kudanya ketika mereka sampai di muka regol halaman. Keduanya berpandangan sejenak, kemudian Pandan Wangi berbisik, “Inilah rumah itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak dapat menghindari lagi. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin memasuki halaman rumah itu. Ia hanya ingin mendapat kesempatan menyampaikan pesan Gupala kepada Pandan Wangi. Tetapi akhirnya ia harus berdiri di hadapan rumah Ki Argajaya.
Kalau putera Ki Argajaya itu ada di dalam halaman itu, kemudian bersedia mereka bawa menghadap Ki Argapati, maka kesempatannya untuk berbicara dengan Pandan Wangi akan lepas lagi, dan Gupala pun pasti akan mengumpat-umpatnya pula.
Dengan demikian Gupita menjadi ragu-ragu. Apakah dengan demikian ia tidak berbuat kekeliruan, sehingga persoalan Gupala masih harus tertunda lagi.
Pandan Wangi yang tidak mengerti, apa yang bergejolak di dalam dada Gupita berkata, “Apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia kini menyadari keadaannya. Mau tidak mau ia harus memasuiki rumah yang ada di hadapannya.
Tetapi ketika ia memandangi halaman yang berada di belakang regol yang terbuka itu, memang terasa, seakan-akan halaman rumah tu menyimpan suatu rahasia yang tidak mudah dipecahkan. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin hanya sekedar prasangka. Meskipun demikian kita memang harus berhati-hati.”
“Baklah,” jawab Pandan Wangi, “marilah kita memasuki rumah itu. Mudah-mudahan bibi dapat menerima kedatanganku.”
Gupita menganggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian meloncat turun. Mereka menuntun kuda masing-masing memasuki regol halaman. Pandan Wangi berjalan di depan, kemudian tiga-empat langkah di belakangnya Gupita berjalan sambil mengawasi keadaan.
Halaman rumah itu memang terasa terlampau sepi. Bahkan dedaunan pun sama sekali tidak ada yang bergetar.
Dalam kebimbangan, Pandan Wangi dan Gupita kemudian mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon perdu di halaman. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak kemudian, mereka mengedarkan tatapan mata mereka ke seluruh sudut. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita naik ke pendapa?” ajak Pandan Wangi.
Gupita tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk ragu.
Keduanya pun kemudian naik ke pendapa dengan hati-hati. Mereka memandang daun pintu yang tertutup itu dengan tajamnya, seolah-olah ingin melihat apa yang tersembunyi di dalamnya.
Memang mungkin sekali terjadi, apabila pintu itu dengan tiba-tiba terbuka, ujung senjata terjulur lurus-lurus ke dada mereka. Mungkin hanya sepucuk, tetapi mungkin tiga atau empat atau bahkan sepuluh pucuk senjata.
Tetapi pintu itu tidak juga terbuka, bahkan ketika mereka telah berdiri terlampau dekat.
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Aku akan mengetuk pintu ini.”
Gupita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun maju selangkah dan berdiri hampir merapat dinding, di sebelah pintu itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Ternyata Gupita cukup berhati-hati meskipun sama sekali tidak terdengar sesuatu di balik pintu itu
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengetuk pintu pringgitan yang tertutup rapat. Namun terasa bahwa jari-jari tangannya agak gemetar.
Ia sudah mengenal rumah itu seperti ia mengenal rumahnya sendiri. Ia sudah terlampau sering datang sejak ia masih kanak-kanak, bermain-main dengan paman dan bibinya. Pohon jambu di sudut halaman, pohon kanci yang besar dan pohon sawo kecik di muka pendapa itu pun sudah dikenalnya baik-baik. Ia sudah terlampau sering makan buah jambu dan sawo kecik di halaman itu.
Namun kini semuanya terasa sangat asing.
Ternyata ketukan pintu tidak segera terjawab, sehingga Pandan Wangi mengulanginya sekali lagi agak lebih keras.
Dengan dada yang berdebar mereka pun kemudian mendengar langkah seseorang mendekat pintu. Kemudian terdengar pula seseorang bertanya, “Siapa di luar?”
Pandan Wangi segera mengenal, bahwa suara itu adalah suara bibinya. Karena itu maka ia pun menjawab, “Aku, aku, Bibi.”
Sejenak tidak terdengar sesuatu di dalam rumah itu. Namun kemudian langkah itu pun mendekat lagi. Kini mereka mendengar daun pintu itu berderit.
Sejenak kemudian pintu itu pun terbuka. Seorang perempun berdiri tegak di muka pintu. Seorang perempuan dengan pakaian dan rambut yang kusut, muka yang pucat dan mata kemerah-merahan oleh tangis.
Perempuan itu terbelalak ketika ia melihat Pandan Wangi berdiri di luar pintu. Sejenak ia berdiri tegak dengan dada yang berdebar-debar.
“Bibi, aku datang Bibi?”
Tetapi alangkah terperanjat Pandan Wangi ketika tiba-tiba ia melihat perempuan itu menudingnya sambil berkata lantang hampir berteriak, “He, betina tidak tahu diri! Kenapa kau kemari, he? Apakah kau masih belum puas? Ayahmu sudah mencelakakan suamiku, adiknya sendiri, adik kandungnya. Sekarang kau datang membawa pedang dan seorang pengkhianat. Apakah kau ingin membunuh aku, he? Ayo, bunuhlah aku sama sekali. Bunuh aku.”
Perempuan itu kemudian berdiri bertolak pinggang. Matanya seakan-akan memancarkan api yang menyala di dadanya. Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga Pandan Wangi surut selangkah.
“Bibi,” desis Pandan Wangi.
“Kau tdak usah memanggil aku bibi. Kau tidak usah berpura-pura. Sekarang tarik pedangmu dan tusukkan di dada ini.”
Pandan Wangi justru berdiri mematung. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah sambutan yang diterimanya dari bibinya, yang dikenalnya sebagai seorang yang ramah dan baik. Seorang yang terlampau dekat dengan dirinya dan seluruh keluarganya.
Karena itu maka Pandan Wangi masih saja berdiri mematung. Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang sama sekali tidak diduganya lebih dahulu.
Sedang bibinya masih saja menunjuk wajahnya sambil berkata, “Kenapa kau diam saja? Ayo bunuh aku. Rumah ini bagiku tidak lebih dari neraka yang paling jahanam. Suamiku telah difitnah orang, anakku laki-laki hilang sampai saat ini. Setiap kali rumah ini dibongkar oleh berandal-berandal yang tidak tahu diri itu. Dan sekarang kau lah yang datang ke rumah ini. Apakah kau mau membongkar rumahku pula? Dan merampok sisa-sisa milikku yang masih ada?”
Pandan Wangi tidak segera dapat menjawab. Bibinya sudah benar-benar menjadi orang lain.
“Ayo cepat, lakukan yang kau ingini? Bukankah kau disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengatur perasaannya. Sekilas dipandangnya Gupita yang berdiri termangu-mangu.
“Bibi,” berkata Pandan Wangi kemudian, “tidak ada seorang pun yang menyuruh aku kemari.”
“Jadi, kau datang kemari atas kehendakmu sendiri? Kalau demikian kau akan membunuh aku atas keinginanmu?”
“Tidak, Bibi. Aku sama sekali tidak ingin berbuat demikian.”
“Bohong! Ayo cepat lakukan. Aku memang sudah jemu mengalami keadaan yang paling menyakitkan hati. Orang yang sebelumnya setiap hari datang minta sesuap nasi kepadaku untuk dirinya sendiri, untuk anak-anaknya, dan untuk seluruh keluarganya, orang yang setiap kali datang meminjam segala macam kebutuhan hidup, orang yang menggantungkan hidup keluarganya pada pekerjaan yang kuberikan, tiba-tiba saja sudah memfitnah suamiku. Kini suamiku menjadi korban bersama-sama dengan kemanakannya, Sidanti, dan anaknya sendiri. Anakku. Ternyata aku kini hidup dalam sarang serigala yang liar dan buas. Yang tidak lagi mengenal kebaikan hati dan peradaban.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Kini nafasnya sudah menjadi semakin teratur dan perasaannya tidak lagi bergejolak tidak menentu. Ia sudah semakin mapan menanggapi sikap bibinya. Karena itu, maka katanya, “Bibi, kita semua menyesal atas apa yang sudah terjadi. Kini ayah sedang terluka parah. Bahkan bangun pun ayah sama sekali tidak mampu.”
“Itu adalah karena salahnya sendiri.”
“Mungkin, Bibi. Mungkin ayah sudah bersalah. Tetapi yang melukai ayah itu adalah orang yang pernah melukai hatinya beberapa puluh tahun yang lampau.”
“Omong kosong! Seandainya benar demikian, dendamnya, sudah membakar Tanah Perdikan ini. Adiknya, anaknya, kemanakannya dan semua orang di atas Tanah Perdikan ini harus mengalami akibat yang paling pahit.”
“Bibi,” jawab Pandan Wangi, “tidak seorang pun yang menghendaki hal itu terjadi. Ayah, paman, Kakang Sidanti, aku, dan juga Bibi. Tetapi tanpa dapat dicegah lagi, api sudah menjalar di seluruh Tanah Perdikan ini.”
“Ayahmulah sumber dari bencana ini.”
“Mungkin orang lain menganggapnya demikian, Bibi. Tetapi, ayah adalah orang yang paling menyesalkan kejadian ini. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Berapa puluh tahun ayah merintis Tanah ini sehingga menjadi sebuah Tanah Perdikan yang baik. Sudah tentu, bukan maksud ayah untuk menghancurkan Tanah ini seperti apa yeng terjadi sekarang. Kalau ayah dianggap bersalah, kesalahan ayah adalah menyerahkan Kakang Sidanti kepada Ki Tambak Wedi. Apakah Bibi mengetahui siapakah Ki Tambak Wedi itu?”
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak peduli siapakah orang yang bernama Ki TambaK Wedi. Aku tidak peduli siapa pun. Tetapi keluargaku kini sudah hancur. Hancur sama sekali. Karena itu, kalau kau akan membunuh aku, bunuhlah.”
Pandan Wangi menjadi agak bingung kembali menanggapi sikap bibinya. Bibinya seolah-olah sudah tidak mau mendengar apa pun lagi. Ia menjadi demikian berputus asa sehingga hari-hari mendatang adalah hari-hari yang gelap baginya.
Dalam pada itu, tiba-tiba Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Bibi. Aku mengharap bibi dapat mendengarkan kata-kataku. Aku datang kemari karena aku diutus oleh Paman Argajaya.”
“He?” mata bibinya seakan-akan menjadi terbelalak karenanya. Namun kemudian, “Omong kosong! Kau juga sudah pandai berbohong. Aku tidak mau kau bohongi lagi.”
“Tidak, Bibi, aku tidak berbohong,” jawab Pandan Wangi. “Paman kini berada di rumahku, Bibi.”
“Aku sudah tahu, Kakang Argajaya sekarang sudah ditangkap dan sebentar lagi ia harus digantung.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu suaranya tiba-tiba meninggi, “Katakan! Katakan kepada ayahmu, bahwa aku harus digantungnya pula bersama Ki Argajaya. Mengerti?”
Tetapi Pandan Wangi mnggelengkan kepalanya. “Paman tidak akan dihukum apa pun, karena ayah tahu, apa yang terjadi bukan semata-mata kesalahan paman.”
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya.
“Paman Argajaya adalah satu-satunya saudara sekandung ayah,” berkata Pandan Wangi kemudian, lalu, “dan sekarang aku telah diutus oleh paman melihat-lihat keadaan rumah ini. Terutama putera paman.”
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
“Bibi jangan terlampau berprasangka. Kalau ayah ingin melakukan tindakan kekerasan, bukan akulah yang akan datang kemari. Aku adalah manusia yang mempunyai kenangan dan cita-cita. Apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Bibi yang begitu baik terhadapku sebelum terjadi sesuatu? Di rumah ini aku merasa seperti di rumah sendiri. Sepeninggal ibu, Bibi adalah ibuku.”
Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri. Ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Kadang-kadang dari sepasang mata perempuan itu memancar kebencian yang tidak ada taranya. Namun mata itu kemudian redup seolah-olah padam sama sekali.
“Bibi,” desis Pandan Wangi, “apakah Bibi dapat mengerti? Apakah Bibi masih dapat mengenal aku sebagai Pandan Wangi yang sering benar berada di rumah ini sebelum terjadi kekisruhan di atas Tanah Perdikan ini?”
Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri.
“Bibi, ayah sama sekali tidak bermaksud jelek. Terhadap Bibi maupun terhadap paman. Ayah masih memerlukan setiap tenaga yang ada untuk membangun Tanah yang sekarang sudah menjadi abu ini. Anggaplah bahwa yang sudah terjadi itu akibat dari kesalahan kita bersama.”
Tidak sepatah kata pun yang terucapkan. Nyai Argajaya kini berdiri sambil merenung. Kadang-kadang dipandanginya wajah Pandan Wangi, namun kadang-kadang tatapan matanya terlontar jauh menerawang ke dunia angan-angan dan kenangan.
“Bibi,” desis Pandan Wangi kemudian, “percayalah. Aku masih Pandan Wangi yang dahulu. Aku datang mengunjungi Bibi seperti dahulu aku bermain di rumah ini.”
Pandan Wangi kemudian melihat mata Nyai Argajaya menjadi basah. Sekali-sekali perempuan itu berpaling memandang Gupita yang berdiri termangu-mangu. Kemudian dipandanginya sepasang pedang di lambung Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang mengikuti tatapan mata bibinya seolah-olah dapat mengerti apa yang tersirat di dalam hati perempuan itu. Karena itu maka katanya, “Adalah karena keadaan yang tidak menentu di sepanjang jalan maka aku membawa senjata ini, Bibi. Aku memang pernah mendapat pengalaman pahit pada saat permulaan Tanah ini mulai kemelut. Pada saat aku ingin berkunjung kemari, aku telah dicegat oleh beberapa orang laki-laki tidak dikenal. Untunglah bahwa saat itu Paman Argajaya menolong aku. Kalau tidak maka aku tidak akan dapat membayangkan aya yang terjadi atasku.”
Tiba-tiba Nyai Argajaya mengangkat wajahnya dan bertanya, “Pamanmu yang telah menolongmu?”
“Ya, Bibi.”
“Siapakah laki-laki itu?”
“Aku tidak tahu, Bibi. Mereka adalah laki-laki yang tidak dikenal di Tanah Perdikan ini.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ternyata bahwa air matanya menjadi semakin banyak mengambang di matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berdesis, “Aku memang sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku tidak berhasil.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah yang pernah Bibi cegah?”
“Aku pernah mencegah pamanmu menghubungi orang-orang yang tidak mengenal peradaban itu. Kehadiran Ki Tambak Wedi di rumah ini memang menumbuhkan kecemasan di dalam hatiku.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya ia telah berhasil mengungkap perasaan bibinya yang sebenarnya. Sehingga karena itu maka katanya, “Ya, Bibi. Aku mengerti, bahwa Bibi adalah Bibi yang aku kenal itu. Bibi yang mengerti banyak masalah yang dapat tumbuh di atas Tanah Perdikan ini. Bukankah Bibi juga yang pernah berceritera kepadaku, tentang lidi dan sapu lidi? Bukankah Bibi juga yang berceritera kepadaku bahwa jari-jari tangan ini satu demi satu tidak banyak berarti, tetapi apabila lima bersama-sama, maka artinya akan besar sekali?”
Nyai Argajaya terdiam sejenak.
“Bibi,” Pandan Wangi kini maju selangkah, “aku itulah yang kini datang kepada Bibi.”
Sejenak Nyai Argajaya berdiri mematung. Ditatapnya mata Pandan Wangi tajam-tajam. Namun sejenak kemudian ia meloncat memeluk gadis itu. Meledaklah perasaannya yang selama ini tertekan di dalam dadanya, sehingga rasa-rasanya dada itu akan pecah. Tidak ada seorang pun yang dapat dibawanya berbincang di dalam rumah ini, apalagi sekali-sekali jiwanya yang risau itu masih juga digoncang-goncang oleh ketakutan dan kecemasan karena para pengawal yang memeriksa seisi rumahnya, mencari orang-orang yang mereka sangka bersembunyi di dalam rumah itu.
“Pandan Wangi,” terdengar suara perempuan itu di sela-sela tangisnya, “kau tidak disuruh oleh ayahmu membunuh aku?”
Mata Pandan Wangi pun menjadi basah pula. Meski pun tenggorokannya terasa tersumbat, namun ia menjawab, “Tentu tidak, Bibi. Aku sengaja menengok Bibi sekaligus aku diutus oleb paman Argajaya melihat apakah putera Bibi itu ada di rumah.”
Tangis Nyai Argajaya menjadi semakin keras.
“Sudahlah, Bibi,” Pandan Wangi mencoba menenteramkan hati bibinya, “tidak ada yang perlu ditangiskan. Semuanya memang harus terjadi demikian. Yang penting kini, bagaimana masa-masa yang mendatang.”
“Masa yang mendatang itu terlampau gelap bagiku, Pandan Wangi. Aku menyadari betapa besar kesalahan pamanmu dan adikmu. Sebenarnya aku tdak dapat ingkar. Sejak kehadiran Ki Tambak Wedi di rumah ini bersama Sidanti, maka aku sudah membayangkan bahwa rumah tangga kecilku ini dan rumah tangga besar Tanah Perdikan Menoreh akan guncang. Itulah sebabnya aku sudah mencoba mencegah pamanmu. Tetapi seperti kau ketahui, Wangi, pamanmu adalah seorang yang keras hati. Ia tidak segera dapat menerima pikiran orang lain, sehingga akhirnya ia sendiri terperosok ke dalam keadaan seperti sekarang.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, ia berbisik, “Bibi, apakah tidak mempersilahkan aku dan kawanku masuk ke dalam?”
“O, tentu Wangi. Tentu,” jawab Nyai Argajaya sambil melepaskaa pelukannya. Namun titik air di matanya masih juga melelah di pipinya. Dengan pandangan ragu, Nyai Argajaya menatap wajah Gupita yang termanu-mangu.
Pandan Wangi menangkap keragu-raguan yang tumbuh di dalam hati bibinya. Agaknya bibinya memang belum pernah melihat anak muda itu. Karena itu maka Pandan Wangi berkata, “Anak muda itu namanya Gupita, Bibi. Ia adalah seorang gembala menurut pengakuannya.”
“Kenapa menurut pengakuannya?” bertanya Nyai Argajaya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Ya, ia memang seorang gembala. Tetapi ia mendapat kepercayaan ayah. Karena itu, maka kali ini ia harus mengantarkan aku menghadap Bibi, justru karena keadaan yang masih belum tenang benar.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Silahkan masuk.”
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pringgitan yang agak luas. Tetapi pringgitan itu hampir tidak terpelihara lagi. Dahulu, apabila Pandan Wangi datang ke rumah itu, ia selalu merasakan tangan-tangan bibinya yang mengatur setiap sudut rumah ini dengan tertib. Tetapi sekarang yang dilihatnya adalah sarang laba-laba yang tersangkut pada dinding dan langit-langit.
“Aku tdak sempat lagi melakukan apa pun juga,” desis bibinya, seolah-olah ia tahu apa yang terpercik di dalam hati Pandan Wangi. “Bukan karena aku tidak mempunyai waktu, tetapi hatiku sudah seolah-olah patah. Semuanya lepas dari rumah ini. Dan aku tidak memerlukan apa-apa lagi.”
“Tidak, Bibi,” jawab Pandan Wangi. “Semuanya masih dapat diharap.”
“Adikmu hilang bersama-sama pasukan pamanmu yang tercerai-berai. Pamanmu tertangkap, sedang orang-orang yang mendukungnya telah lenyap. Sidanti pun tidak lagi dapat berbuat apa-apa, sepeninggal gurunya itu.”
“Kesalahpahaman ini akan segera berakhir.”
“Apakah kau berkata sebenarnya, Wangi.”
“Tentu, Bibi. Aku berkata sebenarnya. Sejak Kakang Sidanti meninggalkan ayah, maka akulah yang selalu dibawanya berbicara. Aku adalah orang yang paling dekat, sehingga aku mengenal benar-benar jalan pikiran ayah. Itulah sebabnya aku mengetahui, bahwa sebenarnya ayah tidak nenaruh dendam. Seseorang yang menyesali kesalahannya sampai ke dasar hatinya, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu, memang wajib diberi kesempatan.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ayahmu memang orang baik, Wangi. Menilik sifat-sifatnya, mungkin ia berkata sebenarnya.”
“Aku yakin, Bibi.”
“Tetapi kadang-kadang aku menjadi putus asa. Pamanmulah, yang terlampau keras hati.” Kepala perempuan itu tiba-tiba menunduk. “Ayahmu juga keras hati.”
“Kadang-kadang, Bibi, tetapi untuk mempertahankan keyakinan dan kepentingan harga dirinya pribadi. Tetapi sebagai Kepala Tanah Perdikan, ayah dapat menimbang-nimbang. Apalagi kini ayah mendapat banyak kesempatan untuk menilai semua masalah yang dihadapi. Karena luka-lukanya, sehingga ayah mempergunakan seluruh waktunya untuk berbaring. Dengan demikian ayah tidak sekedar dikejar oleh kekecewaan semata-mata karena Tanah yang selama ini dibinanya, telah menjadi abu. Tetapi ayah sempat memikirkan, bagaimana masa depan dari Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, Bibi, maka aku telah datang kemari untuk mengunjungi Bibi dan membawa putera Bibi menghadap ayah. Ayah tidak akan menghukumnya. Dan terlebih-lebih lagi paman memang memerlukannya.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika ia melihat mata bibinya menjadi berkaca-kaca kembali. “Adikmu tidak ada di rumah, Wangi. Sejak pertempuran di malam itu, ia seakan-akan hilang dari padaku. Malam itu ia hanya singgah sejenak, mengambil beberapa potong pakaian. Kemudan ia pergi lagi bersama beberapa orang yang sebagian dari mereka tidak aku kenal.”
“Apakah anak itu tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?”
Bibinya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menggeleng. “Tidak, Wangi.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku benar-benar telah diutus oleh paman, Bibi. Paman tentu akan sangat bersenang hati apabila aku dapat membawanya.”
Nyai Argajaya tidak segera menjawab. Namun dada Gupita-lah yang menjadi berdebar-debar. Ia sependapat dengan Pandan Wangi, seperti gurunya pernah berkata, bahw Ki Argajaya telah minta agar puteranya mendapat pengampunan, dan Ki Argapati sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi kalau anak itu dapat dibawanya bersama-sama saat ini, maka ia akan kehilangan waktu.
“Hem,” Gupita berkata di dalam hatinya, “ternyata aku telah dicengkam oleh masalah itu. Aku tidak sempat lagi memikirkan persoalan lain lagi, kecuali persoalan Gupala.”
“Apakah bibi masih ragu-ragu?” desak Pandan Wangi.
Tetapi Nyai Argajaya menggeleng. “Tidak, Wangi. Aku tidak ragu-ragu. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kemanakah adikmu itu sekarang.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kadang-kadang aku, ayah dan apalagi paman, menjadi cemas. Sangat cemas, bahwa anak itu akan terseret arus yang tidak dikenalnya itu semakin lama semakin jauh. Kalau arus itu berbenturan dengan kekuatan Menoreh yang tidak mengerti sama sekali tentang hubungan lain daripada hubungan antara lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, “Bibi, ayah sudah mengumumkan pengampunan umum. Siapa pun yang menyesali perbuatannya dan menyerah, akan mendapat pengampunan, meskipun mereka masih akan tetap mendapat pengawasan. Apalagi paman, dan orang-orang yang masih ada sangkut pautnya dalam hubungan darah seperti anak itu.”
Tetapi yang dilihat oleh Pandan Wangi adalah titik air mata dari mata bibinya. Suaranya menjadi parau, “Menyesal sekali, Wangi. Anak itu seakan-akan telah hilang dari padaku.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah bibinya tajam-tajam. Agaknya ia masih ragu-ragu, apakah bibinya berkata sebenarnya, atau oleh kecurigaan, anak itu dilindunginya, agar tidak diketahui di mana ia bersembunyi.
Namun oleh air mata bibinya yang semakin deras, serta kepalanya yang semakin menunduk, Pandan Wangi kemudian mempercayainya bahwa bibinya berkata dengan jujur, bahwa ia benar-benar tidak tahu di mana anak laki-lakinya bersembunyi.
Dengan demikian maka sikap Pandan Wangi pun kini berubah. Ia tidak berusaha membujuk bibinya lagi, agar ia menunjukkan di mana anaknya berada, tetapi kini Pandan Wangi mencoba membujuk bibinya agar menjadi tenang.
“Aku memang tidak berpengharapan lagi,” berkata bibinya. “Apalagi setiap kali rumah ini digeledah. Mereka juga mencari adikmu seperti kau. Bahkan mereka menyangka rumah inii menjadi tempat persembunyian orang-orang yang berpihak pada pamanmu dalam peperangan yang baru lalu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan berkata kepada mereka, Bibi, bahwa rumah ini sama sekali tidak dipergunakan oleh orang-orang yang melawan ayah waktu itu.”
“Hidupku sama sekali tidak tenang, Wangi. Setiap kali aku selalu diguncang oleh kegelisahan.”
“Sejak sekarang Bibi dapat menenangkan diri. Aku akan tetap membantu ayah dan paman untuk menemukan anak nakal itu. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu.”
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
“Sudah tentu bahwa aku akan mencarinya sebagai seorang kakaknya, Bibi.”
Perlahan-lahn Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih, Wangi. Sejak peperangan itu, baru sekarang aku dapat mempercayai seseorang. Aku mengenalmu baik-baik. Aku percaya bahwa kau masih Pandan Wangi yang dulu.”
“Tentu, Bibi,” sahut Pandan Wangi yang sejenak kemudian menatap wajah Gupita sambil mengangguk kecil. “Kita kembali.”
Gupita pun mengangguk pula.
Pandan Wangi dan Gupita pun segera minta diri setelah ia berjanji untuk mencegah para pengawal mengguncang-guncang lagi hati perempuan yang malang itu.
Begitu Pandan Wangi dan Gupita keluar dari regol halaman, mereka segera melihat beberapa sosok tubuh di sela-sela gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di sana-sini. Sadarlah mereka bahwa para pengawal yang mencemaskan nasib mereka, telah mengadakan pengawasan sebaik-baiknya. Mereka siap bertindak apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Pandan Wangi dan Gupita berpandangan sejenak. Kemudian terdengar Gupita berbisik, “Mereka adalah pengawal-pengawal yang baik.”
“Terlau baik,” sahut Pandan Wangi. Gupita terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Keduanya pun kemudian meloncat ke punggung kuda masing-masing dan perlahan-lahan berjalan ke gardu di mulut lorong.
Para pengawal yang mengawasinya pun kemudian mengikuti mereka pula, untuk mendengar apa yang telah mereka lihat di dalam rumah yang penuh dengan teka-teki itu.
Di gardu, Pandan Wangi dan Gupita pun turun sejenak dari kuda-kuda mereka, untuk berbicara dengan para pengawal di gardu itu.
“Aku tidak melihat apa pun yang mencurigakan di rumah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Kami juga tidak melihat,” berkata pemimpin pengawal. “Karena itulah kami menganggap bahwa ada tempat-tempat rahasia yang tidak kami ketahui.”
“Kau salah,” jawab Pandan Wangi kemudian. “Tidak ada tempat rahasia dan tidak ada orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah itu.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Sepintas lalu kita memang tdak melihat apa pun. Agaknya sudah dua kali atau lebih aku memasuki rumah itu. Dan aku memang tidak menemukan apa-apa. Tetapi setiap kali, sisa-sisa pasukan Tambak Wedi masih berkeliaran di sekitar padukuhan itu. Bahkan seperti yang sudah pernah aku katakan, satu-dua orang dari kami telah hilang. Apakah artinya ini?”
“Aku mengerti,” berkata Pandan Wangi, “aku tidak menyangkal bahwa masih ada orang-orang yang berputus asa dan berbuat apa pun tanpa tujuan, termasuk membunuh dan merampok. Tetapi mereka tidak bersembunyi di rumah bibi. Aku sudah bertemu dengan bibi. Dan aku percaya bahwa bibi berkata sebenarnya.”
Para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak segera dapat mempercayai keterangan Pandan Wangi. Sehingga Pandan Wangi menjelaskan, “Putra Paman Argajaya itu pun sudah lama tidak pulang. Bibi hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Setiap saat ia selalu diganggu oleh perasaannya sendiri dan oleh peristiwa-peristiwa yang sangat menyakiti hatinya.” Pandan Wangi terdiam sejenak, kemudian, “Dengarlah. Bukan aku tidak mempercayai kalian. Tetapi renungkan. Perhatian kalian hanya tertuju kepada rumah itu. Setiap kali kalian menyangka bahwa orang-orang itu bersembunyi di tempat yang rahasia di halaman rumah itu. Setiap ada seorang pengawal hilang, mau tidak mau, menurut perhitungan kalian, orang-orang yang menyergapnya bersembunyi di sana. Itu sudah titik tolak yang dapat mengaburkan usaha kalian, karena kalian sama sekali tidak menaruh perhatian pada tempat-tempat yang lain. Pada saat dengan marah kalian menggeledah rumah itu, maka orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat itu dengan enaknya tidur di tempat lain yang sudah pasti sama sekali tidak mendapat perhatian kalian, karena kalian sudah beranggapan mutlak, bahwa rumah itulah satu-satunya tempat mereka bersembunyi.”
“Tetapi,” pemimpin pengawal itu masih tidak puas, “salah seorang dari kami pernah melihat seseorang meloncat masuk ke dalam rumah itu.”
“Itulah kecakapan mereka. Mereka memang membuat kesan seolah-olah rumah itu adalah tempat persembunyian yang paling baik bagi mereka.”
Para pengawal yang ada di sekitar gardu dan di regol itu pun mencoba merenungkan kata-kata Pandan Wangi. Satu-dua orang mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian pemimpin mereka pun berkata, “Masuk akal juga. Selama ini kami memang hanya mengawasi rumah itu sehingga kami kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain.”
“Nah, sejak sekarang bertindaklah lebih cermat,” berkata Pandan Wangi. “Awasi orang-orang yang masih berkeras hati itu dengan saksama.”
“Baik,” jawab pemmpin rombonaan itu.
“Aku akan segera kembali,” berkata Pandan Wangi kemudian.
“Apakah kalian memerlukan beberapa orang untuk mengawani perjalanan kalian,” bertanya pemimpin pengawal.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tidak sesadarnya dipandanginya bulak yang terbentang di hadapannya. Namun sebelum Pandan Wangi menjawab, Gupita sudah mendahului, “Kami tidak akan menyulitkan kalian.”
“Itu tugas kami,” jawab pemimpin pengawal itu. “Dalam perjalanan kembali mungkin kalian akan berpapasan dengan mereka dalam jumlah yang tidak seimbang. Apalagi kalian berdua.”
“Kami mempergunakan kuda-kuda kami, sehingga apabila orang-orang itu tidak berkuda, kesempatan untuk membebaskan diri cukup besar,” Gupita berhenti sejenak, dan Pandan Wangi menyahut, “Sudah tentu orang-orang itu tidak mempergunakan kuda. Bukankah begitu?”
“Ya, mereka memang tidak berkuda.”
“Karena itu, biarlah kami pergi berdua”
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka, dan pemimpin mereka berkata, “Baiklah.”
Pandan Wangi dan Gupita pun kemudian minta diri meninggalkan padukuhan yang masih belum terkuasai seluruh segi-segi kehidupannya itu. Namun demikian, kekerasan-kekerasan yang berpengaruh sudah tidak lagi pernah terjadi.
Pandan Wangi dan Gupita itu pun segera meninggalkan padakuhan itu, melalui jalan di tengah-tengah sawah yang luas. Matahari sudah menjadi kian tinggi sehingga panasnya sudah mulai mengusik kulit.
Sepanjang jalan, dada Gupita selalu berdebar-debar. Semakin lama bulak yang dilaluinya menjadi seakan-akan semakin pendek. Kalau mereka melampaui padesan dan pategalan yang terletak beberapa puluh langkah dari jalan ini, kemudian sampai di lengkungan jalan di sebelah susukan, maka kesempatannya menjadi eemakin sempit.
Karena itu, meskipun dadanya serasa akan retak, namun dipaksakannya juga untuk mencoba menyampaikan pesan Gupala itu kepada Pandan Wangi, meskipun dengan ancang-ancang yang panjang.
Hampir segenap tubuh Gupita menjadi basah oleh keringat. Bukan saja karena panas matahari yang semakin tinggi, tetapi juga karena gejolak di dalam dadanya.
“Persetan,” Gupita menggeram di dalam hatinya, “bukan untuk kepentinganku sendiri. Apa pun akibatnya, bukan menjadi tanggung jawabku. Aku hanya akan menyampaikan hasilnya saja kepada Gupala.”
Dengan demikian, maka akhirnya Gupita telah memaksa dirinya sendiri dengan mengerahkan segenap kemanpuan yang ada padanya.
“Pandan Wangi,” suaranya gemetar, “kenapa kau begitu tergesa-gesa?”
Pandan Wangi berpaling. Ia melihat kegelisahan di wajah Gupita. “Apakah aku tergesa-gesa?” ia bertanya.
“Kita berkuda terlampau kencang,” jawab Gupita.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya, “Kita berada di daerah yang belum kita ketahui keadaan yang sebenarnya.”
“Tetapi daerah ini sudah aman.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin. Tetapi bukankah menurut keterangan para pengawal masih juga ada satu-dua orang yang sering mengganggu di daerah ini?”
“Ya,” jawab Gupita, “tetapi, tetapi, perlambatlah kudamu.”
Pandan Wangi menjadi heran. Namun tanpa sesadarnya ia pun menarik kendali kudanya dan dengan demikian maka perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat.
“Pandan Wangi,” suara Gupita menjadi semakin gemetar, sehingga Pandan Wangi pun menjadi semakin berdebar-debar.
Hampir meledak Gupita kemudian berkata, “Ada sesuatu yang ingin aku katakan, Wangi.”
Kini dada Pandan Wangi benar-benar berdesir tajam. Dipandanginya wajah Gupita sesaat, kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Gupita menyadari keadaan dirinya. Betapa pun kegelisahan melanda jantungnya, namun ia masih berusaha untuk tidak menumbuhkan salah paham, sehingga dengan suara gemetar ia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa Gupala sekarang menjadi semakin dewasa?”
Pandan Wangi tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kerut-merut di keningnya membayangkan seribu satu macam pertanyaan.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita tergagap, “apakah kau mau kita berhenti sebentar, supaya aku tidak salah mengucapkan kata-kata?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.”
Maka sejenak kemudian mereka pun telah menghentikan kudanya. Gupita yang meloncat turun lebih dahulu dari kudanya berkata, “Turunlah. Bukankah kau masih mempunyai sedikit waktu.”
Kini tiba-tiba saja tubuh Pandan Wangi pun menjadi gemetar. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Sebagai seorang gadis yang dewasa, maka ia sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh Gupita.
Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar.
Gupita yang sudah basah kuyup oleh keringatnya itu mencoba untuk menenangkan hatinya. Disekanya keringat di keningnya. Lalu katanya, “Pandan Wangi, aku tidak tahu bagaimana aku akan mengatakannya. Tetapi aku sebenarnya membawa pesan dari Gupala. Itulah sebenarnya, mengapa aku memaksamu untuk pergi berdua.”
Sepercik warna merah membayang di wajahnya, sedang kepalanya pun mejadi semakin tunduk karenanya.
Namun demikian, terjadi juga kejutan yang menghentak di dada Pandan Wangi. Gupita sekedar membawa pesan Gupala. Apa yang akan dikatakan oleh Gupita adalah ungkapan perasaan Gupala.
“Kenapa?” sebuah pertanyaan telah menyentuh hatinya. “Kenapa Gupita tidak mengatakan tentang dirinya sendiri?”
Meskipun demikian sebuah keragu-raguan telah mengisruhkan perasaannya pula. Gupala memang mempunyai kesan yang tersendiri. Seorang periang dengan hati terbuka.
“Tetapi kenapa ia tidak mengatakannya sendiri?”
Dalam kebimbangan itu terdengar Gupita berkata, “Pandan Wangi, bukankah kau bersedia mendengarkannya. Sebagai seorang saudara tua aku memang wajib menolongnya, memecahkan kesulitan yang selalu mengganggunya siang dan malam.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini menjadi semakin menunduk. Gadis yang membawa sepasang pedang itu pun kemudian perlahan-lahan duduk di bawah sebuah gerumbul perdu. Setitik air matanya jatuh di pangkuannya. Dengan jari-jarinya gadis itu mengusap sudut matanya yang membasah.
Gupita menjadi semakin gelisah. Ia memang tidak biasa menghadapi seorang gadis yang sedang menangis. Karena itu, maka ia pun berjalan hilir-mudik di belakang Pandan Wangi.
Keduanya sama sekali sudah tdak ingat lagi kepada sisa-sisa pasukan Ki Tambak Wedi. Keduanya sudah tidak ingat lagi bahwa kadang-kadang masih saja ada satu-dua orang yang hilang di dalam perjalanan dari padukuhan yang baru ditinggalkannya ke padukuhan di seberang bulak yang panjang itu.
Pandan Wangi yang duduk di bawah gerumbul perdu itu tidak segera dapat menjawab. Terasa hatinya menjadi kacau. Sebenarnya kerisauan itu sudah lama membayanginya. Kedua anak-anak muda itu memang mempunyai kelebihannya masing-masing. Namun bagi Pandan Wangi, Gupita pernah dikenalnya lebih dahulu, sehingga pahatan yang ada di dinding jantungnya, agak lebih dalam dari adiknya yang menyusul kemudian.
Sekilas bahkan terbayang seorang anak muda yang bertubuh raksasa, Wrahasta. Anak muda yang malang itu sama sekali tidak berhasil menggetarkan hatinya, meskipun di saat terakhir ia terpaksa menganggukkan kepalanya, Pandan Wangi sama sekali tidak menyangka, bahwa anggukan kepela itu, anggukan yang hanya dilakukannya sekali, telah membekas pula di dalam hatinya.
“Seandainya saat itu Wrahasta dapat ditolong,” pertanyaan itu pun selalu mengejarnya, “apakah yang akan aku lakukan.”
Kini ia dihadapkan pula pada persimpangan jalan.
“Tetapi kedua-duanya adalah kakak-beradik, meskipun menurut dugaanku hanya sekedar kakak-beradik seperguruan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
Namun demikian sudah barang tentu, Pandan Wangi tidak akan dapat mempertentangkan keduanya. Kini Gupita datang kepadanya, menyatakan perasaan yang tersimpan di dalam hati, tapi hati adiknya. Gupala.
Pandan Wangi memang menjadi bingung. Ia tidak tahu, manakah yang lebih menggembirakan hatinya. Apakah Gupita menyatakan perasaannya sendiri, atau seperti yang dilakukannra kini.
Gupita pun menjadi semakin gelisah karenanya. Bahkan kadang-kadang jantungnya serasa berhenti mengalir. Ketika Pandan Wangi duduk tertunduk, tanpa sesadarnya, dipandanginya gadis itu. Dalam sekilas, kenangannya langsung melontar ke Sangkal Putung. Tanpa dikehendakinya sendiri, Gupita pun mulai membandingkan kedua gadis itu.
“Pandan Wangi mempunyai banyak kelebihan,” terdengar kata-kata itu terlonjak di dasar hatinya. “Anak ini mampu bermain pedang,” kata-kata itu terdengar terus, “tetapi ia sama sekali bukan seorang anak yang manja dan tinggi hati. Ia tahu benar kuwajibannya. Baik sebagai seseorang yang berpedang, maupun sebagai seorang gadis. Sambil menyandang pedang, Pandan Wangi berjongkok di muka api menanak nasi dan merebus air.”
Tetapi Gupita tergagap ketika tiba-tiba saja Pandan Wangi mengangkat wajahnya dan berpaling. Benturan pandangan mata mereka, membuat keduanya menjadi gemetar.
Untuk mengusir kesan yang tersirat di wajahnya, Gupita berkata dengan gugup, “Bagaimana, Wangi. Aku sudah mengatakan apa yang harus aku katakan. Sekedar pesan Gupala.”
Pandan Wangi masih belum menjawab. Tatapan matanya yang membentur pandangan Gupita itu pun segera dilemparkannya jauh-jauh ke tengah-tengah sawah yang tidak terpelihara itu. Namun demikian serasa jantungnya berdenyut semakin cepat, sehingga dadanya seakan-akan menjadi pepat.
Gupita masih saja berdiri tegak di belakang Pandan Wangi. Tetapi kini ia tidak berani menatap rambut yang hitam yang bergerak-gerak dibelai angin. Apabila sekali lagi Pandan Wangi berpaling dan menatap matanya, mungkin ia akan terbungkam untuk selanjutnya.
“Kau belum menjawab, Pandan Wangi,” desak Gupita yang gelisah.
Pandan Wangi menark nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk menenangkan hatinya yang bergolak. Karena ia tidak segera menemukan jawaban, maka tiba-tiba saja ia bertanye, “Siapakah kalian sebenarnya?”
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Gupita, sehingga kini ia-lah yang tidak segera dapat menjawab.
“Aku akan menjawab pertanyaanmu apabila aku tahu pasti, siapakah sebenarnya kalian. Siapakah kau, siapakah Gupala, dan siapakah gembala tua itu.”
Gupita masih tetap berdiam diri. Kegelisahannya menjadi semakin meningkat. Sementara itu Pandan Wangi masih saja duduk memandang ke kaki langit di kejauhan.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Hanya desah nafas dan detak jantung masing-masing sajalah yang terdengar di sela-sela desir angin.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gamerisik di seberang jalan di belakang mereka, sehingga dengan gerak naluriah mereka meloncat berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Yang telah mereka lupakan itu tiba-tiba kini berada di hadapan mereka. Enam orang dengan senjata telanjang di tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah seorang anak yang masih sangat muda. Namun dengan tangkasnya ia merundukkan pedangnya sambil berkata lantang, “Tak ada gunanya kalian melawan.”
Pandan Wangi terkejut bukan kepalang. Tanpa sesadarnya ia memekik, “Prastawa. Kaukah itu?”
Anak yang masih terlampau muda itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku, Kenapa?”
“Aku baru saja datang mengunjungi bibi. Kau sangat ditunggu oleh bibi, dan bahkan oleh paman.”
Tiba-tiba saja tenak itu tertawa. Suara tertawanya meninggi dan menyakitkan hati.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia melihat perubahan yang tajam pada adik sepupunya itu.
“Apakah ini putera Ki Argajaya?” Gupita berbisik.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Gupita tidak bertanya lagi. Tetapi ia harus mempunyai cara yang disesuaikan dengan lawan yang dihadapinya.
“Aku sekarang tidak dapat mempercayai siapa pun. Kau juga tidak,” berkata anak muda itu lantang. “Aku hanya percaya kepada diriku sendiri.”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi ia mencoba mengenal kawan-kawan adik sepupunya itu seorang demi seorang.
“Semula aku tidak menyangka bahwa kaulah yang lewat berdua di jalan ini. Aku kira kau berdua adalah sebangsa cucurut penjilat yang memuakkan, sehingga aku memutuskan untuk membunuh saja kalian berdua dan kubawa kepalamu sebagai pangewan-ewan ke padepokan kami. Tetapi aku tertegun ketika aku mengenal kau. Aku menjadi ragu, apakah aku akan membunuhmu atau tidak. Namun agaknya keadaanmu yang memuakkan pula itu telah mendorong aku untuk meneruskan rencana ini. Kau sudah bercumbu dengan orang asing ini. Tanpa malu-malu kau sudah melakukan perbuatan tercela di tengah jalan meskipun kau yakin bahwa jalan ini terlampau sepi. Seandainya yang menemukan kau bukan aku, tetapi para perondamu sendiri pun, kau akan dicela dan ditandai dengan noda hitam di keningmu. Apalagi kau puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang hampir mati itu.”
“Prastawa,” suara Pandan Wangi menyentak, “jangan salah sangka. Seharusnya kau bertanya, apa yang sedang aku lakukan.”
“Kenapa aku harus bertanya? Aku sudah melihat apa yang terjadi. Kau menyesali dirimu sendiri, sehingga kau menangis. O, kau sudah menodai nama baik Tanah Perdikan ini. Karena itu, kalian berdua harus mati.”
“Apa yang harus aku sesali?” bertanya Pandan Wangi lantang.
“Tentu tentang dirimu sendiri. Tetapi yang sudah teranjur itu tidak akan dapat kau perbaiki. Apakah aku harus mengatakan? Apakah aku harus menunjuk percikan lumpur di wajahmu. He, apa yang kalian kerjakan di semak-semak perdu itu? Lalu kenapa kau menangis? Jelas?”
“Prastawa!” Pandan Wangi hampir menjerit. “Kau sudah kehilangan nalar.”
Tetapi anak muda itu tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, “Sebagai seorang adik, aku malu sekali mempunyai kakak perempuan seperti kau. Sebagai orang Menoreh, aku merasa tersinggung, bahwa kau sudah menyerahkan dirimu pada orang asing, dan sebagai putera ayah, Ki Argajaya, aku memang harus nembalas dendam.”
Tiba-tiba tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Tuduhan yang terlampau keji itu telah mendidihkan darahnya, sehingga hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang gadis, ia tersinggung sekali oleh kata-kata adik sepupunya. Apalagi semuanya itu tidak benar sama sekali.
“Prastawa,” berkata Pandan Wangi dengan suara gemetar, “kau jangan asal berbicara saja. Kau salah sama sekali. Tidak terjadi apa pun di sini.”
Tetapi suara tertawa anak itu benar-benar menyakitkan hati.
Dalam pada itu, Gupita agak lebih mengendalikan perasannya daripada Pandan Wangi, karena Gupita bukan seorang gadis. Kini justru ia berhasil mengatur detak jantungnya yang semula berdentangan di dadanya.
“Ki Sanak,” ia mencoba berkata sareh, “Pandan Wangi memang menitikkan air mata. Tetapi sama sekali tidak seperti yang kau duga. Kami berdua baru saja datang mengunjungi ibumu dengan maksud yang sebaik-baiknya. Semula ibumu tidak dapat menerima kami, namun perlahan-lahan ia dapat menyadari keadaannya.”
“Omong kosong!”
“Tunggu, aku belum selesai,” potong Gupita. “Namun sebuah penyesalan yang dalam telah mengganggu perasaan Pandan Wangi, karena usahanya untuk membawamu menghadap Ki Argajaya gagal.”
“O,” anak muda itu berteriak, “jangan kalian sangka aku anak kecil yang masih ingusan. Sekarang jangan banyak bicara. Tindakan kalian telah menodai Tanah Pendikan Menoreh. Kalian telah membuat tanah di sekitar tempat ini menjadi sangar dan gersang. Karena itu, tebusannya adalah darah kalian. Kalau darah kalian berhasil menyiram tanah ini, maka tanah ini akan menjadi subur kembali. Dosa kalian sudah kalian tebus dengan darah merah kalian.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Anak ini agaknya sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.
“Ayo kawan-kawan,” berkata anak muda itu, “kita selesaikan saja orang-orang ini.”
“Tunggu,” berkata Gupita, “aku tidak menyangka bahwa kau dapat berbuat demikian. Ketika kami melukai Ki Peda Sura, kau agaknya masih dapat berpkir bening. Kau waktu itu bersikap sebagai seorang adik yang baik. Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau sudah berubah?”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam dan merenungkan kata-kata Gupita itu. Namun dalam pada itu seorang yang bertubuh tinggi kurus berdesis, “Jangan hiraukan. Mereka sekedar ingin dihidupi.”
Anak yang masih sangat muda itu berpaling. Ditatapnya wajah orang yang tinggi kurus itu sejenak. Dan orang yang tinggi kurus itu masih berkata terus, “Bukankah setiap orang Menoreh akan berkata demikian apabila maut telah menyentuhnya? Itu semua hanya omong kosong. Kalau kesempatan itu datang, maka kaulah yang akan dibunuhnya.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan sejenak kemudian terdengar suara tertawanya mengejutkan. Katanya lantang, “Ya. ya. Kau benar. Hampir saja aku tertipu oleh orang ini.”
Tetapi Gupita masih tetap berhasil menguasai perasaannya. Katanya, “Apakah setiap orang akan berkata kepadamu bahwa kau pernah mempertahankan namanya di hadapan pasukanmu sendiri? Tetapi itu benar-benar kau lakukan atas kakakmu Pandan Wangi. Bukankah kau saat itu tampak bertengkar dengan pimpinan pasukanmu karena pemimpinmu itu menghina Pandan Wangi justru karena Pandan Watutgi berhasil melukai Ki Peda Sura?”
Sekali lagi anak yang masih terlampau muda itu berkerut-merut. Tetapi sekali lagi orang yang tinggi kurus itu berkata, “Kau sudah dipengaruhinya. Kau sudah mulai menyentuh getah yang akan dapat menjeratmu. Berusahalah untuk melepaskan diri. Buat apa kita berbicara terlampau banyak? Kalau keduanya sudah mati maka kau akan berkesempatan mempertimbangkan kebenaran kata-kataku. Apalagi keduanya telah membuat Tanah ini menjadi sangar dan gersang karena tindakannya yang tidak tahu malu.”
“Ya, ya. Aku mengerti. Kau memang benar. Orang-orang ini harus dibunuh.”
“Apakah kau meyakini kata-kata orang kurus yang sedang berputus asa itu,” tiba-tiba Gupita menyela.
“Jangan hiraukan. Bunuh saja,” teriak yang kurus.
“Dengar. Kata-katanya tidak menentu,” sahut Gupita. “Kalau ia tidak sedang berputus asa, ia pasti mau mendengarkan kata-kataku.”
“Omong kosong! Kau sedang dipengaruhi. Kedua orang itulah yang sedang berputus asa.”
“Tentu tidak,” berkata Gupita. “Bukan kami yang berputus asa. Kami yakin akan kemampuan kami. Ki Peda Sura dapat kami kalahkan. Siapa lagi?”
“Tetapi kami bukan Ki Peda Sura. Ki Peda Sura pun tidak akan mampu melawan kami berenam,” berkata orang yang kurus itu. “Sekarang jangan berbicara lagi. Berdoalah, supaya arwahmu tidak tersesat ke api neraka.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang tinggi kurus ini sangat berpengaruh atas putera Ki Argajaya, sehingga anak muda itu hampir tidak berkesempatan untuk merenungkan dirinya sendiri.
Karena itu maka ia berkeputusan, apabila keadaan terpaksa, maka orang yang tinggi kurus ini harus di pisahkan dari putera Ki Angajaya itu.
Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak sempat untuk berbicara lagi. Orang-orang itu sudah siap untuk menyergap mereka dengan senjata masing-masing
“Tidak ada jalan lain,” bisik Gupita, “kita memang harus membela diri.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang anak itu.”
“Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
“He,” teriak orang yang tinggi kurus ini, “apa yang kau katakan?”
“Kami sedang membicarakan kau. Dan kami berkeputusan untuk memisahkan kau dari putera Ki Argajaya. Hari depannya masih panjang dan penuh harapan. Agaknya kau memang sudah meracuninya perlahan-lahan, sehingga anak itu tidak mau kembali kepada ibu dan ayahnya.”
“O, jangan mengigau,” oramg yang tinggi kurus itu tiba-tiba saja sudah menyerang. Ternyata ia tangkas juga menggerakkan pedangnya. Yang pertama-tama menjadi sasarannya adalah Gupita.
Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain pun segera berloncatan menyerang pula. Beberapa orang bergeser mengambil arah yang yang lain. Tetapi Pandan Wangi pun tidak tinggal diam. Segera ia meloncat menjauhi Gupita, sedang sepasang pedangnya pun telah berada di dalann genggaman.
Seperti yang sudah mereka duga, bahwa mereka masing-masing akan berhadapan dengan tiga orang. Ternyata putera Ki Argajaya itu memilih Gupita sebagai lawannya. Ada sesuatu yang menahannya untuk bertempur melawan kakak sepupunya itu.
Gupita pun harus menarik senjatanya pula. Anak muda itu cukup lincah. Pedangnya berputaran di antara kedua senjata kawan-kawannya.
Sejenak kemudian menggeletarlah suara cambuk Gupita memenuhi udara. Suaranya serasa tidak segera mau lenyap dari pendengaran. Suara iu seakan-akan berdesing-desing seperti lebah yang terbang di sekitar lubang telinga.
Tetapi lawan-lawannya ternyata orang-orang yang keras hati. Dengan sepenuh kemampuan mereka menyerang Gupita dari segala arah.
Namun bagi Gupita sendiri, orang yang kurus itulah yang menjadi sasaran utamanya. Ia harus dipisahkan dari putera Ki Argajaya.
Dengan demikan, maka ujung cambuk Gupita seolah-olah selalu mengejarnya. Kemana ia meloncat, terasa ujung cambak itu selalu mengikutinya
“Setan alas!” ia menggeram. Tetapi ia tidak berdaya. Ujung cambuk itu benar-benar selalu mengejar.
Orang yang tinggi kurus itu sudah berusaha untuk menebas ujung cambuk Gupita dengan pedangnya. Tetapi ia sama sekali tidak berhasil. Menyentuh pun terlampau sulit baginya, karena ujung cambuk itu menyambar kemudian meledak dan seolah-olah meloncat menjauh dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan. Secepat kilat yang berloncatan di langit.
Semakin lama orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa ia benar-benar terancam.
Terhadap lawan-lawannya yang lain Gupita seakan-akan hanya sekedar membela dirinya. Ia hanya sekedar menghindar dan kadang-kadang menghalau mereka menjauh. Tetapi terhadap yang tinggi kekurus-kurusan ini senjatanya benar-benar menyerang. Ketika ujung cambuknya berhasil menyentuh kulit orang yang kekurus-kurusan itu, maka terdengarlah keluhan yang tertahan. Bukan saja lengan bajunya yang sobek karenanya, tetapi ternyata kulitnya pun terkelupas pula sehingga darahnya segena mengalir memerahi pakaiannya.
“Setan alas!” ia mengumpat pula.
Namun ujung cambuk Gupita tidak juga berpindah daripadanya. Apalagi putera Ki Argajaya yang masih sangat muda itu. Meskipun ia tidak kalah lincah dan berbahaya dari kawan-kawannya, namun Gupita seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh menyerangnya.
Tiba-tiba orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa Gupita benar-benar ingin membinasakannya, seperti yang sudah dikatakatanya, memisahkannya dari putera Ki Argajaya. Karena itu, maka ia merasa terancam untuk tetap berkelahi melawan Gupita. Dengan demikian maka tiba-tiba ia meloncat surut dan berpindah ke lingkaran perkelahian yang lain sambil menyuruh seorang kawannya menggantikan tempatnya.
“Huh, kalian tidak segera berbasil menyelesaikan perempuan ini,” katanya. “Tahanlah dahulu anak dungu itu. Aku akan menyelesaikannya. Kemudian kita bantai bersama-sama kawan laki-lakinya itu.”
Kawannya sama sekali tidak berprasangka apa pun. Ia pun segera meninggalkan Pandan Wangi dan bergabung dalam lingkaran perkelahian yang lain, bersama putera Ki Argajaya.
Melihat kehadiran orang yang tinggi kurus itu Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Gupita, bahwa orang inilah agaknya yang telah meracuni jiwa adiknya.
Terngiang di telinganya suara Gupita, “Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan daripadanya.”
Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Agaknya memang orang inilah yang selama ini telah menghasut adik sepupunya, sehingga adiknya itu seakan-akan menjadi liar.
Sejenak kemudian maka kedua ujung pedang Pandan Wangi pun seakan-akan selalu mengitari tubuh orang itu. Pandan Wangi tidak lagi menaruh minat kepada kedua lawannya yang lain. Seperti Gupita ia hanya sekedar menghindar dan menangkis serangan kedua lawan-lawannya yang lain, tetapi serangan-serangannya dipusatkannya kepada orang yang tinggi kurus itu.
Sesaat setelah orang yang tnggi kurus itu bergabung dalam lingkaran pertempuran yang baru, ia belum merasakan tekanan ujung pedang Pandan Wangi. Tetapi sejenak kemudian, orang itu terpaksa mengumpat-umpat lagi. Di dalam hatinya ia berkata, “Setan betina ini pun agaknya memusatkan serangannya kepadaku.”
Semula orang yang tinggi itu bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, kenapa serangan-serangan lawannya dipusatkannya kepadanya. Tidak kepada orang lain, dan tidak kepada putera Ki Argajaya. Namun akhirnya ia menyadari dirinya. Kedua orang itu memang menganggap dirinya sebagai penghasut atas putera Ki Argajaya, sehingga anak itu benar-benar berniat ingin membunuh mereka. Dengan demikian maka kedua orang itu pasti mendendamnya.
Satu hal yang tidak diduganya, bahwa kedua orang itu mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga masing-masing mampu bertahan atas tiga orang sekaligus.
“Tetapi sebentar lagi tenaga mereka pasti akan segera susut,” orang yang tinggi kurus itu mencoba menenteramkan hatinya yang sudah mulai gelisah.
Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Meskipun masing-masing harus berkelahi melawan tiga orang, namun ternyata mereka berdua memang mempunyai kemampuan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
Sepeninggal orang yang tinggi kurus itu Gupita merasa seakan-akan kehilangan sasaran. Karena itu, maka seolah-olah ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh. Ia hanya sekedar berusaha menyelamatkan dirinya dari ujung-ujung senjata lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk meugurangi jumlah lawannya itu dengan kematian apalagi putera Ki Argajaya. Ia memang ingin membuat kesan bahwa apa yang dikatakan itu memang benar-benar bermaksud baik.
Namun dalam pada itu, orang yang tinggi kurus itu sudah mandi keringat di seluruh tubuhnya. Bukan saja ia menjadi semakin gelisah, tetapi ternyata ia benar-benar telah hampir kehilangan akal. Ujung-ujung pedang Pandan Wangi seakan-akan mempunyai mata yaag tajam, yang dapat melihat ke mana pun ia menghindar.
Ia terlontar surut sambil menyeringai ketika segores luka telah menyobek pundaknya. Sambil mengumpat-umpat ia meraba-raba pundaknya yang terluka itu. Ketika terpandang olehnya jari-jarinya sendiri hatinya berdesir tajam. Warna merah yang tajam telah membasahi tangannya.
“Setan alas! Apakah hanya aku yang mereka anggap lawan,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Sejenak ia dihinggapi oleh penyesalan, bahwa ia telah dengan terus terang menghasut putera Ki Argajaya, sehingga orang-orang itu langsung dapat menilai dirinya.
“Tetapi aku tidak menyangka bahwa mereka dapat bertahan,” katanya di dalam hati.
Kini, mau tidak mau ia harus bertempur. Tetapi ia terdesak dalam keadaan sekedar membela diri.
Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan serunya, dua pasang mata mengawasi pertempuran itu dengan tajamnya. Yang seorang dengan wajah yang tegang dan merah padam oleh kemarahan yang serasa menyesakkan dadanya.
“Guru, bukankah kita mendengar apa yang dikatakan oleh anak yang masih sangat muda itu, bahwa keduanya telah melakukan pelanggaran yang memalukan?”
“Jangan percaya,” jawab yang lain.
“Kenapa?”
“Kita dapat menemui mereka, dan bertanya sebaik-baiknya.”
Sejenak mereka terdiam, seolah-olah terpukau oleh pertempuran yang menjadi semakin seru. Sambil menahan nafas mereka menyaksikan senjata baradu dan gemeletarnya cambuk Gupita. Di dalam hati keduanya mengakui bahwa Gupita memang seorang yang pilih tanding.
Tetapi gadis kawannya bertempur itu pun mempunyai banyak kelebihan dari lawan-awannya. Ia mampu melawan tiga orang tanpa menemui kesulitan apa pun. Bahkan ia masih juga dapat melukai orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
“Aku tidak sabar lagi,” desis yang seorang.
“Dengarlah kata-kataku,” sahut yang lain, gurunya, “kau tidak perlu berbuat sesuatu. Kita dapat menunggu sampai perkelahian itu berakhir.”
“Aku tidak sabar lagi, Guru.”
“Kau diombang-ambingkan oleh perasaanmu. Pergunakanlah nalarnmu.”
Orang itu menggerarn. Tetapi wajahnya justru menjadi semakin tegang.
“Aku mengharap kedua orang itu berhasil mengalahkan lawan-lawannya,” gumamnya.
“Tentu, menilik perhitunganku, mereka akan menang.”
“Dan aku mendapat kesempatan untuk berperang tanding.”
“Kau harus mencoba mengendalikan diri.”
Muridnya tidak menjawab. Tetapi sorot matanya. masih saja menyala seperti api yang tersiram minyak.
Pertempuran itu sendiri memang berlangsung semakin seru. Gupita dan Pandan Wangi berhasil menekan lawan-lawan mereka, sehingga keenam orang itu sama sekali sudah tidak mampu untuk besbuat apa-apa. Apalagi orang yang tinggi kekurus-kurusan itu. Lukanya semakin lama menjadi semakin banyak.
“Kau adalah sumber malapetaka yang menimpa adikku,” desis Pandan Wangi. “Aku kira akan lebih baginya kalau kau tidak mengganggunya lagi untuk seterusnya.”
Orang itu pun menggeram pula. Tetap ia benar-benar sudah tidak berpengharapan. Meskipun demikian ia masih juga melawan bersama-sama dengan kawan-kawannya.
Putera Ki Argajaya pun kemudian harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Kawannya yang tinggi kekurus-kurusan itu sudah terluka. Sedang kawan-kawannya yang lain sama sekali tidak berdaya melindunginya.
Dengan demikian ia pun mulai ragu-ragu. Kalau ia bersama kawan-kawannya meneraskan perlawanan, maka hampir tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan dapat mempertahankan diri. Kalau mereka gagal, dan apalagi berhasil ditangkap, maka nasibnya akan menjadi terlampau jelek. Bukan karena takut digantung di alun-alun, tetapi untuk menjadi tontonan adalah sama sekali tidak menarik.
Karena itu maka putera Ki Argajaya itu pun segera membuat pertimbangan-pertimbangan. Ia memang melihat beberapa keanehan di dalam pertempuran itu. Lawannya agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk menyerangnya atau sama sekali membinasakannya. Orang yang bersenjata cambuk itu seperti orang yang hanya sekedar membela dirinya saja, Betapapun beratnya. Hanya kadang-kadang saja ia berusaha menyerang lawan-lawannya, untuk mengurangi tekanan-tekanan ketiga ujung senjata yang kadang-kadang berbareng mematuknya.
Apalagi apabila dilihatnya kawan-kawannya pun sama sekali sudah tidak banyak berdaya.
Karena itu akhirnya, dengan pahit anak muda itu harus mengakui keunggulan lawannya kali ini. Biasanya dengan penuh kebanggaan mereka membinasakan siapa pun yang dapat mereka jumpai di tegah-tengah bulak yang panjang itu. Namun kali ini keadaan menjadi sangat berbeda. Dua orang lawannya itu, dengan mudahnya mampu mendesak enam orang kawan-kawannya yang terpilih.
“Tidak ada jalan lain,” katanya di dalam hati, “lari adalah jalan yang jauh lebih baik dari digantung di alun-alun.”
Akhirnya keputusan itu jatuhlah. Putera Ki Argajaya itu tidak sempat minta pertimbangan kepada kawannya yang tinggi kekurus-kurusan, karena ia sendiri masih terlampau sibuk dengan ujung cambuk Gupita, sedang kawan-kawannya selalu saja digantungi oleh nasib mereka masing-masing. Apalagi kawannya yang tinggi kurus itu.
Dengan demikian, maka anak muda itu pun segera memberikan isyarat sehingga kawan-kawannya segera mengerti, mereka harus melarikan diri.
Tidak seorang pun yang merasa berkeberatan untuk melakukan perintah iu. Dengan demikian, maka sekejap kemudian, mereka pun telah berloncatan meninggalkan arena.
Tetapi baik Gupita mau pun Pandan Wangi merasa berkeberatan apabila orang yang tinggi kurus itu meninggalkan arena pula bersama kawan-kawannya. Karena itu, hampir berbareng keduanya memburu. Mereka hampir tidak menghiraukan lagi kelima orang yang lain, juga putera Ki Argajaya. Di dalam hati keduanya, baik Pandan Wangi maupun Gupita, berpendapat bahwa apabila orang yang tinggi kurus ini tidak lagi berada bersama-sama dengan anak yang masih terlampau muda itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menilai segala perbuatannya. Mungkin ia akan segera teringat kepada ibunya atau sanak saudaranya. Dengan demikian maka menjinakkan anak itu akan menjadi jauh lebih mudah daripada sekarang.
Untuk menangkapnya dengan kekerasan agaknya baik Pandan Wangi maupun Gupita masih belum sampai hati. Mereka sadar, bahwa apabila anak muda itu diperlakukan demikian, maka hatinya pasti akan benar-benar patah, dan tidak akan dapat disambungkannya lagi. Seperti ayahnya, anak muda itu agaknya keras hati dan harga dirinya sama sekali tidak mau tersentuh sama sekali.
Dengan demikian, maka tanpa berjanji lebih dahulu, Pandan Wangi dan Gupita telah bersama-sama berusaha untuk menghentikan orang yang tinggi kurus itu.
Dengan sekuat-kuat tenaganya, orang itu mencoba untuk melepaskan dirinya. Ia merasa, bahwa pusat perhatian lawan-lawannya ditujukan kepadanya. Karena itu, maka ia harus mencoba untuk lari sekuat-kuatnya.
Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat untuk menyusulnya. Tiba-tiba saja terasa kaki orang yang tinggi kurus itu seperti terkait sesuatu, sehingga ia kehilangan keseimbangannya. Tiba-tiba saja ia telah terlempar dan jatuh terjerambab. Ternyata ujung cambuk Gupita telah membelit pergelangan kakinya.
Baik Gupita maupun Pandan Wangi memang berusaha untuk menangkapnya. Tetapi sama sekali tidak untuk membunuhnya. Menurut perhitungan mereka, orang yang tinggi kurus itu akan dapat menjadi sumber keterangan, di mana dan sampai seberapa jauh orang-orang yang keras kepala itu mengadakan pemusatan-pemusatan kekuatan.
Tetapi nasib yang malang sama sekali tidak dapat ditolak. Ketika orang yang tinggi kurus itu terlempar dan jatuh menelungkup, maka ujung senjatanya sendiri telah terhunjam ke dalam perutnya. Sejenak ia masih menggeliat, namun sejenak kemudian orang itu telah terdiam untuk selama-lamanya.
Pandan Wangi dan Gupita saling berpandangan sejenak. Mereka hampir-hampir telah terlupa kepada orang-orang lain yang berlari semakin lama semakin jauh.
“Aku tidak sengaja,” desis Gupita.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupita memang tidak sengaja. Karena itu katanya, “Agaknya memang sudah menjadi batas hidupnya. Orang itu harus mengakhiri hidupnya dengan senjatanya sendiri.”
“Meskipun caranya agak berbeda dengan Arya Penangsang,” desis Gupita.
Pandan Wangi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak berhasil kali ini,” desis Pandan Wangi sambil menyarungkan senjatanya, “tetapi aku mengharap bahwa anak itu akan mendapat kesempatan untuk menilai dirinya sendiri.
“Sayang orang ini terbunuh,” berkata Gupita kemudian. “Kalau tidak, kita akan banyak mendapat keterangan.”
“Sudahlah. Bukan salah kita. Kita akan memberitahukan kepada para peronda untuk merawat mayat itu.”
“Tetapi mereka harus berhati-hati.”
“Ya, mereka harus datang dalam jumlah yang cukup.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Sekarang kita akan kembali.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika tampak olehnya wajah Gupita yang ragu-ragu, maka ia pun segera menundukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati kuda-kuda mereka. Tetapi mereka tidak saling berbicara apa pun. Gupita yang merasa bahwa ia belum menyampaikan pesan Gupala seluruhnya menjadi kecewa. Tetapi suasananya sudah menjadi rusak sama sekali karena kehadiran orang-orang yang berputus asa dan berbuat tanpa tujuan itu.
“Tetapi aku sudah mengatakan sebagian,” katanya di dalam hati, “sehingga lain kali aku hanya tinggal menanyakan jawabnya.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang sudah dikatakannya. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya, “Aku belum memintanya untuk Gupala. Aku belum mengatakan pokok persoalannya.” Ia berkata pula di dalam hatinya, “Tetapi Pandan Wangi sudah dapat menangkap maksudku. Dan ia sudah mengerti.”
Gupita terperanjat ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya, “Apakah kita terus pulang ke rumah?”
Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ya. Kita pulang. Tetapi persoalan kita, maksudku persoalan yang dititipkan Gupala kepadaku masih belum selesai.”
Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.
Adalah di luar dugaan sama sekali, bahwa tiba-tiba keduanya mendengar pula gemerisik dedaunan di belakang mereka. Serentak mereka berbalik dan siap menghadapi kemungkinan apa pun yang bakal datang.
Tetapi darah Gupita tiba-tiba saja serasa berhenti mengalir ketika ia melihat seseorang berdiri di hadapannya. Seeorang yang berpakaian seperti seorang laki-laki. Tetapi dalam sekilas Gupita langsung dapat mengenalnya, bahwa ia bukan seorang laki-laki.
Apalagi ketika ia melihat di tangan orang itu tergenggam sebatang tongkat baja putih, dengan sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan pada pangkalnya.
“Inikah Agung Sedayu yang pernah aku kenal dahulu?” terdengar orang itu berdesis.
Sejenak Gupita membeku diam di tempatnya. Ditatapnya orang itu dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.
“Apakah kau melihat sesuatu yang lain padaku?” ia bertanya.
Gupita masih tetap membisu.
“Inikah puteri kepala Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa itu, dan bernama Pandan Wangi?”
Gupita masih tetap berdiam diri, sedang Pandan Wangi menjadi terheran-heran melihat orang itu. Seperti Gupita ia pun segera mengenal bahwa orang itu sama sekali bukan seorang laki-laki.
“Adalah pantas sekali bahwa puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh telah menggemparkan seluruh tlatah Pajang. Kini aku melihat sendiri, betapa ia mampu melawan tiga orang laki-laki sekaligus.”
Pandan Wangi menjadi semakin heran. Ia sama sekali tidak merasa bahwa namanya pernah dikenal orang sampai di luar tlatah Menoreh. Namun ia merasa, kata-kata itu sekedar suatu kata-kata sindiran yang mengungkat kemarahannya.
“Namun sayang,” berkata orang bertongkat itu, “kebesaran namanya sama sekali tidak diimbanginya dengan keluhuran trapsila seorang wanita.”
Pandan Wangi menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang dimakud oleh orang itu. Sekilas ia teringat kepada orang-orang yang baru saja melarikan diri. Apakah orang ini termasuk salah seorang dari mereka?
“He, kenapa kalian membeku seperti patung?” orang itu hampir berteriak. “Kenapa? Dan inikah hasil perjalananmu, Agung Sedayu?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia yakin siapakah yang dihadapinya, meskipun tongkat baja putih itu semula telah membingungkannya. Tetapi tidak salah lagi, sehingga karena itu ia berdesis, “Sekar Mirah.”
“Nah, kau masih ingat aku? Aku adalah Sekar Mirah.”
“Tetapi kenapa kau tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang dapat menyakitkan hati Pandan Wangi?” Gupita masih agak ragu.
“O, kau membelanya? Aku memang sudah yakin, bahwa kau pasti akan membelanya.”
“Tunggu, Sekar Mirah. Biarlah aku berbicara.”
“Tdak ada yang dibicarakan, dan aku pun tidak akan berbicara apa pun. Aku hanya akan sekedar menyatakan sakit hati yang hampir tidak tertahankan. Merendahkan derajat wanita adalah perbuatan yang paling terkutuk.”
Pandan Wangi yang mendengar tuduhan-tuduhan itu tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga karena itu ia menggeram, “Apa maksudmu? Dan siapakah kau?”
“Kau sudah meadengar namaku disebut. Aku Sekar Mirah. Tetapi kau tidak perlu tahu lebih banyak tentang aku. Kau bukan seorang gadis yang pantas untuk dibawa bersahabat.”
“Diam!” Pandan Wangi benar-benar tidak dapat menahan perasaannya lagi. Selangkah ia maju, “Apakah kau termasuk salah seorang upahan dari gerombolan yang keras kepala, yang baru saja kami usir dari tempat ini?”
“Tunggu. Tunggu!” Gupita berteriak sekeras-kerasnya. Pertemuan yang aneh dan tiba-tiba ini sudah membuat kepalanya menjadi pening. Katanya kemudian, “Kalian salah paham. Dengarlah. aku akan memberikan penjelasan.”
“Tidak ada yang harus aku dengar. Aku hanya sekedar ingin mengatakan sesuatu yang menyekat dadaku. Sekarang dadaku terasa sudah lapang, dan aku akan pergi.”
“Nanti dulu.”
“Jangan menahanku.”
“Tidak!” Pandan Wangi-lah yang berteriak. “Kau menghina aku. Aku harus mendapat penjelasan, apa yang telah kau lakukan itu. Aku bukan seseorang yang begitu saja membiarkan diriku direndahkan, meskipun kadang-kadang aku dapat juga menahan diri. Tetapi tuduhanmu terlampau menyakitkan hati.”
“Aku memang ingin membuat kau sakit hati, seperti hatiku yang pedih saat ini. Aku tidak dapat membiarkan aku tersiksa sendiri, sedang kau sambil tertawa-tawa menikmati kesegaran tindakanmu yang memalukan itu.”
“Apa yang sudah aku lakukan? Apa?”
“Persetan! Sekarang aku akan pergi. Aku tidak peduli lagi kepada kalian.”
“Tidak!” sahut Pandan Wangi yang meloncat semakin maju. “Kau tidak dapat pergi sebelum kau memberi penjelasan. Kau sudah menghina aku. Dan aku tidak akan membiarkan diriku kau hinakan tanpa mengetahui persoalannya. Kalau aku memang bersalah, mungkin aku dapat mengerti dan tidak akan bersakit hati. Tetapi dalam keadaan serupa ini, aku tidak mau.”
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Tetapi suara tertawanya meninggi dan berkepanjangan. Benar-benar menyakitkan hati.
Namun justru Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya sambil hergumam, “Sekarang aku sudah mendapat gambaran, dengan siapa aku berhadapan.”
Suara tertawa Sekar Mirah tiba-tiba terputus. Dengan serta-merta ia bertanya, “Dengan siapa kau berhadapan?”
“Seorang perempuan yang paling tidak tahu diri yang pernah aku temui. Suara tertawamu mirip dengan suara tertawa Ki Peda Sura, atau barangkali kau muridnya?”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
“Kalian ternyata telah menjadi semakin jauh terlibat ke dalam kesalahpahaman. Aku akan menjelaskan, siapakah kalian masing-masing,” potong Gupita.
Tetapi Sekar Mirah menggeleng. “Tidak perlu. Kau hanya akau menambah hatiku menjadi semakin parah.”
“Tidak. Tetapi kau tidak mengerti.”
“Gupita,” berkata Pandan Wangi, “kau kenal perempuan binal ini? Biarlah ia di sini. Aku ingin mengenalnya lebih banyak lagi.”
“Kau keliru, Pandan Wangi.”
“Tidak. Seperti perempuan ini yakin tentang diriku sebelum ia mengenalku, aku pun yakin tentang dirinya sebelum aku mengenalnya.”
“Kalian adalah gadis-gadis yang paling bodoh yang pernah aku temui,” akhirnya Gupita pun menjadi jengkel. “Kalian telah dibakar oleh perasaan kalian tanpa nalar. Kalau kalian mempunyai telinga, dengarkan aku akan berbicara.”
“Tidak perlu,” hampir berbareng Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjawab. Namun keduanya menjadi terkejut oleh jawaban itu.
“Kalau kalian tidak mau mendengar keterangan, apa yang akan kalian lakukan?”
“Aku hanya ingin mengenalnya lebih banyak,” sahut Pandan Wangi. “Kebinalan dan keliarannya memberi gambaran yang semakin jelas padaku.”
“Tutup mulutmu perempuan yang tidak tahu diri,” Sekar Mirah memotong.
Tetapi Pandan Wangi menyahut lebih keras, “Ini derahku. Aku dapat berbuat apa saja di sini. Aku dapat mengusir kau, dan menangkap kau dan dapat memperlakukan kau menurut kehendakku. Aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan.”
“Itu kalau kau mampu menangkap aku.”
“Aku akan mencoba dan membawamu kepada ayah. Aku mendapat sebuah permainan yang mengasyikkan. Barangkali kau dapat menjadi tontonan di halaman rumahku.”
Ketika Pandan Wangi melihat wajah Sekar Mirah menjadi merah, maka ia menjadi semakin mantap. Pandan Wangi sadar, bahwa Sekar Mirah pun sedang membuatnya marah. Karena itu, supaya ia tidak kehilangan keseimbangan, maka ia pun melakukan perbuatan yang serupa.
Akibatnya memang sudah dibayangkan oleh Gupita. Kedua gadis itu menjadi marah bukan buatan. Masing-masing masih saja berusaha mengungkat kemarahan dan sengaja menyinggung perasaan.
Tetapi akhirnya keduanya sama-sama tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ketika tongkat Sekar Marah bergetar di tangannya, maka Pandan Wangi pun telah menggenggam sepasang pedangnya.
“He, kalian telah gila!” Gupita berteriak.
Tetapi keduanya seolah-olah sudah tidak mendengar lagi. Sekejap kemudian keduanya sudah terlibat dalam perkelahian. Sekar Mirah bersenjata tongkat baja putih berkepala sebuah tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan, sedang Pandan Wangi mempergunakan sepasang pedangnya yang selama berkecamuknya api peperangan di atas Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
Gupita yang tidak herhasil melerai keduanya, akhirnya hanya dapat melihat perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Namun di sudut hatinya memang tumbuh pula keinginannya untuk melihat, apakah yang sudah dapat dilakukan oleh Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya.
Meski pun demikian Gupita tidak berani menjauhi arena. Kalau keadaan memaksa ia barus cepat bertindak. Ia tidak ingin salah seorang dari keduanya benar-benar tersentuh ujung senjata.
Ternyata Sekar Mirah benar-benar membuat Gupita tercengang. Dalam waktu yang singkat ia telah berhasil menyerap ilmu cabang perguruan tongkat baja putih itu.
“Satu-satunya kemungkinan adalah Paman Sumangkar,” desisnya di dalam hati.
Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin. seru. Gupita yang berdiri tidak begitu jauh dari arena perkeiahian itu segera melihat benturan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang diturunkan lewat Ki Argapati dan yang lain bersumber dari Ki Sumangkar.
Ketika tangan kedua gadis itu telah menjadi basah oleh keringat, maka mereka pun menjadi semakin bernafsu. Senjata-senjata mereka menjadi semakin cepat berputar. Sinar matahari yang semakin panas, memantul dari batang tongkat dan sepasang pedang Pandan Wangi. Berkilat-kilat seperti pancaran sinar yang berlompatan dari senjata-senjata itu.
Dengan dada berdebar-debar Gupita mengikuti perkelahian itu. Semakin lama terasa semakin tegang. Setiap kali ia menahan nafasnya, dan bahkan setiap kali ia melangkah maju. Kalau ia melihat serangan-serangan yang berbahaya, maka ia tidak dapat berdiri saja di tempatnya. Ia selalu berusaha berdiri di tempat yang memungkinkan ujung cambuknya mencapai kedua gadis yang sedang bertempur itu.
Agaknya kedua gadis itu menjadi semakin bersungguh-sungguh. Dengan kemarahan yang semakin membara di dada masing-masing, mereka telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada.
Namun dengan demikian maka keadaan mereka menjadi semakin berbahaya, karena ujung-ujung senjata mereka semakin lama menjadi semakin mendekati tubuh-tubuh lawan.
Kecuali Gupita, masih ada sepasang mata yang mengikuti perkelahian itu. Dari balik gerumbul yang rapat, orang itu berjongkok sambil mengintai dari celah-celah dedaunan.
Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Sekali wajahnya menjadi tegang, namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun ia masih saja tetap berada di tempatnya. Kadang-kadang ia memandang wajah Gupita yang semakin tegang pula. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat ujung cambuk di tangan Gupita yang setiap saat dapat meledak di antara dentang senjata yang beradu.
“Mudah-mudahan anak muda itu tidak berpihak,” berkata orang itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak ingin berpihak. Dengan susah payah ia menunggu kesempatan untuk melerai perkelahian itu. Namun setiap kali ia kehilangan kesempatan karena keduanya mampu bergerak begitu cepat dan lincah.
Sejenak Gupita teringat kepada cara Tohpati berkelahi. Selain tangkas, ayunan tongkat itu memang benar-benar berbahaya. Kalau Pandan Wangi lengah, maka benturan senjata mereka akan dapat mematahkan pedang tipisnya.
Namun untunglah bahwa Pandan Wangi menyadari akan hal itu. Itulah sebabnya, maka ia tidak pernah membentur senjata lawannya dengan langsung. Dengan kecakapannya mempergunakan pedangnya. Pandan Wangi selalu dapat menggeser arah senjata lawannya dengan sentuhan sisi, sehingga pedangnya tidak menjadi cacat karenanya. Apalagi patah.
Dalam pada itu, perkelahian itu menjadi semakin seru. Dalam puncak kemampuan masing-masing, kemudian dapat diketahui, baik oleh Gupita maupun oleh sepasang mata yang berada di balik dedaunan, bahwa Pandan Wangi memiliki pengalaman lebih banyak dari lawannya. Agaknya Pandan Wangi telah lebih matang menyerap ilmu Ki Argapati, sehingga semakin lama ia justru menjadi semakin mapan.
Berbeda dengan Sekar Mirah. Ia masih belum mampu mengungkapkan ilmu Ki Sumangkar sebaik-baiknya. Ketika gerak sepasang pedang Pandan Wangi menjadi semakin cepat, maka Sekar Mirah yang belum cukup lama mempelajari ilmunya, tampak agak menjadi bingung.
“Keseimbangan telah bergoncang,” desis Gupita di dalam hatinya, “perkelahian itu harus dihentikan sebelum salah seorang dari mereka merasa menang atau kalah. Jika demikian maka perkelahian ini akan mungkin membangkitkan dendam pada salah seorang dari mereka, atau bahkan kedua-duanya.” Gupita mengerutkan keningnya, “Tetapi bagaimana.”
Dalam pada itu perkelahian itu masih berlangsung terus. Namun semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa Pandan Wangi memang lebih banyak mempunyai pengalaman sehingga Sekar Mirah menjadi semakin sulit menghadapinya.
“Tidak dapat ditunda-tunda lagi,” pikir Gupita. Karena itu maka ia meloncat semakin dekat. Sementara itu cambuknya meledak dahsyat sekali beberapa jengkal saja dari keduanya.
Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah terkejut karenanya. Ketika cambuk itu meledak untuk kedua kalinya, tepat di antara keduanya, maka mereka berloncatan surut selangkah
“Berhentilah berkelahi!” Gupita berteriak.
“Jangan gaaggu kami,” sahut Sekar Mirah.
“Kami belum selesai,” Pandan Wangi hampir berteriak.
“Kalian sudah menjadi gila. Kalau kalian hanya dapat berbicara dengan senjata, maka aku pun akan berbicara dengan senjata.”
“Bagus,” jawab Sekar Mirah, “aku bersedia.”
“Kau bermaksud agar aku mempergunakan senjataku terhadapmu juga?” bertanya Pandan Wangi.
Ternyata sikap kedua gadis itu membuat Gupita menjadi bingung.
Namun, dalam pada itu, seseorang muncul dari balik gerumbul sambil berkata sareh, “Sudahlah, Ngger. Aku sudah mengatakan, bahwa cara yang kau pilih agaknya kurang menguntungkan.
“Biarlah, Guru,” jawab Sekar Mirah.
Gupita yang berpaling juga mendengar suara itu, terperanjat pula. Dengan serta-merta ia berdesis, “Paman Sumangkar.”
“Ya, Anakmas. Akulah yang telah membawa Angger Sekar Mirah ke tlatah Menoreh.”
“Tetapi kenapa Paman biarkan perkelahian ini terjadi?, “
“Aku tidak dapat mencegahnya. Tetapi aku tahu bahwa Angger ada di dekat arena, sehingga aku percaya bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan.”
Gupita mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Tetapi aku menemui kesulitan untuk melerainya, Paman. ~
“Angger Sekar Mirah akan menghentikan perkelahian.”
“Tidak,” tiba-tiba Sekar Mirah memotong, “aku akan berkelahi terus.”
“Jangan, Ngger. Sebaiknya kau berhenti.”
“Aku tidak akan berhenti. Gadis itu harus berlutut di bawah kakiku.”
“Bagus,” sahut Pandan Wangi, “marilah kita teruskan. Aku atau kau yang akan mencium telapak kaki.”
“Tidak!” suara Sumangkar meninggi. “Aku perintahkan Angger Sekar Mirah menghentikan perkelahian.”
Dada Sekar Mirah berdesir. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi. Ia sadar, bahwa gurunya benar-benar menghendaki perkelahian berhenti.
Dan tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada Sumangkar, “Siapakah Kiai? Apakah perempuan ini murid Kiai?”
“Ya, Ngger,” jawab Sunvingkar, “gadis ini adalah muridku.”
“Kenapa tiba-tiba saja ia menyerangku? Baik dengan kata-kata maupun dengan tongkat itu?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. “Maafkan, Ngger. Aku kira hal ini hanya terjadi karena kesalahpahaman.”
“Tidak, bukan sekedar salah paham,” sahut Pandan Wangi. “Kami belum berkenalan, belum berbicara tentang apa pun. Apa yang dapat menimbulkan salah paham?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau benar, Ngger. Tetapi pembicaraan Angger dengan orang-orang yang menyerang Angger berdua sebelum inilah yang dapat menumbuhkan salah paham.”
Gupita menarik nafas. “Itukah sebabnya, Paman? Dan Paman tidak mencegahnya?”
“Aku sudah mencoba, Ngger.”
“Maksud Guru, akulah yang telah berkeras hati untuk berkelahi melawan gadis ini?” bertanya Sekar Mirah.
“Apakah yang harus aku katakan, Ngger?” Sumangkar ganti bertanya. “Tetapi aku memang tidak mencegahnya dengan keras. Ada keinginanku untuk melihat sampai di mana Anger Sekar Mirah mampu mengungkapkan ilmunya menghadapi ilmu dari perguruan lain. Kali ini ilmu yang diturunkan oleh Ki Argapati, bukankah begitu?”
“Apakah Kiai mengenal ayah?” bertanya Pandan Wangi.
“Berkenalan secara pribadi belum. Tetapi sudah tentu aku mengenal namanya.”
“Siapakah Kiai sebenarnya?”
“Sumangkar. Namaku Sumangkar.”
Dan Gupita melanjutkannya, “Salah seorang bekas Senapati Jipang.”
“Bukan senapati,” Sumangkar membetulkan, “seorang juru masak.”
Gupita menarik nafas sekali lagi.
“Tetapi,” tiba-tiba Sekar Mirah berkata lantang, “apakah aku akan berdiam diri menghadapi kenyataan ini?”
“Kenyataan yang mana?” bertanya Gupita.
“Aku mendengar apa yang dikatakan oleh keenam orang itu tentang kalian. Keenam orang yang berhasil kalian kalahkan. Yang seorang di antaranya terbunuh itu.”
“Jangan kau dengarkan igauan mereka,” sahut Gupita. “Kau akan mendengar langsung tentang Pandan Wangi daripadanya, atau dari Gupala.”
“Siapa itu Gupala?” bertanya Sekar Mirah.
Gupita mengerenyitkan alisnya. “Namaku Gupita dan adikku bemama Gupala.”
“Gila, aku tidak mengenal nama-nama itu,” desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi pun menjadi bingung. Dan tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya gembala ini?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mengetahuinya, bahwa agaknya guru anak muda itu telah merubah nama murid-muridnya seperti apa yang sering ia lakukan atas dirinya sendiri.
Agaknya nama Agung Sedayu telah dirubahnya menjadi Gupita dan Gupala pastilah Swandaru Geni. Karena itu, maka sambil tersenyum ia berkata, “Angger Gupita. Di manakah gurumu dan siapakah namanya kini?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
Dan Pandan Wangi pun bertanya pula, “He, siapakah sebenarnya gembala ini?”
Gupita berpikir sejenak, kemudian ia menyahut, “Marilah kita ke rumah. Sebaiknya kalian bertemu dengan Gupala.”
“Aku tidak kenal Gupala,” Sekar Mirah berteriak. “Dan aku tidak mau kembali ke tempat yang sama sekali tidak aku kenal.”
“Sekar Mirah,” berkata Gupita, “aku dapat mengerti, kenapa salah paham ini dapat terjadi. Tetapi kita jangan memperbesar salah paham ini. Kita harus berusaha menyelesaikannya. Kalau kau sudah bertemu dengan Gupala, eh, maksudku Swandaru, maka semuanya akan menjadi jelas.”
“Siapakah Swandaru itu?” Pandan Wangi-lah yang memotong. “Dan apakah hubungan gadis ini dengan Swandaru dan dengan kau Gupita?”
“Nah, agaknya ia tidak mengatakannya,” sahut Sekar Mirah. “Memang, menilik namanya yang sekarang, Gupita, ia ingin melupakan hidupnya yang lama, ketika ia bernama Agung Sedayu.”
“Itulah yang aku maksudkan dengan salah paham. Karena itu semakin cepat kita bertemu dengan Swandaru akan menjadi semakin baik. Salah paham ini akan segera hilang.”
“Apakah hubungannya semua ini dengan Kakang Swandaru?” bertanya Sekar Mirah.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab ragu, “Sekar Mirah. Swandaru akan dapat menjelaskan kepadamu.” Lalu kepada Pandan Wangi Gupita berkata, “Pandan Wangi, gadis yang bernama Sekar Mirah ini adalah adik Gupala. Yang nama sebenarnya adalah Swandaru Geni.”
“He?” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Sekilas teringat olehnya pesan Gupala yang telah disampaikan kepadanya oleh Gupita. Kalau ia menerima pesan itu, maka Sekar Mirah akan menjadi saudara perempuannya.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar Sekar Mirah bertanya, “Apakah hubunganmu dan Kakang Swandaru dan dengan gadis ini.”
“Tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Pandan Wangi, selain dalam usaha bersama mempertahankan hak di atas Tanah Perdikan ini. Hubungan yang lain agaknya sudah mulai dijalin antara Pandan Wangi dengan Adi Swandaru. Aku kini adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa pembicaraan kami belum selesai, orang-orang itu sudah mengganggu kami. Apalagi tuduhan mereka yang keji telah membuat kami marah dan kehilangan kesabaran.”
Sebuah getaran yang aneh telah menyentuh dada Sekar Mirah. Meski pun tidak jelas benar, tetapi ia melihat remang-remang hubungan antara gadis yang bernama Pandan Wangi itu dengan kakaknya dan dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka dadanya pun menjadi berdebar-debar seperti dada Pandan Wangi pula.
Dalam pada itu, Sumangkar yang mendengarkan penjelasan Gupita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lebih cepat dapat menangkap maksudnya. Bahkan sesaat kemudian ia telah mulai mempunyai gambaran, hubungan antara mereka.
Tanpa maksud apa pun Sumangkar kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambl berkata, “Begitulah kiranya. Angger Sekar Mirah memang terlampau cepat dibakar oleh perasaan cemburu.”
“Guru,” Sekar Mirah hampir berteriak. Tetapi suaranya terputus.
Sumangkar hanya tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya dan wajah Gupita yang juga bernama Agung Sedayu yang kemerah-merahan itu.
Sementara itu dada Pandan Wangi berdesir tajam. Ditatapnya wajah Sekar Mirah sejenak. Kini ia sempat menilai gadis itu. Meskipun ia tidak sedang berhias, namun Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Inilah agaknya kunci dari pertanyaan yang selama ini tersimpan di hatinya. Kenapa Gupita bertanya tentang hatinya, tidak atas namanya sendiri, tetapi atas nama Gupala? Agaknya Gupita telah meninggalkan seorang gadis di kampung halamannya, atau di suatu tempat yang lain, yang kini mencarinya.
Dengan gambaran yang meskipun masih samar-samar tetapi kedua gadis itu kini telah mengerti, bahwa sebenarnyalah mereka telah terikat dalam suatu salah paham.
Tetapi yang paling menyesal adalah Sekar Mirah. Ia telah melontarkan tuduhan-tuduhan yang paling menyakitkan hati. Samar-samar ia dapat menangkap maksud Gupita, yang katanya, “Aku kini adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa pembicaraan kami belum selesai, orang-orang itu sudah mengganggu kami.”
Meskipun demikian Sekar Mirah masih saja berdiam diri mematung di tempatnya.
“Angger Sekar Mirah,” berkata Sumangkar yang melihat penyesalan di wajah muridnya, “apakah salahnya, kalau kau memberanikan dirimu minta maaf kepada Angger Pandan Wangi?”
Sekar Mirah menundukkan wajahnya.
“Itu pasti akan lebih baik bagi hubunganmu selanjutnya. Meskipun belum begitu jelas, tetapi aku melihat kaitan hubungan di antara kalian semuanya.”
Sekar Mirah masih menundukkan kepalanya. Sementara Pandan Wangi menjadi ragu-ragu menanggapi keadaan.
“Kalian adalah gadis-gadis yang berjiwa besar,” berkata Sumangkar kemudian. “Aku percaya, bahwa kalian akan dapat saling memaafkan dan melupakan apa yang baru saja terjadi.”
Kedua gadis itu kini semakin menunduk. Sedang di dada Pandan Wangi masih juga terjadi gejolak yang kadang-kadang hampir menyesakkan nafasnya. Masih juga terkenang olehnya, gembala muda itu bermain dengan serulingnya, kemudian lari bersama-sama menghindari anak buah Ki Peda Sura. Anak muda yang bemama Agung Sedayu itu seolah-olah menyeretnya saja di sepanjang pematang sswah yang tidak digarap.
Tetapi saat itu ia sama sekali belum mengenal anak muda yang bernama Gupala, yang juga disebut bernama Swamdaru Geni. Ia belum melihat anak muda periang yang gemuk itu.
Kini ia harus melihat kenyataan. Meski pun tidak jelas, namun ia mengerti seperti yang dikatakan oleh orang tua yang bernama Sumangkar itu, bahwa Sekar Mirah diamuk oleh perasaan cemburu.
“Inilah kenyataan yang aku hadapi,” desisnya di dalam hati. Tetapi kini selain Gupita ia telah mengenal pula Gupala.
Menurut penglihatannya keduanya mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Mempunyai daya tariknya masing-masing.
Gupala yang juga bernama Swandaru-lah yang telah menyatakan perasaannya kepadanya lewat Gupita. Dan kini, seorang gadis telah datang pula mencari Gupita yang juga bernama Agung Sedayu itu.
Dengan demikian maka Pandan Wangi masih juga merenung untuk sesaat. Ia sadar dari angan-angannya ketika ia mendengar ki Sumangkar berkata kepada Sekar Mirah, “Sekar Mirah. Seharusnya kau minta maaf kepadanya. Selanjutnya kalian berdua harus melupakan apa yang pernah terjadi ini. Memang pahit agaknya untuk mengakui kesalahan. Tetapi itu adalah sikap yang paling baik.”
Betapa pun beratnya, dan betapa pun tinggi hatinya, namun Sekar Mirah akhirnya berkata, “Pandan Wangi. Aku minta maaf atas keterlanjuranku.”
Kepala Pandan Wangi pun tampaknya terlampau kaku untuk mengangguk. Namun akhirnya kepala itu tergerak juga sambil berkata, “Baiklah kita lupakan semua peristiwa yang baru saja terjadi.”
“Nah,” sahut Sumangkar, “aku memang sudah menyangka, bahwa kalian memang berjiwa besar. Angger Agung Sedayu,” katanya kemudian kepada Agung Sedayu yang juga menyebut dirinya Gupita, “kita menjadi saksi, bahwa seterusnya peristiwa ini tidak akan disebut-sebut lagi.”
“Ya,” jawab Gupita, “kita semua melupakannya.” Gupita berhenti sejenak, lalu, “Sekarang, marilah kita kembali ke padukuhan induk. Kita akan bertemu dengan Gupala, eh, maksudku Swandaru, dengan guru dan sudah tentu apabila keadaan mengijinkan dengan Ki Argapati.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Kami senang sekali apabila kami dapat bertemu dengan Ki Argapati.”
“Sudah tentu,” jawab Pandan Wangi, “ayah sudah menjadi berangsur baik. Ayah akan senang sekali dapat menerima kalian.”
“Marilah,” berata Agung Sedayu. “Kita dapat membicarakannya sambil berjalan. Agung Sedayu merenung sejenak, kemudian, “Apakah kalian hanya berjalan kaki?”
“Ya, kami memang hanya berjalan kaki.”
“Kalau begitu, kami akan berjalan pula. Atau kami akan naik berdua di atas seekor kuda?”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab, Sumangkar telah berdesis, “Aku melihat debu yang mengepul ke udara.”
Serentak semuanya berpaling ke arah pandangan mata Sumangkar. Dan mereka pun melihat pula, debu yang mengepul itu.
“Serombongan orang-orang berkuda,” desis Pandan Wangi.
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lamat-lamat mereka sudah mendengar derap kaki kuda-kuda itu. Semakin lama semakin dekat.
“Siapakah mereka?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku belum tahu,” jawab Pandan Wangi.
“Marilah kita lihat,” bertanya Agung Sedayu.
“Bagaimana kalau mereka adalah sisa-sisa pasukan yang telah memberontak itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Apabila mereka mengancam keselamatan kami, apa boleh buat,” jawab Pandan Wangi.
Mereka berempat pun kemudian justru melangkah ke pinggir jalan yang akan dilalui oleh beberapa orang berkuda itu. Semakin lama semakin dekat.
Namun Pandan Wangi kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Mereka adalah para pengawal.”
“Apakah mereka sedang meronda?” bertanya Gupita
“Mungkin. Mungkin mereka sedang mengawasi daerah ini.”
Orang-orang berkuda yang berpacu di sepanjang jalan itu pun menjadi semakin lambat pula ketika mereka melihat Pandan Wangi telah berdiri di pinggir jalan bersama Gupita dan dua orang yang tidak mereka kenal.
“O, kau sudah mencemaskan seluruh penjagaan,” berkata salah seorang dari para pengawal itu sambil menghentikan kudanya dan meloncat turun. Yang lain pun kemudian berloncatan pula seorang demi seorang.
“Kenapa?” bertanya Pandan Wangi.
“Kami menunggu terlampau lama dan kalian masih juga belum kembali. Kami menyangka bahwa terjadi sesuatu atas kalian berdua.” Orang itu berhenti sejenak. “Tetapi kini kalian justru berempat.”
“Apakah kalian mencari aku?”
“Begitulah. Karena kami menjadi cemas, maka kami terpaksa melihat apakah yang terjadi atas kalian. Sokurlah bila tidak ada sesuatu yang terjadi.”
“Memang ada yang terjadi. Kalian akan mendapat pekerjaan karenanya.”
“Apa?”
“Sebelah gerumbul itu ada sesosok mayat. Bawalah ke padukuhan dan kuburlah baik-baik.”
Para pengawal itu mengerutkan keningnya.
“Masih ada lagi. Aku meminjam dua ekor kuda kalian. Kemudian empat orang dari kalian naik di atas dua ekor kuda yang lain. Sementara orang kelima membawa mayat itu di atas punggung kudanya pula.”
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi Pandan Wangi sudah berkata pula, “Jangan merenung. Nanti di gardu kalian, aku akan menceriterakan apa yang sudah terjadi di sini.”
Para pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dua di antara mereka menyerahkan dua ekor kuda, kemudian yang lain meloncat ke balik gerumbul mencari mayat yang disebut Pandan Wangi.
Tetapi sampai di gardu perondan pun Pandan Wangi tidak sempat menceriterakan apa yang terjadi seluruhnya. Ia hanya mengatakan bahwa ia memang bertemu dengan beberapa orang yang keras kepala, dan mencoba menyerangnya. Tetapi mereka dapat diusirnya bersama dengan Gupita.
“Salah seorang daripadanya terbunuh,” berkata Pandan Wangi. “Kuburlah mayat itu baik-baik.”
Pandan Wangi pun kemudian membawa Sekar Mirah bersama gurunya ke induk padukuhan. Namun di sepanjang jalan, pikirannya serasa menjadi kalut menghadapi persoalannya sendiri. Persoalan pribadinya.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat ingkar pula, bahwa pada suatu saat ia pasti akan menghadapi masalah serupa ini. Masalahnya bukan sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan yang berhadapan dengan persoalan-persoalan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi masalahnya sebagai seorang gadis yang meningkat dewasa. Bahkan sebelum kedatangan Gupita dan Gupala, persoalan itu pun pernah membingungkannya ketika Wrahasta dalam saat-saat yang memuncak, mencoba untuk mengetahui pendiriannya.
Dengan demikian, maka hampir tidak seorang pun yang berbicara di perjalanan. Mereka membiarkan angan-angan masing-masing terbang menerawang ke ujung langit.
Semakin dekat dengan rumahnya, Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti, kesimpulan apakah yang ditangkap oleh Gupita atas sikapnya. Ia belum sampai mengatakan apa pun kepadanya.
Tetapi bukan saja Pandan Wangi yang berdebar-debar, namun juga Sekar Mirah. Ia akan bertemu dengan Swandaru dan yang lebih mendebarkan jantungnya adalah nama yang selama ini selalu menghantuinya, Sidanti.
“Apakah yang akan aku lakukan atasnya?” desisnya. Karena Sekar Mirah telah mendengar dari orang-orang Menoreh di sepanjang perjalanannya bahwa Sidanti dan Argajaya kini ditahan di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dendamnya kepada anak muda itu telah melonjak sampai ke ujung ubun-ubun.
Di sepanjang jalan, diam-diam Pandan Wangi teringat pula ceritera kakaknya tentang seorang gadis yang bernama Sekar Mirah. Seorang gadis yang menurut kakaknya telah melukai hatinya, dan berbuat tidak sewajarnya. Tetapi setelah ia mengetahui sifat-sifat kakaknya, maka ia sudah tidak begitu mempercayai lagi ceriteranya. Apalagi setelah ia melihat sendiri gadis yang bernama Sekar Mirah itu.
Ketika mereka mendekati halaman rumah Kepala Tanah Perdikan, dari kejauhan mereka sudah melihat para peronda di muka regol. Namun kemudian mereka pun melihat, bahwa di antara peronda yang berdiri sebelah-menyebelah jalan itu terdapat Gupala. Agaknya ia hampir tidak sabar lagi menunggu, sehingga setelah menyerahkan pengawasan Ki Argajaya kepada beberapa orang pengawal, ia sendiri menunggu dengan gelisah kedatangan Gupita dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia melihat empat orang datang bersama-sama. Di antaranya Pandan Wangi dan Gupita.
“Siapakah yang dua?” ia bertanya di dalam hatinya. Semakin dekat, Gupala menjadi semakin jelas melihat kedua orang kawan Pandan Wangi dan Gupita itu. Tetapi seperti orang bermimpi ia memperhatikan mereka, Seorang gadis dengan tongkat baja putih dengan pangkal sebuah tengkorak kecil yang berwarna kekuningan.
Tongkat serupa itu pulalah senjata Tohpati. Tetapi menurut dugaannya tongkat itu pasti sudah dibawa oleh Untara ke Pajang.
“Sumangkar,” ia berdesis.
Gupala menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti bagaimana hal itu dapat terjadi.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Yang datang bersama Pandan Wangi dan Gupita adalah Sekar Mirah dan Sumangkar.
Tiba-tiba Gupala tidak dapat mengendalikan dirinya. Dengan dada yang berdebar-debar ia meloncat berlari menyongsong orang-orang berkuda itu. Belum lagi mereka mendekat, Gupala sudah berteriak, “He, kau itu Mirah?”
Sekar Mirah tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat kakaknya. Perasaan rindu yang melonjak di dadanya ditahankannya. Ketika Swandaru berdiri di samping kudanya ia masih tetap duduk saja di atas pungguag kuda itu.
“Mirah.”
Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya.
“Mirah. Apakah kau kesurupan?” tiba-tiba tangan Swandaru yang juga bernama Gupala itu menarik tangan Sekar Mirah sehingga gadis itu hampir saja jatuh terpelanting dari kudanya. Tetapi dengan tangkasnya ia justru meloncat dan atas bantuan Gupala Sekar Mirah berhasil tegak di atas tanah.
Gupala heran sejenak melihat sikap adiknya. Namun kemudian diterkamnya pundak gadis itu dan diguncang-guncangnya. “He, kenapa kau kemari, Mirah. Bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Sakit,” desis adiknya. “Lepaskan dahulu.”
“Bagaimana kau sampai kemari?” Lalu, “He, Paman Sumangkar. Apakah Kiai yang membawa Mirah kemari dan memberinya mainan serupa ini?”
“Ya, Ngger. Akulah yang memberinya.”
“Apakah kau dapat juga mempergunakan?” Gupala bertanya kepada adiknya, kemudian, “Tetapi bagaimana dengan ayah dan ibu?”
“Ayah dan ibu siapa?” Sekar Mirah bertanya.
Gupala mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
“Ayah dan ibuku” ia menjawab.
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. “Aku belum mengenal ayah dan ibu seorang anak muda gemuk yang bernama Gupala.”
“Hus,” Gupala berdesis, “jangan main-main. Aku bertanya sebenarnya. Bagaimanakah ayah dan ibu?”
Sekar Mirah memandamg Gupala dengan tajamnya. Dan sekali lagi ia berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tidak kenal dengan seorang yang bernama Gupala. Bagaimana aku dapat mengatakan sesuatu tentang ayah dan ibunya.”
“Kemayu kau,” desis Gupala. “Kalau kau tidak kenal Gupala, maka kau tidak akan mengenal Gupita. Kenapa kau mengikutinya kemari?”
“Siapa yang mengikutinya?”
“Paman Sumangkar. Dan kau mengikuti Paman Sumangkar, begitu?”
“Aku tidak mengikuti siapa pun.”
“Omong kosong. Sekarang jawab, bagaimana dengan ayah dan ibu? Apakah mereka selamat?”
Sekar Mirah akhirnya tidak dapat mengganggunya terus. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya. Ayah dan ibu selamat.”
“Syukurlah.”
“Dan kau sudah terlampau lama pergi. Ayah dan ibu menunggu siang dan malam. Apalagi ibu. Karena itu, aku diijinkannya mencarimu kemari, asal diantar oleh Paman Sumangkar.”
“Ya, ya. Aku memang sudah terlampau lama pergi.” Gupala mengerutkan keningnya, lalu, “Marilah. Marilah, Paman Sumangkar,” tetapi tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Maaf. Bukan akulah tuan rumah. Tetapi di sini ada Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” Lalu ia bertanya kepada Pandan Wangi, “Apakah kau akan mempersilahkan mereka?”
Tiba-tiba saja sikap Pandan Wangi menjadi sangat kaku. Ia tidak dapat mengesampingkan masalah dirinya sendiri. Sehingga karena itu ia tidak segera menjawab. Tetapi ketika terpandang olehnya mata Swandaru, kepalanya justru tertunduk.
———-oOo———-
(bersambung ke Episode 049)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

S1-E91 Kiai Jalawaja Tewas, Tombak Kiai Pleret Tercium Keberadaannya

KETIKA  malam menjadi semakin dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai keadaan. Kiai Kalasa Sawit ya...